• Tidak ada hasil yang ditemukan

Puyuh

Puyuh merupakan jenis unggas tidak dapat terbang, berukuran tubuh kecil dan kakinya relatif pendek. Puyuh (Coturnix coturnix japonica) merupakan salah satu unggas yang tinggi tingkat produksinya (Nugroho dan Mayun, 1986). Berdasarkan data Direktorat Jenderal Peternakan (2012) populasi puyuh di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 7.055.538 ekor. Puyuh jantan dan betina memiliki perbedaan yang khas yang terdapat pada warna, bulu, suara dan bobot badan. Puyuh jantan berwarna cokelat gelap sedangkan puyuh betina berwarna cokelat terang. Bulu dada puyuh jantan berwarna kuning, sedangkan puyuh betina berwarna cokelat dan terdapat bercak hitam. Puyuh jantan memiliki suara lebih keras daripada puyuh betina dan bobot burung puyuh betina lebih berat daripada burung puyuh jantan (Nugroho dan Mayun, 1986). Puyuh betina dewasa biasanya memiliki bobot antara 110-160 gram dan puyuh jantan dewasa berbobot antara 100-140 gram (Dedy, 2011).

Menurut SNI (2006), persyaratan mutu untuk pakan puyuh fase produksi yaitu kandungan energi metabolis minimal 2700 kkal/kg, protein kasar min 17%, lemak kasar maksimal 7%, serat kasar maksimal 7%, kalsium 2,50%-3,50%, fosfor total 0,60%-1,00%, dan fosfor tersedia minimal 0,40%. Leeson dan Summers(2005) mengemukakan bahwa puyuh pada fase produksi membutuhkan kandungan energi metabolis sebesar 2950 kkal/kg, protein kasar 18%, kalsium 3,1%, fosfor 0,45%, metionin 0,52%, dan lisin 0,85%. Kebutuhan jumlah pakan untuk puyuh, seperti halnya ternak-ternak lainnya, biasanya sekitar 10% dari berat hidupnya. Puyuh tipe petelur mempunyai kemampuan produksi yang tinggi dengan ukuran telurnya kecil- kecil. Produktivitas puyuh relatif tinggi. Saat berumur 35 sampai 42 hari puyuh sudah mulai bertelur. Burung puyuh memiliki sifat mudah tercekam tetapi diimbangi dengan telur dan daging yang cukup banyak (Rasyaf, 1991).

Telur Puyuh

Telur puyuh berukuran kecil seperti buah kelengkeng, putih keruh berbintik- bintik (Rasyaf, 1991). Nilai gizi telur puyuh tidak kalah dengan telur ayam ras yang mengandung 12,8% protein dan 11,5% lemak (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 1989). Di dalam telur juga mengandung berbagai macam vitamin

seperti vitamin A, D, E, K dan mengandung sejumlah mineral yang cukup tinggi (Haryoto, 1996). Perbandingan komposisi kimia telur puyuh dengan telur ayam dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan Komposisi Kimia Telur Puyuh dengan Telur Ayam per 100 gram Telur (as fed)

Telur Puyuh Telur ayam

Kuning Telur Putih Telur Sebutir Telur Kuning Telur Putih Telur Sebutir Telur Air (%) 48,97 87,36 74,25 49,18 88,20 73,98 Protein (%) 15,70 11,19 13,17 16,21 10,09 12,65 Lemak (%) 32,61 - 11,04 32,92 0,03 11,32 Karbohidrat (%) 0,83 0,79 1,02 0,80 0,80 0,92 Total abu (%) 1,25 0,65 1,11 1,39 0,67 0,93 Sumber: Shanaway (1994)

Puyuh berumur 41 hari sudah mulai bertelur dan mampu menghasilkan telur seberat 10 gram (hampir 7% berat badannya). Telur puyuh mempunyai berat 7% - 8% dari berat induk, yaitu berkisar antar 7-11 gram per butir (Anggorodi, 1995). Dilihat dari kandungan nilai gizinya, telur puyuh mengandung 13,6% protein dan 8,2% lemak (Nugroho dan Mayun, 1986). Setelah masa produksi telur terlewati, daging puyuh masih bisa dikonsumsi sebagai santapan yang lezat.

