• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adaptasi Ikan terhadap Lingkungan

Ikan telah berevolusi sehingga cara beradaptasi dengan lingkungan berbeda dari hewan teresterial. Adanya sisik, sirip, dan lendir (mukus) pada permukaan tubuh dapat melindungi ikan dari gangguan eksternal. Ikan memiliki 6-8 sirip, dengan adanya sirip-sirip ini akan memudahkan ikan bergerak maju dan mundur. Karena air memiliki kepadatan molekul yang tinggi, yaitu 800 kali lebih padat dibandingkan udara, maka ikan memerlukan sejumlah besar kekuatan otot. Sisik yang ada melekat erat pada kulit dan ditutupi lendir berfungsi untuk melindungi kulit dari cedera dan infeksi. Ikan-ikan yang tidak bersisik telah berevolusi dengan tanpa sisik, tetapi memiliki duri tajam di beberapa bagian sirip, yang berfungsi untuk melindungi diri dari predator. Adanya lendir di atas sisik sangat efektif untuk menghambat pelekatan dan melumpuhkan serangan mikroorganisme patogen, mengurangi gesekan, dan memudahkan pergerakan.

Suhu pada lingkungan akuatik relatif stabil sehingga hewan yang hidup di dalamnya tidak mengalami permasalahan yang serius terhadap perubahan suhu lingkungan. Pelepasan panas dari tubuh ikan terutama melalui insang. Kelebihan panas pada hewan akuatik akan diserap oleh air sehingga suhu tubuh ikan akan stabil dan relatif sama dengan suhu air di sekitarnya. Pada hewan teresterial, suhu tubuh selalu berubah dengan variasi cukup besar. Cara hewan teresterial mengatur suhu tubuhnya yaitu dengan cara konduksi, konveksi, radiasi, dan evaporasi (Hoar 1984).

Suhu dapat mempengaruhi proses fisiologis dan biokimia pada beberapa hewan, termasuk ikan. Pengaruh suhu tersebut, antara lain mempengaruhi asupan makanan, laju metabolisme, proses enzim, fungsi membran, dan sintesis protein (Wedemeyer 1996). Selanjutnya dilaporkan bahwa perubahan suhu dalam waktu yang lama, baik terhadap suhu rendah atau tinggi, dapat mempengaruhi kondisi fisiologis dan biokimia dan secara umum proses ini dinamakan aklimatisasi suhu. Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Ikan

Perubahan faktor lingkungan harus direspons oleh ikan. Respons ikan terhadap perubahan lingkungan ini pada dasarnya adalah dalam upaya untuk

mempertahankan hidupnya, termasuk di dalamnya agar dapat tumbuh dan berkembang biak. Faktor lingkungan dapat mempengaruhi kesehatan dan kondisi fisiologis ikan. Faktor lingkungan tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga faktor, yaitu faktor fisika, kimia, dan biologi. Interaksi antara ketiga faktor lingkungan tersebut diilustrasikan pada Gambar 2 (Wedemeyer 1996).

Faktor kimia (kualitas air) - Kandungan oksigen

- Toksin metabolit (NH3, CO2)

Faktor biologi - Mikroorganisme patogen dan nonpatogen

Faktor Fisika - Suhu - Kepadatan

- Cahaya

Gambar 2. Interaksi ikan dengan faktor fisika, kimia, dan biologi (Wedemeyer 1996)

Faktor Fisika

Suhu perairan mempunyai kaitan yang cukup erat dengan besarnya intensitas cahaya yang masuk ke dalam suatu perairan. Besarnya intensitas cahaya akan menentukan derajat panas, yakni semakin banyak sinar matahari yang masuk maka semakin tinggi suhu air. Namun, semakin bertambahnya kedalaman air maka akan menurun suhu perairan. Suhu yang terdeteksi di permukaan air dipengaruhi oleh keadaan meteorologi, seperti curah hujan, penguapan, kelembaban udara, kecepatan angin, dan intensitas cahaya matahari (Nontji 1984

dalam Purnamawati 2009). Kedalaman perairan merupakan parameter penting untuk kelayakan luasan wadah usaha budi daya ikan. Hal ini juga terkait dengan kualitas air, seperti suhu, kecerahan, dan kecepatan arus.

Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang dapat menimbulkan stres pada ikan. Stres adalah ketidak mampuan suatu organisme mempertahankan kondisi homeostasis akibat terganggunya individu tersebut oleh adanya rang- sangan dari luar yang dinamai dengan stresor (Kubilay dan Ulukoy 2002). Suhu juga dapat mempengaruhi daya tahan berenang ikan dan denyut jantung ikan

Trachurus japonicus, yaitu 25.3 denyut per menit pada suhu 10°C, 38.9 pada suhu 15°C, dan 67.2 denyut per menit pada suhu 22°C. Denyut jantung juga meningkat dengan meningkatnya kecepatan renang ikan (Nofrizal et al. 2009).

Kepadatan atau padat tebar yang tinggi di suatu wadah pemeliharaan ikan dapat mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut, terjadinya akumulasi ammonia yang berasal dari sisa metabolisme, dan banyaknya feses yang menumpuk. Hal ini dapat menyebabkan menurunnya kualitas air, dan berdampak buruk pada ikan yang ditandai dengan tingginya kadar kortisol dan kadar glukosa pada ikan (Ortuno et al. 2002). Kepadatan adalah salah satu penyebab stres pada ikan tilapia dan terjadi peningkatan kadar glukosa setelah 2 jam pengurungan yang ditandai dengan terjadinya proses glikogenolisis.

Faktor Kimia

Ikan memerlukan energi untuk melakukan aktivitas, seperti berenang, pertumbuhan, dan reproduksi. Kebutuhan ikan akan oksigen bergantung pada laju metabolisme, dan pada dasarnya terkait dengan suhu air dan ukuran ikan. Ikan di air hangat lebih banyak membutuhkan oksigen dibandingkan ikan di air dingin. Konsumsi oksigen pada ikan kecil lebih banyak per unit bobot badan dibandingkan ikan besar (Wedemeyer 2001).

Proses pengambilan oksigen dan pelepasan karbon dioksida dinamakan respirasi. Masuknya oksigen melalui insang dengan cara memompakan air terus menerus, menyebabkan terjadinya pergerakan oksigen ke dalam pembuluh kapiler darah insang yang jumlahnya ribuan. Pergerakan ini terjadi karena adanya per- bedaan tekanan oksigen (PO2) di dalam insang lebih besar dari pada PO2 di

pembuluh darah kapiler, sehingga oksigen akan berdifusi ke pembuluh darah kapiler. Apabila oksigen telah berdifusi dalam darah maka akan berikatan dengan Fe++ yang terkandung dalam hemoglobin. Hemoglobin bertanggung jawab untuk mengatur PO2 di dalam jaringan. Tekanan oksigen di dalam kapiler jaringan tidak lebih dari 40 mmHg. Apabila PO2 lebih tinggi dari 40 mmHg, oksigen yang diperlukan oleh jaringan tidak dapat ke luar dari hemoglobin (Fujaya 2004). Pengikatan oksigen oleh hemoglobin di dalam darah, kemudian dibawa ke jaringan dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti suhu (Nielsen 1997).

Konsentrasi oksigen dalam air dipengaruhi oleh laju difusi dari udara, fotosintesis oleh tumbuhan air, dan respirasi organisme perairan. Jika fitoplankton di perairan melimpah, konsentrasi oksigen akan tinggi hingga sore hari. Konsentrasi oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis berlangsung pada siang hari dengan bantuan cahaya matahari. Pada malam hari, konsumsi oksigen meningkat, karena semua organisme hidup memanfaatkan oksigen untuk respirasi akibatnya pada pagi hari konsentrasi oksigen rendah (Tucker 1993). Kelarutan oksigen dalam air menurun dengan meningkatnya suhu dan salinitas. Ketersediaan oksigen di perairan sering menjadi faktor pengontrol dalam kehidupan ikan. Ikan yang mengalami kekurangan oksigen atau dalam kondisi hipoksia akan mengalami penurunan nafsu makan, energi yang dihasilkan sedikit sehingga pergerakan juga lambat (Randall et al. 2004).

