TINJAUAN PUSTAKA
II.1. STROKE ISKEMIK
II.1.1. Definisi
Stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global), dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler (Kelompok Studi Serebrovaskuler & Neurogeriatri Perdossi, 1999).
Stroke iskemik adalah tanda klinis disfungsi atau kerusakan jaringan otak yang disebabkan kurangnya aliran darah ke otak sehingga mengganggu kebutuhan darah dan oksigen di jaringan otak (Sjahrir,2003).
II.1.2. Epidemiologi
Insiden stroke bervariasi di negara-negara Eropa, diperkirakan diantara 100-200 kasus stroke baru per 100.000 penduduk pertahun (Hacke dkk, 2003). Di Jerman didapatkan insiden pertahun 1,74 per 1000 penduduk (pria 1,47 dan wanita 2,01) (Kolominsky-Rabas dkk, 1998). Di Amerika Selatan rerata insiden pertahun 0,35-1,83 per 1000 penduduk (Saposnik, 2003). Insiden pertahun di Australia adalah 2,06 per 1000 penduduk (pria 1,95 dan wanita 2,17) (Thrift dkk, 2000). Di Jepang
didapatkan insiden pertahun pada populasi usia > 35 tahun adalah pria 2,687 per 1000 penduduk dan wanita 1,675 (Kita , 1999).
Penelitian yang dilakukan oleh Machfoed di beberapa rumah sakit di Surabaya diperoleh data bahwa dari 1.397 pasien yang didiagnosa dengan stroke, 808 adalah pria dan 589 adalah wanita. Sebanyak 1001 (71,73%) pasien adalah stroke iskemik dan 396 (28,27%) adalah stroke hemoragik. Umur rata-rata untuk semua pasien stroke adalah 76,43 tahun dengan umur rata-rata untuk pasien stroke iskemik 77,43 tahun dan 75,21 tahun untuk stroke hemoragik (Machfoed, 2003).
II.1.3. Klasifikasi Stroke
Dikenal bermacam-macam klasifikasi stroke berdasarkan atas patologi anatomi (lesi), stadium dan lokasi (sistem pembuluh darah) (Misbach, 1999).
I. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya : 1. Stroke iskemik
a. Transient Ischemic Attack (TIA) b. Trombosis serebri
c. Emboli serebri 2. Stroke Hemoragik
a. Perdarahan intraserebral b. Perdarahan subarakhnoid II. Berdasarkan stadium
1. TIA
2. Stroke in evolution 3. Completed stroke
III. Berdasarkan lokasi (sistem pembuluh darah) 1. Tipe karotis
2. Tipe vertebrobasiler
II.1.4. Faktor Resiko
Faktor resiko untuk terjadinya stroke yang pertama dapat diklasifikasikan berdasarkan pada kemungkinannya untuk dimodifikasi (nonmodifiable, modifiable, or potentially modifiable) dan bukti yang kuat (well documented or less well documented) (Goldstein, 2006)
1. Non-modifiable risk factors : 1. Age
2. Sex
3. Low birth weight 4. Race / ethnicity 5. Genetic
2. Modifiable risk factors
a. Well-documented and modifiable risk factor 1. Hipertensi
2. Terpapar asap rokok 3. Diabetes
4. Atrial fibrillation and certain other cardiac condition 5. Dislipidemia
6. Stenosis arteri carotis 7. Sickle cell disease
8. Terapi hormon postmenopause 9. Poor diet
10. Physical inactivity
11. Obesitas dan distribusi lemak tubuh b. Less well-documented and modifiable risk factor 1. Sindroma metabolik
2. Alcohol abuse
3. Penggunaan kontrasepsi oral 4. Slepp-disordered breathing 5. Nyeri kepala migren
6. Hiperhomosisteinemia 7. Peningkatan lipoprotein (a)
8. Elevated lipoprotein-associated phospholipase 9. Hypercoagulability
10. Inflamasi 11. Infeksi
II.1.5. Patofisiologi Stroke Iskemik
Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara bertahap (Sjahrir, 2003) :
Tahap 1 : a. Penurunan aliran darah b. Pengurangan O2
c. Kegagalan energi