Bobot Telur

Bobot telur puyuh tidak hanya dipengaruhi oleh kuantitas ransum yang dikonsumsi akan tetapi kualitas ransum berperan penting, khususnya kandungan proteinnya (Mozin, 2006). Kekurangan protein akan mengakibatkan menurunnya besar telur dan jumlah albumen telur (Amrullah, 2003). Menurut Widjastuti dan Kartasudjana (2006), pada saat telur tidak dibentuk pada hari-hari tertentu, terjadi akumulasi protein sehingga ketersediaan protein untuk membentuk satu butir telur pada hari berikutnya menjadi lebih banyak yang pada gilirannya telur yang dihasilkan menjadi lebih besar. Ukuran bobot telur puyuh seperlima dari bobot telur

ayam, mulai dari 7 sampai 15 gram. Puyuh Jepang (Coturnix coturnix japonica) memiliki bobot telur rata-rata 10 gram per butir (Shanaway, 1994).

Struktur Telur

Telur tersusun dari kuning telur (yolk), putih telur (albumen), kerabang tipis (shell gland), kerabang telur (shell), dan beberapa bagian lain yang cukup kompleks. Struktur telur secara lengkap disajikan pada Gambar 2.

Gambar 1. Struktur Telur (USDA, 2000)

Struktur telur puyuh secara umum tidak berbeda dengan struktur telur ayam yang terdiri tiga komponen pokok, yaitu putih telur (58%), kuning telur (31%), dan kerabang telur (11%) (Ensminger dan Nesheim, 1992). Menurut Song et al. (2000), burung puyuh memiliki berat telur 9,41-11,27 gram dengan persentase bagian kuning telur 29,42% - 33,38%, putih telur 58,88% - 63,52%, dan kerabang 6,61%-7,99%. Mozin (2006) mengemukakan bahwa telur puyuh mempunyai nilai cerna 100%, bagian yolk mengandung protein yang lebih tinggi dibandingkan albumen serta semua lemak terdapat pada bagian yolk.

Kuning Telur

Kuning telur dibungkus oleh membran vitelin dan kaya akan lemak, terutama lipovitelin sebagai bahan penyusun trigliserida, fosfitin, dan fosfolipid. Disamping itu, kuning telur juga mengandung mineral (terutama P, Fe, Cu), vitamin, dan pigmen

xantofil (15 µg/g yolk) (Yuwanta, 2004). Kuning telur adalah bagian terdalam dari telur yang terdiri dari membran vitelin, saluran latebra, lapisan kuning telur gelap, dan lapisan kuning telur terang. Estrogen berfungsi dalam pembentukan yolk

(Mulyantini, 2010). Kuning telur merupakan bagian yang paling penting pada isi telur (Mozin, 2006). Telur yang segar, kuning telurnya terletak ditengah-tengah dan bentuknya bulat. Antara kuning dan putih telur terdapat lapisan tipis yang elastis disebut membran vitelin dan terdapat chalaza yang befungsi menahan posisi kuning telur (Haryono, 2000).

Putih Telur

Putih telur merupakan sumber protein utama dalam telur yang terdiri atas ovalbumin (merupakan protein utama), globulin, lisosom, ovomusin, avidin, flavoprotein, dan ovomukoid. Semua protein telur berbentuk glikoprotein kecuali avidin dan lisosom. Hazim et al. (2011) mengukur rataan persentase putih telur puyuh sebesar 53,10%. Menurut Stadelman dan Cotterill (1995), putih telur merupakan bagian yang terbesar (lebih kurang 60%) dari telur utuh.

