• Tidak ada hasil yang ditemukan

Botani dan Morfologi Padi

Padi merupakan tanaman yang termasuk ke dalam genus Oryza Linn. Terdapat dua spesies padi yang dibudidayakan, yaitu O. sativa Linn. dan O.

glaberrima Steud. O. sativa merupakan spesies yang lebih penting dibandingkan

O. glaberrima. O. glaberrima hanya tumbuh terbatas di sebagian kecil wilayah di Afrika Barat, sedangkan O. sativa tumbuh menyebar di wilayah tropis dan subtropis (Grist, 1959).

Batang padi tersusun dari rangkaian ruas-ruas dan antara ruas yang satu dengan ruas yang lainnya dipisahkan oleh satu buku. Ruas batang padi berongga dan berbentuk bulat dari atas ke bawah (Departemen Pertanian, 1983). Pada tiap buku, terdapat sehelai daun. Kuncup yang tumbuh di dalam ketiak daun menjadi batang-batang sekunder yang serupa dengan batang primer. Batang-batang sekunder ini akan menghasilkan batang-batang tersier dan seterusnya. Peristiwa ini disebut sebagai fase menganak. Anakan mulai terbentuk sejak 10 hari setelah tanam dan mencapai maksimum pada umur 50-60 hari setelah tanam (Prasetyo, 1996).

Sifat daya merumpun padi pada umumnya lima kali atau lebih dari tanaman yang ditanam. Sifat ini diperlukan untuk menantisipasi serangan hama penggerek batang atau hama sundep yang menyerang ketika tanaman masih muda. Jika tanaman memiliki daya merumpun yang rendah, maka tanaman akan habis oleh hama karena tidak mampu membentuk banyak anakan atau tunas baru (Siregar, 1981).

Fase pertumbuhan padi terbagi menjadi tiga fase, yaitu fase vegetatif, fase reproduktif, dan fase pemasakan. Fase vegetatif dimulai dari saat berkecambah sampai dengan inisiasi primordia malai, yaitu pertambahan anakan yang cepat sampai tercapai anakan maksimal, bertambah tingginya tanaman, dan daun tumbuh secara teratur. Fase reproduktif dimulai dari inisiasi primordia malai sampai berbunga, yaitu ditandai dengan pemanjangan ruas batang, berkurangnya jumlah anakan, munculnya daun bendera, bunting, dan pembungaan. Fase pemasakan dimulai dari berbunga sampai panen, yaitu ditandai dengan

menuanya daun, dan bertambahnya ukuran biji, bobot, dan perubahan warna biji. lnisiasi primordia malai biasanya dimulai 30 hari sebelum pembungaan (Yoshida, 1981).

Berdasarkan lingkungan dan manajemen air, padi dibedakan dalam dua tipe yaitu padi kering (gogo) yang ditanam di dataran tinggi dan padi sawah di dataran rendah yang memerlukan penggenangan (Prihatman, 2000). Satu tahun di berbagai wilayah tropik terbagi ke dalam dua musim yang berbeda yaitu musim hujan dan musim kemarau. Pada beberapa wilayah, padi diproduksi pada musim hujan dan ketergantungan terhadap air hujan merupakan faktor pembatas dalam memproduksi padi pada lahan tadah hujan. Padi yang dibudidayakan pada musim kemarau memerlukan sistem irigasi untuk mencukupi kebutuhan air. Oleh karena itu, penanaman padi pada musim kering menjadi terbatas (De Datta, 1981).

Musim tanam padi di wilayah sub tropis Asia (Jepang, Korea, dan Cina) dan di wilayah lain seperti Amerika Utara, Australia, dan Eropa ditentukan terutama oleh pola suhu. Dengan menggunakan irigasi, penanaman dapat diuntungkan dengan adanya kondisi iklim yang sesuai seperti suhu optimum dan radiasi matahari yang tinggi (De Datta, 1981).

Pengembangan Varietas Padi Unggul di Indonesia

Faktor iklim dan tanah merupakan faktor pembatas produksi padi di berbagai wilayah di Indonesia. Introduksi varietas dari negara lain yang menyediakan gen spesifik, resisten, dan toleran terhadap kondisi suboptimum membantu dalam menciptakan varietas tertentu. Karakter tersebut diperlukan untuk program pemuliaan varietas modern yang spesifik lokasi (De Datta, 1981).

