PENGARUH PENAMBAHAN BROMELIN,
TEPUNG LIMBAH
UDANG, DAUN KATUK (
Sauropus androgynus L.
Merr
.),
ATAU BAWANG PUTIH TERHADAP PERFORMA
DAN KUALITAS TELUR PUYUH
SKRIPSI
NIAKA MEY FILINA
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
RINGKASAN
NIAKA MEY FILINA. D24080190. 2012. Pengaruh Penambahan Bromelin, Tepung Limbah Udang, Daun Katuk (Sauropus androgynus L. Merr.), atau Bawang Putih terhadap Performa dan Kualitas Telur Puyuh. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr.Ir.Asep Sudarman, M.Rur.Sc Pembimbing Anggota : Dr.Ir.Sumiati, M.Sc
Puyuh petelur merupakan ternak yang memiliki produktivitas tinggi. Ukuran tubuh puyuh yang kecil memberikan keuntungan karena dengan lahan yang tidak terlalu luas dapat dipelihara dalam jumlah besar. Keuntungan lainnya adalah kemampuan tumbuh dan berkembangbiaknya yang sangat cepat. Produksi telurnya mampu mencapai 200-300 butir/tahun dengan berat 10 gram/butir. Kebutuhan hidup puyuh dan produksi telur yang banyak tergantung pada pakan yang diberikan. Daun katuk, limbah udang, bawang putih, dan bromelin masih jarang dimanfaatkan sebagai pakan puyuh serta keberadaannya selalu ada sepanjang tahun. Telur puyuh yang memiliki kualitas baik dapat membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan gizi masyarakat dengan harga yang terjangkau. Oleh karena itu, dilakukan penelitian ini untuk mengevaluasi pengaruh penambahan tepung limbah udang, tepung daun katuk, tepung bawang putih, dan bromelin terhadap performa dan kualitas telur puyuh.
Penelitian ini menggunakan 160 ekor puyuh periode bertelur yang dibagi ke dalam lima perlakuan dan empat ulangan. Perlakuan penelitian ini terdiri atas P0 (ransum kontrol), P1 (P0+bromelin 31,1 ppm), P2 (P0+tepung limbah udang 0,45%), P3 (P0+tepung daun katuk 10%), dan P4 (P0+tepung bawang putih 1%). Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA). Data yang berbeda nyata diantara perlakuan diuji lanjut dengan uji jarak berganda Duncan. Peubah yang diamati adalah konsumsi ransum, konversi ransum, konsumsi energi metabolis, konsumsi protein, produksi telur quail day, produksi massa telur, bobot telur, skor warna kuning telur, haugh unit, indeks telur, persentase kuning telur, putih telur, dan kerabang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan bromelin, tepung limbah udang, daun katuk, dan bawang putih tidak mempengaruhi konsumsi ransum, produksi telur quail day, produksi massa telur, konversi ransum, konsumsi energi termetabolis, konsumsi protein, proporsi kuning telur, proporsi putih telur, dan proporsi kerabang. Pemberian perlakuan mampu meningkatkan bobot telur. Perlakuan bromelin meningkatkan tebal kerabang. Perlakuan daun katuk meningkatkan skor warna kuning telur. Haugh unit (HU) dan indeks telur tidak dipengaruhi oleh perlakuan. Dapat disimpulkan bahwa penambahan bromelin,
tepung limbah udang, daun katuk, dan bawang putih tidak mempengaruhi performa. Penambahan bromelin dan daun katuk memberi pengaruh yang positif terhadap kualitas telur puyuh.
ABSTRACT
Effect of usage of Bromelain, Shrimp Waste, Katuk Leaf (Sauropus androgynus L. Merr.), or Garlic Powder in the Diets on Performance
and Egg Quality of the Quail N. M. Filina, A. Sudarman, and Sumiati
The aim of this study was to elaborate the effect of addition of shrimp waste, katuk leaf, garlic powder, and bromelain on performance and egg quality of the quail. One hundred and sixty quail pullet were reared for 10 weeks and divided into five treatments and four replicates. The experimental diets (treatments) were P0 (control), P1 =P0+ 31.1 ppm bromelain, P2 = P0+ 0.45% waste shrimp powder, P3 = P0+10% katuk leaf powder, and P4 = P0+1% garlic powder. This study used a completely randomized design. The results showed that the bromelain were significantly increased weight egg and egg shell thickness. Egg production, feed consumption, feed conversion, egg white percentage, egg yolk percentage, egg shell percentage, index of eggs and Haugh Unit were not significantly different. All eggs were classified into AA quality. All treatments produced higher (P<0.05) egg weight compared to control. Egg yolk color score of katuk leaf powder group was significantly higher than other groups. It is concluded that the treatments did not affect performance. The addition of bromelain and katuk leaf powder had good effect on egg quality.
PENGARUH PENAMBAHAN BROMELIN,
TEPUNG LIMBAH
UDANG, DAUN KATUK (
Sauropus androgynus L.
Merr
.),
ATAU BAWANG PUTIH TERHADAP PERFORMA
DAN KUALITAS TELUR PUYUH
NIAKA MEY FILINA D24080190
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
Judul : Pengaruh Penambahan Bromelin,Tepung Limbah Udang, Daun Katuk (Sauropus androgynus L. Merr.), atau Bawang Putih terhadap Performa dan Kualitas Telur Puyuh
Nama : Niaka Mey Filina NIM : D24080190
Menyetujui,
Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,
(Dr. Ir. Asep Sudarman, M.Rur.Sc) (Dr.Ir.Sumiati, M.Sc) NIP. 19640424 198903 1 001 NIP. 19611017 198603 2 001
Mengetahui: Ketua Departemen,
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
(Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr) NIP. 19670506 199103 1 001
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Blitar pada tanggal 13 Mei 1990 dari pasangan Ayah Hudiono dan Ibu Sri Supadmi yang merupakan anak ke-dua dari tiga bersaudara.
Penulis mengawali pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar Tawang Sari I pada tahun 1996 dan diselesaikan pada tahun 2002. Pendidikan lanjutan pertama dimulai oleh penulis pada tahun 2002 di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) 3 Blitar. Penulis kemudian
melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Blitar pada tahun 2005 dan lulus pada tahun 2008.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 melalui program USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama mengikuti pendidikan, penulis pernah bergabung menjadi anggota dalam organisasi Koperasi Mahasiswa tahun 2008-2009.
Penulis bersama rekan satu tim pernah mendapat dana hibah dari DIKTI untuk PKM bidang Penelitian yang berjudul “Pengaruh Penambahan Bawang Putih (Allium Sativum) dan Limbah Udang terhadap Penurunan Kadar Kolesterol pada Telur Itik Lokal” pada tahun 2012.
Bogor, 2012
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil a’lamiin. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga penelitian dan penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini berjudul “Pengaruh Penambahan Bromelin, Tepung Limbah Udang, Daun Katuk (Sauropus androgynus L. Merr.), atau Bawang Putih Terhadap Performa dan Kualitas Telur Puyuh”. Penulisan skripsi ini dibuat dalam rangka penyelesaian studi di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan mulai bulan Desember 2011 sampai bulan Maret 2012 bertempat di Laboratorium Lapang (Kandang C) Bagian Unggas, dan analisis kualitas telur dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Unggas, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Puyuh merupakan ternak unggas yang memiliki potensi besar untuk dipelihara dan mampu membantu mencukupi kebutuhan nutrisi masyarakat di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh penambahan tepung limbah udang, tepung daun katuk, tepung bawang putih, dan bromelin terhadap performa dan kualitas telur burung puyuh. Penulisan skripsi ini terdiri dari beberapa bab yang meliputi bab pendahuluan, tinjauan pustaka, materi metode, hasil dan pembahasan, serta kesimpulan. Skripsi ini diharapkan dapat memberikan informasi penting dalam usaha peternakan puyuh sehingga mampu menghasilkan telur dan kualitas telur yang maksimal.
Penulis memahami bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.