Kerabang Telur

Kerabang telur terdiri atas bahan kering 98,4% dan air 1,6%. Bahan kering terdiri atas protein 3,3% dan mineral 95,1%. Mineral yang paling banyak terdapat pada kerabang telur adalah CaCO3 (98,43%); MgCO3 (0,84%) dan Ca3(PO2)2(0,75%)

(Yuwanta, 2004). Telur puyuh memiliki berbagai pola warna kulit, mulai dari coklat tua ke biru menjadi putih, dengan spesifikasi hitam atau biru.Warna kerabang telur berasal dari pigmen ooporphyirin dan biliverdin yang disekresi oleh bagian oviduk sekitar tiga setengah jam (Shanaway, 1994). Stadelman dan Cotterill (1995) mengemukakan bahwa kerabang telur unggas terdiri atas beberapa lapisan yang meliputi kutikula, lapisan bunga karang, lapisan mamilaris, dan membran telur. Hazim et al. (2011) mengukur rataan persentase kerabang telur puyuh sebesar 12,3% dengan kandungan kalsium sebesar 2,3%.

Produksi Puyuh

Menurut Listyowati dan Roospitasari (2004), produksi telur puyuh dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan seperti ransum, kandang, temperatur lingkungan, penyakit, dan stres. Selama kebutuhan hidup pokoknya terpenuhi,

kelebihan unsur nutrisi yang dimakan akan diarahkan untuk bertelur. Selama lingkungan mendukung maka produksi telur yang sesuai dengan genetisnya akan terpenuhi (Rasyaf, 1993).

Kualitas Telur

Suprapti (2002) mengemukakan bahwa kualitas telur ditentukan oleh beberapa hal, antara lain faktor keturunan, kualitas makanan, sistem pemeliharaan, iklim, dan umur telur. Perbandingan kualitas telur puyuh dengan telur ayam ras dapat dilihat pada Tabel 2. Karakteristik telur puyuh disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 2. Perbandingan Kualitas Segar Telur Puyuh dengan Telur Ayam Ras

Parameter mutu Telur puyuh Telur ayam ras

Indeks telur 0,79 0,74

Bobot telur (g/butir) 11,237 65,823

Diameter kantung udara (mm) 11,904 12,670

Haugh unit 84,12 83,59

Sumber: Syamsir et. al. (1994)

Tabel 3. Karakteristik Telur Puyuh

Peubah Rata-Rata Bobot Telur (g) 11,28± 0,06 Putih Telur (%) 59,83±0,14 Kuning Telur (%) 32,71±0,12 Kerabang (%) 7,47±0,04 Indeks Telur 0,75±0,22 Tebal Kerabang (mm) 0,231±0,001 Haugh Unit 85,73±0,15

Sumber: Kul dan Seker (2004)

Dalam suhu ruang, telur akan mengalami kerusakan setelah disimpan lebih dari dua minggu. Telur segar yang baik memiliki tanda-tanda bentuk kulitnya bagus,

warnanya bersih, rongga udara dalam telur kecil, tidak terdapat bercak atau noda, dan posisi telur di tengah (Haryoto, 1996). Konsumen selalu mencari telur segar, dengan berat standar, kualitas kerabang baik, warna kuning telur menarik (kuning) dan putih telur relatif kental (Yuwanta, 2010).

Indeks Telur

Indeks telur merupakan perbandingan antara ukuran lebar dengan panjang telur. Menurut Sumarni dan Djuarnani (1995), telur yang baik berbentuk oval dan idealnya mempunyai indeks telur antara 0,72-0,76. Telur yang lonjong memiliki indeks telur kurang dari 0,72 dan telur yang bulat memiliki nilai indeks telur lebih dari 0,76. Indeks telur yang baik mempunyai perbandingan lebar dan panjang 3 : 4 (Sujionohadi dan Setiawan, 2007). Telur yang normal memiliki bentuk oval dengan salah satu ujung lebih besar daripada yang lain, dan meruncing ke arah ujung yang lebih kecil. Ujung telur biasanya disebut ujung tumpul dan ujung runcing (USDA, 2000). Variasi indeks telur diakibatkan dari perputaran telur di dalam alat reproduksi karena ritme dari tekanan saluran reproduksi atau ditentukan oleh diameter lumen saluran reproduksi (Yuwanta, 2010).