Pemuliaan tanaman didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan penelitian dan pengembangan genetik tanaman (modifikasi gen ataupun kromosom) untuk merakit varietas atau varietas unggul yang berguna bagi kehidupan manusia (Dewi dan Purwoko, 2001). Menurut Sumarno dan Zuraida (2008) pemuliaan tanaman merupakan ilmu genetika terapan yang didukung oleh berbagai cabang ilmu kegenetikaan, termasuk plasma nutfah, genetika klasik, genetika molekuler, sitogenetika, dan genetika transformasi. Teknik pemuliaan tanaman pangan berkembang dengan pesat terutama untuk tanaman padi.

Pemuliaan tanaman melalui upaya perakitan varietas padi di Indonesia ditujukan untuk menciptakan varietas yang berdaya hasil tinggi. Selain itu, upaya perakitan varietas juga ditujukan untuk menciptakan varietas yang sesuai dengan kondisi ekosistem, sosial, budaya, serta minat masyarakat (Susanto et al., 2003). Sejalan dengan berkembangnya kondisi sosial ekonomi masyarakat, permintaan terhadap tipe varietas yang dihasilkan juga berbeda-beda. Oleh karena itu, pemuliaan tanaman padi bertujuan untuk menghasilkan varietas baru yang lebih baik dibanding varietas yang telah ada (Sasmita, 2007).

Menurut Harsanti et al. (2003) penggunaan varietas padi unggul merupakan teknologi yang handal dalam meningkatkan produksi pangan. Penggunaan varietas unggul lebih aman dan lebih ramah terhadap lingkungan serta dapat dijangkau oleh petani. Dewi dan Purwoko (2001) menyatakan bahwa pembentukan varietas padi unggul melalui pemuliaan perlu dilakukan secara intensif sesuai dengan teknologi yang ada. Proses pemuliaan tanaman ini dapat menghasilkan varietas unggul tanaman padi yang menjamin pertanian berkelanjutan.

Perakitan varietas unggul padi merupakan rangkaian kegiatan yang berkesinambungan dan memerlukan waktu panjang. Kegiatannya meliputi persilangan untuk membentuk populasi dasar, seleksi untuk memilih populasi dan atau tanaman yang dikehendaki, serta uji daya hasil dan adaptasi galur-galur harapan yang dihasilkan sebelum dilepas sebagai varietas baru (Abdullah et al., 2008).

Uji daya hasil merupakan tahap penting dalam perakitan varietas. Galur-galur yang sudah mantap dan mempunyai sifat-sifat yang diharapkan perlu dievaluasi daya hasil dan keragaannya pada berbagai lokasi. Galur-galur yang berdaya hasil tinggi pada berbagai lokasi dapat diusulkan sebagai varietas unggul baru dengan daya adaptasi luas (Sudarna, 2010). Acquaah (2007) menyatakan bahwa uji daya hasil meliputi tiga tahap, yaitu uji daya hasil pendahuluan (UDHP), uji daya hasil lanjutan (UDHL), dan uji multilokasi untuk melihat stabilitas dan adaptabilitas tanaman di berbagai lokasi sebelum dilepas menjadi varietas unggul baru dengan karakter-karakter yang dikehendaki.

Kultur Antera Padi

Pemuliaan tanaman dapat dilakukan dengan cara konvensional dan dengan cara bioteknologi. Untuk mempercepat perakitan varietas unggul baru harus diterapkan suatu kombinasi prosedur pemuliaan konvensional dengan prosedur bioteknologi (Dewi dan Purwoko, 2001). Bioteknologi dapat dimanfaatkan untuk mendukung program perbaikan genetik tanaman terutama dalam peningkatan efisiensi dan pemecahan masalah yang tidak dapat atau sulit dilakukan secara konvensional (Suwarno et al., 2000).

