• Tidak ada hasil yang ditemukan

Botani Tanaman

Menurut Sharma (1993) tanaman kedelai diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Class : Dicotyledoneae Ordo : Polypetales Family : Papilionaceae Genus : Glycine

Species : Glycine max (L.) Merill

Sistem perakaran kedelai adalah akar tunggang yang terdiri dari akar utama dan akar cabang. Selain sebagai penyerap unsur hara dan penyangga tanaman, pada perakaran kedelai ini adalah merupakan tempat terbentuknya

bintil/nodul akar yang berfungsi sebagai tempat bakteri Rhizobium (Rahman dan Tambas, 1986).

Kedelai adalah tanaman setahun yang tumbuh tegak (tinggi 70-150 cm).

Menyemak berbulu halus (pubescens), dengan sistem perakaran luas (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998). Waktu tanaman kedelai masih sangat muda,

atau setelah fase menjadi kecambah dan saat keping biji belum jatuh, batang dapat dibedakan menjadi dua. Bagian batang di bawah keping biji yang belum lepas

disebut hypokotil, sedangkan bagian di atas keping biji disebut epycotyl. Batang kedelai tersebut berwarna ungu atau hijau (Andrianto dan Indarto, 2004).

Terdapat empat tipe daun yang berbeda, yaitu kotiledon atau daun biji, daun primer sederhana, daun bertiga, dan daun profila. Daun primer sederhana berbentuk telur (oval) berupa daun tunggal (unifoliat) dan bertangkai sepanjang 1-2 cm, terletak berseberangan pada buku pertama di atas kotiledon. Daun-daun berikutnya daun bertiga (trifoliat), namun adakalanya terbentuk daun berempat atau daun berlima (Hidayat dalam Somaatmadja dkk, 1985).

Kultivar kedelai memiliki bunga bergerombol terdiri atas 3-15 bunga yang tersusun pada ketiak daun. Karekteristik bunganya seperti famili Papilionaceae lainnya, yaitu corolla (mahkota bunga) terdiri atas 5 petal yang menutupi sebuah pistil dan 10 stamen (benang sari). 9 stamen berkembang membentuk seludang

yang mengelilingi putik, sedangkan stamen yang kesepuluh terpisah bebas (Poehlman and Sleper, 1995)

Banyaknya polong bergantung pada jenisnya. Ada jenis kedelai yang menghasilkan banyak polong, ada pula yang sedikit. Berat masing-masing biji pun berbeda-beda, ada yang bisa mencapai berat 50-500 gram per 100 butir biji. Selain itu warna biji juga berbeda-beda. Perbedaan warna biji dapat dilihat pada belahan biji ataupun pada selaput biji, biasanya kuning atau hijau transparan (tembus cahaya). Ada pula biji yang berwarna gelap kecoklat-coklatan sampai hitam, atau berbintik-bintik (Andrianto dan Indarto, 2004).

Semua varietas kedelai mempunyai bulu pada batang, cabang, daun dan polong-polongnya. Lebat atau tidaknya bulu serta kasar atau halusnya bulu

tergantung dari varietas masing-masing. Begitu pula warna bulu berbeda-beda,

ada yang berwarna coklat dan ada pula yang putih kehijauan (Andrianto dan Indarto, 2004).

Syarat Tumbuh

Tanah

Kedelai dapat tumbuh baik pada berbagai jenis tanah asal drainase dan aerasi tanah cukup baik. Tanah-tanah yang cocok yaitu alluvial, regosol, grumosol, latosol, dan andosol. Pada tanah-tanah padzolik merah kuning dan tanah yang mengandung banyak pasir kwarsa, pertumbuhan kedelai kurang baik, kecuali bila diberi tambahan pupuk organik atau kompos dalam jumlah yang cukup (Andrianto dan Indarto, 2004).

Kedelai tidak menuntut struktur tanah yang khusus sebagai suatu persyaratan tumbuh. Bahkan pada kondisi lahan yang kurang subur dan agak asam pun kedelai dapat tumbuh dengan baik, asal tidak tergenang air yang akan menyebabkan busuknya akar

Kedelai termasuk tanaman yang mampu beradaptasi terhadap berbagai agroklimat, menghendaki tanah yang cukup gembur, tekstur lempung berpasir dan liat. Tanaman kedelai dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang mengandung bahan organik dan pH antara 5,5-7 (optimal 6,7). Tanah hendaknya mengandung cukup air tapi tidak sampai tergenang (Departemen Pertanian, 1996).