Tebal Kerabang

Kualitas telur dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu kualitas luar berupa kulit cangkang dan isi telur. Pada kondisi baru, kualitas telur bagian luar tidak banyak mempengaruhi kualitas bagian dalam. Kualitas kulit telur yang rendah sangat mempengaruhi keawetan telur (Haryoto,1996). Kerabang yang tipis dipengaruhi beberapa faktor, yaitu umur atau tipe puyuh, zat-zat makanan, peristiwa faal dari organ tubuh, stres dan komponen lapisan kulit telur (Haryono, 2000).

Skor Warna Kuning Telur

Telur yang segar memiliki warna yolk dari kuning sampai jingga. Makanan yang dikonsumsi berpengaruh langsung terhadap warna kuning telur (mengandung pigmen kuning) (Haryono, 2000). Senyawa organik pemberi warna pada kuning telur (pigmen karotenoid) terdiri dari atom-atom dan ikatan-ikatan yang kaya elektron. Atom dan elektron tersebut bisa berinteraksi dan dipengaruhi oleh ion Na+ dan ion Cl-, sehingga interaksi tersebut dapat menyebabkan perubahan intensitas penyebab warna kuning telur. Pigmen pemberi warna kuning telur yang ada dalam ransum

secara fisiologi akan diserap oleh organ pencernaan usus halus dan diedarkan ke organ target yang membutuhkan (Sahara, 2011).

Beberapa bahan pakan yang mengandung pigmen pemberi warna pada kuning telur diantaranya jagung kuning, CGM (Corn Gluten Meal), alfafa, Fucus serratus, dan Tagetes erecta (Shanaway, 1994). Menurut Sahara (2011), adanya pigmen karotenoid yang dikandung dalam bahan pakan akan meningkatkan warna kuning telur. Pigmen karotenoid akan merefleksikan warna kuning hingga merah. Haugh Unit

Menurut Haryono (2000), haugh unit ditentukan berdasarkan keadaan putih telur, yaitu merupakan korelasi antara bobot telur (gram) dengan tinggi putih telur (mm). Stadelman dan Cotterill (1995) menyatakan bahwa semakin tinggi albumen, maka tinggi pula nilai HU dan semakin bagus kualitas telur. Ovomucin sangat berperan dalam pengikatan air untuk membentuk struktur gel albumen, jika jala-jala ovomucin banyak dan kuat maka albumen akan semakin kental yang berarti viskositas albumennya tinggi yang diperlihatkan pada indikator HU (Roesdiyanto, 2002).

Limbah Udang

Limbah udang merupakan limbah dari industri pengolahan udang beku yang mempunyai potensi dan nilai gizi relatif tinggi. Limbah udang terdiri dari campuran kepala, kulit, dan ekor serta udang yang rusak atau udang afkir (Mirzah, 2000). Kandungan zat makanan limbah udang adalah protein 42%-45%, serat kasar 14%- 19% (kandungan khitin 12,24%), lemak 4%-6%, kalsium 7%-9%, dan fosfor 1%-2% (Mirzah, 2000). Limbah udang dibuat dari kepala udang termasuk kulitnya dengan kandungan proteinnya agak tinggi (33,21%) dan energi metabolisnya juga tinggi yaitu 2900 kkal/kg (Yaman, 2010). Pada limbah udang terdapat pigmen astaxanthin

yang merupakan suatu pigmen warna yang mampu menampilkan warna merah (Sahara, 2011).