Bogor, 2012
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Perbandingan Nilai Persentase Komposisi Kimia Telur Puyuh dengan Telur Ayam per 100 gram Telur (as fed)………. 4 2. Perbandingan Kualitas Segar Telur Puyuh dengan Telur Ayam Ras 7 3. Karakteristik Telur Puyuh ... 7 4. Komposisi dan Kandungan Nutrien Ransum Penelitian... 15 5. Rataaan Konsumsi Pakan, Konversi Ransum, Konsumsi Energi,
dan Konsumsi Protein Selama 8 Minggu Penelitian….……...……. 21 6. Rataaan Produksi Telur Quail Day dan Produksi Massa Telur yang
diberi Perlakuan Selama 8 Minggu Penelitian….………..………… 24 7. Rataaan Bobot Telur dan Persentase Bobot Komponen Telur
Puyuh yang diberi Perlakuan Selama Penelitian….…………..…… 26 8. Rataaan Indeks Telur, Skor Warna, Tebal Kerabang, dan Haugh
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
DAFTAR LAMPIRAN 5. Analisis Ragam Rataan Nilai Produksi Telur yang diberi Ransum Kontrol,
Bromelin,Tepung Limbah Udang, Daun Katuk, dan Bawang Putih………. 42 6. Analisis Ragam Rataan Nilai Produksi Massa Telur yang diberi Ransum
Kontrol, Bromelin, Tepung Limbah Udang, Daun Katuk, dan Bawang Putih……... 42 7. Analisis Ragam Rataan Bobot Telur Puyuh yang diberi Ransum Kontrol,
Bromelin,Tepung Limbah Udang, Daun Katuk, dan Bawang Putih………. 43 8. Analisis Ragam Rataan Persentase Putih Telur yang diberi Ransum
10. Analisis Ragam Rataan Persentase Kerabang Telur yang diberi Ransum Kontrol, Bromelin, Tepung Limbah Udang, Daun Katuk, dan Bawang
Putih……… 44
11. Analisis Ragam Rataan Indeks Telur yang diberi Ransum Kontrol, Bromelin,Tepung Limbah Udang, Daun Katuk, dan Bawang Putih………. 44 12. Analisis Ragam Rataan Skor Warna Kuning Telur yang diberi Ransum
Kontrol, Bromelin, Tepung Limbah Udang, Daun Katuk, dan Bawang
Putih……… 45
13. Analisis Ragam Rataan Tebal Kerabang yang diberi Ransum Kontrol, Bromelin,Tepung Limbah Udang, Daun Katuk, dan Bawang Putih………. 45 14. Analisis Ragam Rataan Nilai Haugh Unit yang diberi Ransum Kontrol,
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Puyuh merupakan ternak yang memiliki produktivitas tinggi. Peternakan puyuh mampu menghasilkan telur yang dapat membantu mencukupi kebutuhan protein masyarakat Indonesia. Bentuknya yang kecil menyebabkan telur burung puyuh banyak digunakan pada berbagai masakan. Ukuran tubuh puyuh yang kecil memberikan keuntungan karena dengan lahan yang tidak terlalu luas dapat dipelihara dalam jumlah besar. Keuntungan lainnya adalah kemampuan tumbuh dan berkembangbiaknya yang sangat cepat. Siklus hidup puyuh menyebabkan unggas ini cepat berproduksi, yaitu saat berumur 35 - 42 hari sudah mulai bertelur. Produksi telurnya mampu mencapai 200-300 butir/tahun dengan berat 10 gram/butir.
Di Indonesia ternak puyuh merupakan ternak unggas penghasil telur yang cukup potensial disamping ayam. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Peternakan (2012) populasi puyuh di Indonesia pada tahun 2011 sebesar 7,055 juta ekor dengan produksi telurnya yang mencapai 16,926 juta ton. Sebagian besar populasi tersebut berada di wilayah Jawa Tengah. Pemeliharaan puyuh lebih mudah, tidak banyak mengandung resiko, dan dapat meningkatkan pendapatan peternak. Telur puyuh memiliki sumber protein yang tinggi, kaya akan vitamin dan mineral. Telur puyuh yang memiliki kualitas baik dapat membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan gizi masyarakat dengan harga yang terjangkau. Telur puyuh juga termasuk makanan yang mudah dicerna dengan kandungan protein yang tinggi.
Faktor terpenting dalam pemeliharaan puyuh adalah ransum. Kebutuhan gizi puyuh harus terpenuhi dalam ransum yang diberikan. Kebutuhan jumlah ransum untuk puyuh biasanya lebih dari 10% dari berat badannya. Ransum tersusun dari beberapa bahan pakan. Ada beberapa bahan pakan yang belum umum digunakan, seperti limbah udang, daun katuk, dan feed aditif (bawang putih dan bromelin). Bahan tersebut keberadaannya juga selalu ada sepanjang tahun.
mengandung vitamin A, alpha-tocopherol dan karoten yang sangat tinggi dengan kadar protein 22,14% dan serat kasar 5,95%. Bromelin merupakan salah satu jenis enzim protease sulfhidril asal buah nenas yang mampu menghidrolisis ikatan polipeptida menjadi asam amino.
Penambahan bahan tersebut ke dalam pakan puyuh diharapkan mampu memberikan efek yang baik terhadap performa dan kualitas telur puyuh. Oleh karena itu, dilakukan penelitian pengaruh penambahan, bromelin, tepung limbah udang, tepung daun katuk dan tepung bawang putih terhadap performa dan kualitas telur puyuh.
Tujuan
TINJAUAN PUSTAKA
Puyuh
Puyuh merupakan jenis unggas tidak dapat terbang, berukuran tubuh kecil dan kakinya relatif pendek. Puyuh (Coturnix coturnix japonica) merupakan salah satu unggas yang tinggi tingkat produksinya (Nugroho dan Mayun, 1986). Berdasarkan data Direktorat Jenderal Peternakan (2012) populasi puyuh di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 7.055.538 ekor. Puyuh jantan dan betina memiliki perbedaan yang khas yang terdapat pada warna, bulu, suara dan bobot badan. Puyuh jantan berwarna cokelat gelap sedangkan puyuh betina berwarna cokelat terang. Bulu dada puyuh jantan berwarna kuning, sedangkan puyuh betina berwarna cokelat dan terdapat bercak hitam. Puyuh jantan memiliki suara lebih keras daripada puyuh betina dan bobot burung puyuh betina lebih berat daripada burung puyuh jantan (Nugroho dan Mayun, 1986). Puyuh betina dewasa biasanya memiliki bobot antara 110-160 gram dan puyuh jantan dewasa berbobot antara 100-140 gram (Dedy, 2011).
Menurut SNI (2006), persyaratan mutu untuk pakan puyuh fase produksi yaitu kandungan energi metabolis minimal 2700 kkal/kg, protein kasar min 17%, lemak kasar maksimal 7%, serat kasar maksimal 7%, kalsium 2,50%-3,50%, fosfor total 0,60%-1,00%, dan fosfor tersedia minimal 0,40%. Leeson dan Summers(2005) mengemukakan bahwa puyuh pada fase produksi membutuhkan kandungan energi metabolis sebesar 2950 kkal/kg, protein kasar 18%, kalsium 3,1%, fosfor 0,45%, metionin 0,52%, dan lisin 0,85%. Kebutuhan jumlah pakan untuk puyuh, seperti halnya ternak-ternak lainnya, biasanya sekitar 10% dari berat hidupnya. Puyuh tipe petelur mempunyai kemampuan produksi yang tinggi dengan ukuran telurnya kecil-kecil. Produktivitas puyuh relatif tinggi. Saat berumur 35 sampai 42 hari puyuh sudah mulai bertelur. Burung puyuh memiliki sifat mudah tercekam tetapi diimbangi dengan telur dan daging yang cukup banyak (Rasyaf, 1991).
Telur Puyuh
seperti vitamin A, D, E, K dan mengandung sejumlah mineral yang cukup tinggi (Haryoto, 1996). Perbandingan komposisi kimia telur puyuh dengan telur ayam dapat dilihat pada Tabel 1.
Puyuh berumur 41 hari sudah mulai bertelur dan mampu menghasilkan telur seberat 10 gram (hampir 7% berat badannya). Telur puyuh mempunyai berat 7% - 8% dari berat induk, yaitu berkisar antar 7-11 gram per butir (Anggorodi, 1995). Dilihat dari kandungan nilai gizinya, telur puyuh mengandung 13,6% protein dan 8,2% lemak (Nugroho dan Mayun, 1986). Setelah masa produksi telur terlewati, daging puyuh masih bisa dikonsumsi sebagai santapan yang lezat.
Bobot Telur
ayam, mulai dari 7 sampai 15 gram. Puyuh Jepang (Coturnix coturnix japonica) memiliki bobot telur rata-rata 10 gram per butir (Shanaway, 1994).
Struktur Telur
Telur tersusun dari kuning telur (yolk), putih telur (albumen), kerabang tipis (shell gland), kerabang telur (shell), dan beberapa bagian lain yang cukup kompleks. Struktur telur secara lengkap disajikan pada Gambar 2.
Gambar 1. Struktur Telur (USDA, 2000)
Struktur telur puyuh secara umum tidak berbeda dengan struktur telur ayam yang terdiri tiga komponen pokok, yaitu putih telur (58%), kuning telur (31%), dan kerabang telur (11%) (Ensminger dan Nesheim, 1992). Menurut Song et al. (2000), burung puyuh memiliki berat telur 9,41-11,27 gram dengan persentase bagian kuning telur 29,42% - 33,38%, putih telur 58,88% - 63,52%, dan kerabang 6,61%-7,99%. Mozin (2006) mengemukakan bahwa telur puyuh mempunyai nilai cerna 100%, bagian yolk mengandung protein yang lebih tinggi dibandingkan albumen serta semua lemak terdapat pada bagian yolk.
Kuning Telur
xantofil (15 µg/g yolk) (Yuwanta, 2004). Kuning telur adalah bagian terdalam dari telur yang terdiri dari membran vitelin, saluran latebra, lapisan kuning telur gelap, dan lapisan kuning telur terang. Estrogen berfungsi dalam pembentukan yolk
(Mulyantini, 2010). Kuning telur merupakan bagian yang paling penting pada isi telur (Mozin, 2006). Telur yang segar, kuning telurnya terletak ditengah-tengah dan bentuknya bulat. Antara kuning dan putih telur terdapat lapisan tipis yang elastis disebut membran vitelin dan terdapat chalaza yang befungsi menahan posisi kuning telur (Haryono, 2000).