d. Terminal depolarisasi dan kegagalan homeostatsis ion Tahap 2. : a. Eksitoksitas dan kegagalan homeostasis ion
b. Spreading depression Tahap 3 : Inflamasi
Tahap 4 : Apoptosis
II.2. ADIPONEKTIN
Jaringan lemak merupakan organ yang secara pasif menyimpan kelebihan energi (seperti trigliserida). Namun bukti terkini menyarankan bahwa jaringan lemak khususnya jaringan lemak visceral dipertimbangkan sebagai organ endokrin. Pada kenyataannya, akumulasi lemak visceral saat ini dikenal sebagai pemeran utama dalam terjadinya berbagai faktor resiko dan dalam perubahan vaskular. Studi eksperimental pada adiposit mencatat bahwa adiposit menghasilkan dan mensekresi berbagai substansi yang disebut adipositokin. Terdapat 2 tipe adipositokin : adipose-tissue-specific bioactive substances (true adipositokin) dan adipositokin yang disekresikan secara berlebihan dari
jaringan lemak tetapi tidak spesifik untuk jaringan lemak. Contoh dari adipose-spesifik adipositokin adalah adiponektin dan leptin, sedangkan yang non spesifik adalah plasminogen activator inhibitor (PAI-I) dan tumor necrosis factor (TNF)- (Tarquini dkk, 2007).
Adiponektin (disebut juga ACRP30, AdipoQ, apM1, dan GBP28) adalah suatu peptida hormon dengan 247 asam amino yang ditemukan pada tahun 1995. Adiponektin diinduksi pada awal diferensiasi sel-sel lemak (adiposit) dan sekresinya distimulasi oleh insulin, terdiri dari suatu kolagen dengan terminal N dan domain globular dengan terminal C, dan memiliki struktur yang homolog dengan subunit faktor komplemen C1q. Berlawanan dengan hormon lain yang berasal dari jaringan adiposa, adiponektin bersirkulasi dengan konsentrasi yang relatif tinggi pada aliran darah, terhitung sebanyak 0,05% dari total serum protein. Terdapat 2 reseptor adiponektin yaitu adipoR1 dan adipoR2. AdipoR1 diproduksi terutama di otot skelet, sementara adipoR2 ditemukan di jaringan hepatik. (Meiliana dkk, 2006).
Kadar plasma adiponektin berkisar 3,0-30 g/L, sedangkan kadar adiponektin pada liquor serebrospinal dilaporkan 1-4% dari kadar serum. Walaupun belum sepenuhnya jelas apakah adiponektin dapat melewati blood-brain barrier, terdapat bukti-bukti adiponektin mamalia dapat melewatinya. Waktu paruh (t½) adiponektin adalah sekitar 14 jam (Peterlin dkk, 2007). Konsentrasi adiponektin dalam serum mempunyai variabilitas circardian yang kecil, tidak tergantung pada status puasa dan
menunjukkan variasi konsentrasi yang kecil pada individu (Meiliana dkk, 2006).
II.2.1. Efek adiponektin pada struktur dan fungsi vaskuler
Studi-studi pada hewan percobaan dan manusia telah memperlihatkan hubungan antara kadar adiponektin dan fungsi endotel. Efek seluler adiponektin pada pembuluh darah dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Efek seluler adiponektin pada pembuluh darah
Meningkatkan endothelium – dependent vasodilation. Meningkatkan endothelium – independent vasodilation. Menekan aterosklerosis
Menekan ekspresi vascular adhesion molecules scavenger receptor.
Mengurangi kadar TNF dan menekan efek inflamasi TNF pada fungsi endotel.
Melemahkan efek growth factor pada sel otot polos.
Menghambat efek oxLDL terhadap sel endotel, diantaranya menekan proliferasi, pembentukan superoxide dan aktivasi AMPK.
Meningkatkan produksi NO. Stimulasi angiogenesis.
Mengurangi penebalan neointima dan proliferasi sel otot polos pada arteri yang cedera.