Iklim

Pada awalnya kedelai merupakan tanaman subtropika hari pendek, namun setelah didomestikasi dapat menghasilkan banyak kultivar yang dapat beradaptasi terhadap lintang yang berbeda. Kemampuannya untuk ditanam di mana saja adalah keunggulan utama tanaman ini. Pertumbuhan optimum tercapai pada suhu 20-25 0C. Suhu 12-20 0C adalah suhu yang sesuai bagi sebagian besar proses pertumbuhan tanaman, tetapi dapat menunda proses perkecambahan benih dan pemunculan biji. Pada suhu yang lebih tinggi dari 30 0C, fotorespirasi cenderung mengurangi hasil fotosintesis (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).

Kedelai menghendaki air yang cukup pada masa pertumbuhannya terutama pada saat pengisian biji. Curah hujan yang optimal untuk budidaya kedelai adalah 100-200 mm/bulan. Tanaman kedelai dapat tumbuh pada ketinggian 0-900 meter di atas permukaan laut (Departemen Pertanian, 1996).

Kedelai merupakan tanaman hari pendek, yakni tidak akan berbunga bila lama penyinaran (panjang hari) melampaui batas kritis. Setiap varietas mempunyai panjang hari kritis. Apabila lama penyinaran kurang dari batas kritis, maka kedelai akan berbunga. Dengan lama penyinaran 12 jam, hampir semua varietas kedelai dapat berbunga dan tergantung dari varietasnya, umumnya berbunga beragam dari 20 hingga 60 hari setelah tanam. Apabila lama penyinaran melebihi periode kritis, tanaman tersebut akan meneruskan pertumbuhan vegetatifnya tanpa berbunga (Baharsjah, Suardi, dan Las dalam Somaatmadja dkk, 1985).

Salinitas

Salinitas atau kegaraman yaitu kadar garam yang dapat diukur secara tidak

langsung dari nilai daya hantar listrik (DHL) suspensinya dengan satuan µ mho/cm yang ditera pada suhu 25 0C (Sutedjo, 2004).

Salinitas berkaitan erat dengan keadaan pengerasan yang buruk akibat dari pengelolaan air yang kurang baik, seperti sistem jaringan pengerasan yang kurang lancar, fungsi pintu-pintu air yang kurang baik, konstruksi tanggul yang kurang pejal sehingga rembesan air dapat menembus dinding tanggul, dan kondisi tanah

lapisan bawah yang masih mentah sehingga mudah mengalami runtuhan (Noor, 2004).

Notohadiprawiro (1999) menyatakan bahwa garam-garam yang ada dalam tanah terdiri kebanyakan atas berbagai proporsi kation Na, Ca dan Mg serta anion Cl dan SO4. Penyusun yang biasanya hanya terdapat dalam jumlah sedikit ialah kation K dan anion bikarbonat, karbonat nitrat, dan borat. Hubungan daya hantar listrik (DHL) dengan tekanan osmosis dan dengan kadar garam bergantung pada macam garam. Pada DHL sama tekanan osmosis meningkat dalam urutan

MgSO4<CaCl2<MgCl2<Na2SO4<NaCl

dan kadar garam dalam persen meningkat dalam urutan MgCl2<CaCl2<Na2SO4<MgSO4<CaSO4<NaHCO3

Rosmarkam dan Yuwono (2002), menyatakan bahwa sumber garam dalam tanah adalah:

1. Hasil pelapukan, umumnya pelapukan menghasilkan klorida, nitrat, sulfat, karbonat, dan bikarbonat. Proses ini jarang menyebabkan keracunan bagi tanaman

2. Salinasi

3. Pemupukan, pemupukan dengan dosis sangat tinggi mengakibatkan keracunan tanaman karena kadar garam melebihi ambang batas toleransi tanaman