Putih Telur
Putih telur merupakan sumber protein utama dalam telur yang terdiri atas ovalbumin (merupakan protein utama), globulin, lisosom, ovomusin, avidin, flavoprotein, dan ovomukoid. Semua protein telur berbentuk glikoprotein kecuali avidin dan lisosom. Hazim et al. (2011) mengukur rataan persentase putih telur puyuh sebesar 53,10%. Menurut Stadelman dan Cotterill (1995), putih telur merupakan bagian yang terbesar (lebih kurang 60%) dari telur utuh.
Kerabang Telur
Kerabang telur terdiri atas bahan kering 98,4% dan air 1,6%. Bahan kering terdiri atas protein 3,3% dan mineral 95,1%. Mineral yang paling banyak terdapat pada kerabang telur adalah CaCO3 (98,43%); MgCO3 (0,84%) dan Ca3(PO2)2(0,75%)
(Yuwanta, 2004). Telur puyuh memiliki berbagai pola warna kulit, mulai dari coklat tua ke biru menjadi putih, dengan spesifikasi hitam atau biru.Warna kerabang telur berasal dari pigmen ooporphyirin dan biliverdin yang disekresi oleh bagian oviduk sekitar tiga setengah jam (Shanaway, 1994). Stadelman dan Cotterill (1995) mengemukakan bahwa kerabang telur unggas terdiri atas beberapa lapisan yang meliputi kutikula, lapisan bunga karang, lapisan mamilaris, dan membran telur. Hazim et al. (2011) mengukur rataan persentase kerabang telur puyuh sebesar 12,3% dengan kandungan kalsium sebesar 2,3%.
Produksi Puyuh
kelebihan unsur nutrisi yang dimakan akan diarahkan untuk bertelur. Selama lingkungan mendukung maka produksi telur yang sesuai dengan genetisnya akan terpenuhi (Rasyaf, 1993).
Kualitas Telur
Suprapti (2002) mengemukakan bahwa kualitas telur ditentukan oleh beberapa hal, antara lain faktor keturunan, kualitas makanan, sistem pemeliharaan, iklim, dan umur telur. Perbandingan kualitas telur puyuh dengan telur ayam ras dapat dilihat pada Tabel 2. Karakteristik telur puyuh disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 2. Perbandingan Kualitas Segar Telur Puyuh dengan Telur Ayam Ras
Parameter mutu Telur puyuh Telur ayam ras
Indeks telur 0,79 0,74
Bobot telur (g/butir) 11,237 65,823
Diameter kantung udara (mm) 11,904 12,670
Haugh unit 84,12 83,59
Sumber: Syamsir et. al. (1994)
Tabel 3. Karakteristik Telur Puyuh
Peubah Rata-Rata
Bobot Telur (g) 11,28± 0,06
Putih Telur (%) 59,83±0,14
Kuning Telur (%) 32,71±0,12
Kerabang (%) 7,47±0,04
Indeks Telur 0,75±0,22
Tebal Kerabang (mm) 0,231±0,001
Haugh Unit 85,73±0,15
Sumber: Kul dan Seker (2004)
warnanya bersih, rongga udara dalam telur kecil, tidak terdapat bercak atau noda, dan posisi telur di tengah (Haryoto, 1996). Konsumen selalu mencari telur segar, dengan berat standar, kualitas kerabang baik, warna kuning telur menarik (kuning) dan putih telur relatif kental (Yuwanta, 2010).
Indeks Telur
Indeks telur merupakan perbandingan antara ukuran lebar dengan panjang telur. Menurut Sumarni dan Djuarnani (1995), telur yang baik berbentuk oval dan idealnya mempunyai indeks telur antara 0,72-0,76. Telur yang lonjong memiliki indeks telur kurang dari 0,72 dan telur yang bulat memiliki nilai indeks telur lebih dari 0,76. Indeks telur yang baik mempunyai perbandingan lebar dan panjang 3 : 4 (Sujionohadi dan Setiawan, 2007). Telur yang normal memiliki bentuk oval dengan salah satu ujung lebih besar daripada yang lain, dan meruncing ke arah ujung yang lebih kecil. Ujung telur biasanya disebut ujung tumpul dan ujung runcing (USDA, 2000). Variasi indeks telur diakibatkan dari perputaran telur di dalam alat reproduksi karena ritme dari tekanan saluran reproduksi atau ditentukan oleh diameter lumen saluran reproduksi (Yuwanta, 2010).
Tebal Kerabang
Kualitas telur dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu kualitas luar berupa kulit cangkang dan isi telur. Pada kondisi baru, kualitas telur bagian luar tidak banyak mempengaruhi kualitas bagian dalam. Kualitas kulit telur yang rendah sangat mempengaruhi keawetan telur (Haryoto,1996). Kerabang yang tipis dipengaruhi beberapa faktor, yaitu umur atau tipe puyuh, zat-zat makanan, peristiwa faal dari organ tubuh, stres dan komponen lapisan kulit telur (Haryono, 2000).
Skor Warna Kuning Telur
secara fisiologi akan diserap oleh organ pencernaan usus halus dan diedarkan ke organ target yang membutuhkan (Sahara, 2011).
Beberapa bahan pakan yang mengandung pigmen pemberi warna pada kuning telur diantaranya jagung kuning, CGM (Corn Gluten Meal), alfafa, Fucus serratus, dan Tagetes erecta (Shanaway, 1994). Menurut Sahara (2011), adanya pigmen karotenoid yang dikandung dalam bahan pakan akan meningkatkan warna kuning telur. Pigmen karotenoid akan merefleksikan warna kuning hingga merah. Haugh Unit
Menurut Haryono (2000), haugh unit ditentukan berdasarkan keadaan putih telur, yaitu merupakan korelasi antara bobot telur (gram) dengan tinggi putih telur (mm). Stadelman dan Cotterill (1995) menyatakan bahwa semakin tinggi albumen, maka tinggi pula nilai HU dan semakin bagus kualitas telur. Ovomucin sangat berperan dalam pengikatan air untuk membentuk struktur gel albumen, jika jala-jala ovomucin banyak dan kuat maka albumen akan semakin kental yang berarti viskositas albumennya tinggi yang diperlihatkan pada indikator HU (Roesdiyanto, 2002).
Limbah Udang
Limbah udang merupakan limbah dari industri pengolahan udang beku yang mempunyai potensi dan nilai gizi relatif tinggi. Limbah udang terdiri dari campuran kepala, kulit, dan ekor serta udang yang rusak atau udang afkir (Mirzah, 2000). Kandungan zat makanan limbah udang adalah protein 42%-45%, serat kasar 14%-19% (kandungan khitin 12,24%), lemak 4%-6%, kalsium 7%-9%, dan fosfor 1%-2% (Mirzah, 2000). Limbah udang dibuat dari kepala udang termasuk kulitnya dengan kandungan proteinnya agak tinggi (33,21%) dan energi metabolisnya juga tinggi yaitu 2900 kkal/kg (Yaman, 2010). Pada limbah udang terdapat pigmen astaxanthin
yang merupakan suatu pigmen warna yang mampu menampilkan warna merah (Sahara, 2011).
kecernaan protein pakan (Yulianingsih dan Teken, 2008). Pada jumlah tertentu, khitin memiliki kemampuan dalam mengikat lemak tubuh dan memiliki kemampuan dalam menurunkan kandungan kolesterol low density lipoprotein (LDL) sekaligus dapat meningkatkan komposisi kolesterol high density lipoprotein (HDL) (Rismana, 2003). Kepala udang dapat dijadikan tepung bahan pakan ternak. Keuntungan dari tepung kepala udang adalah produk limbah perikanan yang memiliki ketersediaan yang cukup berkesinambungan, harganya cukup stabil dan kandungan nutrisinya mampu bersaing dengan bahan pakan konvensional (Wanasuria, 1990). Berdasarkan penelitian Syukron (2006) taraf terbaik pemberian kepala udang dalam ransum ayam broiler adalah sebanyak 6%.
Daun Katuk
Katuk adalah perdu menahun yang sering dijumpai di Asia Tenggara (Williams et al., 1993). Sayuran ini dikonsumsi secara luas di Indonesia, khususnya di Kalimantan, dan seluruh wilayah India. Semak tahunan ini memiliki adaptasi tropika dan subtropika serta produktif sepanjang tahun, walaupun tanaman cenderung agak dorman pada cuaca dingin. Tanaman menunjukkan pertumbuhan prolifik batang panjang dan tegak, yang sering kali melengkung. Akibatnya tanaman biasanya dipangkas dan ditanam sebagai tanaman pagar. Pemangkasan merangsang pertumbuhan tajuk lateral. Kualitas yang dapat dimakan meningkat ketika ditanam ternaungi sebagian (Rubatzky et al., 1999).