Inhibisi proliferasi dan migrasi sel endotel.
Dikutip dari : Goldstein, B.J., Scala, R. 2004. Adiponectin : A novel adipokine linking adipocytes and vascular function. J. Clin Endocrinol Metab. 89 : 2563- 2568.
II.2.2. Adiponektin dan Stroke
Proses inflamasi memainkan peran utama pada penyakit serebrovaskular aterosklerotik dan stroke. Adiponektin diketahui memiliki sifat antiaterogenik dan anti-inflamasi (Tarquini dkk, 2007). Adiponektin mungkin memiliki efek protektif terhadap aterosklerosis dan adiponektin berkurang pada orang dewasa dengan aterosklerosis tahap dini dan lanjut. Hipoadiponektinemia berhubungan dengan obesitas dapat memainkan peran dalam perkembangan sindroma metabolik (SM), resistensi insulin dan DM tipe 2. Pasien tanpa SM dapat mengalami hipoadiponektinemia dan hipoadiponektinemia primer akibat penyakit genetik telah dilaporkan, sehingga hipoadiponektinemia mungkin suatu penyakit yang sangat penting tanpa memandang adanya SM. Namun hubungan antara kadar adiponektin dan stroke iskemik belum jelas (Bang dkk, 2007).
II.2.3. Mekanisme kerja adiponektin
II.2.3.1. Metabolisme lemak dan karbohidrat
Selain pengaruhnya terhadap metabolisme glukosa tubuh dan sensitifitas insulin, adiponektin dapat juga memodulasi kadar lipid dalam plasma, baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa studi melaporkan adanya korelasi negatif antara adiponektin dengan trigliserida dan low density lipoprotein (LDL) dan memiliki korelasi positif dengan kolesterol HDL. Mekanisme bagaimana adiponektin dapat memodulasi
kadar lipid dalam plasma belum diketahui dengan jelas. Adiponektin meningkatkan oksidasi asam lemak dalam sirkulasi dan di otot sklelet melalui aktivasi AMP-activated protein kinase (AMPK), pada kadar adiponektin yang rendah terjadi akumulasi trigliserida (Meiliana dkk, 2006).
Adiponektin globular dan adiponektin yang utuh menstimulasi
fosforilasi dan aktivasi AMPK di otot skelet, sedangkan hanya adiponektin yang utuh melakukannya di hati. Paralel dengan kerjanya mengaktivasi AMPK, adiponektin menstimulasi fosforilasi Acetyl Coenzyme-A Carboxylase (ACC), pembakaran asam lemak, ambilan glukosa, produksi laktak di miosit, dan juga stimulasi fosforilasi ACC serta menyebabkan reduksi dari molekul-molekul yang terlibat dalam glukoneogenesis di hati, yang dapat dinyatakan sebagai efek penurunan glukosa akut dari adiponektin secara in vivo (Meiliana dkk, 2006).
Gambar 1. Adiponektin mengaktivasi AMPK dan PPAR pada hati dan otot skelet
Dikutip dari : Kadowaki, T., Yamauchi, T. 2005. Adiponectin and Adiponectin Receptors. Endocrine Reviews. 26:439-451.
Efek adiponektin pada metabolisme Triglyceride Rich Lipoprotein (TRL) mungkin melibatkan perubahan intrinsik pada metabolisme lemak di otot skelet dan pengaruh terhadap aktivitas lipoprotein lipase (LPL) baik di otot skelet maupun di adiposit. Adiponektin dapat menurunkan akumulasi trigliserida di otot skelet dengan meningkatkan oksidasi asam lemak melalui aktivasi acetyl-coA oxidase, Carnitine Palmytoyl-Transferase-1 (CPT-1), dan AMPK. Adiponektin juga dapat menstimulasi LPL, suatu enzim lipolitik yang mengkatabolis very low-density lipoprotein (VLDL), maupun ApoC-III dengan peningkatan ekspresi Peroxisome Proliferators- Activator Receptor- (PPAR- ) di hati dan adiposit. Pada tingkat hepatik,
adiponektin dapat menurunkan suplai Non-Esterified fatty Acid (NEFA) ke hati untuk glukoneogenesis, oleh karena itu dapat menurunkan sintesis trigliserida. Secara bersama-sama, konsentrasi adiponektin yang rendah dapat menunda pembuangan TRL oleh hati dan jaringan perifer melalui peningkatan kompetisi antara kilomikron dan VLDL untuk lipolisis LPL, dan antara remnan kilomikron dan VLDL untuk klirens yang dimediasi oleh reseptor LDL (Meiliana dkk, 2006).
