• Tidak ada hasil yang ditemukan

Plasmodium berghei

Klasifikasi

Menurut Levine 1990, klasifikasi P. berghei adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Protozoa Subfilum : Apicomplexa Kelas : Sporozoasida Subkelas : Coccidiasina Ordo : Eucoccidiorida Subordo : Haemospororina Famili : Plasmodiidae Genus : Plasmodium

Spesies : Plasmodium berghei

P. berghei adalah hemoprotozoa yang menyebabkan malaria pada rodensia, terutama rodensia kecil. P. berghei banyak digunakan dalam penelitian pengembangan biologi parasit malaria pada manusia karena sudah tersedianya teknologi pembiakan secara in vitro dan pemurnian pada tahapan siklus hidup, pengetahuan pada susunan genom dan pengaturannya dan sebagainya. Bahkan secara analisis molekuler P. berghei sama seperti golongan Plasmodium yang menginfeksi manusia dengan model ini kemungkinan dapat dilakukan manipulasi pada hospes sehingga dapat dipelajari perubahan imunologis yang terjadi selama infeksi malaria (Jekti et al. 1999).

P. berghei memiliki induk semang invertebrata dan vertebrata. Anopheles dureni merupakan indung semang avertebrata sedangkan induk semang vertebratanya adalah Thamnomys surdaster, Praomysjacsoni dan Leggada bella

Gambar 1. P. berghei (Anonim 2007b)

Siklus Hidup

P. berghei memiliki dua tahapan siklus hidup, yaitu tahap siklus hidup seksual yang berlangsung di dalam tubuh nyamuk dan tahapan aseksual dalam tubuh induk semang vertebrata.

Fase Seksual

Bila nyamuk Anopheles spp betina menghisap darah induk semang yang mengandung parasit malaria, parasit aseksual dicerna bersamaan dengan eritrosit tetapi gametosit dapat tumbuh terus. Inti pada mikrogametosit membelah menjadi empat sampai delapan yang masing-masing menjadi bentuk panjang seperti benang (flagel) dengan ukuran 20-25 mikron, menonjol keluar dari sel induk, bergerak-gerak sebentar kemudian melepaskan diri. Proses ini disebut dengan eksflagelasi yang hanya berlangsung beberapa menit. Gametosit kemudian mengalami proses pematangan (maturasi) menjadi mikrogamet dan makrogamet. Dalam lambung nyamuk, gamet jantan (mikrogamet) tertarik oleh gamet betina (makrogamet) yang membentuk tonjolan kecil tempat masuknya mikrogamet sehingga pembuahan berlangsung. Hasil pembuah ini disebut dengan zigot.

Pada permulaan, zigot merupakan bentuk bulat yang tidak bergerak tetapi dalam waktu 18-24 jam menjadi bentuk panjang dan bergerak yang disebut dengan ookinet. Ookinet ini kemudian menembus dinding lambung melalui sel epitel ke permukaan luar lambung dan menjadi bentuk bulat (ookista). Jumlah ookista pada lambung Anopheles spp berkisar antara beberapa buah sampai beberapa ratus buah. Ookista makin lama makin besar membentuk bulatan- bulatan semitransparan dengan ukuran 40-80 mikron dan mengandung butir-butir pigmen. Bila ookista makin membesar dan intinya membelah maka pigmen tidak

akan tampak lagi. Inti yang sudah membelah dikelilingi oleh protoplasma yang berbentuk panjang dengan kedua ujungnya runcing dan inti ditengah (sporozoit). Kemudian ookista pecah, ribuan sporozoit dikeluarkan dan bergerak dalam rongga badan nyamuk untuk mencapai kelenjar liur. Sporozoit-sporozoit menandakan berakhirnya fase seksual (Noble dan Noble 1989).

Fase Aseksual

Bila nyamuk Anopheles spp betina yang mengandung parasit malaria dalam kelenjar liurnya menusuk induk semang vertebrata, sporozoit yang berada dalam air liurnya masuk melalui probosis yang ditusukkan ke dalam kulit. Sporozoit segera masuk dalam peredaran darah dan setelah setengah jam sampai satu jam masuk ke dalam sel hati. Proses ini disebut dengan skizogoni praeritrosit. Inti parasit membelah diri berulang-ulang. Pembelahan inti disertai dengan pembelahan sitoplasma yang mengelilingi tiap inti sehingga terbentuk beribu-ribu merizoit berinti satu dengan ukuran 1.0 sampai 1.8 mikron.