Banyak permasalahan pada kegiatan budi daya intensif baik langsung maupun tidak langsung, pada perubahan patofisiologi darah dan sistem sirkulasinya. Sebagai contoh, insang yang terinfeksi parasit dapat berakibat terjadinya penyempitan kapiler dan kerusakan struktur anatomi lamella sekunder insang, akibatnya terjadi gangguan pernapasan. Apabila ikan dalam kondisi stres akibat penanganan, maka produksi epinefrin dapat meningkatkan sirkulasi darah ke insang sehingga terjadi peningkatan pengambilan oksigen dari air (Wedemeyer 1996).

Faktor Biologi

Interaksi antara ikan dan organisme lain di dalam lingkungan wadah pemeliharaan harus dapat dikendalikan, terutama terhadap agen yang dapat menimbulkan penyakit. Agen ini biasanya bisa berasal dari sumber air, atau dari

pakan alami, seperti cacing tubifex. Faktor lain yang juga dapat mengganggu kenyamanan ikan adalah pemangsa, seperti adanya burung pemakan ikan. Pemangsa ini dapat membantu penyebaran penyakit ke dalam perairan (Woo et al.

2002).

Kondisi lingkungan perairan yang subur karena terjadinya ledakan populasi alga (algae bloom), dapat berdampak buruk pada usaha budi daya. Pada umumnya algae bloom hanya melibatkan spesies tunggal dan sering dinamai berdasarkan warna koloni algae penyebabnya. Alga Microcystis (bluegreen algae) adalah alga air tawar yang dapat menimbulkan gangguan pada ikan dan hewan perairan, karena dapat menurunkan kadar oksigen di perairan dan toksin yang dihasilkan alga tersebut dapat mengganggu pernapasan (Irianto 2005). Respons Ikan terhadap Suhu

Respons stres pada ikan secara umum dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok, yaitu respons stres primer, sekunder, dan tersier (Iwama dan Nakanishi 1996). Respons stres primer ditandai dengan pelepasan hormon katekolamin dan kortisol ke dalam sirkulasi sehingga kadar kortisol di dalam plasma meningkat dan merupakan indikator utama stres. Hormon katekolamin berasal dari jaringan chromaffin, sedangkan kortisol berasal dari jaringan interrenal. Respons stres sekunder sering juga dikatakan sebagai efek metabolik yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa plasma. Respons stres tersier adalah apabila ikan tidak mampu untuk melakukan aklimasi atau beradaptasi terhadap stressor, maka ikan akan mengalami gangguan pertumbuhan dan reproduksi. Mekanisme peningkatan kadar kortisol diilustrasikan pada Gambar 3 dan kadar glukosa plasma Gambar 4.

STRESOR HIPOTHALAMUS HIPOFISIS ACTH Jaringan cromaffin Jaringan interrenal Kortek adrenal Medula adrenal Kortikostreoid

Kortisol Plasma Katekolamin Adrenalin dan Noradrenalin Glukoneogenesis Glikogenolisis

Glukosa Plasma Keterangan: ACTH = Adrenocorticosteroid

CRF= Corticotrophin releasing factor

Gambar 4. Mekanisme peningkatan kadar glukosa plasma (Isnaeni 2006: Purbayanto et al. 2010)

Kadar kortisol yang tinggi dapat mempengaruhi respons imun, yang di- tandai dengan menurunnya aktivitas fagositik leukosit, meningkatnya pelepasan neutrofil dari sumsum tulang, namun efektivitasnya menurun (Berne dan Levy 1988). Selanjutnya juga dikatakan bahwa kortisol menghambat produksi inter- leukin-1 oleh makrofag dan interleukin-2 oleh sel T helper. Mekanisme kortisol menghambat produksi interleukin disajikan pada Gambar 5.

Ikan yang mengalami stres berkepanjangan dapat berisiko tinggi untuk terinfeksi bakteri dan parasit (Costas et al. 2008). Jorgensen dan Buchmann (2007) menjelaskan bahwa meningkatnya kadar kortisol dapat menyebabkan ikan dalam kondisi kronis atau akut selama diinfeksi dengan Ichthyophthirius- multifiliis. Stres menyebabkan terjadinya hiperglisemia, kondisi ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam mempertahankan homeostasis.