Ciri-ciri penting (khas) untuk mengenal Sauropus androgynus L. Merr. ialah daun tunggal seperti daun majemuk, bunga uniseksual trimeros (tanpa tajuk bunga atau petal) dan kristal kalsium oksalat (roset), stomata anisositik. Bagian yang dapat digunakan sebagai obat yaitu daun dan akar. Daun digunakan sebagai obat demam dan pelancar air susu ibu (ASI) karena mengandung beberapa senyawa seskuiterna (Rukmana dan Harahap, 2011), sedangkan akar digunakan sebagai obat luar (lepra) dan demam. Daun katuk dapat dibuat berbagai produk yang potensial seperti; tablet air susu ibu (ASI), pewarna makanan dan pakan ternak (Yuliani, 2001). Menurut Subekti et al. (2008), daun katuk memiliki kadar protein 22,14% dan serat kasar 5,95% (berdasarkan Dry Matter).
dibandingkan dengan produk puyuh yang diberi perlakuan ekstrak tepung daun katuk pada level yang sama. Hulshoff et al. (1997) melaporkan bahwa di antara sayuran dan buah-buahan yang diteliti di Indonesia, daun katuk mengandung karoten tertinggi. Menurut Rukmana dan Harahap (2011), daun katuk kaya akan vitamin A. Katuk mengandung beberapa senyawa kimia, antara lain protein, lemak, vitamin, mineral, saponin, alkaloid papaverin, tannin, dan flavonoid yang berkhasiat sebagai obat.
Enzim Bromelin
Enzim bromelin merupakan enzim proteolitik seperti halnya renin (renet), papain dan fisin yang mempunyai sifat menghidrolisis protein. Enzim bromelin dari bonggol nenas merupakan salah satu alternatif dalam rangka pemanfaatan limbah nenas sehingga dapat memberikan nilai tambah bagi buah nenas di samping mengurangi masalah pencemaran limbah terhadap lingkungan (Sebayang, 2006). Enzim bromelin dari hati nanas cukup tinggi yaitu 0,06%. Enzim bromelin mempunyai pH optimal 6-7,5 dan suasana yang terlalu basa dapat menurunkan aktivitas enzim (Suhermiyati dan Setyawati, 2008). Menurut Kapes (2005), dosis terbaik enzim bromelin untuk suplemen manusia adalah 250 sampai 750 mg per hari.
Enzim bromelin mampu menghidrolisis ikatan peptida pada protein atau polipeptida menjadi molekul yang lebih kecil yaitu asam amino. Bromelin ini berbentuk serbuk amori dengan warna putih bening sampai kekuning-kuningan, berbau khas, larut sebagian dalam aseton, eter, dan CHCL3, stabil pada pH: 3,0 -
5,5. Suhu optimum enzim bromelin adalah 50-80 °C. Enzim ini terdapat pada tangkai, kulit, daun, buah, maupun batang tanaman nanas dalam jumlah yang berbeda (Departemen Pertanian Indonesia, 2003).
Bawang Putih
Bawang putih merupakan salah satu tanaman hortikultura yang sangat penting di Indonesia. Umbi bawang putih terdiri atas beberapa siung (3-12 siung) yang bergerombol menjadi satu membentuk umbi besar, berwarna putih dan berbentuk mirip gasing. Dalam bahasa Latin, bawang putih disebut Allium sativum
dan limfosit yaitu sel-sel darah putih untuk melawan infeksi (Astawan dan Kasih, 2008).
Menurut Rukmana (1995), dalam sistematika tumbuhan (taksonomi), tanaman bawang putih diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan) Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Sub-divisi : Angiospermae (berbiji tertutup)
Kelas : Monocotyledonae (biji berkeping satu) Ordo : Liliales (Liliflorae)
Famili (suku) : Liliales Genus (marga) : Allium
Spesies (jenis) : Allium sativum L
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilakukan dari bulan Desember 2011 sampai dengan Maret 2012 di Laboratorium Lapang (Kandang C) Nutrisi Ternak Unggas, dan analisis kualitas telur dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Unggas, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Materi
Ternak
Penelitian ini menggunakan 160 ekor puyuh berumur 45 hari yang siap berproduksi yang dibagi ke dalam lima perlakuan dan empat ulangan. Puyuh-puyuh tersebut dipelihara selama 10 minggu (Gambar 2). Pengambilan data dilakukan setelah 2 minggu masa adaptasi.
Gambar 2. Puyuh Penelitian Persiapan dan Kebersihan Kandang
digital, sendok, termometer, karung, ember, sapu, sikat lantai, detergen, karbol, masker dan alat tulis. Kandang puyuh penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Kandang Puyuh Penelitian Ransum Penelitian
Pemberian ransum perlakuan dilakukan setelah pemeliharaan dua minggu. Ransum yang digunakan adalah pencampuran ransum yang didapat dari hasil formulasi ransum basal ditambah dengan persentase bromelin, tepung limbah udang, daun katuk, dan bawang putih yang disesuaikan dengan perlakuannya, menggunakan mesin pencampur dengan kapasitas 25 kg agar homogen. Puyuh diberi pakan sekitar 25 g/ekor yang diberikan pada pagi dan sore hari. Air minum diberikan ad libitum.
Komposisi dan kandungan zat makanan ransum penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Prosedur
Tepung Limbah Udang. Tepung limbah udang sudah didapatkan dalam bentuk tepung dari Balai Perikanan dan Budidaya Ikan Air Tawar Bogor.
Enzim Bromelin. Enzim bromelin didapatkan dari Pusat Kajian Buah Tropika Institut Pertanian Bogor.
Tabel 4. Komposisi dan Kandungan Nutrien Ransum Penelitian
Kandungan Zat Makanan Ransum Penelitian berdasarkan Perhitungan
Pembuatan Tepung Bawang Putih. Bawang putih diangin-anginkan, kemudian dioven 60 ºC selama 24 jam. Apabila sudah kering dihaluskan dengan menggunakan alat penggilingan hingga menjadi tepung.
Pemeliharaan Ternak dan Penerapan Perlakuan. Puyuh yang digunakan dalam penelitian ditempatkan secara acak ke dalam kandang baterai berdasarkan perlakuan yang diberikan. Perlakuan pakan diberikan mulai minggu ketiga pemeliharaan. Pada dua minggu pertama puyuh diberi pakan ransum basal. Pemeliharaan puyuh berlangsung selama 10 minggu. Puyuh 160 ekor ditempatkan dalam kandang dengan masing-masing perlakuan 32 ekor. Setiap perlakuan terdiri dari empat ulangan dengan masing-masing 8 ekor setiap unit percobaan.
Pengambilan Sampel Kualitas Telur. Pengambilan sampel kualitas telur puyuh dilakukan setiap seminggu sekali setelah dua minggu pemeliharaan. Sampel yang diuji berasal dari sampel telur yang diambil pada saat pengujian dilakukan dengan jumlah dua butir per ulangan.
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan lima perlakuan dan empat ulangan. Perlakuan yang diberikan dalam penelitian ini adalah:
P0 : Ransum kontrol
P1 : P0 + bromelin 31,1 ppm
P2 : P0 + tepung limbah udang 0,45% P3 : P0 + tepung daun katuk 10% P4 : P0 + tepung bawang putih 1% Model Statistika
Keterangan: Yij = nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
= rataan umum i = efek perlakuan ke-i
ij =eror perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis sidik ragam (ANOVA). Data yang berbeda nyata diantara perlakuan diuji lanjut dengan melakukan uji jarak berganda Duncan (Mattjik dan Sumertajaya, 2006).
Peubah yang diamati
Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah konsumsi ransum, produksi telur Quail Day, produksi massa telur, konversi ransum, konsumsi energi termetabolis, konsumsi protein, bobot telur, proporsi kuning telur, proporsi putih telur, proporsi kerabang, skor warna kuning telur, haugh unit, dan indeks telur. Konsumsi Ransum
Konsumsi ransum diperoleh dari rataan per ekor per hari dihitung dari selisih antara jumlah ransum yang diberikan selama 7 hari dengan sisa ransum.
Produksi Telur Quail Day (%)
Produksi Telur (%) dihitung setiap hari dengan membagi jumlah telur yang ada dengan jumlah puyuh yang masih hidup pada saat itu dikalikan 100%.
Produksi Massa Telur (gram/ekor)
Produksi massa telur puyuh diperoleh dengan cara menimbang seluruh telur yang dihasilkan selama penelitian dibagi dengan jumlah puyuh yang ada.
Konversi Ransum
Konversi ransum dihitung dari jumlah ransum yang dikonsumsi dibagi dengan massa telur.
Konsumsi Energi Metabolis (kkal/ekor/hari)
Konsumsi Protein (g/ekor/hari)
Konsumsi protein (g/ekor/hari), diperoleh dengan cara menghitung konsumsi ransum yang diberikan dikalikan dengan kandungan protein ransum.
Bobot Telur (gram/butir)
Bobot telur yang dihasilkan (gram/butir), diperoleh dengan menimbang setiap telur yang diambil dari tray dan sudah dikelompokkan berdasarkan perlakuan dan ulangan.
Proporsi Kuning Telur (%)
Proporsi kuning telur (%) diperoleh dengan cara memisahkan kuning dan putih telur terlebih dahulu kemudian kuning telur ditimbang dan dilakukan pengitungan dengan membagi bobot kuning telur dengan bobot telur dan dikalikan 100%.
Proporsi Putih Telur (%)
Proporsi putih telur (%) diperoleh dengan cara menimbang putih telur dan dilakukan pengitungan dengan membagi bobot putih telur dengan bobot telur dan dikalikan 100%.
Proporsi Kerabang (%)
Proporsi kerabang (%) diperoleh dengan cara menimbang kerabang terlebih dahulu lalu dilakukan penghitungan dengan membagi bobot kerabang dengan berat telur dan dikalikan 100%.
