Kedelai
Kedelai merupakan tanaman semusim dengan beragam morfologi. Tinggi tanaman berkisar antara 10-200 cm dapat bercabang sedikit atau banyak tergantung kultivar dan lingkungan hidup. Daun pertama keluar dari buku sebelah atas. Kotiledon pada kedelai berupa daun tunggal berbentuk sederhana dan letaknya berseberangan. Daun kedelai terdiri dari dua bentuk yaitu stadia kotiledon yang tumbuh saat tanaman masih berbentuk kecambah dengan dua helai daun tunggal dan daun bertangkai tiga (trifoliate leaves) dan letaknya berselang-seling. Batang, polong, dan daun ditumbuhi bulu berwarna abu-abu atau coklat namun terdapat pula tanaman yang tidak berbulu. Bunga kedelai berkelompok dua tergantung tipe tumbuh, kondisi lingkungan tumbuh dan varietas kedelai.(Hidayat, 1985).
Penelitian terdahulu menemukan bahwa varietas kedelai berbiji sedang atau kecil umumnya memiliki kulit berwarna gelap, tingkat permeabilitas rendah, dan memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap kondisi penyimpanan yang kurang optimal dan tahan terhadap deraan cuaca lapang dibanding varietas yang berbiji besar dan berkulit biji terang (Mugnisyah, 1991). Sukarman dan Raharjo (2000) melaporkan bahwa varietas kedelai berbiji kecil dan kulit berwarna gelap lebih toleran terhadap deraan fisik (suhu 42oC dan kelembaban 100%) dibanding varietas berbiji besar dan berkulit terang. Varietas Cikuray (berbiji sedang, kulit berwarna hitam) dan varietas Tidar (berbiji kecil, kulit berwarna kuning) memiliki daya simpan yang lebih baik dibandingkan dengan varietas Wilis (berbiji sedang, berkulit kuning). Daya tumbuh benih varietas Wilis menurun hingga 60% setelah lima bulan penyimpanan, sedangkan daya berkecambah benih varietas Cikuray dan varietas Tidar masih lebih dari 80% setelah lima bulan penyimpanan.
Vigor Benih, Kemunduran dan Daya Simpan Benih
Vigor benih merupakan kemampuan benih untuk mampu tumbuh normal pada kondisi suboptimum. Sadjad (1999) mengkategorikan vigor benih menjadi
dua yaitu vigor kekuatan tumbuh dan vigor daya simpan. Keduanya merupakan parameter viabilitas yang dapat mencerminkan kondisi vigor benih. Menurut Copeland dan Mc Donald (2001) faktor-faktor yang mempengaruhi vigor benih adalah kondisi lingkungan selama perkembangan benih, kondisi genetik benih, dan lingkungan penyimpanan. Faktor genetik meliputi tingkat kekerasan benih, vigor tanaman induk, daya tahan terhadap kerusakan mekanik, dan komposisi kimia benih. Faktor lingkungan perkembangan benih meliputi kelembaban, kesuburan tanah, dan pemanenan benih. Faktor penyimpanan benih meliputi waktu penyimpanan, dan lingkungan penyimpanan (suhu, kelembaban, dan persediaan oksigen).
Benih memiliki vigor jika benih mampu menumbuhkan tanaman normal, meski kondisi alam tidak optimum atau sub optimum. Benih yang vigor akan menghasilkan produk di atas normal kalau ditumbuhkan pada kondisi optimum. Vigor benih yang mencapai tingkatan maksimum saat benih masak fisiologis harus dipertahankan selama proses pemanenan dan proses pengolahan. Benih yang memiliki vigor yang tinggi pada saat masak fisiologis akan memiliki daya simpan yang panjang (Sadjad et al., 1999).
Kemunduran benih merupakan proses penurunan mutu secara berangsur-angsur dan kumulatif serta tidak dapat balik (irreversible) akibat perubahan fisiologis yang disebabkan oleh faktor dari dalam benih. Proses penuaan atau mundurnya vigor secara fisiologis ditandai dengan penurunan daya berkecambah, peningkatan jumlah kecambah abnormal, penurunan pemunculan kecambah di lapangan (field emergence), terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan tanaman, meningkatnya kepekaan terhadap lingkungan yang ekstrim yang akhirnya dapat menurunkan produksi tanaman (Copeland dan McDonald, 2001). Benih bervigor tinggi mempunyai laju kemunduran benih lebih lambat dibanding benih bervigor rendah. Menurut Tatipata (2004) kemunduran benih dapat ditengarai secara biokimia dan fisiologi. Indikasi biokimia kemunduran benih dicirikan antara lain penurunan aktivitas enzim, penurunan cadangan makanan, meningkatnya nilai konduktivitas (daya hantar listrik). Indikasi fisiologi kemunduran benih antara lain penurunan daya berkecambah dan vigor.