Menurut Sunarlim dan Sutrisno (2003), penggunaan bioteknologi bukan untuk menggantikan metode konvensional tetapi bersama-sama menghasilkan keuntungan secara ekonomi. Penggunaan metode konvensional dengan teknologi tinggi memaksimumkan keberhasilan program perbaikan pertanian. Abdullah et al. (2008) menyatakan bahwa salah satu prosedur alternatif yang dianjurkan adalah membuat galur dihaploid (doubled haploid) atau galur murni homozigos hasil dari penggandaan tanaman haploid.

Haploid dapat diperoleh secara alami misalnya melalui proses parthenogenesis dan eliminasi kromosom (metode Bulbosum), serta diinduksi in vitro melalui proses androgenesis dengan kultur antera dan kultur mikrospora, dan proses gonogenesis dengan kultur ovul (Dewi dan Purwoko, 2011). De Datta (2005) melaporkan bahwa induksi haploid melalui kultur antera adalah metode yang paling sederhana dan mudah dilaksanakan dibandingkan dengan kultur mikrospora.

Dewi (2002) menunjukkan bahwa kultur antera merupakan salah satu metode kultur in vitro yang dapat menghasilkan galur-galur murni dengan cepat. Galur-galur murni tersebut merupakan tanaman dihaploid sehingga proses seleksi menjadi lebih efisien karena populasi dihaploid bersifat homogen dan homozigositas sudah terbentuk pada tanaman regeneran (DH0), sedangkan evaluasi karakter agronomi utama dapat dilakukan pada generasi DH1 dan DH2.

Pembentukan galur murni (galur dihaploid) melalui teknik kultur antera memerlukan waktu kurang lebih 30 bulan (Sasmita, 2007). Oleh karena itu, dibandingkan dengan sistem pemuliaan konvensional, keuntungan penggunaan

kultur antera dalam program pemuliaan, selain meningkatkan efisiensi proses seleksi, adalah menghemat biaya, waktu dan tenaga (Dewi dan Purwoko, 2001).

Karakter yang dikendalikan baik oleh gen dominan maupun resesif dapat diekspresikan pada tanaman dihaploid. Variasi genetik pada tanaman dihaploid akan terjadi akibat efek aditif, terlepas dari efek dominan resesif. Untuk menjamin atau meningkatkan peluang ketersediaan rekombinan yang diinginkan, diperlukan populasi galur dihaploid turunan dari tiap-tiap persilangan (F1) yang cukup sebagai bahan seleksi. Pada populasi demikian, jumlah individu yang dibutuhkan sebagai bahan seleksi untuk mendapatkan rekombinan gen yang diinginkan akan berkurang jika dibandingkan dengan bahan yang diperoleh dari populasi bersegregasi hasil persilangan konvensional (Sasmita, 2007).

Prosedur teknik kultur antera pada pemuliaan tanaman padi terbagi ke dalam tahap-tahap sebagai berikut; pemilihan tetua dan persilangan (F1), pemeliharaan tanaman F1 sumber eksplan, penyiapan eksplan, kultur antera in vitro, aklimatisasi, dan penanganan tanaman pasca aklimatisasi, karakterisasi tanaman dihaploid, perbanyakan benih dihaploid, dan seleksi untuk karakter yang diinginkan (Sasmita, 2007).

Teknik kultur antera juga mempunyai kelemahan. Selain memerlukan keterampilan khusus dan peralatan yang memadai, ploidi yang dihasilkan beragam, frekuensi haploid tidak dapat diprediksi dalam populasi, dan regenerasi tanaman hijau yang rendah karena dihasilkan tanaman albino. Masalah ini dapat diatasi dengan pemberian senyawa putresin 0.001 M pada media, sehingga meningkatkan induksi kalus dan regenerasi tanaman hijau pada kultur antera tanaman padi (Dewi et al. 2007).