Warna Kuning Telur yang Dihasilkan
Warna kuning telur yang diamati diukur menggunakan yolk colour fan
(Roche) yang mempunyai kisaran nilai 1-15. Telur yang diamati diambil secara acak pada setiap perlakuan.
Haugh Unit (HU)
Haugh Unit (HU) adalah satuan yang dipakai untuk mengukur kualitas telur dengan melihat kesegaran isinya dan dihitung menggunakan rumus: HU = 100 Log (H + 7,57 - 1,7W0,37)
Keterangan:
Hasil nilai HU:
> 72 = Kualitas AA 60-72 = Kualitas A 31-60 = Kualitas B < 31 = Kualitas C Indeks Telur
Indeks telur merupakan indeks kesegaran mutu telur yang dihitung dengan membagi ukuran lebar telur (mm) dengan panjang telur (mm).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum
Selama penelitian pada masa adaptasi terjadi kematian delapan ekor puyuh. Faktor perbedaan cuaca dan jenis pakan serta stres transportasi mungkin menjadi penyebab kematian tersebut. Hal ini karena puyuh penelitian didatangkan dari Kota Sukabumi sehingga masih menyesuaikan dengan kondisi lingkungan di Kota Bogor. Pengambilan data dilakukan setelah masa adaptasi. Pada saat pengambilan data dilakukan, terjadi kematian 2 ekor puyuh pada perlakuan kontrol. Hal ini disebabkan karena puyuh mengalami pickouts/prolapse di mana ukuran telur yang terlalu besar sehingga tidak mampu keluar dari saluran reproduksi. Rataan suhu kandang selama penelitian 26,68 ºC pada pagi hari, 30,46 ºC pada siang hari, dan 29,03 ºC pada sore hari. Suhu tersebut kurang sesuai dengan kebutuhan puyuh. Menurut Listiyowati dan Roospitasari (2004), suhu yang ideal bagi puyuh adalah 20-25 ºC. Suhu lingkungan kandang yang tinggi dapat menyebabkan puyuh stres sehingga lebih banyak mengkonsumsi air minum dibandingkan dengan ransum yang diberikan serta dapat menurunkan produksi telur.
Pengaruh Perlakuan terhadap Performa Puyuh
Pengaruh perlakuan terhadap konsumsi pakan, energi, protein dan konversi ransum puyuh selama 10 minggu penelitian disajikan dalam Tabel 5.
Konsumsi Pakan
Konsumsi pakan merupakan ransum yang dimakan oleh ternak untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi. Rataan konsumsi pakan puyuh dengan pemberian bromelin, tepung limbah udang, daun katuk, dan bawang putih menunjukkan hasil yang tidak berbeda dengan kontrol. Konsumsi pakan pada setiap perlakuan dapat dikatakan sama. Rataan konsumsi pakan pada perlakuan kontrol, pemberian bromelin, tepung limbah udang, daun katuk, dan bawang putih masing-masing yaitu 22,76±2,12; 22,22±1,59; 22,84±1,89; 24,00±3,22; dan 23,16±6,07 g/ekor/hari.
ransum perlakuan memiliki warna, aroma, dan rasa yang disukai oleh puyuh sehingga memiliki tingkat palatabilitas yang sama. Konsumsi pakan pada hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Triyanto (2007) yang memperoleh konsumsi pakan puyuh umur 6-13 minggu berkisar antara 20,96 gram/ekor/hari sampai 23,82 gram/ekor/hari. Achmanu et al. (2011) mencatat konsumsi pakan puyuh adalah 21,05 - 21,23 g/ekor/hari sedangkan hasil penelitian Sijabat (2007) konsumsi pakan puyuh umur 6 minggu ke atas berkisar antara 24,30 - 25,18 g/ekor/hari. Konsumsi ransum dipengaruhi oleh besarnya tubuh ternak, aktivitas ternak, suhu lingkungan, kualitas dan kuantitas ransum (NRC, 1994).
Kandungan energi dalam ransum dapat mempengaruhi konsumsi pakan. Hal ini sesuai dengan pernyataan North dan Bell (1990) bahwa faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan harian pada unggas adalah suhu lingkungan, kandungan energi pakan dan kapasitas tembolok. Pada penelitian ini, ransum setiap perlakuan memiliki kandungan energi dan protein kasar hampir sama. Puyuh yang digunakan juga mempunyai umur yang sama sehingga kapasitas temboloknya tidak jauh berbeda. Hal tersebut menyebabkan konsumsi pakan pada setiap perlakuan menjadi tidak berbeda.
(g/ekor/hari) 22,76±2,12 22,22±1,59 22,84±1,89 24,00±3,22 23,16±6,07 Konversi ransum 7,67±1,71 7,32±1,99 7,95±1,95 8,17±1,82 7,31±2,94 Konsumsi Protein
(g/ekor/hari) 5,13±0,37 5,02±0,36 5,16±0,43 6,18±0,83 5,23±1,37 Konsumsi Energi
(kkal/ekor/hari) 64,86±4,94 62,77±4,48 65,23±5,39 72,42±9,72 66,65±17,49 Keterangan : P0 : Ransum kontrol
P1 : P0 + bromelin 31,1 ppm
P2 : P0 + tepung limbah udang 0,45%
P3 : P0 + tepung daun katuk 10%
Konversi Ransum
Konversi ransum pada hasil penelitian menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Konversi ransum pada perlakuan kontrol, pemberian bromelin,tepung limbah udang, daun katuk, dan bawang putih masing-masing yaitu 7,67±1,71; 7,32±1,99; 7,95±1,95; 8,17±1,82; dan 7,31±2,94. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa pakan yang digunakan untuk menghasilkan tiap satuan produksi kurang efisien karena konversi ransum yang dihasilkan tinggi. Konversi pakan yang tinggi akan membutuhkan lebih banyak pakan untuk berproduksi. Hasil penelitian ini sesuai dengan konversi ransum yang dihasilkan Suprijatna et al. (2009) bahwa konversi ransum puyuh umur 7 - 14 minggu berkisar antara 8,38 - 6,41. Mawaddah.
(2011) memperoleh konversi ransum puyuh berkisar antara 5,6 - 15,2. Hasil penelitian ini juga hampir sama dengan hasil penelitian Handarini et al. (2008) bahwa konversi ransum puyuh umur 6 - 16 minggu berkisar antara 5,80 - 8,03.
Pakan yang diberikan efisien apabila pakan tersebut dapat dikonsumsi secara maksimal oleh unggas. Kemampuan puyuh dalam menyerap zat makanan pada setiap perlakuan tidak berbeda, sehingga tidak mempengaruhi konversi ransum. Pemberian perlakuan dalam ransum tidak mempengaruhi konversi ransum dikarenakan konsumsi pakan dan produksi telur dalam penelitian tidak berbeda nyata. Hal ini sesuai dengan pernyataan Widjastuti dan Kartasudjana (2006) bahwa adanya keseimbangan antara ransum yang dikonsumsi dengan produksi telur yang dihasilkan pada masing-masing perlakuan menyebabkan konversi ransum tidak berbeda.
Konsumsi Protein dan Konsumsi Energi
tepung daun katuk masing-masing 72,42±9,72 kkal/ekor/hari dan 6,18±0,83 gram/ekor/hari. Konsumsi energi metabolis dan protein yang mendapatkan perlakuan penambahan tepung bawang putih masing-masing 66,65 ± 17,49 kkal/ ekor/hari dan 5,23 ± 1,37 gram/ekor/hari. Tidak adanya perbedaan pada konsumsi energi metabolis dan protein karena dipengaruhi oleh konsumsi ransum yang juga tidak berbeda nyata. Selain itu, tingkat energi dan protein pada kelima ransum perlakuan juga relatif sama.
Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Zahra et al.
(2012) yang memperoleh konsumsi energi burung puyuh umur 9 - 12 minggu berkisar antara 49,74 - 54,61 kkal/ ekor/ hari dan konsumsi protein berkisar 6,78 - 5,80 g/ ekor/ hari. Hasil penelitian ini juga hampir sama dengan hasil penelitian Diwayani et al. (2012) yang memperoleh rata-rata konsumsi protein puyuh umur 7 - 10 minggu yaitu 5,52 - 6,25 gram/ekor/hari dan konsumsi energi antara 54,98 - 61,34 kkal/ekor/hari.
Konsumsi protein dan energi metabolis digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan dan produksi telur (Widjastuti dan Kartasudjana, 2006). Besarnya bobot telur yang dihasilkan oleh perlakuan penambahan bromelin juga dapat disebabkan karena konsumsi protein dan energi metabolis digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan sudah tercukupi, sehingga sisanya digunakan untuk menghasilkan telur yang besar. Kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan pada perlakuan kontrol yang belum tercukupi mengakibatkan konsumsi protein dan energi metabolis tidak banyak digunakan untuk produksi telur, sehingga bobot telur yang dihasilkan menjadi rendah.