Menurut Copeland dan McDonald (2001) gejala kemunduran pada benih dapat dicirikan sebagai berikut: terjadinya perubahan morfologi seperti perubahan warna kulit benih menjadi lebih gelap dan terjadinya nekrosis kotiledon, perubahan ultrastruktural seperti: penggabungan tubuh lemak (lipid bodies) dan plasmalemma, ketidakmampuan benih untuk menahan metabolit seluler yang bocor ketika terjadi imbibisi, kehilangan aktivitas enzim, dan respirasi yang menurun. Menurut Ali et al. (2003) kemunduran benih dapat terjadi ketika benih masih berada di tanaman induk maupun pada saat penyimpanan, laju kemunduran benih dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, suhu dan kelembaban (RH).
Laju kemunduran pada benih dipengaruhi oleh autoxidasi lipid, degradasi struktur fungsi, ribosom tidak mampu berdisosiasi, degradasi dan inaktivasi enzim, pengaktifan/ pembentukan enzim-enzim hidrolitik, degradasi genetik sebagai penyebab utama ketuaan perubahan sifat kromosom (selaras dengan penuaan), habisnya cadangan makanan, kelaparan sel meristematik dan akumulasi senyawa beracun (Copeland dan McDonald, 2001).
Menurut Tatipata (2004) benih kedelai yang disimpan dengan kadar air 8 dan 10% di dalam kantong plastik polietilen dan kantong aluminium foil dapat mempertahankan mutu yang tetap tinggi selama penyimpanan 6 bulan. Kemunduran yang terjadi pada benih kedelai dicerminkan dengan menurunnya kadar fosfolipid, protein membran, fosfor anorganik mitokondria, aktivitas spesifik suksinat dehidrogenase dan sitokrom oksidase serta laju respirasi.
Klorofil dalam Benih
Klorofil merupakan pigmen utama berwarna hijau pada semua makhluk hidup yang mampu melakukan fotosintesis. Menurut Gross (1991), klorofil berwarna hijau karena menyerap secara kuat daerah merah dan biru dari spektrum sinar tampak. Klorofil merupakan ester dan larut pada pelarut organik.
Klorofil pada benih canola (Brassica campestris) yang sedang berkembang berguna dalam proses fotosintesis untuk menghasilkan ATP dan NADPH, yaitu energi yang dibutuhkan untuk mengkonversi suplai sukrosa dari tanaman menjadi lemak yang berguna dalam sintesis dan penyimpanan minyak dalam benih (Signal et al., 1987; Asokanthan et al., dalam Suhartanto 2003).
Rendahnya kandungan klorofil pada benih diduga berperan penting menunda kemunduran karena klorofil merupakan sumber utama singlet oksigen (1O2), yang merupakan agen oksidasi yang sangat kuat (Thomshon et al., dalam Suhartanto 2002). Menurut Suhartanto (2002) rendahnya perkecambahan pada benih yang masih hijau atau belum masak diduga disebabkan oleh kemunduran oksidatif oleh radikal bebas yang akhirnya mengarah pada kematian sel benih.
Menurut Wards et al. (1992) kandungan klorofil benih rapeseed (Brassicaa oleraceae) menurun pada saat masak, dan laju penurunan tersebut lebih rendah bila suhu lingkungan rendah. Penelitian pada benih rapeseed menunjukkan penurunan kandungan klorofil pada benih seiring dengan penurunan kadar air benih tersebut. Hasil penelitian Almela et al. (1996) pada cabai varietas Negral menunjukkan bahwa pada saat proses pemasakan buah terjadi perubahan komposisi klorofil. Kandungan klorofil pada buah berwarna hijau dan setengah masak masih tinggi dan pada saat buah mencapai masak fisiologis kandungan klorofil berkurang hanya tinggal sekitar 14%. Berdasarkan penelitian pada benih tomat, Suhartanto (2002) menegaskan bahwa kandungan klorofil menurun seiring dengan bertambahnya tingkat kemasakan benih.