4. Air laut, air laut merupakan sumber kegaraman terbesar. Tanah yang dekat dengan laut kadar garamnya tinggi.

Tanah garam adalah nama gabungan jenis-jenis tanah yang hanya dibedakan atas tiga taraf evolusinya ialah: pada taraf pertama tanah Solonchak, taraf kedua Solonetz, dan taraf ketiga Solodi. Sigmond menamakannya sodium soil yang dibedakan atas: (1) saline soil untuk Solonchak (2) salty alkali soil untuk campuran Solonchak dan Solonetz, (3) leached alkali soils untuk Solonezt asli, dan (4) degraded alkali soil untuk Solidi. Tanah ini tersebar sebagai tanah zonal di daerah kering (arid atau semiarid). Di Indonesia jenis-jenis tanah ini diduga terdapat di Nusa Tenggara terutama di Timor (Darmawijaya, 1992)

Dingus (1999), menyatakan bahwa pada umumnya ada tiga kondisi kimia yang selalu ada pada perkembangan tanah pada iklim arid. Kondisi tersebut meliputi, salin, sodik dan salin sodik. Pada tabel berikut di tunjukkan kriteria yang digunakan untuk mendefinisikan masing-masing kondisi tersebut.

Tabel 1. Kriteria Salinitas Tanah untuk Kondisi Kadar Garam yang Ditemukan pada Tanah dS/m ESP* pH SAR** Normal <4,0 <15% 6,5-7,5 <13 Salin >4,0 <15% 6,5-7,5 <13 Sodik <4,0 >15% 7,5-9,0 >13 Salin sodik >4,0 >15% >7,5 >13 * ESP= exchangeabel sodium percentage

** SAR= sodium adsorption ratio

Suatu tanah disebut tanah alkali atau tanah salin jika kapasitas tukar kation (KTK) atau muatan negatif koloid-koloidnya dijenuhi oleh > 15% Na, yang mencerminkan unsur ini merupakan komponen dominan dari garam-garam larut yang ada. Pada tanah-tanah ini, mineral sumber utamanya adalah halit (NaCl) (Hanafiah, 2005).

Tanah-tanah salin dan sodik, yang kini disebut Aridisol, adalah tanah-tanah daerah iklim kering dengan curah hujan rata-rata kurang dari 500 mm (20 in.) per tahun. Jumlah H2O yang berasal dari presipitasi tidak cukup untuk

menetralkan jumlah H2O yang hilang oleh evaporasi dan evapotranspirasi. Sewaktu air luapan ke atmosfer, garam-garam tertinggal dalam tanah. Proses penimbunan garam mudah larut dalam tanah ini disebut salinisasi. Garam-garam tersebut terutama adalah NaCl, Na2SO4, CaCO3, dan/atau MgCO3. Dulu tanah-tanah yang terbentuk disebut tanah-tanah salin, tanah-tanah alkali putih, atau solonchak. Mereka termasuk tipe tanah zonal. Salinisasi dapat juga terjadi secara setempat dan membentuk tanah salin tipe intrazonal, seperti misalnya tanah-tanah yang direklamasi dari dasar laut dan tanah-tanah di daerah pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut (Tan, 2004).

Salinisasi, proses ini terjadi di daerah kering dan panas dan merupakan gerakan garam dari profil tanah bagian bawah (subsoil) ke bagian atas (topsoil). Pada bagian atas terjadi penguapan yang intensif (suasana panas dan kering), sehingga menyebabkan larutan garam bergerak secara kapilaritas ke atas, menguap, dan meninggalkan endapan garam di permukaan tanah. Apabila proses ini berlangsung terus menerus sepanjang tahun, maka terbentuk tanah garam (saline soil). Di Indonesia, proses ini tidak berlangsung sepanjang tahun, hanya terdapat di daerah yang panas dan kering. Pada musim kemarau terjadi salinisasi, sebaliknya pada musim hujan terjadi desalinisasi. Pengurangan kadar garam di permukaan tanah terjadi karena curah hujan yang turun kemudian melindi ke bawah. Proses salinasi hanya terjadi pada tanah yang mempunyai tekstur halus sampai sangat halus (Rosmarkam dan Yuwono 2002).