Dalam penggunaannya sebagai makanan ternak, limbah udang memiliki faktor pembatas yaitu senyawa khitin. Khitin dalam kepala udang tidak dapat dicerna sehingga tidak mempunyai nilai kalori (Rismana, 2003) dan berdampak mengurangi pertambahan bobot badan. Khitin yang dapat mencapai 17,6% dapat menurunkan

kecernaan protein pakan (Yulianingsih dan Teken, 2008). Pada jumlah tertentu, khitin memiliki kemampuan dalam mengikat lemak tubuh dan memiliki kemampuan dalam menurunkan kandungan kolesterol low density lipoprotein (LDL) sekaligus dapat meningkatkan komposisi kolesterol high density lipoprotein (HDL) (Rismana, 2003). Kepala udang dapat dijadikan tepung bahan pakan ternak. Keuntungan dari tepung kepala udang adalah produk limbah perikanan yang memiliki ketersediaan yang cukup berkesinambungan, harganya cukup stabil dan kandungan nutrisinya mampu bersaing dengan bahan pakan konvensional (Wanasuria, 1990). Berdasarkan penelitian Syukron (2006) taraf terbaik pemberian kepala udang dalam ransum ayam broiler adalah sebanyak 6%.

Daun Katuk

Katuk adalah perdu menahun yang sering dijumpai di Asia Tenggara (Williams et al., 1993). Sayuran ini dikonsumsi secara luas di Indonesia, khususnya di Kalimantan, dan seluruh wilayah India. Semak tahunan ini memiliki adaptasi tropika dan subtropika serta produktif sepanjang tahun, walaupun tanaman cenderung agak dorman pada cuaca dingin. Tanaman menunjukkan pertumbuhan prolifik batang panjang dan tegak, yang sering kali melengkung. Akibatnya tanaman biasanya dipangkas dan ditanam sebagai tanaman pagar. Pemangkasan merangsang pertumbuhan tajuk lateral. Kualitas yang dapat dimakan meningkat ketika ditanam ternaungi sebagian (Rubatzky et al., 1999).

Ciri-ciri penting (khas) untuk mengenal Sauropus androgynus L. Merr. ialah daun tunggal seperti daun majemuk, bunga uniseksual trimeros (tanpa tajuk bunga atau petal) dan kristal kalsium oksalat (roset), stomata anisositik. Bagian yang dapat digunakan sebagai obat yaitu daun dan akar. Daun digunakan sebagai obat demam dan pelancar air susu ibu (ASI) karena mengandung beberapa senyawa seskuiterna (Rukmana dan Harahap, 2011), sedangkan akar digunakan sebagai obat luar (lepra) dan demam. Daun katuk dapat dibuat berbagai produk yang potensial seperti; tablet air susu ibu (ASI), pewarna makanan dan pakan ternak (Yuliani, 2001). Menurut Subekti et al. (2008), daun katuk memiliki kadar protein 22,14% dan serat kasar 5,95% (berdasarkan Dry Matter).

Menurut penelitian Mawaddah (2011), pemberian 10% tepung daun katuk dalam ransum puyuh menghasilkan kualitas daging dan telur yang lebih baik

dibandingkan dengan produk puyuh yang diberi perlakuan ekstrak tepung daun katuk pada level yang sama. Hulshoff et al. (1997) melaporkan bahwa di antara sayuran dan buah-buahan yang diteliti di Indonesia, daun katuk mengandung karoten tertinggi. Menurut Rukmana dan Harahap (2011), daun katuk kaya akan vitamin A. Katuk mengandung beberapa senyawa kimia, antara lain protein, lemak, vitamin, mineral, saponin, alkaloid papaverin, tannin, dan flavonoid yang berkhasiat sebagai obat.