Fluoresen klorofil pada seed coat dapat digunakan sebagai metode untuk menentukan kemasakan dan kualitas benih. Hasil penelitian Jalink et al., (1998) menunjukkan kualitas benih Brassica oleraceae meningkat dengan menurunnya fluoresen klorofil pada seed coat, ditunjukkan dengan persentase daya berkecambah dan jumlah kecambah normal yang tinggi. Selanjutnya Jalink et al.
(1999) melakukan penelitian pada benih tomat dengan metode LIF (Laser Induced Fluorescence) untuk mendeteksi fluoresen dari klorofil. Hasilnya menunjukkan kualitas benih tomat mencapai maksimum ketika fluoresen klorofil minimum.
Suhartanto (2002) melaporkan bahwa proses degradasi klorofil pada benih tomat masih terjadi meskipun benih sudah dikeringkan. Benih yang disimpan dalam ruang simpan dengan cahaya merah menurun kandungan klorofilnya, namun bila disimpan di ruang gelap kandungan klorofilnya relatif tetap. Daya simpan benih tomat dalam ruangan dengan cahaya merah lebih baik dibanding di ruang gelap diduga klorofil dari benih dapat menjadi sumber radikal bebas yang dapat mempercepat penurunan viabilitas benih.
Suhartanto (2003) menyimpulkan bahwa klorofil dibutuhkan dalam pembentukan benih, namun sangat tidak diharapkan dalam tahap pemasakan. Kehadiran klorofil dalam tahap pemasakan tampaknya berhubungan erat dengan rendahnya mutu benih, khususnya daya simpan benih. Benih dengan kandungan klorofil tinggi memiliki mutu benih rendah dibanding dengan benih dengan kandungan klorofil rendah. Fluoresen klorofil benih dapat digunakan sebagai indikator masak fisiologis benih.
Berkaitan dengan sifat genetik benih, penelitian Suhartanto (2002) menunjukkan benih-benih tomat yang berasal dari turunan varietas liar memiliki kandungan klorofil dan aktivitas fotosintesis yang lebih tinggi dibanding varietas yang telah dibudidayakan. Hal ini merupakan indikasi bahwa kandungan klorofil dan fungsinya mengalami penurunan selama proses domestikasi.
Uji Pengusangan Cepat Terkontrol (Controlled Deterioration)
Uji pengusangan cepat merupakan salah satu uji vigor daya simpan benih. Uji ini tergolong dalam metode uji vigor benih dengan lingkungan sub optimum, tetapi lingkungan tersebut diberikan sebelum benih dikecambahkan. Uji ini bermanfaat untuk menduga berapa lama lagi benih dapat disimpan sehingga sangat berguna bagi produsen, pedagang atau penyalur benih.
Lingkungan suboptimum yang diberikan kepada benih dianggap sebagai suatu cara simulasi lingkungan yang dapat menyebabkan kemunduran benih dalam penyimpanan yang lazim dalam praktek. Mengingat lingkungan simpan yang lazim adalah dalam suhu kamar dengan komponen lingkungan simpan utama berupa suhu dan kelembaban nisbi atmosfer, maka metode uji pengusangan dipercepat merupakan metode uji simulasi yang lebih sesuai.
Controlled Deterioration merupakan sebuah metode pengujian vigor yang dikeluarkan oleh 1STA (1995) untuk memperkirakan umur fisiologi dari benih.
Controlled Deterioration digunakan untuk mengevaluasi potensial fisiologis benih, khususnya pada tanaman pangan (Hamton dan TeKrony, dalam Silva et al.,
2006). Uji pengusangan cepat ini pada prinsipnya sama dengan Accelerated Ageing Test. Hal yang membedakan adalah teknik yang digunakan selama pelaksanaannya. Accelerated Ageing Test menggunakan seperangkat alat
pengusangan khusus. Pada Accelerated Ageing Test benih didera pada suhu dan RH tinggi, sehingga kadar air benih meningkat selama proses pengusangan. Sedangkan pada uji pengusangan Controlled Deterioration kadar air benih ditingkatkan terlebih dahulu sebelum dilakukan uji pengusangan dan selanjutnya dipertahankan selama periode kemunduran. Controlled Deterioration tidak hanya memungkinkan untuk mengevaluasi potensi penyimpanan tetapi hubungan antara hasil dan munculnya kecambah di lapang juga dapat ditentukan.