Pengaruh Salinitas Terhadap Tanaman

Salinitas menekan proses pertumbuhan tanaman dengan efek yang menghambat pembesaran dan pembelahan sel, produksi protein serta penambahan biomass tanaman. Tanaman yang mengalami stres garam umumnya tidak menunjukkan respon dalam bentuk kerusakan langsung tetapi pertumbuhan yang tertekan dan perubahan secara perlahan. Gejala pertumbuhan tanaman pada tanah dengan tingkat Salinitas yang cukup tinggi adalah pertumbuhan yang tidak normal seperti daun mengering di bagian ujung dan gejala khlorosis. Gejala ini timbul karena konsentrasi garam terlarut yang tinggi menyebabkan menurunnya potensial larutan tanah sehingga tanaman kekurangan air (Sipayung, 2003).

Rosmarkam dan Yuwono (2002), menyatakan bahwa pengaruh garam terhadap pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh:

a. Kadar garam: diambang batas toleransi, peningkatan kadar garam berpengaruh semakin jelek bagi tanaman.

b. Macam garam: banyak ragam garam dalam tanah, yakni klorida (NaCl, CaCl2, KCl), nitrat [NaNO3, Ca(NO3)2], sulfat [Na2(SO4), Ca(SO4) K2SO4]. Garam yang mengandung K dan Ca tinggi baik bagi tanaman

Pada tanaman yang sensitif terhadap garam pertumbuhan sudah terhenti ketika tingkat salinitas rendah, hal ini mula-mula disebabkan oleh keracunan Na+ dan Cl-. Tekanan osmotik yang tinggi pada senyawa tanah menyebabkan hubungan potensial air tanah rendah dan ketika terjadi kontak dengan sel tanaman terjadi pergerakan senyawa ke arah persenyawaan tanah dan sel menjadi berkerut (dikenal dengan istilah plasmolisis) (Tisdale et.al, 1993).

Pengendapan garam yang sudah larut dalam tanah secara parah menghambat pertumbuhan tanaman. Pengendapan garam tersebut akan mengimbas plasmolisis, yaitu suatu proses bergerak keluarnya H2O dari tanaman ke larutan tanah. Kehadiran ion Na+ dalam jumlah tinggi dapat mempertahankan partikel-partikel tanah tetap tersuspensi. Dengan pengeringan, tanah membentuk lempeng-lepeng keras, dan terjadi pembentukan kerak di permukaan. Yang disebut terakhir ini menurunkan porositas tanah dan aerasi terhambat secara parah. Nilai pH yang tinggi pada banyak di antara tanah-tanah tersebut juga menurunkan ketersediaan sejumlah hara mikro. Jenis tanah ini sering kahat dalam Fe, Cu, Zn, dan/atau Mn (Tan, 2004).

Hanafiah (2005) menyatakan bahwa sebagaimana unsur mikro Na juga bersifat toksik bagi tanaman jika terdapat dalam tanah dalam jumlah yang sedikit berlebihan. Pada kadar tinggi, gejala toksisitas Na pada tanaman meliputi:

1. Stress akibat tingginya tekanan osmotik

2. Masing-masing ion yang berlebihan mempunyai efek tertentu dalam menekan pertumbuhan tanaman disebut efek spesifik ion, yang pengaruhnya lebih besar dibanding efek negatif tekanan osmotik tersebut, tetapi untuk ion Na efek spesifik kelebihannya masih bersifat tidak uniform namun efek spesifik ini ada. Untuk tanaman tertentu (seperti advokad dan berbagai jeruk), kadar Na dalam jumlah sedang saja telah menimbulkan kerusakan dedaunan, tetapi tidak untuk tanaman lain

Kelarutan garam yang tinggi dapat menghambat penyerapan (up take) air dan hara oleh tanaman seiring dengan terjadinya peningkatan tekanan osmotik. Secara khusus, kegaraman yang tinggi menimbulkan keracunan tanaman,

terutama oleh ion Na+ dan Cl-. Beberapa tanaman peka terhadap kegaraman (<4 dS.m-1) seperti apel, jeruk, dan kacang-kacangan, tanaman lain nisbi tahan

kegaraman (4-10 dS.m-1) seperti padi, kentang, mentimun, sorgum dan jagung, dan tanaman lainnya lebih tahan kegaraman (>10 dS.M-1) seperti kapas, bayam, dan kurma (Noor, 2004).