Gambar 5. Mekanisme kortisol menghambat pembentukan antibodi (Berne dan Levy 1988)

Keberhasilan transfer glukosa ke dalam sel sangat ditentukan oleh kinerja insulin. Apabila kinerja insulin meningkat, maka masuknya glukosa ke dalam sel akan lebih efektif sehingga glukosa segera tersedia sebagai sumber energi. Naiknya transfer glukosa ke dalam sel yang disebabkan oleh peran kromium mengakibatkan turunnya glukosa dalam darah dengan cepat (Hastuti 2004). Hal ini dijelaskan karena kortisol dapat menyebabkan terjadinya immunosupresif. Pelepasan kortikosteroid dan katekolamin, memicu terjadinya peningkatan glukosa plasma dan gangguan osmotik (Mazeaud et al. 1977 dalam Shrimton et al. 2001).

Suhu air dikenal sebagai suatu regulator penting dari respons kekebalan ikan. Suhu lingkungan yang rendah dapat meningkatkan penekanan respons imun baik pertahanan nonspesifik maupun spesifik (Koeypudsa dan Jongjareanjai 2010). Selanjutnya Bozorgnia et al. (2011) juga melaporkan bahwa suhu berpengaruh signifikan pada proses fisiologis ikan, seperti respons imun, pertumbuhan dan metabolisme. Suhu normal untuk ikan beradaptasi di daerah tropis berkisar antara 22-35⁰C (Howerton 2001). Suhu optimum untuk

pertumbuhan berkisar antara 25-31⁰C (Popma dan Masser 1999 dalam Atli dan Canli 2008).

Suhu dapat mempengaruhi aktivitas Na+K+-ATPase dan morfologi insang ikan air tawar maupun air laut. Pola perubahannya, pada ikan air tawar lebih konsisten apabila dibandingkan dengan ikan air laut (Evans dan Claiborne 2006). Na+K+-ATPase berperan penting pada saat adaptasi terhadap perubahan faktor suhu dan salinitas (Inman dan Lockwood 1977 dalam Atli dan Canli 2008).

Sistem Kekebalan pada Ikan

Ikan termasuk hewan vertebrata yang sistem pertahanannya mirip dengan hewan mamalia dan burung. Sistem pertahanannya dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu sistem pertahanan bawaan dari lahir (innate) dan sistem pertahanan yang didapatkan (adaptive). Perlindungan didasarkan atas kekebalan bawaan

(innate immunity) secara umum tidak bergantung pada struktur organisme yang menyerang. Namun, komponennya bereaksi cepat dan relatif tidak bergantung pada suhu. Ikan memiliki kemampuan respons imun nonspesifik dan spesifik (humoral) yang diperantarai sel (cell-mediated immune response) (Woo 2006).

Sistem Kekebalan Nonspesifik

Sistem kekebalan nonspesifik adalah jika inang memberikan respons yang sama terhadap berbagai jenis antigen, baik antigen berkontak untuk pertama kali dengan inang maupun yang sudah berulang, tanpa menimbulkan respons memori pada tubuh inang. Jika suatu individu terpapar oleh bahan asing maka yang pertama kali akan merespons adalah sistem pertahanan bawaan atau nonspesifik. Kulit dan mukus, merupakan sistem pertahanan fisik pertama (kekebalan non- spesifik) pada ikan yang dapat mencegah masuknya mikroorganisme patogen (Stoskopf 1993). Keuntungan lainnya dari kulit adalah dapat mempertahankan osmolaritas terhadap lingkungan perairan (Ellis 1988). Selanjutnya dilaporkan mukus atau lendir yang terdapat pada permukaan tubuh ikan, juga berfungsi untuk menghambat kolonisasi mikroorganisme pada integumen.