Produksi Telur Quail Day
bawang putih masing-masing yaitu sebesar 32,25 ± 3,86%; 34,61 ± 6,88%; 36,16 ± 2,41%; 40,04 ± 8,91%; dan 39,50 ± 5,90%. Kandungan nutrisi antar perlakuan yang mencukupi kebutuhan puyuh sehingga tidak mempengaruhi proses pembentukan telur dan produksi telur. Hal ini didukung oleh hasil konsumsi pakan pada setiap perlakuan yang sama sehingga kandungan zat makanan yang diserap juga tidak berbeda. Produksi telur dipengaruhi oleh jumlah pakan yang dikonsumsi dan kandungan zat makanan di dalamnya. Tabel 6 menunjukkan nilai rataaan produksi telur quail day danproduksi massa telur yang diberi perlakuan selama penelitian. Tabel 6. Rataaan Produksi Telur Quail Day dan Produksi Massa Telur yang diberi
Perlakuan Selama 8 Minggu Penelitian
Telur (g/ekor) 172,38±39,22 176,20±31,67 165,74±26,99 173,85±59,21 184,13±25,02 Keterangan : P0 : Ransum kontrol
P1 : P0 + bromelin 31,1 ppm
P2 : P0 + tepung limbah udang 0,45%
P3 : P0 + tepung daun katuk 10%
P4 : P0 + tepung bawang putih 1%
Selama penelitian, umur puyuh berada dalam fase produksi sehingga memungkinkan untuk mencapai puncak produksi yang tinggi. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Handarini et al. (2008) bahwa produksi telur puyuh umur 6 – 16 minggu berkisar antara 38,86% - 47,94%. Zahra et al.
Listiyowati dan Roospitasari (2004) menyatakan bahwa suhu yang ideal bagi puyuh adalah 20-25 ºC.
Produksi Massa Telur
Nilai produksi massa telur pada hasil penelitian menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Produksi massa telur puyuh diperoleh dengan membagi jumlah telur yang ada (gram) selama penelitian dengan dengan jumlah puyuh yang masih hidup pada saat itu. Produksi massa telur dipengaruhi oleh bobot telur dan jumlah produksi telur quail day. Produksi massa telur digunakan untuk menyatakan produksi telur dalam bentuk bobot.
Nilai produksi massa telur pada perlakuan kontrol, pemberian bromelin, tepung limbah udang, daun katuk, dan bawang putih selama 8 minggu penelitian masing-masing yaitu sebesar 172,38±39,22; 176,20±31,67; 165,74±26,99; 173,85±59,21 dan 184,13±25,02 gram/ekor. Hal ini disebabkan jumlah telur yang dihasilkan pada setiap perlakuan dan jumlah puyuh yang ada selama penelitian tidak berbeda nyata sehingga menghasilkan massa telur yang sama. Produksi massa telur yang diperoleh pada penelitian lebih rendah dengan hasil penelitian Muslim (2010) bahwa produksi massa telur puyuh sampai 8 minggu produksi mencapai 278,88 gram/ekor. Perbedaan ini disebabkan oleh bobot telur dan produksi telur yang dihasilkan juga lebih tinggi masing-masing yaitu sebesar 9,67 gram/butir dan 78% sehingga produksi massa telur yang dihasilkan menjadi lebih besar. Hasil penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian Suprijatna et al. (2009) bahwa massa telur fase produksi (umur 7 – 14 minggu) berkisar antara 110,25 – 144,06 gram/ekor. hal ini disebabkan karena pada penelitian tersebut memiliki bobot telur yang tinggi namun produksi telurnya rendah sehingga massa telur yang dihasilkan menjadi rendah.
Kualitas Telur
Kualitas telur merupakan kumpulan faktor-faktor yang mempengaruhi penilaian dan selera konsumen terhadap mutu telur. Kualitas telur yang baik akan memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Menurut Yuwanta (2010) konsumen selalu mencari telur segar, dengan berat standar, kualitas kerabang baik, warna kuning telur menarik (kuning) dan putih telur relatif kental. Nilai kualitas telur yang digunakan meliputi bobot telur, persentase bobot komponen telur puyuh, indeks telur, skor warna kuning telur, tebal kerabang telur, dan nilai Haugh unit.
Bobot Telur
Rataaan bobot telur dan persentase bobot komponen telur puyuh yang diberi perlakuan selama penelitiansecara lengkap disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Rataaan Bobot Telur dan Persentase Bobot Komponen Telur Puyuh yang diberi Perlakuan Selama Penelitian
Peubah
Perlakuan Ransum
P0 P1 P2 P3 P4
Bobot Telur (g) 7,84c±0,82 9,09a±0,31 8,47ab±0,53 8,15b±0,84 8,60ab±0,37 Putih Telur (%) 58,45±1,80 59,86±0,35 59,40±0,44 59,32±0,29 59,37±0,81 Kuning Telur (%) 30,02±0,62 29,56±0,76 30,45±0,70 30,63±0,54 30,50±0,97 Kerabang (%) 9,79±0,10 9,81±0,39 9,47±0,21 9,75±0,21 9,78±0,08 Keterangan : P0 : Ransum kontrol
P1 : P0 + bromelin 31,1 ppm
P2 : P0 + tepung limbah udang 0,45%
P3 : P0 + tepung daun katuk 10%
P4 : P0 + tepung bawang putih 1%
Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
menunjukkan bahwa pemberian bromelin mampu meningkatkan kandungan asam amino dalam pakan sehingga membantu meningkatkan berat telur. Penyerapan protein di dalam ransum yang tinggi mengakibatkan pembentukan telur yang tinggi.
Bobot telur puyuh tidak hanya dipengaruhi oleh kuantitas ransum yang dikonsumsi akan tetapi kualitas ransum berperan penting, khususnya kandungan proteinnya (Mozin, 2006). Kebutuhan protein sangat penting dalam pembentukan telur. Kekurangan protein akan mengakibatkan menurunnya besar telur dan jumlah albumen telur (Amrullah, 2003). Bobot telur pada perlakuan penambahan tepung bawang putih dan tepung limbah udang menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dan masing-masing memiliki bobot telur yaitu 8,60±0,37g dan 8,47±0,53g. Pada perlakuan penambahan tepung daun katuk menunjukkan nilai bobot telur yang kecil dari perlakuan lainnya yaitu sebesar 8,15±0,84g tetapi perlakuan kontrol memiliki bobot telur yang paling kecil yaitu 7,84±0,82g.
Bobot telur yang rendah dapat disebabkan karena rendahnya penyerapan protein di dalam ransum yang digunakan untuk produksi telur, sehingga bobot telur yang dihasilkan menjadi rendah. Selain itu, kandungan asam amino di dalam pakan yang diserap tubuh tidak sebanyak pada perlakuan bromelin sehingga bobot telur yang dihasilkan menjadi lebih rendah. Hasil penelitian ini memiliki nilai bobot telur yang lebih rendah dari hasil penelitian Kul dan Seker (2004) yang memperoleh bobot telur sebesar 11,28 ± 0,06g. Hal ini dapat disebabkan karena umur puyuh yang digunakan juga berbeda yaitu umur 20 minggu. Meskipun demikian, bobot telur puyuh hasil penelitian masih pada kisaran normal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Anggorodi (1995) bahwa telur puyuh mempunyai berat 7% - 8% dari berat induk, yaitu berkisar antar 7-11 gram per butir.
Persentase Bobot Komponen Telur Puyuh
Komponen telur puyuh terdiri dari bahan pembentuk sebutir telur yang meliputi putih telur, kuning telur, dan kerabang telur. Putih telur merupakan sumber protein utama dalam telur. Nilai persentase putih telur pada semua perlakuan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Putih telur memiliki porsi terbesar dari telur. Persentase putih telur pada perlakuan kontrol, pemberian bromelin, tepung limbah udang, daun katuk, dan bawang putih masing-masing yaitu sebesar 58,45±1,80; 59,86±0,35; 59,40±0,44; 59,32±0,29; dan 59,37±0,81%. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Kul dan Seker (2004) bahwa persentase putih telur puyuh adalah 59,83±0,14%. Pemberian perlakuan pada ransum tidak mempengaruhi proses pembentukan putih telur di magnum. Persentase putih akan menurun seiring dengan meningkatnya persentase kuning telur, sehingga tidak ada perbedaan yang nyata antara persentase kuning telur dengan persentase putih telur.
Kuning telur dibungkus oleh membran vitelin dan kaya akan lemak, terutama lipovitelin sebagai bahan penyusun trigliserida, fosfitin, dan fosfolipid (Yuwanta, 2004). Proses pembentukan kuning telur tidak dipengaruhi oleh perlakuan dalam ransum. Nilai rataan persentase kuning telur menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Rataan persentase kuning telur pada perlakuan kontrol, pemberian bromelin, tepung limbah udang, daun katuk, dan bawang putih masing-masing yaitu 30,02±0,62; 29,56±0,76; 30,45±0,70; 30,63±0,54; dan 30,50±0,97%. Hasil penelitian Kul dan Seker (2004) memperoleh persentase kuning telur sebesar 32,71± 0,12%. Pada hasil penelitian ini, nilai persentase yang tidak berbeda dapat disebabkan karena tingkat konsumsi pakan yang sama sehingga penyerapan asam amino terutama metionin dan asam lemak linoleat dari pakan juga tidak berbeda. Hal ini sesuai dengan pernyataan Leeson dan Summers (2005) bahwa asupan asam amino terutama metionin dan asam lemak linoleat yang tidak berbeda akan menghasilkan bobot kuning telur yang sama.
masing-masing yaitu sebesar 9,79±0,10; 9,81±0,39; 9,47±0,21; 9,75±0,21; dan 9,78±0,08%. Kandungan kalsium maupun fosfor masing-masing ransum telah memenuhi kebutuhan, sehingga tidak memberikan pengaruh terhadap persentase kerabang telur. Pemberian perlakuan pada ransum tidak mempengaruhi proses pembentukan kerabang telur di uterus, proses penyerapan, dan proses deposisi kalsium yang dibutuhkan untuk pembentukan kerabang telur. Hasil penelitian Kul dan Seker (2004) memperoleh nilai persentase kerabang lebih rendah yaitu 7,47±0,04%. Hal ini dapat disebabkan karena kandungan mineral yang digunakan dalam pakan yang tidak sama sehingga menghasilkan tebal kerabang yang berbeda. Menurut Yuwanta (2004) mineral yang paling banyak terdapat pada kerabang telur adalah CaCO3 (98,43%);
MgCO3 (0,84%) dan Ca3(PO2)2(0,75%).