Hasil penelitian Ali et al. (2003) pada benih padi (Oryza sativa L.) menunjukkan perbedaan nyata pada daya berkecambah diantara kulltivar yaitu pada kadar air benih 24% dan lama penderaan 48 jam pada Controlled Deterioration. Hasil penelitian Silva et al. (2006) menunjukkan bahwa uji
Controlled Deterioration cukup sensitif untuk mengevaluasi potensi fisiologis pada benih bit gula, informasi ini sesuai dengan hasil kemunculan benih di lapang. Selain itu hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pada kadar air 24% dan lama penderaan 24 jam pada uji pengusangan cepat Controlled Deterioration pada bit gula memberikan informasi yang cukup sesuai dengan daya tumbuh benih di lapang.
Hasil penelitian Mavi dan Demir (2007) menunjukkan kadar air 24% dan lama penderaan 48 jam pada Controlled Deterioration dan lama penderaan selama 120-144 jam pada Accelerated Ageing Test merupakan kondisi yang optimum untuk menguji benih semangka (Citrullus lanatus). Hasil penelitian Mavi dan Demir (2008) pada benih mentimun (Cucumis sativus L.) menunjukkan kondisi kadar air benih 20% dan lama penderaan 96 jam merupakan kondisi yang optimum untuk menguji vigor benih mentimun.
Pengujian benih dengan Controlled Deterioration telah digunakan untuk menunjukkan pengaruh fluoresen klorofil pada kualitas benih kedelai (Glycine max (L). Merr.). Persentase kecambah normal pada benih dengan fluoresen rendah lebih tinggi dibanding benih dengan fluoresen klorofil yang tinggi. Uji Controlled Deterioration merupakan pengujian yang cocok untuk mengevaluasi daya simpan lot benih kedelai, karena benih kedelai mudah kehilangan kualitas selama penyimpanan (Cicero et al., 2009).
BAHAN DAN METODE
Tempat dan WaktuPenelitian ini dilaksanakan mulai Desember 2009 sampai Mei 2010 di kebun percobaan Leuwikopo, Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih Departemen Agronomi dan Hortikultura serta Laboratorium Spektroskopi Departemen Fisika, Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah benih tiga varietas kedelai kuning yaitu Willis, Anjosmoro, dan Tanggamus, tiga varietas kedelai hitam yaitu Cikuray, Detam 1, dan Detam 2 (deskripsi varietas kedelai disajikan pada Lampiran 1), kertas merang, plastik, aluminium foil dan air bebas ion.
Peralatan yang digunakan terdiri atas: spektrofotometer VIS, water bath,
electric conductivity meter, desikator, timbangan digital, cawan kadar air, oven, pengepres kertas, pipet, sealler, refrigerator dan alat pengecambah benih tipe IPB 72-1.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan dua tahap percobaan. Tahap pertama adalah menentukan waktu pengusangan cepat yang tepat dengan metode pengusangan cepat CD ( Controlled deterioration) yang paling efektif dalam kisaran waktu 0, 12, 24, 36 dan 48 jam pada suhu 41oC terhadap benih yang telah dikondisikan pada Kadar air 22%. Percobaan pertama disusun dengan Split–plot Rancangan Acak Kelompok. Petak utamanya adalah 12 lot benih yang merupakan kombinasi antara enam varietas masing-masing dengan dua tingkat kemasakan benih kedelai yaitu tingkat kemasakan 2 dipanen berdasarkan standar masak panen pada deskripsi masing-masing varietas yang berkisar antara 82-95 Hari Setelah Tanam (HST), sedangkan tingkat kemasakan 1 dipanen satu minggu lebih awal yaitu antara 75-80 Hari Setelah Tanam (HST). Anak petaknya adalah waktu pengusangan (0, 12, 24, 36 dan 48 jam). Setiap perlakuan diulang sebanyak 4 kali.