Mukus pada kulit dihasilkan oleh sel-sel goblet, yang berfungsi untuk mencegah menempelnya bakteri, fungi, parasit, dan virus. Mukus mengandung lisosim, komplemen, dan immunoglobulin (Ig), kesemua ini tergolong ke dalam

sistem kekebalan nonspesifik. Baru-baru ini ditemukan antibodi yang dihasilkan sebagai akibat infeksi parasit dan bakteri di lendir dan antibodi yang dihasilkan bukan berasal dari serum, tetapi dihasilkan oleh limfosit yang terdapat pada kulit. Molekul humoral pada mukus ikan ini termasuk lektin (kharbohidrat), transferin, dan merupakan komponen dari sistem komplemen. Sel-sel nonspesifik dari sistem imun ikan termasuk monosit atau makrofag jaringan, granulosit (heterofil), dan sitotoksit (Craig et et al. 2005). Selanjutnya, Douglas et al. (2001) melaporkan bahwa mukus yang terdapat di kulit dan usus juga mengandung bahan antimikrob, yaitu berupa peptida, seperti pleurosidin. Bahan ini diekpresikan pada hari pertama hingga hari ketiga setelah menetas, dan diduga memegang peranan penting dalam kehidupan ikan sebelum berkembangnya sistem kekebalan. Lisozim mempunyai aktivitas antibakteri (khususnya pada Gram positif) yang menyebabkan lisis dan dapat juga berperan sebagai opsonin (Ellis 1988). Lisozim juga dilaporkan dapat meningkatkan fagositosis (Engstad et al. 1992). Mekanisme sistem kekebalan ini tidak menunjukkan spesifisitas terhadap bahan asing dan mampu melindungi tubuh terhadap berbagai jenis patogen.

Ikan yang dipelihara pada suhu 20οC mempunyai aktivitas dan produksi komplemen yang meningkat bila dibandingkan dengan yang dipelihara pada suhu 5 dan 10οC. Namun, peningkatan aktivitas komplemen ini apakah akibat peningkatan produksi protein komplemen atau perubahan fungsi protein komplemen pada ikan yang dipelihara pada suhu tinggi belum diketahui (Nikoskelainen et al. 2004). Selanjutnya dilaporkan juga bahwa terjadi penurunan aktivitas hemolitik dari serum ikan channel catfish pada musim semi dan musim dingin. Demikian juga dengan kemampuan opsonisasi plasma ikan menurun pada pemeliharaan di suhu rendah. Efisiensi opsonisasi plasma ikan rainbow trout lebih efisien pada kisaran suhu 10–15οC, dengan rasio OZ (Opsonisasi Zymozan) dan NOZ (Non Opso-nisasi Zymozan) tidak lebih dari 1.0 (Nikoskelainen et al. 2004).

Sistem Kekebalan Spesifik (humoral)

Kekebalan spesifik atau humoral erat kaitannya dengan pembentukan antibodi. Perkembangan respons ikan terhadap kekebalan nonspesifik, spesifik, dan memori kekebalan sepesifik diilustrasikan pada Gambar 6. Apabila agen infeksius melakukan penetrasi ke ikan, maka mekanisme kekebalan nonspesifik

akan terstimulasi dan menghambat serangan agen infeksi. Jika sistem kekebalan nonspesifik ini dapat bekerja dengan baik, maka penyakit tidak akan berkembang. Sebaliknya, apabila sistem ini tidak bisa melawan antigen yang masuk maka penyakit akan berkembang. Untuk mengatasi hal ini maka mekanisme pertahanan spesifik akan berperan dalam proses penyembuhan dan memblok perkembangan infeksi. Selanjutnya, apabila terinfeksi kembali, maka sistem kekebalan memori spesifik akan langsung merespons sehingga ikan terlindungi dari penyakit.

Gambar 6. Perlindungan nonspesifik dan spesifik dari serangan agen infeksius (www. dsm.com/en_VS/downloads/dnp/51644_vitaminC.pdf).

Mekanisme pertahanan spesifik dalam pembentukan antibodi adalah dimulai dari adanya antigen yang masuk kemudian ditelan oleh makrofag, selanjutnya makrofag akan mengaktivasi sel limfosit B untuk melakukan pro- liferasi. Makrofag diaktivasi juga untuk menghasilkan interleukin-1 yang kemudian akan mengaktifkan sel limfosit T untuk kembali memproduksi interleukin-2, yang mendukung terjadinya proliferasi sel-sel limfoblas dan men- stimulasi sel limfosit B untuk menghasilkan immunoglobulin. Ikan hanya mensintesis satu jenis immunoglobulin, yaitu immunoglobulin M (IgM) Stoskopf 1993. IgM lebih efisien dari pada IgG dalam aktivasi komplemen, opsonisasi netralisasi dari virus, dan aglutinasi (Tizar 1987). Mekanisme pembentukan antibodi mulai dari hadirnya antigen hingga terbentuknya antibodi diilustrasikan pada Gambar 7 dan 8.