Rataan persentase bobot komponen telur puyuh tidak berbeda nyata menunjukkan penyerapan energi dan protein dalam ransum tidak mengalami gangguan akibat penambahan perlakuan. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Song et al. (2000) bahwa puyuh memiliki presentase bagian kuning telur 29,42% - 33,38%, putih telur 58,88% - 63,52%, dan kerabang 6,61%-7,99%.
Indeks Telur
Indeks telur menunjukkan nilai kesegaran mutu telur yang diperoleh dengan cara membagi ukuran lebar telur (mm) dengan panjang telur (mm). Nilai indeks telur yang kecil menunjukkan bahwa telur tersebut berbentuk lonjong dan telur yang bulat memiliki nilai indeks telur yang besar. Pada hasil penelitian, indeks telur menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian perlakuan pada ransum puyuh tidak mempengaruhi indeks telur.
Rataan indeks telur, skor warna, tebal kerabang, dan haugh unit telur puyuh yang diberi ransum kontrol, bromelin,tepung limbah udang, daun katuk, dan bawang putih secara lengkap disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Rataan Indeks Telur, Skor Warna, Tebal Kerabang, dan Haugh Unit Telur Puyuh yang diberi Ransum Kontrol, Bromelin, Tepung Limbah Udang, Daun Katuk, dan Bawang Putih*
Peubah
Perlakuan Ransum
P0 P1 P2 P3 P4
Indeks Telur 0,79±4,36 0,80±0,71 0,81±1,19 0,80±1,11 0,81±1,11 Skor Warna
Haugh Unit 92,64±1,01 91,67±0,49 91,95±1,58 91,24±1,02 91,67±1,04 Keterangan : P0 : Ransum kontrol
P1 : P0 + bromelin 31,1 ppm
P2 : P0 + tepung limbah udang 0,45%
P3 : P0 + tepung daun katuk 10%
P4 : P0 + tepung bawang putih 1%
Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) *delapan kali pengukuran selama penelitian
Skor Warna Kuning Telur
secara fisiologi akan diserap oleh organ pencernaan usus halus dan diedarkan ke organ target yang membutuhkan (Sahara, 2011).
Pada perlakuan pemberian bromelin, tepung limbah udang, bawang putih, dan kontrol menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Tepung limbah udang memiliki pigmen astaxanthin yang mampu memberikan warna pada kuning telur, tetapi karena penggunaannya dalam ransum sedikit, sehingga tidak memberikan pengaruh pada skor warna. Tepung bawang putih dan bromelin tidak memiliki pigmen warna sehingga tidak mempengaruhi skor warna. Kandungan pigmen pemberi warna pada ransum tersebut tidak sebanyak pada perlakuan pemberian tepung daun katuk, sehingga tidak mempengaruhi skor warna kuning telur. Warna yang dihasilkan pada kuning telur berasal dari bahan pakan dalam ransum, yaitu jagung yang memiliki pigmen karotenoid. Perbedaan skor warna juga dapat disebabkan keragaman pada setiap individu puyuh dalam menyerap dan menyimpan pigmen warna berbeda-beda serta kandungan bahan pakan yang diberikan.
Tebal Kerabang
Tebal kerabang pada perlakuan pemberian tepung bawang putih dan daun katuk hampir sama dengan pemberian bromelin dan kontrol yaitu masing-masing 0,165±0,01 mm dan 0,158±0,01 mm. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Song et al. (2000) bahwa rata-rata tebal telur puyuh sebesar 0,174 mm. Kul dan Seker (2004) memperoleh nilai tebal kerabang yang lebih tinggi yaitu 0,231±0,001 mm. Adanya perbedaan kandungan kalsium dalam pakan dapat menyebabkan ketebalan kerabang yang tidak sama. Perbedaan penyerapan kalsium ke dalam tubuh yang digunakan sebagai pembentukan kerabang telur juga dapat menghasilkan tebal kerabang yang berbeda.
Haugh Unit
Haugh unit merupakan parameter mutu kesegaran telur yang dihitung berdasarkan tinggi putih telur dan bobot telur. Nilai haugh unit pada hasil penelitian menunjukkan bahwa pada setiap perlakuan tidak berbeda nyata dan telur tergolong pada kualitas AA (terbaik) yang ditunjukkan dengan nilai HU di atas 72 (USDA, 2000). Nilai haugh unit pada perlakuan kontrol, pemberian bromelin,tepung limbah udang, daun katuk, dan bawang putih masing-masing yaitu 92,64±1,01; 91,67±0,49; 91,95±1,58; 91,24±1,02; dan 91,67±1,04. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian perlakuan pada ransum puyuh tidak mempengaruhi nilai haugh unit.
Hal ini terjadi karena belum banyak karbondioksida dan air yang menguap akibat adanya lapisan tipis kutikula yang masih melapisi pori-pori kerabang telur. Dengan demikian, permukaan putih telur belum banyak mengalami pengenceran. Menurut Haryono (2000), haugh unit ditentukan berdasarkan keadaan putih telur, yaitu merupakan korelasi antara bobot telur (gram) dengan tinggi putih telur (mm). Stadelman dan Cotterill (1995) menyatakan bahwa semakin tinggi albumen, maka tinggi pula nilai HU dan semakin bagus kualitas telur.
Telur yang diukur pada penelitian ini adalah telur yang baru dihasilkan sehingga menghasilkan nilai HU yang tinggi. Pengukuran haugh unit digunakan untuk mengetahui kekentalan putih telur. Kekentalan putih telur yang semakin tinggi ditandai dengan tingginya putih telur kental. Hal ini menunjukkan bahwa telur puyuh masih berada pada kondisi segar. Kul dan Seker (2004) mengukur rataan haugh unit
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penambahan bromelin, tepung limbah udang, daun katuk, dan bawang putih meningkatkan bobot telur tetapi tidak memberikan pengaruh terhadap peubah performa lain serta nilai Haugh unit dan indeks telur. Penambahan daun katuk menghasilkan skor warna kuning telur yang tinggi.
Saran
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat serta karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Asep Sudarman, M.Rur.Sc sebagai dosen pembimbing utama sekaligus dosen pembimbing akademik atas segala bimbingan, nasihat serta sarannya selama penulis menjadi mahasiswa, selama penelitian hingga penulisan skripsi dan Dr. Ir. Sumiati, M.Sc sebagai dosen pembimbing anggota atas segala kesabarannya dalam memberikan bimbingan dan saran selama penelitian hingga penulisan skripsi ini dapat selesai. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ir. Lidy Herawati, MS selaku panitia seminar dan Ir. Widya Hermana, M.Si sebagai dosen pembahas yang telah memberikan saran-saran pada seminar penulis. Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr. Sc dan Dr. Rudi Afnan, S.Pt. M.Sc. Agr selaku penguji sidang serta Dr. Sri Suharti, S.Pt. M.Si selaku panitia sidang yang telah banyak memberikan masukan, saran, dan pemahaman dalam penyelesaian skripsi ini.
Ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya, penulis haturkan kepada Ayahanda Tri Agus Siswanto (Alm) dan Ibunda Sri Supadmi yang selalu mencurahkan kasih sayang, doa, kesabaran, serta dukungan moril dan material yang diberikan kepada penulis. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada kakak Arif Dwi Sulaksono dan Adikku Tri Setia Agustiani yang terus memberikan semangat bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan satu penelitian (Denbeti, dan Aldrian) atas kerjasama selama penelitian. Terima kasih kepada teman-teman Edelweis atas semangat, perhatian dan motivasi yang sangat berarti bagi penulis. Terima kasih kepada teman-teman INTP 45 (Genetic 45) dan IPB atas kebersamaan yang telah tercipta, semoga tali silahturahim kita tetap terjalin.
Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan bagi semua pihak yang menggunakannya.
Bogor, 2012
DAFTAR PUSTAKA
Achmanu, Muharlien, & Salaby. 2011. Pengaruh lantai kandang (rapat dan renggang) dan imbangan jantan-betina terhadap konsumsi pakan, bobot telur, konversi pakan dan tebal kerabang pada burung puyuh. J. Ternak Tropika, 12 (2): 1-14
Amrullah, I. K. 2003. Nutrisi Ayam Petelur. Lembaga Satu Gunungbudi, Bogor. Anggorodi, H. R. 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. Gramedia Pustaka Utama,
Departemen Pertanian. 2003. Statistik Pertanian. Pusat Data dan Informasi Pertanian. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1989. Daftar Komposisi Bahan Makanan.