Pada akhir fase praeritrosit, skizon pecah, merozoit keluar dan masuk diperedaran darah. Sebagian besar menyerang eritrosit yang berada di sinusoid hati tetapi beberapa difagositosis. Merozoit yang dilepaskan oleh skizon mulai menyerang eritrosit. Invasi merozoit bergantung pada interaksi reseptor eritrosit, glikoforin dan merozoit sendiri. Sisi anterior merozoit melekat pada membran eritrosit kemudian membrane merozoit menebal dan bergabung dengan membrane plasma eritrosit lalu melakukan invaginasi membentuk vakuol dengan parasit di dalamnya. Stadium termuda dalam darah berbentuk bulat dan kecil, beberapa diantaranya mengandung vakuol sehingga sitoplasma terdorong ke tepi dan inti berada di kutubnya, oleh karena sitoplasma mempunyai bentuk lingkaran maka parasit muda disebut bentuk cincin. Selama pertumbuhan bentuknya berubah- ubah menjadi tidak teratur yang disebut trofozoit. Parasit ini mencerna hemoglobin dalam eritrosit dan sisa metabolismenya berupa pigmen malaria (hemozoin dan hematin). Setelah masa pertumbuhan, parasit berkembang biak secara aseksual melalui proses skizogoni. Inti parasit membelah menjadi sebuah inti yang lebih kecil yang diikuti dengan pembelahan sitoplasma (skizon). Skizon mengalami proses pematangan membentuk merozoit. Setelah proses skizogoni selesai, eritrosit pecah dan melepaskan merozoit ke dalam aliran darah (sporulasi).

Kemudian merozoit memasuki eritrosit baru dan generasi lain dibentuk dengan cara yang sama. Sebagian merozoit tumbuh menjadi bentuk seksual (gametogensis). Bentuk seksual tumbuh tetapi intinya tidak membelah (Gandahusada et al. 2000).

Gambar 2. Siklus Hidup P. berghei (CDC 2009)

Malaria

Malaria merupakan salah satu penyakit paling fatal di dunia, khususnya di daerah tropis dan merupakan endemis di 102 negara dengan lebih dari setengah populasi di dunia beresiko terkena malaria (Symth 1994). Perjalanan malaria terdiri atas serangan demam yang disertai oleh gejala lain yang diselingi oleh periode bebas penyakit. Malaria disebabkan oleh infeksi parasit genus

Plasmodium yang memiliki gejala klinis khas yaitu demam naik turun dan teratur disertai menggigil. Pada infeksi malaria, demam secara periodik berhubungan dengan waktu pecahnya sejumlah skizon matang dan keluarnya merozoit yang masuk ke dalam alian darah. Masa tunas intrinsik pada malaria adalah waktu antara sporozoit masuk dalam tubuh induk semang sampai timbulnya gejala demam, biasanya berlangsung antara 8-37 hari (Gandahusada et al. 2000). Serangan demam malaria dimulai dengan gejala prodomal, yaitu lesu, sakit

kepala, disertai mual dan muntah. Demam biasanya bersifat intermiten (febris intermitten), dapat juga remiten atau terus menerus (febris kontinua). Menurut Gandahusada et al. (2000) serangan demam terdiri atas beberapa stadium:

1. Stadium menggigil

Dimulai dengan perasaan dingin sekali lalu denyut nadi cepat tapi lemah, bibir dan tangan menjadi biru, kadang disertai dengan muntah. Stadium ini berlangsung antara 15 menit sampai satu jam.