Gambar 7. Proses pembentukan antibodi

(www. dsm.com/en_VS/downloads/dnp/51644_vitaminC.pdf)

Gambar 8. Interaksi antara makrofag, antigen, dan limfosit pada ikan (Stoskofp 1993)

Hematologi

Hematologi adalah ilmu yang mempelajari tentang darah serta jaringan yang membentuknya. Darah merupakan bagian yang terpenting dalam sistem transportasi di dalam tubuh. Jumlah darah di dalam tubuh, berkisar antara 6-8% dari bobot badan (Robert 1978). Fungsi darah dalam sirkulasi adalah sebagai media pembawa bahan nutrisi dari saluran pencernaan ke jaringan, dan sisa metabolisme dari sel ke organ eksresi, sebagai regulasi suhu tubuh, dan lain-lain. Secara rinci fungsi darah adalah; 1) membawa zat makanan yang telah disiapkan

Lymphocyte proliferation

Macrophage Antigen

oleh saluran pencernaan menuju ke seluruh jaringan tubuh, 2) membawa oksigen ke jaringan, 3) membawa karbon dioksida dari jaringan, 4) membawa produk buangan dari berbagai jaringan untuk diekresikan, 5) membawa hormon dari kelenjar endokrin ke organ lain, 6) berperan penting dalam pengendalian suhu tubuh, 7) berperan dalam mempertahankan keseimbangan air, 8) berperan dalam sistem buffer untuk membantu mempertahankan pH, 9) penggumpalan atau pembekuan darah sehingga dapat mencegah terjadinya kehilangan darah yang berlebihan pada saat luka, dan 10) mengandung berbagai faktor penting untuk mempertahankan tubuh dari serangan penyakit (Anderson dan Swicki 1995; Iwama dan Nakanishi 1996).

Darah ikan terdiri atas sel darah merah (eritrosit) dan sel darah putih (leukosit). Eritrosit merupakan bagian utama dari sel darah, warna merah disebabkan oleh adanya hemoglobin. Hemoglobin merupakan zat warna (pigmen) darah yang berupa ikatan kompleks protein terkonjugasi, yang dibentuk oleh pigmen dan protein sederhana. Protein ini adalah suatu histon yang disebut globin. Warna merah dari hemoglobin disebabkan oleh heme, yaitu suatu ikatan metalik mengandung sebuah atom besi (Fe) (Swenson 1984 dalam Hidayaturrahmah 2011).

Produksi hemoglobin dipengaruhi oleh kadar Fe di dalam tubuh karena besi merupakan komponen terpenting dalam pembentukan molekul heme. Jika tidak terdapat transferin dalam jumlah yang cukup akan menyebabkan kegagalan dalam pengangkutan zat besi menuju eritroblast. Hal ini dapat menimbulkan kondisi anemia hipokromik yang berat, yaitu terjadinya penurunan jumlah eritrosit yang mengandung lebih sedikit hemoglobin (Guyton dan Hall 1997).

Nilai hematokrit adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan persentase (berdasarkan volume) dari darah yang terdiri atas sel-sel darah merah. Nilai hematokrit dapat digunakan sebagai perkiraan jumlah eritrosit di dalam tubuh secara cepat. Jika nilai hematokrit dalam darah rendah maka dapat diartikan bahwa jumlah sel darah merah di dalam tubuh lebih sedikit dibandingkan dengan kondisi normal (Foster et al. 2006).

Leukosit merupakan salah satu sel darah yang mempunyai peran sangat penting dalam sistem kekebalan ikan. Leukosit sangat berbeda dari eritrosit karena

memiliki kemampuan bergerak bebas dan mampu keluar dari pembuluh darah menuju jaringan dalam melakukan fungsinya. Jumlah leukosit jauh di bawah eritrosit dan bervariasi bergantung pada jenis hewannya. Jumlah leukosit yang menyimpang dari keadaan normal mempunyai arti klinik penting dalam mengevaluasi gangguan kesehatan. Jumlah leukosit akan meningkat secara pesat dalam waktu singkat apabila terjadi suatu penyakit infeksi ( Iwama dan Nakanishi 1996). Sel leukosit, terdiri atas limfosit, monosit, neutrofil, dan trombosit dengan fungsi yang berbeda-beda.