II.2.3.2. Sensitifitas insulin
Beberapa studi yang menggunakan model hewan coba mendukung
hipotesis bahwa adiponektin berfungsi sebagai suatu insulin sensitizer melalui penurunan keluaran glukosa hepatik dan oleh karena itu berkontribusi pada pengaturan homeostasis glukosa seluruh tubuh. Efek sensitisasi insulin dari agonis PPAR telah diketahui. Tetapi masih sering diperdebatkan jaringan mana yang menunjukkan lokasi kerja agonis PPAR yang paling kritis, dan gen target yang relevan dalam memediasi perbaikan sensitifitas insulin. Sel yang memiliki kadar PPAR tertinggi adalah adiposit, sehingga adiposit merupakan sel kandidat yang baik dalam pencarian mediator untuk kerja agonis PPAR . Adiponektin yang disekresikan oleh adiposit mengalami peningkatan regulasi sebagai respon terhadap adanya paparan agonis PPAR , dan kadar adiponektin dalam serum akan meningkat secara signifikan (Meiliana dkk,2006).
II.2.3.3. Anti inflamasi
Secara in vitro, adiponektin menghambat signal transkripsi nuclear factor (NF)- di endotel, yang memediasi efek TNF- dan sitokin proinflamasi lain. Adiponektin juga menunjukkan dapat menstimulasi produksi nitric oxyde (NO) di sel endotel vaskular dan menghambat ekspresi molekul-molekul adhesi, menghambat ekspresi reseptor scavenger kelas A di makrofag dan menghambat proliferasi dan migrasi sel-sel otot polos aorta pada manusia (Meiliana dkk, 2006)
Gambar 2. Peran adiponektin pada kaskade inflamasi
Dikutip dari : Peterlin, B.L., Bigal, M.E., Tepper, S.J., Urakaze, M., Sheftell, F.D., Rapoport, A.M. 2007. Migraine and adiponectin : is there a conection ? Cephalalgia. 27: 435-446.
II.2.3.4. Anti aterogenik
Adiponektin bersifat antiaterogenik melalui penekanan respon inflamasi pada endotel, menghambat proliferasi sel otot polos, dan menurunkan ekspresi mRNA vascular cell adhesion molecule (VCAM)-1. Adiponektin juga dapat menghambat perubahan ekspresi molekul adhesi monosit yang diinduksi oleh tumour necrosis factor (TNF)- dan menekan transformasi makrofag menjadi sel busa. Adiponektin secara negatif mengatur pertumbuhan sel progenitor myelomonotik dan produksi TNF- di makrofag, adiponektin menekan proliferasi yang diinduksi oleh platelet derived growth factor (PDGF), efek dari TGF -1 dan connective tissue growth factor. Adiponektin juga menghambat ekspresi reseptor scavenger kelas A-1 di makrofag, menghasilkan penurunan LDL teroksidasi dan menghambat pembentukan sel busa. Dilaporkan juga efek penekanan secara selektif terhadap apoptosis sel endotel melalui aktivasi AMPK oleh adiponektin bentuk berat molekul tinggi (BMT) (Meiliana dkk, 2006).
Gambar 3 . Proses pembentukan aterosklerosis (plak)
Dikutip dari : Kadowaki, T., Yamauchi, T. 2005. Adiponectin and Adiponectin Receptors. Endocrine Reviews. 26:439-451.