Kultur antera dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan teknik kultur antera antara lain kondisi pertumbuhan tanaman donor, umur tanaman donor, tingkat perkembangan polen, metode sterilisasi, pra perlakuan, media kultur, dan kondisi ruang inkubasi (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

8

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2011 sampai dengan bulan Maret 2012 bertempat di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian dan University Farm IPB, Babakan, Darmaga, Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan tanaman yang digunakan dalam percobaan ini adalah benih sepuluh galur dihaploid padi sawah, yaitu KP-3-18-1-3, KP-3-19-1-2, 42-2-2, KP-4-42-2-3, KP-4-43-1-2, KP-4-43-1-4, KP4-43-2-4, FG1R 36-1-1, I5-10-1-1, IW67, sebagai galur yang dievaluasi serta varietas padi Ciherang dan Inpari 13 digunakan sebagai varietas pembanding.

Pupuk yang digunakan meliputi pupuk urea dengan dosis 200 kg/ha, SP-36 dengan dosis 150 kg/ha, dan pupuk KCl dengan dosis 100 kg/ha. Peralatan yang digunakan meliputi alat tanam dan pemeliharaan, meteran, dan timbangan.

Metode Penelitian

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan galur sebagai perlakuan dan tiga ulangan. Penelitian ini menggunakan sepuluh galur padi dihaploid dan dua varietas pembanding, sehingga keseluruhan terdapat 36 satuan percobaan. Ukuran petak untuk setiap satuan percobaan sebesar 3 m x 3 m.

Model rancangan yang akan digunakan yaitu model umum Rancangan Acak Kelompok (RAK) Yij = µ + αi + βj + εij, dimana :

Yij = nilai pengamatan populasi ke-i dan ulangan ke-j µ = nilai rataan umum

i = pengaruh genotipe ke-i

j = pengaruh ulangan ke-j

9 Pengujian perbedaan antar galur yang dievaluasi diuji dengan menggunakan uji F. Jika terdapat perbedaan diantara galur, maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ). Uji BNJ dilakukan untuk membandingkan nilai tengah semua perlakuan (Gomez dan Gomez, 1995).

Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada lahan dengan luas 324 m2. Penyemaian dilakukan dengan cara penyemaian kering. Penyemaian ini dilaksanakan di rumah kaca Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, Bogor. Tanah yang digunakan dimasukkan ke dalam bak tembok berukuran 3 m x 1 m x 2 m. Bak diisi dengan tanah sampai 2/3 dari volume seluruhnya. Tanah dibersihkan dari semua kotoran dan rumput yang tumbuh.

Benih yang digunakan dalam penyemaian yaitu sebanyak 50 g untuk masing-masing galur dan varietas pembanding. Tanah dalam bak dibagi menjadi 12 bagian. Benih 12 genotipe disemai ke dalam tanah dan dilakukan penyiraman setiap hari. Benih yang sudah berumur 21 hari dipindahtanam ke sawah yang berlokasi di University Farm, Babakan, Darmaga, Bogor. Tanah yang digunakan terlebih dahulu diolah dan diratakan, kemudian dibagi menjadi tiga ulangan. Setiap ulangan terdiri atas 12 satuan percobaan (genotipe).

Bibit padi ditanam dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm. Bibit ditanam sedalam 5 cm sebanyak dua bibit per lubang. Pupuk yang digunakan terdiri atas urea, SP-36, dan KCl. Pemupukan urea dilakukan pada saat tanam, 21 hari setelah tanam (HST), dan 42 HST, masing-masing 1/3 dosis. Pemupukan SP-36 dan KCl dilakukan seluruhnya pada saat tanam.

Pemeliharaan dilakukan dengan penyiangan, penyulaman bibit yang mati, dan pengendalian dari organisme pengganggu tanaman. Penyiangan pertama dilakukan pada umur 3 minggu setelah tanam (MST), sedangkan penyiangan kedua pada umur 6 MST. Penyiangan dilakukan dengan mencabut dengan tangan, kemudian dipendam dalam tanah. Pengendalian ini dilakukan sesuai dengan tingkat serangan. Pengendalian hama keong dilakukan secara kimia dan kultur teknis. Pengendalian hama belalang dan walang sangit dilakukan dengan cara pemberian pestisida, sedangkan pengendalian burung dilakukan dengan cara

10 penggunaan jaring pada fase reproduktif. Panen dilakukan setelah 80% malai telah menguning atau sekitar 26 sampai 30 hari setelah berbunga. Pemanenan menggunakan sabit. Batang dipotong pada bagian atas, kemudian dirontokkan dengan cara diirig.