2. Stadium puncak demam

Dimulai pada saat mengigil berubah menjadi panas sekali. Muka menjadi merah, kulit kering dan terasa panas seperti terbakar, sakit kepala hebat, mual dan muntah, nadi penuh dan berdenyut keras. Suhu tubuh mencapai 410 C atau lebih. Stadium ini berlangsung selama dua sampai enam jam. 3. Stadium berkeringat

Dimulai dengan banyak berkeringat, suhu turun dengan cepat kadang sampai subnormal, stadium ini berlangsung sampai dua sampai empat jam. Serangan demam yang khas ini sering dimulai pada siang hari dan berlangsung delapan sampai duabelas jam. Setelah itu terjadi stadium apireksia. Gejala infeksi yang timbul kembali setelah serangan pertama biasanya disebut relaps. Relaps dapat bersifat rekrudensi (relaps jangka pendek) atau rekurens (relaps jangka panjang). Rekrudensi timbul karena parasit dalam darah menjadi banyak. Demam timbul lagi dalam waktu delapan minggu sesudah serangan pertama hilang sedangkan rekurens timbul karena parasit daur eksoeritrosit dari hati masuk dalam darah dan menjadi banyak sehingga demam timbul lagi dalam waktu 24 minggu atau lebih setelah serangan pertama hilang. Bila infeksi malaria tidak menunjukkan gejala di antara serangan pertama dan relaps maka keadaan ini disebut periode laten klinis walaupun mungkin ada parasitemia dan gejala lain seperti splenomegali.

Salah satu tanda khas pada infeksi malaria menahun adalah splenomegali. Perubahan pada limpa biasanya disebabkan oleh kongesti tetapi kemudian limpa berubah warna menjadi hitam karena pigmen yang ditimbun dalam eritrosit yang mengandung parasit dalam kapiler dan sinusoid. Gangguan ini terutama disebabkan oleh peningkatan jumlah makrofag limpa (hyperplasia makrofag).

Pada malaria menahun jaringan ikat semakin bertambah sehingga konsistensi limpa menjadi keras.

Pada malaria terjadi anemia. Jenis anemia pada malaria adalah hemolitik, normokromik dan normositik. Pada serangan akut kadar hemoglobin turun secara mendadak. Anemia disebabkan oleh penghancuran eritrosit yang mengandung

parasit dan tidak mengandung parasit terjadi di dalam limpa (Noble dan Noble1989).

Mencit (Mus musculus)

Mencit merupakan hewan coba yang sering digunakan dalam penelitian. Mencit memiliki sifat-sifat reproduksi yang mirip dengan mamalia besar serta siklus estrus yang pendek (Malole dan Pramono 1989). Hewan ini digunakan karena cukup efisien, mudah dipelihara, tidak memerlukan tempat yang luas untuk pemeliharaanya, waktu kebuntingan yang singkat dan banyak memiliki anak per kelahiran.

Taksonomi mencit menurut Malole dan Pramono (1989) adalah: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Mamalia Ordo : Rodentia Famili : Muridae Subfamili : Murinae Genus : Mus

Spesies : Mus Musculus

Gambar 3. M. musculus albinus (CDC 2009

Morfologi Mencit

Mencit (M. musculus) adalah hewan pengerat yang memiliki variasi genetiknya cukup baik dengan sifat anatomis dan fisiologisnya terkarakterisasi

dengan baik. Menurut Suhana (1944) sifat biologis mencit mendukung mencit sebagai hewan percobaan dengan lama hidup 1-2 tahun. Walau ukuran tubuhnya kecil namun denyut jantungnya 600/menit dengan konsumsi oksigennya 1.7 ml/gr/jam. Susunan giginya 3/3, tidak ada taring dan premolar. Mencit memiliki tiga pasang mamae dibagian dada dan dua pasang mamae di daerah inguinal.

Perutnya terdiri dari bagian yang berkelenjar dan tanpa kelenjar (Malole dan Pramono 1989).

Tabel 1 nilai fisiologis mencit.

Kriteria Nilai

Frekuensi nafas 94-163/menit

Frekuensi jantung 325-780/menit

Volume darah 76-80 mg/kg

Tekanan darah 113-147/81-106 mm Hg

Butir darah merah 7.0-12.5 x 103/mm3

Hematokrit 39-49 %

Hemoglobin 10.2-16.6 mg/dl

Butir darah putih 6-15x 103

Neutrofil 10-40 % Limfosit 55-95 % Eosinofil 0-40 % Monosit 0.1-3.5 % Basofil 0-0.3 % Platelet 160-410 x 103 Protein serum 3.5-7.2 g/dl Albumin 2.5-4.8 g/dl

(Malole dan Pramono 1989)

Sel Darah Putih (Leukosit)

Leukosit atau sel darah putih terbagi menjadi dua golongan besar, yaitu granuler (neutrofil, eosinofil dan basofil) dan agranuler (limfosit dan monosit). Pembagian ini berdasarkan pada ada atau tidak adanya butiran (granul) dalam sitoplasma (Frandson 1996).