Morfologi dan Siklus Hidup Ichthyophthirius multifiliis

Ichthyophthirius multifiliis (ich) adalah parasit golongan protozoa yang biasa menyerang ikan air tawar pada usaha budi daya intensif. Patogenitas ich dapat menyebabkan mortalitas hingga 100%. Parasit ini bersifat obligat dan hidup atau tinggal di bawah epitelium kulit, insang, dan sirip, serta memakan jaringan inangnya (Lobo-da-Cunha dan Azevedo 1990). Ichthyophthirius- multifiliis bentuknya bundar, seluruh permukaan tubuh ditutupi oleh silia yang berguna untuk bergerak dan melakukan penetrasi ke lapisan epidermis ikan. Ich memiliki sejumlah vakuola, mikro dan makro nukleus. Makro nukleus bentuknya seperti tapal kuda yang merupakan ciri khas dari I. multifiliis. Stadia trophozoid dari I. multifiliis berukuran 0.5-1cm, sedangkan theront berukuran 25-70x15- 22μm (Lom dan Dykova 1992).

Ich stadia dewasa dinamakan trophozoid dan akan lepas dari tubuh ikan, dinamakan trophont. Trophont akan mensekresikan gelatin dan membentuk kista. Trophont tersebut akan bergerak secara perlahan dan mulai melakukan pembelahan sel secara binary fision. Trophont akan menghasilkan theront yang jumlahnya berkisar antara 250-2.000 sel (Lom dan Dykova 1992). Kemampuan trophont menghasilkan theron sangat bergantung pada ukuran trophozoid dan lamanya berada di tubuh ikan (Ewing dan Kocan 1986). Siklus hidup ich terdiri atas tiga fase, yaitu fase hidup bebas (theront), fase bersifat parasit (trophozoid), dan fase reproduksi (trophont) (Lobo-da-Cunha dan Azevedo1994). Theront yang dihasilkan akan langsung bergerak aktif mencari inang (host), apabila tidak menemukan inang dalam waktu maksimal 94 jam theront akan mati. Siklus hidup ich langsung dan tidak membutuhkan inang perantara (Ewing dan Kocan 1992).

Faktor lingkungan, seperti suhu, sangat berpengaruh pada siklus hidup ich. Pada suhu 10oC siklus hidup lebih kurang 20 hari, pada suhu 13-15⁰C menjadi 12 hari, pada suhu 18–20οC turun menjadi 7 hari, dan pada suhu 22–24οC adalah 3–6 hari. Faktor lain yang berpengaruh adalah pH, dan kandungan oksigen. pH di bawah 5 atau di atas 10, dan konsentrasi oksigen 0.2 mgL-1 akan menyebabkan kematian ich pada semua stadia (Lom dan Dykova 1992). Siklus hidup ich diliustrasikan pada Gambar 9.

Gambar 9. Siklus hidup Ichthyophthirius multifiliis Noga (2000) Keterangan : a. Trophozoid, b. Trophont, c. Theront Suhu yang optimum bagi ich (stadia theront) untuk melakukan invasi ke ikan adalah pada suhu 24–26οC, sedangkan pada suhu 29οC I. multifiliis tidak mampu menginfeksi ikan. Hal ini terbukti dari ikan yang terinfeksi ich ditularkan ke ikan sehat yang dipelihara pada suhu 29οC tidak terjadi infeksi, sebaliknya ikan yang sebagai sumber infeksi ini jadi sembuh (Syawal et al. 2001).

Penyebaran penyakit ini dipicu oleh adanya peningkatan aktivitas budi daya dan perdagangan ikan hias. Patogenitasnya meningkat apabila ikan dalam kondisi stres akibat tingginya populasi ikan dalam wadah pemeliharaan, kualitas air yang buruk, dan mutu pakan yang rendah (Paperna 1996 dalam Woo et al.

Dokumen terkait