Enzim Bromelin

Enzim bromelin merupakan enzim proteolitik seperti halnya renin (renet), papain dan fisin yang mempunyai sifat menghidrolisis protein. Enzim bromelin dari bonggol nenas merupakan salah satu alternatif dalam rangka pemanfaatan limbah nenas sehingga dapat memberikan nilai tambah bagi buah nenas di samping mengurangi masalah pencemaran limbah terhadap lingkungan (Sebayang, 2006). Enzim bromelin dari hati nanas cukup tinggi yaitu 0,06%. Enzim bromelin mempunyai pH optimal 6-7,5 dan suasana yang terlalu basa dapat menurunkan aktivitas enzim (Suhermiyati dan Setyawati, 2008). Menurut Kapes (2005), dosis terbaik enzim bromelin untuk suplemen manusia adalah 250 sampai 750 mg per hari.

Enzim bromelin mampu menghidrolisis ikatan peptida pada protein atau polipeptida menjadi molekul yang lebih kecil yaitu asam amino. Bromelin ini berbentuk serbuk amori dengan warna putih bening sampai kekuning-kuningan, berbau khas, larut sebagian dalam aseton, eter, dan CHCL3, stabil pada pH: 3,0 -

5,5. Suhu optimum enzim bromelin adalah 50-80 °C. Enzim ini terdapat pada tangkai, kulit, daun, buah, maupun batang tanaman nanas dalam jumlah yang berbeda (Departemen Pertanian Indonesia, 2003).

Bawang Putih

Bawang putih merupakan salah satu tanaman hortikultura yang sangat penting di Indonesia. Umbi bawang putih terdiri atas beberapa siung (3-12 siung) yang bergerombol menjadi satu membentuk umbi besar, berwarna putih dan berbentuk mirip gasing. Dalam bahasa Latin, bawang putih disebut Allium sativum

dan limfosit yaitu sel-sel darah putih untuk melawan infeksi (Astawan dan Kasih, 2008).

Menurut Rukmana (1995), dalam sistematika tumbuhan (taksonomi), tanaman bawang putih diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan) Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Sub-divisi : Angiospermae (berbiji tertutup)

Kelas : Monocotyledonae (biji berkeping satu) Ordo : Liliales (Liliflorae)

Famili (suku) : Liliales Genus (marga) : Allium

Spesies (jenis) : Allium sativum L

Bawang putih diduga dapat mengoptimalkan fungsi metabolisme bahan makanan sehingga dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pakan. Setiap 2 kg bahan segar, bawang putih menghasilkan 600 g bahan kering (Wiryawan et al., 2005). Bawang putih memiliki kadar protein 16,80% dan serat kasar 0,42%. Pemberian perlakuan bubuk bawang putih sebesar 7,5% pada ayam kampung menghasilkan bobot badan akhir yang tinggi(Hastuti, 2008).

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan dari bulan Desember 2011 sampai dengan Maret 2012 di Laboratorium Lapang (Kandang C) Nutrisi Ternak Unggas, dan analisis kualitas telur dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Unggas, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Materi

Ternak

Penelitian ini menggunakan 160 ekor puyuh berumur 45 hari yang siap berproduksi yang dibagi ke dalam lima perlakuan dan empat ulangan. Puyuh-puyuh tersebut dipelihara selama 10 minggu (Gambar 2). Pengambilan data dilakukan setelah 2 minggu masa adaptasi.

Gambar 2. Puyuh Penelitian Persiapan dan Kebersihan Kandang

Kandang yang digunakan adalah kandang baterai yang terdiri dari 20 petak dengan ukuran panjang 60 cm, lebar 30 cm, dan tinggi 20 cm. Setiap petak kandang berisi delapan ekor puyuh yang dilengkapi dengan dua tempat ransum dan satu tempat air minum. Peralatan lain yang digunakan diantaranya egg tray, timbangan

digital, sendok, termometer, karung, ember, sapu, sikat lantai, detergen, karbol, masker dan alat tulis. Kandang puyuh penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Kandang Puyuh Penelitian Ransum Penelitian

Pemberian ransum perlakuan dilakukan setelah pemeliharaan dua minggu. Ransum yang digunakan adalah pencampuran ransum yang didapat dari hasil formulasi ransum basal ditambah dengan persentase bromelin, tepung limbah udang, daun katuk, dan bawang putih yang disesuaikan dengan perlakuannya, menggunakan mesin pencampur dengan kapasitas 25 kg agar homogen. Puyuh diberi pakan sekitar 25 g/ekor yang diberikan pada pagi dan sore hari. Air minum diberikan ad libitum.