Produksi yang dihasilkan ditaksir dengan cara menghitung gabah dari petak bersih dan komponen hasil. Petak bersih yaitu petakan yang di dalamnya terdapat rumpun tanaman tanpa rumpun tanaman pinggir. Komponen hasil dihitung untuk mengetahui potensi hasil berdasarkan hitungan dengan menggunakan persamaan (Yoshida, 1981):

Hasil (ton/ha) = jumlah anakan produktif/m2 x jumlah gabah total/malai x persentase gabah isi x bobot 1,000 butir (g) x 10-5

Pengamatan Penelitian

Pengamatan dilakukan pada rumpun lima tanaman contoh per petak dengan komponen yang diamati meliputi:

1. Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah hingga ujung daun tertinggi yang diamati pada 45 HST (vegetatif) yaitu sebelum terjadi inisiasi primordia malai dan tinggi menjelang panen (generatif) yang diukur dari permukaan tanah hingga ujung malai.

2. Jumlah anakan diamati pada 45 HST (vegetatif) dan jumlah anakan produktif pada saat menjelang panen, ditentukan dengan menghitung jumlah anakan (vegetatif) dan jumlah yang menghasilkan malai (produktif).

3. Panjang malai, diukur dari leher malai sampai ujung malai.

4. Umur berbunga, dihitung dari saat menanam benih sampai 50% malai (bunga) dalam satu rumpun telah keluar.

5. Umur panen, dihitung dari saat menanam benih sampai 80% malai telah menguning.

6. Bobot 1,000 butir gabah isi dengan kadar air ± 14 % (penjemuran dengan matahari selama 4 hari), diukur dari 1,000 gabah isi.

7. Jumlah gabah total, jumlah gabah isi dan hampa per malai, dihitung dari jumlah gabah isi atau berisi penuh dan gabah hampa (tidak berisi atau berisi sebagian) setiap malai sampel.

8. Hasil gabah per petak bersih (gabah kering panen dan gabah kering giling). Gabah kering panen dihitung dari bobot gabah isi dan hampa (penjemuran dengan matahari selama 4 hari) yang berasal dari satu petak, sedangkan gabah kering giling dihitung dari bobot gabah isi kering dengan kadar air ± 14% (penjemuran dengan matahari selama 4 hari) yang berasal dari satu petak bersih setelah melalui penampian terlebih dahulu.

12

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Penelitian

Pertumbuhan awal semua genotipe yang diuji terhambat oleh hama keong. Hama keong menyerang bibit yang sudah ditanam dari saat tanam sampai 4 minggu setelah tanam (MST). Serangan hama keong paling besar terutama menyerang pertanaman yang berada pada ulangan satu. Hal ini disebabkan karena ulangan satu terletak dekat dengan parit. Serangan hama keong menyebabkan tanaman harus disulam. Kekurangan bibit untuk sulaman terjadi pada galur KP-4-43-1-4, KP-4-42-2-3, dan KP-3-19-1-2. Serangan hama keong ditanggulangi secara kimia dan kultur teknis. Secara kimia hama keong dikendalikan dengan penggunaan moluskisida, sedangkan secara kultur teknis dilakukan pengeringan untuk beberapa minggu.

Belalang menyerang tanaman pada fase vegetatif. Serangan ini menyebabkan daun tanaman menjadi sobek pada bagian ujungnya. Serangan yang lebih luas hama ini tidak terjadi dan masih dapat ditanggulangi dengan penggunaan pestisida. Walang sangit (Leptocorisa oratorius) menyerang tanaman pada saat muncul malai sampai bulir padi matang susu. Hama ini menyerang paling besar pada galur KP-3-18-1-3. Serangan walang sangit pada galur ini mencapai 55 %. Hal ini disebabkan karena galur KP-3-18-1-3 merupakan galur yang berumur paling genjah, sehingga serangan walang sangit terkonsenterasi pada galur ini. Cairan bulir padi yang dihisap walang sangit menyebabkan gabah menjadi hampa dan berubah warna menjadi kehitaman.