Pengaruh NaCl terhadap pertumbuhan morfologis dan ultrastruktur bervariasi pada masing-masing varietas. Secara visual, umumnya eksplan yang mendapat perlakuan konsentrasi NaCl tinggi, pembentukan dan pertumbuhan akarnya terhambat, akar menjadi lebih sedikit, kurus dan kecil, akar menggulung

dengan rambut akar yang sedikit dan warna akar cendrung kuning kecoklatan. Berkurangnya panjang akar pada media salin diduga juga akibat daya racun Cl, ketidakseimbangan unsur di dalam tanaman serta adanya akumulasi NaCl di sekitar akar dan di dalam akar. Sehingga dapat dimengerti, pada konsentrasi NaCl tinggi, pertumbuhan daun juga kecil, menggulung dan tidak berkembang sempurna (Lubis, 2000).

Dalam penelitian Lubis (2000) mengenai respon morfogenesis embrio beberapa varietas kedelai pada berbagai konsentrasi NaCl secara in vitro dengan taraf konsentrasi garam NaCl mulai 6 g/l mengakibatkan panjang akar menurun drastis, dan pada perlakuan konsentrasi NaCl sampai 8 g/l sangat nyata mempengaruhi bobot kering eksplan dimana bobot kering cenderung berkurang dengan meningkatnya konsentrasi NaCl.

Dalam penelitian Pohan (2005) mengenai uji kultivar kacang tanah (Arachis hypogaea L.) pada berbagai konsentrasi NaCl dengan taraf konsentrasi garam 0 g/l, 3 g/l, 6 g/l, 9 g/l dimana perlakuan konsentrasi NaCl 3 g/l sudah mengalami perubahan xylem tetapi tidak merusak berkas pembuluh. Pada kosentrasi 6 g/l-9 g/l, berkas pembuluh xylem mengalami pelebaran. Perubahan ini terjadi karena perlakuan garam yang terlalu tinggi sehingga tidak dapat diterima oleh tanaman khususnya akar dan serapan unsur hara. Keadaan lingkungan yang berkadar garam tinggi akan mengakibatkan potensial osmotik pada tanah dan menurunkan tekanan turgor sel tanaman sehingga merubah bentuk anatomi akar tanaman tersebut.

Efek senyawa pada pertumbuhan tidak membatasi efek osmotik. Beberapa dari ion pada senyawa tanah dapat memberikan efek spesifik pada tanaman dan

juga menghambat pertumbuhan tanaman dengan sendirinya dari tekanan osmotik pada persenyawaan tanah (Marshall and Holmes, 1988).

Dalam penelitian Manurung (2001) mengenai pengaruh NaCl dan KCl terhadap pertumbuhan dan produksi serta serapan hara pada tanaman kedelai menyatakan bahwa pengaruh NaCl terhadap berat 100 biji mempunyai hubungan linier yang negatif dimana penambahan NaCl menurunkan rata-rata berat 100 biji, meskipun terjadi penambahan berat 100 biji diduga bahwa berat rata-rata 100 biji lebih dipengaruhi faktor genetis bahwa suatu biji tidak terpengaruh oleh meningkatnya dosis NaCl, tetapi antar varietas menunjukkan perbedaan signifikan. Karakter biji lebih ditentukan oleh genetik tanaman itu, kecuali dalam dosis letal. Rendahnya jumlah polong akibat pemberian 313,92 mg/pot NaCl menunjukan bahwa dosis 100% NaCl telah menghambat proses fotosintesis dan translokasi sehingga hasil asimilasi akan semakin berkurang, akibat lain adalah terganggunya translokasi dari tempat pembuatan (source) ke tempat pemanfaatan atau sink, penghambatan ini respon tanaman dengan menurunkan laju fotosintesis sehingga mengganggu transport asimilat dalam floem. Berat kering akar pada pemberian NaCl di atas 78,48 mg/pot menurun dikarenakan semakin meningkatnya ion Na di dalam tanah sehingga perkembangan akar akan menjadi tertekan akibat akumulasi ion Na di sekitar komplek jerapan.