II.2.3.5. Anti trombotik
Penelitian Kato dkk (2006) menyatakan bahwa adiponektin bekerja sebagai faktor antitrombotik endogen. Walaupun kemungkinan efek antitrombotik in vivo adiponektin mungkin sebagian diperantarai oleh kerjanya pada sel vaskuler. Studi ini secara jelas menunjukkan bahwa adiponektin mempengaruhi fungsi platelet pada kondisi tidak adanya sel vaskuler. Overekspresi adiponektin pada tikus WT melemahkan pembentukan trombus secara in vitro. Data ini memberikan suatu pandangan baru dimana adiponektin mungkin merupakan kandidat baru untuk menjadi obat antitrombotik.
II.3. TRIGLISERIDA
Trigliserida adalah ester dari tryhidric alcohol glycerol dengan 3 asam lemak rantai panjang. Trigliserida disintesis di hati dan juga terdapat dalam makanan. Trigliserida juga diduga merupakan penentu utama dari esterifikasi kolesterol atau transfer kolesterol dan remodelling HDL dalam plasma manusia (Susanti, 2006).
Kadar trigliserida sangat bervariasi, membuat peningkatan kadar sulit untuk dievaluasi sebagai faktor resiko untuk stroke. Peningkatan trigliserida merupakan komponen dari SM. Kecenderungan terhadap kadar trigliserida yang lebih tinggi pada pasien yang sebelumnya mengalami stroke telah dilaporkan. Pada suatu studi 11.117 subjek dengan PJK, kejadian serebrovaskular iskemik secara signifikan berhubungan dengan trigliserida yang tinggi dan kadar kolesterol yang rendah (Goldstein dkk, 2006).
Berbagai studi dan meta analisa memperlihatkan peningkatan kadar trigliserida berhubungan dengan peningkatan resiko penyakit jantung kongestif. Beberapa studi case-control menemukan suatu hubungan antara trigliserida yang tinggi dengan stroke iskemik. Beberapa studi prospektif menilai hubungan trigliserida dan stroke dengan hasil yang tidak konsisten. Selain efek aterogenik langsung TRL, trigliserida yang tinggi tampaknya merupakan marker perubahan potensial aterogenik dan protrombotik (Tanne dkk, 2001).
Pada kenyataannya setiap terapi hipolipidemik akan mengakibatkan perubahan pada spektrum lipid dan apoprotein plasma, termasuk perubahan pada ukuran lipoprotein, perubahan dalam esterifikasi kolesterol serta kecepatan lipolitik. Oleh karena itu trigliserida berperan sebagai regulator interaksi lipoprotein dan bukan sebagai penanda resiko independen (Susanti, 2006).
Studi terdahulu memperlihatkan bahwa konsentrasi trigliserida yang rendah memprediksi kuat mortalitas yang lebih tinggi dalam 6 bulan setelah stroke. Dari hasil studi Dziedzic dkk, 2004 menyarankan bahwa kadar trigliserida yang lebih rendah berhubungan dengan stroke yang lebih berat yang dinilai saat masuk. Kemungkinan mekanisme biologis yang bertanggung jawab untuk hubungan kadar trigliserida dengan keparahan stroke belum diketahui. Walaupun malnutrisi pasca stroke akut merupakan faktor resiko untuk outcome yang buruk, hal ini tidak menerangkan keparahan stroke saat masuk rumah sakit.
Diyakini bahwa penjelasan alternatif yang difokuskan pada sifat neuroprotektif potensial dari kolesterol harus dipertimbangkan. Diduga bahwa kolesterol yang tinggi kemungkinan bersifat protektif melalui peningkatan gamma-glutamyltransferase. Enzym ini memainkan peran pada uptake dan transport asam amino dan dapat mengurangi efek neurotoksik asam amino. Kolesterol juga dapat menyediakan proteksi antioksidan. Pada studi percobaan miokard iskemik, tikus yang diberi diet tinggi kolesterol selama 12 minggu memperlihatkan area infark miokard
yang lebih kecil secara bermakna dibandingkan dengan tikus yang mendapat diet biasa (Dziedzic dkk, 2004).