Serangan burung (Ploceus sp.) terjadi pada fase generatif sampai menjelang panen. Serangan burung paling besar menyerang pada galur KP-3-18-1-3 karena galur ini berumur paling genjah. Selain itu, serangan burung juga terjadi pada galur I5-10-1-1 karena galur ini memiliki postur batang paling tinggi dibandingkan genotipe yang lainnya. Serangan burung ini dapat ditanggulangi dengan penggunaan jaring.

Tingginya curah hujan menyebabkan adanya serangan hama beluk dan penyakit kresek. Hama beluk disebabkan oleh Scirpophaga innotata, sedangkan penyakit kresek disebabkan oleh bakteri Xanthomonas oryzae pv oryzae. Hama

beluk menyerang titik tumbuh tanaman padi yang sedang berada pada fase

booting, sehingga gabah menjadi hampa. Penyakit kresek membuat warna daun yang kering menjadi kuning jerami sampai coklat muda dan akhirnya daun tanaman kering.

Pertumbuhan galur FG1R 36-1-1 dan KP-3-19-1-2 di lapangan menunjukkan penampilan yang kurang seragam. Tinggi tanaman galur FG1R 36-1-1 pada semua ulangan sekitar antara 87-123 cm. Selain itu, terdapat warna gabah yang berbeda pada FG1R 36-1-1, yaitu warna kuning dengan bulu dan warna kuning kehitaman tanpa bulu. Ketidakseragaman KP-3-19-1-2 ditunjukkan oleh variasi dalam kematangan tanaman. Ketidakseragaman yang terjadi pada kedua genotipe tersebut diduga diakibatkan oleh adanya campuran dari genotipe lain. Penanggulangan campuran ini dilakukan dengan cara roguing.

Keragaan Karakter Agronomi Keragaan Umum

Fenotipe yang muncul pada tanaman merupakan interaksi antara genotipe dan lingkungan. Ini berarti bahwa besaran fenotipe sebagian ditentukan oleh genotipe dan sebagian lainnya ditentukan oleh lingkungan. Masing-masing pengaruh ini sulit diketahui secara langsung peranannya. Hasil analisis ragam pada karakter agronomi menunjukkan bahwa genotipe pada umumnya berpengaruh sangat nyata terhadap semua karakter yang diamati. Hal ini menunjukkan adanya respon genotipe-genotipe tersebut.

Tabel 1 menunjukkan bahwa genotipe berpengaruh sangat nyata terhadap sembilan karakter agronomi yang diamati. Karakter agronomi tersebut yaitu tinggi tanaman pada fase vegetatif dan reproduktif, umur berbunga, umur panen, panjang malai, jumlah gabah isi, jumlah gabah hampa, produktivitas GKG, dan produktivitas GKP. Genotipe berpengaruh nyata terhadap karakter jumlah anakan total, jumlah anakan produktif, jumlah gabah total, dan bobot 1,000 butir. Keragaman paling besar diantara genotipe yang diuji ditunjukkan oleh karakter jumlah gabah hampa (20.79 %), sedangkan keragaman paling kecil ditunjukkan oleh karakter umur berbunga (2.58 %).

Tabel 1. Analisis ragam pengaruh genotipe pada karakter agronomi galur dihaploid hasil kultur anter

Keterangan : * berpengaruh nyata pada taraf kesalahan 5%.

** berpengaruh sangat nyata pada taraf kesalahan 1%. GKG = gabah kering giling, GKP = gabah kering panen

Tinggi Tanaman

Hasil pengukuran tinggi tanaman pada fase vegetatif antara 74.4-90.7 cm. Galur I5-10-1-1 merupakan galur dengan rata-rata tinggi tanaman paling tinggi. Galur-galur yang diuji pada umumnya menunjukkan tinggi tanaman yang setara dengan kedua pembandingnya (Ciherang dan Inpari 13), kecuali galur I5-10-1-1. Galur ini setara dengan Inpari 13 tetapi berbeda nyata dengan Ciherang.