Diferensiasi sel darah putih dilakukan dengan membedakan jumlah tiap sel leukosit dalam darah mencit. Menurut Suhana (1994) sel darah putih pada mencit adalah 6,0-12,0 x 106/mm3 dengan rincian neutrofil 12-30%, eosinofil 0.2-4%, basofil 0.03%, limfosit 55-85% dan monosit 1-12%.

Granulosit a. Neutrofil

Menurut Dellman dan Brown (1992) neutrofil dewasa berdiameter 10-12 mikrometer dengan sitoplasma beraspek kelabu pucat dan terdapat butir-butir halus berwarna ungu serta inti bergelambir. Neutrofil bersifat sangat reaktif, bersama makrofag biasanya menjadi sel leukosit yang datang pertama kali ke daerah yang terinfeksi (Martini 1992). Neutrofil menghancurkan benda asing atau agen penyakit dengan cara fagositosis. Enzim lisosom neutrofil dapat mencerna dinding sel bakteri, enzim proteolitik, mieloperoksidase, ribonuklease dan fosfolipase secara bersamaan bersifat letal bagi agen penyakit (Tizard 1982). Proses fagositosis ini kemudian dibantu oleh monosit yang mengalami transformasi ketika sel ini memasuki jaringan ikat dan menjadi sel-sel fagosit yang besar yang disebut sebagai makrofag. Semua proses ini adalah pertahanan tubuh yang bersifat nonspesifik.

Neutrofil diproduksi di dalam sumsum tulang bersamaan dengan sel granulosit lainnya kemudian bersirkulasi atau disimpan dalam depo marginal neutrofil setelah 4-6 hari masa produksi. Neutrofil segera akan mati setelah melakukan fagosit terhadap agen penyakit dan akan dicerna oleh enzim lisosom kemudian neutrofil akan mengalami autolisis yang akan melepaskan zat-zat degradasi yang masuk ke dalam jaringan limfe. Jaringan limfe akan merespon dengan mensekresikan histamin dan faktor leukopoetik yang akan merangsang sumsum tulang untuk melepaskan neutrofil muda untuk melawan infeksi (Dellman dan Brown 1992). Pada penyakit yang disebabkan oleh agen bakteri, umumnya terjadi peningkatan jumlah neutrofil dan akan tampak neutrofil muda. Jumlah neutrofil di dalam darah dipengaruhi oleh tingkat granulopoiesis, laju aliran sel darah dari sumsum tulang, pertukaran antar sel di dalam sirkulasi dan depo marginal, masa hidupnya dalam sirkulasi dan laju aliran sirkulasi darah menuju jaringan (Jain 1993).

Gambar 4. Neutrofil (Laszlo 2006)

b. Eosinofil

Eosinofil atau asidofil memiliki granul bundar dan besar yang berwarna cerah dengan pewarnaan Wright’s (Sturkie dan Grimminger 1976). Inti sel eosinofil memiliki dua lobus dan tidak multilobus seperti neutrofil (Caceci 1998). Sel eusinofil berukuran 10-12 mikrometer (Metcalf 2006) dan jangka hidupnya 3- 5 hari dalam sirkulasi darah (Hartono 1992). Jumlah eosinofil sekitar 1-3% dari total leukosit dan akan meningkat bila terjadi reaksi alergi, infeksi parasit dan benda asing (Ganong 1983). Jumlah eosinofil cenderung rendah pada saat stress, pelepasan kortikosteroid dan infeksi akut (Jain 1993).