Bharata, Jakarta.
Direktorat Jenderal Peternakan. 2012. Statistik Peternakan [terhubung berkala]. http://ditjennak.deptan.go.id. [5 Oktober 2012].
Diwayani, R. M., D. Sunarti, & W. Sarengat. 2012. Pengaruh pemberian pakan bebas pilih (free choice feeding) terhadap performans awal peneluran burung puyuh
(Coturnix coturnix japonica). J. Anim. Agric. 1 (1): 23-32.
Ensminger, M. A & C. Nesheim. 1992. Poultry Science (Animal Agriculture Series). 3rd Edition. Interstate Publishers, Inc. Danville, Illinois.
Handarini, R., E. Saleh, & B. Togatorop. 2008. Produksi burung puyuh yang diberi ransum dengan penambahan tepung umbut sawit fermentasi. J. Agribisnis Peternakan, 4 (3): 107-110.
Haryono. 2000. Langkah-Langkah Teknis Uji Kualitas Telur Konsumsi Ayam Ras. Balai Penelitian Ternak, Bogor.
Haryoto. 1996. Pengawetan Telur Segar. Kanisius, Yogyakarta.
Hastuti, R. P. 2008. Pengaruh penggunaan bubuk bawang putih (Allium sativum) dalam ransum terhadap performa ayam kampung yang diinfeksi cacing Ascaridia galli. Skripsi. Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hazim, J. A., W. M. Razuki., W. K. Al-Hayani, & A. S. Al-Hassani. 2010. Effect of dietary on egg quality of laying quail. J. Poult. Sci. 9 (6): 584-590.
Hulshoff, P. J. M., C. Xu, P. Van De Bovenkamp, Muhilal & C. E. West 1997. Application of a validated method for the determination of provitamin A carotenoids in Indonesian foods of different maturity and origin. J. Agric. Food Chem. 45: 1174 – 1179.
Kul, S. & I. Seker. 2004. Phenotypic correlations between some external and internal egg quality traits in the Japanese quail (Coturnix coturnix japonica). Int. J. Poult. Sci.3: 400-405.
Leeson, S. & J. D. Summer. 2005. Commercial Poultry Nutrition. 3rd Ed. University Books, Guelph,Ontario.
Listiyowati, E. & K. Roospitasari. 2004. Puyuh: Tata Laksana Budi Daya Secara Komersial. Penebar Swadaya, Jakarta.
Mawaddah, S. 2011. Kandungan kolesterol, lemak, vitamin A dan E dalam daging, hati, dan telur, serta performa puyuh dengan pemberian ekstrak dan tepung daun katuk (Sauropus androgynus L. Merr) dalam ransum. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Mirzah. 2000. Pengaruh pemanfaatan produk tepung limbah udang hasil olahan dengan tekanan uap terhadap performan ayam broiler. J. Vet & Ling. 2: 23-26.
Muslim. 2010. Pemberian Campuran Dedak dan Ampas Tahu Fermentasi dengan
Monascus Purpureus dalam Ransum terhadap Performa dan Kualitas Telur Puyuh. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Andalas. Padang.
National Research Council. 1994. Nutrient Requirements of Poultry. 9th Revised Edition. National Academy Press, Washington. D. C.
North, M. O & Bell, D. D. 1990. Commercial Chicken Production Manual. 4th Ed .Van Nostrand Reinhold. New York.
Nugroho & I. G. T. Mayun. 1986. Beternak Burung Puyuh. Eka Offset, Semarang. Rasyaf, M. 1991. Pengelolaan Produksi Telur. Kanisius, Yogyakarta.
Rasyaf, M. 1993. Beternak Itik Komersial. Edisi Kedua. Kanisius, Yogyakarta. Rismana, E. 2003. Serat kitosan mengikat lemak. Pusat pengkajian dan
pengembangan teknologi farmasi dan medika. Pusat Penelitian Terpadu, Jakarta.
Roesdiyanto. 2002. Kualitas telur itik tegal yang dipelihara secara intensif dengan berbagai tingkat kombinasi metionin-lancang (Atlanta sp.) dalam pakan. J. Animal Production, 4 (2):77-82.
Rubatzky, E. Vincent & M. Yamaguchi. 1999. Sayuran Dunia 3. Edisi Kedua. Terjemahan: C. Herison. ITB Bandung, Bandung.
Rukmana, R. 1995 . Budi Daya Bawang Putih. Kanisius, Yogyakarta.
Sahara, E. 2011. Penggunaan kepala udang sebagai sumber pigmen dan kitin dalam pakan ternak. Agrinak. 1 (1): 31-35.
Sebayang, F. 2006. Pengujian stabilitas enzim bromelin yang diisolasi dari bonggol nanas serta imobilisasi menggunakan kappa karagenan. Jurnal Sains Kimia, 10 (1): 20-26.
Shanaway, M. M. 1994. Quail Production Systems: A Review. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome.
Sijabat, N. W. N. 2007. Pengaruh suplementasi mineral (Na, Ca, P, dan Cl) dalam ransum terhadap produksi puncak telur puyuh (Coturnix coturnix japonica).
Skripsi. Departemen Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan.
Song, K. T., S. H. Choi & H. R. Oh. 2000. A comparison of egg quality of pheasant, chukar, quail,and guinea fowl. Asian-Aus. J. Anim. Sci. 13 (7): 986-990. Stadellman, W. J. & O. J. Cotterill. 1995. Egg Science and Technology. 4th Edition.
The Haworth Press, Inc., New York.
Standar Nasional Indonesia. 2006. Pakan puyuh bertelur (quail layer), SNI 01-3907-2006. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Subekti, S. 2007. Komponen sterol dalam ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus L. Merr) dan hubungannya dengan system reproduksi puyuh. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Subekti, S., S. S. Sumarti, & T. B. Murdiarti. 2008. Pengaruh daun katuk (Sauropus androgynus L. Merr) dalam ransum terhadap fungsi reproduksi pada puyuh. JITV, 13 (3): 167-173.
Sujionohadi, K. & A. I. Setiawan. 2007. Ayam Kampung Petelur. Niaga Swadaya, Jakarta.
Suhermiyati, S. & S. J. Setyawati. 2008. Potensi limbah nanas untuk peningkatan kualitas limbah ikan tongkol sebagai bahan pakan unggas. Animal Production. 10 (3): 174-178.
Sumarni & N. Djuarnani. 1995. Penanganan Pasca Panen Unggas. Departemen Pertanian. Balai Latihan Pertanian, Ciawi, Bogor
Suprapti, M. L. 2002. Pengawetan Telur, Telur Asin, Tepung Telur, Telur Beku. Kanisius, Yogyakarta.
Suprijatna, E., D. Sunarti, L. J. Mahfudz & U. Ni’mah. 2009. Efisiensi penggunaan protein untuk produksi telur pada puyuh akibat pemberian ransum protein rendah yang disuplementasi lisin sintetis. Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan; Semarang, 20 Mei 2009. Semarang: Fakultas Peternakan UNDIP. hlm 648-654.
Syamsir, E., Soekarto, S. T., & S. S. Mansjoer. 1994. Studi komparatif sifat mutu dan fungsional telur puyuh dan telur ayam ras. Bul. Tek dan Industri Pangan, 5 (3): 34-38.
udang. Skripsi. Program Studi Nutrisi & Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Triyanto. 2007. Performa produksi burung puyuh (Coturnix coturnix japonica) periode produksi umur 6-13 minggu pada Lama pencahayaan yang berbeda. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
United States Departement of Agriculture [USDA]. 2000. Egg Grading Manual. Agricultural Handbook, No.75, Washington, D.C.
Wanasuria, S. 1990. Tepung kepala udang dalam pakan broiler. Poultry Indonesia. No. 122/Th. XI: 19-21.
Williams, C. N., J. O. Uzo, & W. T. H. Peregrine. 1993. Produksi Sayuran di Daerah Tropika. Terjemahan: D. Darmadja. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Wiryawan, K. G., S. Suharti, & M. Bintang. 2005. Kajian antibakteri temulawak, jahe dan bawang putih terhadap Salmonella typhimurium serta pengaruh bawang putih terhadap performans dan respon imun ayam pedaging. Media Peternakan. 28 (2): 52-62.
Widjastuti, T & R. Kartasudjana. 2006. Pengaruh pembatasan ransum dan implikasinya terhadap performa puyuh petelur pada fase produksi pertama. J. Indon. Trop. Anim. Agric. 31 (3):162-166.
Yaman, M. A. 2010. Ayam Kampung Unggul 6 Minggu Panen. Penebar Swadaya, Jakarta.
Yuliani, S. 2001. Diversivikasi produk katuk. Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat. 13 (1) : 68 - 76.
Yulianingsih, R & Y. Teken. 2008. Fermentasi kepala udang dengan enzim kitinase. Bul. Tek. Lit. Akuakultur, 7 (1): 65-68.
Yuwanta, T. 2004. Dasar Ternak Unggas. Kanisius, Yogyakarta.
Yuwanta, T. 2010. Telur dan Kualitas Telur. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.