Baik kemasaman (acidity) maupun salinitas (salinity) kedua-duanya sangat berpengaruh terhadap tersedianya atau tidak tersedianya hara tanaman. Dalam hal ini kita mengenal pH tanah, yaitu suatu ukuran aktivitas ion hidrogen dalam larutan air tanah dan dipakai sebagai ukuran bagi kemasaman tanah. pH tanah ini mempunyai pengaruh langsung ataupun tidak langsung terhadap tanaman.

Pengaruh langsung pada akar tanaman pada pH<4,0>10,0 kerusakan pada akar tanaman. Pengaruh tidak langsung: a. tersedianya unsur hara, b. kemungkinan timbulnya keracunan tanaman pada pH rendah oleh unsur kimia, seperti Al, Mn dimana unsur-unsur ini banyak terdapat pada pH tanah rendah. Pada tanah yang alkalis P akan terikat oleh Ca++, pada tanah yang asam P akan terikat oleh Al dan Fe sehingga tidak tersedia bagi tanaman

(Kartasapoetra, Kartasapoetra, dan Sutedjo, 1987).

Tanaman yang stres garam sering menyerupai tanaman dengan defisiensi P yang mempunyai daun lebih sempit, lebih gelap, menurunkan nisbah tajuk dan akar, berkurangnya anakan, memperpanjang dormansi kuncup samping, menunda

dan menurunkan pembungaan, dan jumlah dan ukuran buah lebih kecil (Harjadi dan Yahya, 1988).

Mekanisme Toleransi Tanaman terhadap Cekaman Salinitas

Setiap tanaman mempunyai toleransi yang berbeda terhadap tanah salin dan berbeda pula pada masing-masing tahap pertumbuhan. Tiap varietas atau kultivar juga berbeda tingkat ketahananya. Sebagai contoh perbedaan ketahanan varietas-varietas kedelai terhadap keracunan Cl. Keracunan Na+ dan Cl- secara efektif tidak boleh terjadi karena stress garam sama seperti halnya stress air. Tanaman yang toleran tidak akan keracunan Na+ karena kapasitas perbandingan

K+/Na+ yang dihasilkan tinggi pada tahap perkembangan jaringan (Tisdale et.al, 1993).

Perubahan ultrastruktur bervariasi antar varietas, dimana peningkatan konsentrasi NaCl sampai 8 g/l menyebabkan ukuran jari-jari parenkim korteks dan

jari-jari stele varietas Wilis lebih besar dibanding kontrol, peningkatan konsentrasi parenkim NaCl 4 g/l menyebabkan ukuran jari-jari parenkim korteks dan stele varietas Jaya Wijaya dan Tidar lebih besar dibanding kontrol sedangkan pada varietas Kipas Putih dan Lokon terjadi penurunan ukuran jari-jari parenkim korteks dan stele pada peningkatan konsentrasi NaCl (Lubis, 2000).

Mekanisme ketahanan terhadap kadar garam ditandai dengan terakumulasinya senyawa-senyawa yang dikenal dengan sebutan pelindung osmosis (osmoprotectant). Pada pohon bakau ditemukan terakumulasi senyawa

prolin dan glisin-betain (betain) sebagai bentuk toleransi terhadap salinitas tinggi (Sopian, 2006).

Peningkatan ukuran jari-jari parenkim korteks dan stele pada varietas yang lebih toleran terhadap NaCl, diduga merupakan salah satu mekanisme toleransinya terhadap konsentrasi NaCl. Dimana peningkatan ukuran jari-jari parenkim korteks dan stele mengakibatkan semakin lebarnya jalur caspary yang berperan dalam pengaturan pontensial osmotik (Lubis, 2000).

Mekanisme toleransi tanaman terhadap garam dapat dilihat dalam dua bentuk adaptasi yaitu dengan mekanisme morfologi dan mekanisme fisiologi. mekanisme toleransi yang paling jelas adalah dengan adaptasi morfologi (Sipayung 2003).