Gambar 5. Eosinofil (Laszlo 2006)

Eosinofil dibentuk di dalam sumsum tulang, bersifat kurang fagositik namun bersifat kemotaksis (Ganong 1983). Sel ini mempunyai sifat amuboid dan fagositik untuk toksifikasi terhadap protein asing yang masuk ke dalam tubuh dan racun yang dihasilkan oleh mikroorganisme (1996). Eosinofil mengandung suatu komponen enzim yang sama dengan neutrofil tetapi tidak memiliki lisosim dan phagotisin namun mengandung kadar peroksidase yang tinggi dan histaminase (Rumawas 1989). Eosinofil berperan dalam mengatur alergi akut dan proses

peradangan, mengatur invasi parasit dan memfagositosis bakteri, antigen-antibodi komplek, mikroplasma dan ragi (Hartono 1992). Eosinofil dapat menetralkan faktor radang yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil dalam reaksi hipersensitifitas tipe 1 (Tizard 1982).

c. Basofil

Basofil merupakan leukosit granulosit yang berwarna biru sampai ungu dengan pewarnaan dan memiliki jumlah yang sedikit dalam darah normal (Frandson 1996). Memiliki diameter antara 10-15 mikrometer dengan inti dua bergelambir atau bentuk inti tidak teratur. Menurut Metcalf (2006) sel ini berjumlah 0,5-1% atau 3.1% (Sturkie dan Grimminger 1976) dari jumlah total sel darah putih.

Gambar 6. Basofil (Laszlo 2006)

Basofil dapat merangsang reaksi hipersensitifitas dengan pelepasan mediator radang dan alergi (Frandson 1996). Pada saat terjadi peradangan, basofil akan melepaskan histamine, heparin, bradikinin dan serotonin sehingga menyebabkan alergi (Tizard 1982). Heparin yang dilepaskan ke dalam sirkulasi darah akan mencegah terjadinya penggumpalan darah dan dapat mempercepat pelepasan jaringan lemak dari darah (Ganong 1983). Basofil memiliki fungsi penting namun diantaranya belum diketahui secara pasti (Martini 1992).

Agranulosit a. Limfosit

Limfosit adalah leukosit agranulosit yang mempunyai ukuran dan bentuk yang bervariasi (Sturkie dan Grimminger 1976). Beberapa limfosit dibentuk dalam sumsum tulang dan sebagian lagi dibentuk di dalam limfonodus, timus dan limpa (Ganong 1983). Limfosit juga diproduksi di daun peyer dan tonsil (Lubis 1993). Limfosit memiliki nukleus yang relatif besar dan dikelilingi oleh

sitoplasma (Frandson 1996). Umumnya limfosit memiliki inti bulat dan berwarna ungu (Dellman dan Brown 1992). Menurut morfologinya dibedakan atas tipe kecil dan tipe besar. Tipe kecil merupakan limfosit dewasa dengan diameter 6-9 mikrometer serta perbandingan sitoplasma 1:9 dan inti bulat heterokromatik. Tipe besar merupakan limfosit muda yang jarang ditemukkan pada sirkulasi darah dengan karakteristik diameter 915 mikrometer, perbandingan sitoplasma inti sebesar 1:1, inti melekuk heterokromatik dan dikelilingi sitoplasma (Microanatomy 1999).

Gambar 7. Limfosit (Laszlo 2006)

Limfosit memiliki fungsi utama yaitu memiliki respon benda asing dan memproduksi antibodi sebagai respon terhadap benda asing yang difagosit makrofag (Tizard 1982). Di dalam darah, limfosit terbagi atas tiga tipe sel yaitu sel B, sel T dan sel non T, non B yang disebut sel null. Tipe sel B hanya terdapat sekitar 10-12% dan berperan dalam kekebalan humoral yang akan membentuk sel memori dan sel plasma. Sel plasma akan membentuk antibodi. Sel B diproduksi di sumsum tulang, limfonoduli dan limpa yang dipengaruhi oleh interferon-Y (Jain 1993). Limfosit dan turunannya berperan dalam kekebalan selular (Ganong 1999). Menurut Dellman dan Brown (1992) sel limfosit T terdiri atas limfosit T-killer

(cytotoxic/CTLs), limfosit T-helper (Th cell), limfosit T-supresor (Ts cell). Limfosit menghasilkan berbagai limfokin, salah satunya adalah migration inhibitor faktor yang mencegah perpindahan makrofag. Zat lain yang dihasilkan limfosit adalah faktor kemotaksis untuk makrofag, lymphocyte transforming substance dan faktor peradangan (Dellman dan Brown 1992). Limfosit dalam darah dipengaruhi oleh jumlah produksi, sirkulasi dan proses penghancuran limfosit (Jain 1993).