II.4. COMPUTED TOMOGRAPHY (CT-scan) DAN VOLUME INFARK Sejak diperkenalkan tahun 1973, CT telah merubah pendekatan akan diagnosa stroke. Dengan CT memungkinkan dengan jelas membedakan iskemia otak dengan perdarahan dan menetukan ukuran dan lokasi dari infark dan hemorhage (Furlan, 2001 ; Caplan, 2000). CT sken tanpa kontras (Non-Contrast Computed Tomography / NCCT) merupakan pemeriksaan radiologi rutin yang pertama di unit gawat darurat untuk menilai pasien dengan stroke akut, dan masih tetap merupakan pemeriksaan imejing stroke akut yang standart. Peran standart dari NCCT dalam mendiagnosa stroke akut dengan cepat mendeteksi perdarahan otak (Lev dkk, 2001).
Pada infark otak akut menurut standart pendidikan bahwa CT adalah normal dalam 24 jam pertama setelah onset stroke (Furlan, 2001). Pada iskemia, pada stadium awal sering normal atau hanya sedikit abnormalitas. Selama hari-hari pertama onset stroke, infark biasanya bulat atau oval dan batasnya kurang tegas. Kemudian menjadi lebih hipodense dan gelap, dan lebih seperti baji (wedge-like) dan berbatas. Sebagian infark yang tadinya hipodens menjadi isodens setelah minggu kedua dan ketiga onset. Hal ini yang disebut sebagai fogging effect kadang-kadang dapat mengaburkan lesi (Caplan, 2000).
Pantano dkk (1998) melaporkan bahwa sekitar dua pertiga pasien ukuran infark ditegakkan dalam 24-36 jam setelah onset stroke, sedangkan sisanya perubahan volume lesi dapat terjadi sesudah 24-36 jam pertama.
II.5. OUTCOME STROKE DAN INSTRUMEN
Kehilangan fungsi yang terjadi setelah stroke sering digambarkan sebagai impairments, disabilitas dan handicaps. Oleh WHO membuat batasan sebagai berikut (Caplan, 2000) :.
1. Impairments : menggambarkan hilangnya fungsi fisiologis, psikologis dan anatomis yang disebabkan stroke. Tindakan psikoterapi, fisioterapi, terapi okupasional ditujukan untuk menetapkan kelainan ini. 2. Disabilitas adalah setiap hambatan, kehilangan kemampuan untuk
berbuat sesuatu yang seharusnya mampu dilakukan orang yang sehat seperti : tidak bisa berjalan, menelan dan melihat akibat pengaruh stroke.
3. Handicaps adalah halangan atau gangguan pada seseorang penderita stroke berperan sebagai manusia normal akibat ”impairment” atau “disability” tersebut .
Pada berbagai penelitian klinis, skala Barthel Index dan Modified Rankin Scale umumnya digunakan untuk menilai outcome karena mudah digunakan, pengukuran yang sensitif terhadap keparahan stroke dan memperlihatkan interrater reliability (Sulter dkk, 1999 ; Weimar dkk, 2002).
Instrumen
Dalam uji klinik Barthel Index (BI) dan Modified Rankin Scale (mRS) merupakan skala yang sering digunakan untuk menilai outcome dan merupakan pengukuran yang dapat dipercaya yang memberi penilaian yang lebih objektif terhadap pemulihan fungsional setelah stroke (Sulter dkk, 1999).
Barthel Index telah dikembangkan sejak tahun 1965, dan kemudian dimodifikasi oleh Granger dkk sebagai suatu tehnik yang menilai pengukuran performasi pasien dalam 10 aktifitas hidup sehari-hari yang dikelompokkan kedalam 2 kategori yaitu (Sulter dkk, 1999) :
- Kelompok yang berhubungan dengan self-care antara lain : makan, membersihkan diri, mandi, berpakaian, perawatan buang air besar dan buang air kecil, penggunaan toilet.
- Kelompok yang berhubungan dengan morbiditas antara lain : berjalan, berpindah dan menaiki tangga.