Bentuk adaptasi morfologi dan anatomi yang dapat diturunkan dan unik dapat ditemukan pada halofita yang mengalami evolusi melalui seleksi alami pada kawasan pantai dan rawa-rawa asin. Salinitas menyebabkan perubahan struktur yang memperbaiki keseimbangan air tanaman sehingga potensial air dalam

tanaman dapat mempertahankan turgor dan seluruh proses biokimiawi untuk pertumbuhan dan aktivitas yang normal. Perubahan struktur mencakup ukuran daun yang lebih kecil, stomata yang lebih kecil per satuan luas daun, peningkatan sukulensi, penebalan kutikula dan lapisan lilin pada permukaan daun, serta lignifikansi akar yang lebih awal (Harjadi dan Yahya, 1988).

Respon perubahan struktural dapat beragam pada berbagai jenis tanaman dan tipe salinitas. Salinitas klorida umumnya menambah sukulensi pada banyak spesies tanaman. Sukulensi terjadi dengan meningkatnya konsentrasi SO (sulfur oksida). Dengan adaptasi struktural ini konduksi air akan berkurang dan mungkin akan menurunkan kehilangan air pada transpirasi. Namun pertumbuhan akar yang terekspos pada lingkungan salin biasanya kurang terpengaruh dibandingkan dengan pertumbuhan tajuk atau buah. Hal ini diduga terjadi akibat perbaikan

keseimbangan dengan mempertahankan kemampuan menyerap air (Sipayung 2003).

Keadaan lingkungan dapat mempengaruhi anatomi akar dimana jalur caspary jauh lebih lebar pada tumbuhan yang hidup dalam habitat yang teramat kering dan di rawa bergaram dibandingkan dengan yang hidup dalam keadaan mesofilik (pada suhu sedang yaitu antara 100-300 C). Jalur caspary dalam hal ini dinyatakan mencegah difusi air sepanjang dinding sel dan memaksa gerakan larutan melalui protoplasma (Fahn, 1995).

Akar dapat digunakan untuk menaksir tingkat toleransi tanaman terhadap nilai ESP (exchangeabel sodium percentage) tanah, nisbah 2-4 mencerminkan tingginya toleransi tanaman, sehingga tidak mudah keracunan Na, sedangkan nisbah 0,1-07 sebaliknya, yang berarti tanaman mudah menderita keracunan Na.

Kacang merah (red kidney bean) dapat tumbuh baik pada SAR (sodium absorption ratio) 36, tetapi pertumbuhannya tertekan pada SAR 35. Akumulasi Na atau nisbah Na dengan kation-kation lain terlalu tinggi akan menyebabkan terganggunya adaptasi filogenik tanaman terhadap Na, sehingga pertumbuhan tanaman juga akan terganggu. Terganggunya pertumbuhan ini juga terkait dengan pengaruh tingginya ESP yang menghambat penyerapan unsur lain, seperti Ca yang dibutuhkan untuk perkembangan perakaran. Bagaimana mekanisme fisiologinya masih perlu dipelajari lebih lanjut (Hanafiah, 2005).

Tanaman yang toleran terhadap salinitas harus mampu menyesuaikan terhadap stres osmotik. Seperti telah dinyatakan bahwa tanaman dapat menyesuaikan dengan menurunkan potensial osmosis tanpa kehilangan turgor, kecuali proses salinasi terjadi secara tiba-tiba. penyesuaian kira-kira 1 bar/hari telah pernah diamati, tetapi laju dan lamanya tergantung kepada spesies tanaman. Pada kondisi lapang secara normal, laju penyesuaian ini cukup untuk menghadapi perubahan salinitas secara bertahap (gradual) (Harjadi dan Yahya, 1988).

Di samping umumnya pertumbuhan yang tertekan, salinitas menyebabkan beberapa perubahan struktur yang khas yang nyata-nyata memperbaiki keseimbangan atau status air tanaman. Keseimbangan air tanaman secara sederhana, berarti bahwa potensial air dalam tanaman cukup untuk pertumbuhan dan aktivitas yang normal. Hal ini mencakup pengaturan pengambilan air, hilangnya, dan distribusinya dalam tanaman (Harjadi dan Yahya, 1988).

Keracunan terhadap Na dan Cl jarang terjadi pada tanaman perdu, kecuali

Dokumen terkait