b. Monosit

Monosit merupakan leukosit agranulosit yang diproduksi di sumsum tulang dan retikuloendotelial sistem limpa (Swenson et al. 1993), memiliki jumlah antara 3.5%-8% dari jumlah leukosit dalam darah (Metcalf 2006). Monosit memiliki diameter 15-20 mikrometer dan nucleus yang besar serta sitoplasma yang besar tanpa granul (Dellman dan Brown 1992). Nukleus monosit berbentuk tapal kuda. Monosit memiliki masa edar yang singkat dalam sirkulasi darah dengan sedikit kemampuan melawan agen penyakit kemudian masuk ke dalam jaringan menjadi makrofag (Ganong 1999). Monosit berperan penting dalam reaksi imunologi dengan cara membentuk protein dari suatu komplemen dan mengeluarkan substansi yang mempengaruhi terjadinya proses peradangan kronik (Swenson et al. 1993). Monosit pada jaringan perifer disebut dengan makrofag yang sangat aktif setelah terjadi perlukaan. Makrofag dapat bersatu menjadi giant cell atau sel raksasa yang berfungsi memfagositasi antigen yang berukuran lebih besar ( Martini 1992). Makrofag memiliki kemampuan fagositasis yang lebih hebat dibandingkan neutrofil dan mampu memfagosit sebanyak 1000 bakteri (Guyton 1996).

Gambar 8. Monosit (Laszlo 2006)

Makrogaf aktif melepaskan bahan aktif yang berperan penting dalam proses peradangan dan memperbaiki luka. Bahan aktif yang dilepaskan oleh makrofag diantaranya plasma protein, platelet activating factor, faktor kemotaksis, sitokinin dan faktor pertumbuhan seperti platelet-derived growth factor, fibroblast growth factor, epidermal growth factor dan transforming growth factor. Makrofag juga mengeluarkan faktor angiogenesis yang merangsang pembentukkan ujung endotel di akhir pembuluh darah (Vegad 1995).

Sambiloto Klasifikasi

Klasifikasi sambiloto (A. paniculata) menurut Hutapea dan Syamsuhidayat (1991) adalah: Divisi : Spermatophyta Subdivis : Angiospermae Kelas : Dictyledonae Bangsa : Solanales Suku : Acanthaceae Marga : Andrographis

Jenis : Andrographis paniculata, Ness

Morfologi

Sambiloto adalah salah satu tanaman obat yang banyak digunakan. Sambiloto merupakan tanaman semak yang mempunyai banyak cabang yang berdaun dan tingginya bisa mencapai kurang lebih 90 cm. Sambiloto memiliki batang berkayu berbentuk bulat dan segi empat serta memiliki banyak cabang (monopodial). Daun sambiloto kecil-kecil berwarna hijau tua. Daun tunggal saling berhadapan, berbentuk pedang (lanset) dengan tepi rata (integer) dan permukaannya halus dan tangkai pendek (Prapanza dan Lukito 2003). Panjang daun 2-8 cm, lebar 1-3 cm (Widjayakusuma et al 1994). Bunganya berwarna putih keunguan, bunga berbentuk jorong (bulan panjang) dengan pangkal. Buah sambiloto berbentuk memanjang sampai lonjong dengan panjang sekitar 1.5 cm dan lebar 0.5 cm. Pangkal dan ujung buah tajam setelah masak buah akan pecah menjadi empat keping yang kecil dan berwarna cokelat muda (Muhlish 1998). Perbanyakan dengan stek batang juga relatif mudah dilakukan. Bagian yang biasa digunakan untuk obat tradisional adalah daun, batang, bunga dan bagian akar .

Gambar 9. Sambiloto (Anonim 2008c)

Pertumbuhan

Sambiloto tergolong tanaman terna (perdu) yang tumbuh diberbagai habitat, seperti pinggiran sawah, kebun atau hutan. Ketinggian tempat yang optimum bagi pertumbuhan dan produksi sambiloto adalah dari daerah pantai sampai ketinggian 600 meter diatas permukaan laut. Tinggi tempat ini erat hubungannya dengan suhu hangat yang berpengaruh terhadap berbagai proses fisiologik tanaman dan akan mempengaruhi produksi sambiloto. Selama pertumbuhan tanaman sambiloto menghendaki banyak sinar matahari. Namun demikian tanaman ini masih tumbuh dan berproduksi dengan baik pada kondisi ternaungi sampai 30%. Tetapi jika budidaya dilakukan dengan kondisi naungan diatas 30%, mutusimplisia sambiloto cenderung menurun (Yusron et al. 2004).