Komposisi dan kandungan zat makanan ransum penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Prosedur

Tepung Limbah Udang. Tepung limbah udang sudah didapatkan dalam bentuk tepung dari Balai Perikanan dan Budidaya Ikan Air Tawar Bogor.

Enzim Bromelin. Enzim bromelin didapatkan dari Pusat Kajian Buah Tropika Institut Pertanian Bogor.

Pembuatan Tepung Daun Katuk. Pada saat katuk didapatkan, dilakukan pemisahan antara daun dan batang. Daun katuk dijemur di bawah sinar matahari kemudian dioven 60 ºC selama 24 jam. Daun katuk yang sudah kering diolah menjadi tepung daun katuk.

Tabel 4. Komposisi dan Kandungan Nutrien Ransum Penelitian

Bahan Makanan Ransum Perlakuan

P0 P 1 P2 P3 P4 Jagung kuning (%) 46 46 46 46 46 Dedak padi (%) 9 9 9 9 9 Bungkil kedelai (%) 27 27 27 27 27 Tepung ikan (%) 8 8 8 8 8 CPO (%) 3 3 3 3 3 DCP (%) 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 NaCl (%) 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 CaCO3 (%) 5 5 5 5 5 Premik (%) 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 Dl-Meth (%) 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 Jumlah 100 100 100 100 100 Bromelin(ppm) - 31,1 - - -

Tepung limbah udang (%) - - 0,45 - -

Tepung daun katuk (%) - - - 10 -

Tepung bawang putih (%) - - - - 1

Kandungan Zat Makanan Ransum Penelitian berdasarkan Perhitungan

EM (kkal/kg) 2837,50 2837,54 2842,55 2968,91 2849,96 Protein Kasar (%) 22,44 22,44 22,48 22,74 22,39 Lemak (%) 5,49 5,49 5,51 5,33 5,45 Serat Kasar (%) 3,12 3,12 3,20 4,36 3,11 Methionin (%) 0,53 0,53 0,53 0,44 0,53 Metionin + sistin (%) 0,72 0,71 0,71 0,70 0,71 Lisin (%) 1,05 1,05 1,05 1,04 1,05 Kalsium (%) 2,65 2,66 2,72 2,44 2,63 Fosfor tersedia (%) 0,47 0,47 0,47 0,45 0,46 Kebutuhan Nutrien dalam Ransum*

EM (kkal/kg) 2700 Protein Kasar (%) 17 Lemak (%) Maks. 7,00 Metionin (%) 0,40 Metionin + sistin (%) 0,60 Lisin (%) 0,90 Kalsium (%) 2,50-3,50 Fosfor tersedia (%) 0,40

Keterangan : P0 : Ransum kontrol P1 : P0 + bromelin 31,1 ppm

P2 : P0 + tepung limbah udang 0,45%

P3 : P0 + tepung daun katuk 10%

P4 : P0 + tepung bawang putih 1%

Pembuatan Tepung Bawang Putih. Bawang putih diangin-anginkan, kemudian dioven 60 ºC selama 24 jam. Apabila sudah kering dihaluskan dengan menggunakan alat penggilingan hingga menjadi tepung.

Pemeliharaan Ternak dan Penerapan Perlakuan. Puyuh yang digunakan dalam penelitian ditempatkan secara acak ke dalam kandang baterai berdasarkan perlakuan yang diberikan. Perlakuan pakan diberikan mulai minggu ketiga pemeliharaan. Pada dua minggu pertama puyuh diberi pakan ransum basal. Pemeliharaan puyuh berlangsung selama 10 minggu. Puyuh 160 ekor ditempatkan dalam kandang dengan masing-masing perlakuan 32 ekor. Setiap perlakuan terdiri dari empat ulangan dengan masing-masing 8 ekor setiap unit percobaan.