Skor maksimum dari BI ini adalah 100, yang menunjukkan bahwa fungsi fisik pasien benar-benar tanpa bantuan, dan nilai terendah adalah 0 yang menunjukkan ketergantungan total (Sulter dkk, 1999).
Skala mRS lebih mengukur ketergantungan daripada performasi aktifitas spesifik, dalam hal ini mental demikian juga adaptasi fisik digabungkan dengan defisit neurologi. Skala ini terdiri dari 6 derajat, yaitu dari 0-5, dimana 0 berarti tidak ada gejala dan 5 berarti cacat/
ketidakmampuan yang berat (Sulter dkk, 1999). Skala mRS adalah lebih sensitif untuk penilaian pada penderita dengan disabilitas ringan dan sedang (Weimar dkk, 2002). Meskipun kedua skala tersebut diatas mudah digunakan dan dapat dipercaya, belum ada konsensus mengenai bagaimana skala tersebut seharusnya digunakan untuk menentukan outcome pada uji klinik (Sulter dkk, 1999).
Sulter dkk (1999) melakukan trial pada beberapa penelitian yang menggunakan skala BI dan mRS pada stroke iskemik, dimana pada studi Granger dkk menemukan bahwa skor 60 pada BI berhubungan dengan pergeseran dari dependent menjadi independent. Dan skor 85 menunjukkan peralihan dari memerlukan bantuan minimal ke-tanpa bantuan (independent).
Pengukuran National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS)
untuk menilai impairment terdiri dari 12 item pertanyaan (tingkat kesadaran, respon terhadap pertanyaan, respon terhadap perintah, gaze palsy, pemeriksaan lapangan pandang, fasial palsy, motorik, ataksia, sensori, bahasa disartria, dan ekstensi/inattention). Skala ini telah banyak digunakan pada penelitian-penelitian dalam terapi stroke akut dan merupakan pemeriksaan standar dalam penelitian klinis. Nilai skor NIHSS saat pasien mengalami stroke akan dapat digunakan sebagai prediksi perawatan pada saat setelah masa akut, dimana setiap peningkatan 1 poin skor secara signifikan akan menambah lama rawatan di rumah sakit. Ada 3 rentang skor NIHSS yang secara signifikan berhubungan dengan
perawatan pasien stroke, yaitu skor ≤ 5 (ringan) pasien dapat keluar dari rumah sakit, skor 6-13 (sedang) pasien memerlukan rehabilitasi dan > 13 (berat) akan memerlukan fasilitas perawatan yang lama (Meyer dkk, 2002; Schlegel dkk, 2003).
II.6. KERANGKA KONSEPSIONAL Matsubara dkk, 2004: Adiponektin berhub. negatif dgn. TG serum Adiponektin Schulze dkk, 2004 : Adiponektin berhub. dgn. kadar TG Trigliserida TG)
Clark, 2005: adiponektin terlibat dalam aterosklerosis
Tanne dkk, 2001 : serum TG merupakan faktor
resiko stroke Soderberg dkk, 2004: adiponektin tdk. berhub. dgn terjadinya stroke
Chen dkk, 2005 : adiponektin berhub. dgn resiko PSV Dharmalingan dkk, 2004:
terdapat hubungan TG
puasa dengan CIMT Iglseder dkk, 2005: 1 g/mL
adiponektin CIMT 3,48 m pada dan 2,39 m pada
Bang dkk, 2007:adiponektin berhub. dgnaterosklerosis intrakranial
Tarquini dkk, 2007 : adiponektin sifat anti aterogenik & anti inflamasi
Aterosklerosis
Stroke Iskemik
Pikija dkk, 2006 : TG puasa berhub. dgn. volume infark
Infark
Weir dkk, 2003 : outcome stroke
berhubungan dengan TG Efstathiou dkk, 2005: adiponektin <4 g/mL berhub. dgn resiko kematian Dziedzic dkk, 2004: TG
berhub. dgn. keparahan stroke
Sulter dkk, 1999 : BI & mRS sensitive thd. keparahan stroke
Outcome :
NIHSS, BI, mRS Weimar dkk, 2002 : mRS lebih sensitive utk menilai disabilitas ringan sedang