Kandungan

Komponen utama sambiloto adalah andrographolid yang berguna sebagai bahan obat. Disamping itu, daun sambiloto mengandung saponin, falvonoid, alkaloid dan tanin. Kandungan kimia lain yang terdapat pada daun dan batang adalah laktone, panikulin, kalmegin dan hablur kuning yang memiliki rasa pahit. Daun dan percabangannya mengandung laktone yang terdiri dari deoksiandrographolid, andrographolid (zat pahit), neoandrografolid, 14-deoksi- 11-12-didehidroandrographolid dan homoandrographolid, juga terdapat flavonoid, alkane, keton, aldehid, mineral (kalium, kalsium, natrium), asam kersik dan damar. Flavonoid diisolasi terbanyak dari akar, yaitu polimetoksiflavon, andrografin, panikulin, mono-0- metilwithin dan apigenin-7,4- dimetileter (Mahendra 2005).

Manfaat sambiloto

Banyak sekali manfaat dari daun sambiloto ini, diantaranya adalah untuk mengobati penyakit diabetes atau kencing manis, tifus dan ada juga yang mengatakan daun sambiloto juga bisa untuk penyakit gatal-gatal dan mencegah kanker. Secara tradisional sambiloto telah dipergunakan untuk pengobatan akibat gigitan ular atau serangga, demam, disentri, rematik, tuberculosis, infeksi pencernaan dan lain-lain. Sambiloto juga dimanfaatkan untuk antimikroba /antibakteri, antihyper-glikemik, antisesak napas dan untuk memperbaiki fungsi hati. Namun yang sudah banyak digunakan dan diakui khasiat dari daun ini adalah untuk mencegah malaria karena itu daun ini disebut juga obat antimalaria. Selain itu ternyata daun ini juga bermanfaat untuk menjaga daya tahan tubuh atau stamina. Untuk tifus biasanya daun sambiloto ditambah dengan kunyit dan temulawak kemudian digodok dan air rebusannya diminumkan tiga kali sehari sampai yang menderita tifus sembuh sedangkan untuk diabetes lebih baik daun sambiloto dimakan atau dikunyah dalam keadaan masih segar (Anonim 2009c).

Berbagai penelitian yang dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri, menemukan bahwa dibalik rasa pahit sambiloto, terkandung zat aktif androgapholid yang sangat bermanfaat untuk pengobatan. India juga sudah lama mengenal tanaman obat ini, bahkan sambiloto digunakan untuk memerangi epidemi flu di India pada tahun 1818 dan terbukti efektif. Di Cina, sambiloto sudah di uji klinis dan terbukti berkhasiat sebagai anti hepapatoksik. Di Jepang, sedang di jajaki kemungkinan untuk memakai sambiloto sebagai obat HIV dan di Skandinavia, sambiloto digunakan untuk mengatasi penyakit-penyakit infeksi (Zein 2005).

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat penelitian

Penelitian ini dilakukan dari Februari sampai dengan Juli 2010 di Laboratorium Protozologi dan Laboratorium Helmintologi Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah hewan coba berupa mencit strain Swiss Albino, P. berghei, pewarnaan Giemsa, infusa sambiloto dengan beberapa pengenceran (1x10-2, 1x10-4, 1x10-6), metanol, pakan mencit (pellet ikan), xylol, kertas saring, tissue minyak emersi, posphate buffer saline

(PBS), larutan Hayem, NaCl fisiologis.

Alat yang digunakan adalah syringe 1 ml, syringe 10 ml, mikroskop cahaya, objek gelas, gelas ukur, timbangan listrik, cawan penguap, mortar, stempher, mikrohematokrit, pipet kapiler eritrosit, sonde lambung, kandang mencitdan lemari pendingin.

Cara Kerja

Preparasi Hewan Coba

Penelitian ini menggunakan mencit strain Swiss Albino jantan dan betina sebanyak 30 ekor yang memiliki berat 25 g berumur 1.5-2.5 bulan. Hewan

Dokumen terkait