Pengambilan Sampel Kualitas Telur. Pengambilan sampel kualitas telur puyuh dilakukan setiap seminggu sekali setelah dua minggu pemeliharaan. Sampel yang diuji berasal dari sampel telur yang diambil pada saat pengujian dilakukan dengan jumlah dua butir per ulangan.

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan lima perlakuan dan empat ulangan. Perlakuan yang diberikan dalam penelitian ini adalah:

P0 : Ransum kontrol

P1 : P0 + bromelin 31,1 ppm

P2 : P0 + tepung limbah udang 0,45% P3 : P0 + tepung daun katuk 10% P4 : P0 + tepung bawang putih 1% Model Statistika

Model matematika dalam rancangan tersebut adalah sebagai berikut : Yij = µ + τi + εij

Keterangan: Yij = nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

 = rataan umum i = efek perlakuan ke-i

ij =eror perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis sidik ragam (ANOVA). Data yang berbeda nyata diantara perlakuan diuji lanjut dengan melakukan uji jarak berganda Duncan (Mattjik dan Sumertajaya, 2006).

Peubah yang diamati

Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah konsumsi ransum, produksi telur Quail Day, produksi massa telur, konversi ransum, konsumsi energi termetabolis, konsumsi protein, bobot telur, proporsi kuning telur, proporsi putih telur, proporsi kerabang, skor warna kuning telur, haugh unit, dan indeks telur. Konsumsi Ransum

Konsumsi ransum diperoleh dari rataan per ekor per hari dihitung dari selisih antara jumlah ransum yang diberikan selama 7 hari dengan sisa ransum.

Produksi Telur Quail Day (%)

Produksi Telur (%) dihitung setiap hari dengan membagi jumlah telur yang ada dengan jumlah puyuh yang masih hidup pada saat itu dikalikan 100%.

Produksi Massa Telur (gram/ekor)

Produksi massa telur puyuh diperoleh dengan cara menimbang seluruh telur yang dihasilkan selama penelitian dibagi dengan jumlah puyuh yang ada.

Konversi Ransum

Konversi ransum dihitung dari jumlah ransum yang dikonsumsi dibagi dengan massa telur.

Konsumsi Energi Metabolis (kkal/ekor/hari)

Konsumsi energi metabolis (kkal/ekor/hari), diperoleh dengan cara menghitung konsumsi ransum yang diberikan dikalikan dengan kandungan energi metabolis ransum.

Konsumsi Protein (g/ekor/hari)

Konsumsi protein (g/ekor/hari), diperoleh dengan cara menghitung konsumsi ransum yang diberikan dikalikan dengan kandungan protein ransum.

Bobot Telur (gram/butir)

Bobot telur yang dihasilkan (gram/butir), diperoleh dengan menimbang setiap telur yang diambil dari tray dan sudah dikelompokkan berdasarkan perlakuan dan ulangan.

Proporsi Kuning Telur (%)

Proporsi kuning telur (%) diperoleh dengan cara memisahkan kuning dan putih telur terlebih dahulu kemudian kuning telur ditimbang dan dilakukan pengitungan dengan membagi bobot kuning telur dengan bobot telur dan dikalikan 100%.

Proporsi Putih Telur (%)

Proporsi putih telur (%) diperoleh dengan cara menimbang putih telur dan dilakukan pengitungan dengan membagi bobot putih telur dengan bobot telur dan dikalikan 100%.

Proporsi Kerabang (%)

Proporsi kerabang (%) diperoleh dengan cara menimbang kerabang terlebih dahulu lalu dilakukan penghitungan dengan membagi bobot kerabang dengan berat

Dokumen terkait