Tinggi tanaman merupakan karakter yang penting yang mempengaruhi tingkat penerimaan petani terhadap varietas baru. Tingkat kerebahan dan efisiensi dalam pemanenan sangat dipengaruhi oleh tinggi tanaman. Umumnya petani kurang menyukai varietas dengan postur tinggi karena rentan rebah. Tingkat kerebahan mempengaruhi hasil padi baik secara kuantitas maupun secara kualitas. Tanaman yang rebah akan mengurangi hasil dan menurunkan kualitas beras yang dihasilkan. Keragaan tinggi tanaman rata-rata dari genotipe yang diuji disajikan dalam Tabel 2.

Karakter F Hitung Koef. Keragaman

Tinggi tanaman fase vegetatif 5.55 ** 4.12

Jumlah anakan total 2.60 * 14.04

Tinggi tanaman fase generatif 12.44 ** 3.96

Jumlah anakan produktif 2.40 * 12.93

Umur berbunga 11.04 ** 2.58

Umur panen 14.09 ** 2.59

Panjang malai 6.11 ** 2.76

Jumlah gabah isi 3.20 ** 10.55

Jumlah gabah hampa 4.00 ** 20.79

Jumlah gabah total 2.50 * 9.26

Bobot 1,000 butir 2.34 * 7.22

Produktivitas GKG 7.02 ** 12.80

Tabel 2. Pengaruh genotipe terhadap rata-rata tinggi tanaman pada fase vegetatif dan fase generatif

Keterangan : Angka yang diiuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji BNJ 5%.

Rata-rata tinggi tanaman pada fase generatif tidak mengalami perubahan yang signifikan. Hal ini disebabkan karena translokasi fotosintat lebih banyak digunakan untuk perkembangan reproduktif (pengisian biji). Semua genotipe yang diuji memiliki rata-rata tinggi tanaman pada fase ini antara 85.2 -118.5 cm. Tinggi tanaman paling rendah ditunjukkan oleh galur KP-3-18-1-3, sedangkan tinggi tanaman paling tinggi ditunjukkan oleh galur I5-10-1-1. Galur I5-10-1-1 merupakan satu-satunya galur yang mengalami rebah pada fase pematangan. Hal ini menyebabkan produktivitas galur ini menjadi rendah. Pada umumnya galur yang diuji memiliki tinggi generatif yang setara dengan salah satu atau kedua pembandingnya (Ciherang dan Inpari 13) kecuali galur KP-3-18-13.

Tinggi rendahnya batang tanaman adalah sifat atau ciri yang mempengaruhi hasil varietas. Tinggi tanaman padi yang memberikan hasil tinggi yaitu kurang dari 125 cm (Siregar, 1981). Sepuluh galur yang diuji pada penelitian ini memiliki tinggi tanaman rata-rata kurang dari 125 cm, sehingga memenuhi sebagai ideotipe varietas yang berdaya hasil tinggi.

Galur/ Varietas Tinggi Fase Vegetatif (cm) Tinggi Fase Generatif (cm)

KP-3-18-1-3 75.9 b 85.2 d KP-3-19-1-2 83.7 ab 99.0 bc KP-4-42-2-2 74.4 b 100.3 bc KP-4-42-2-3 79.3 b 102.0 bc KP-4-43-1-2 77.1 b 96.5 cd KP-4-43-1-4 77.8 b 102.8 bc KP-4-43-2-4 75.7 b 110.7 ab FG1R 36-1-1 78.5 b 101.9 bc I5-10-1-1 90.7 a 118.5 a IW67 77.7 b 99.2 bc Ciherang 77.0 b 106.3 bc Inpari 13 81.4 ab 109.8 ab

Jumlah Anakan Total dan Jumlah Anakan Produktif

Jumlah anakan total per rumpun varietas padi dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok (Las et al., 2004) yaitu jumlah anakan sedikit (<10), sedang (11-15), banyak (16-20), dan sangat banyak (>20). Berdasarkan pengelompokan tersebut, pada umumnya genotipe yang diuji termasuk genotipe dengan jumlah anakan sangat banyak. Kemampuan membentuk anakan yang banyak pada genotipe yang diuji dapat berpengaruh terhadap hasil. Jika ada kerusakan pada anakan akibat serangan hama tidak akan terlalu berpengaruh terhadap hasil.

Dokumen terkait