Model umum rancangan percobaan ini adalah:
Yijk = μ + ρi+ + άj+ (ρ-ά)ij+ βk+ (ά*β)jk + εijk Keterangan:
Yij : respon ulangan ke-i perlakuan lot benih ke j dan perlakuan waktu pengusangan ke k
μ : rataan umum
ρi : pengaruh ulangan ke i
άj : pengaruh perlakuan lot benih ke j
(ρ-ά)ij : galat interaksi antar ulangan ke i dengan perlakuan lot benih ke j βk : pengaruh perlakuan waktu pengusangan ke k
(ά*β)jk : pengaruh interaksi lot benih ke j dan perlakuan waktu pengusangan ke k εijk : galat percobaan
Analisis ragam dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap tolok ukur yang diamati. Perbedaan nyata yang terdapat sidik ragam pada taraf α = 5% dilanjutkan uji nilai tengah dengan prosedur DMRT (Duncan Multiple Range Test).
Tahap kedua adalah menguji kandungan klorofil, ukuran benih (bobot 100 butir, bobot kering benih, dan berat jenis), dan permeabilitas benih (daya hantar listrik). Tahap kedua disusun dengan RKLT faktor tunggal yaitu kombinasi varietas dengan tingkat kemasakan yang terdiri atas 12 taraf. Percobaan diulang 4 kali sehingga terdapat 48 satuan percobaan.
Model umum rancangan percobaan ini adalah: Yij = μ + τi + εij keterangan: Yij : nilai pengamatan
μ : rataan umum
τi : pengaruh lot benih ke-i εij : galat percobaan
Analisis ragam dilakukan untuk mengetahui pengaruh varietas benih terhadap tolok ukur yang diamati. Apabila dalam sidik ragam terdapat perbedaan nyata pada taraf α = 5% maka dilakukan uji nilai tengah dengan prosedur DMRT (Duncan Multiple Range Test).
Analisis korelasi dilakukan untuk melihat hubungan antara kandungan klorofil dengan ukuran benih (bobot 100 butir dan bobot kering maksimum), permeabilitas benih (daya hantar listrik) dan vigor ketahanan benih terhadap pengusangan cepat pada waktu pengusangan yang terpilih dari percobaan pertama.
Model analisis korelasi:
r = n i n i n i n i n i n i n i yi yi n xi xi n yi xi xiyi n 1 1 2 2 1 1 2 2 1 1 1 ) ( ) ( ) )( ( = b y x s s
Pelaksanaan Percobaan
Produksi BenihBenih kedelai varietas Tanggamus, Wilis, Anjasmoro dan Cikuray yang diperoleh dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB.Biogen), Bogor dan benih kedelai varietas Detam 1 dan Detam 2 yang diperoleh dari Balai Penelitian Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian (Balitkabi), Malang diperbanyak di Kebun Percobaan IPB, Leuwikopo, Bogor. Benih ditanam pada lahan seluas 500 m2 yang terbagi menjadi
enam petak dengan masing-masing satu varietas. Setiap petak berukuran 10 m x 5 m dengan jarak antar petak 2 m dan dibatasi plastik sebagai isolasi
(barier) antar varietas. Lahan yang digunakan telah diberakan selama tiga bulan dan dilakukan pengolahan dengan cara dicangkul, dibersihkan dari gulma, kemudian diratakan dan dibuat parit di sekeliling lahan. Pada saat pengolahan, lahan diberikan pupuk kandang berupa kotoran ayam 1 ton ha-1, kompos 0.5 ton ha-1, dan arang sekam 0.5 ton ha-1 untuk memperbaiki struktur tanah. Lahan yang digunakan terletak pada ketinggian 250 m di atas permukaan laut, termasuk jenis tanah latosol dan cukup tersedia air. Jarak tanam yang digunakan adalah 40 cm x 20 cm dengan dua benih per-lubangnya dan diberikan furadan 3G sebagai insektisida untuk penanganan lalat bibit. Pemupukan dilakukan sesuai dosis rekomendasi. Penyiangan dilakukan setiap minggu. Roguing dilakukan
sebanyak tiga kali pada saat berumur dua minggu, pada awal berbunga, dan pada saat menjelang panen.
Pemanenan dilakukan dengan dua kriteria kemasakan yaitu 75-80 dan 82-95 Hari Setelah Tanam (HST) yang diharapkan dapat menghasilkan benih dengan dua tingkat vigor yang berbeda sehingga dapat dilihat hubungan kandungan klorofil dengan vigor benih pada dua tingkat kemasakan.
Pengusangan Cepat
Pengusangan cepat yang digunakan adalah dengan metode Controlled Deterioration (CD), dengan menaikkan kadar air benih kedelai menjadi 22% melalui penambahan air. Benih kedelai sebanyak 80 butir benih untuk setiap satuan percobaan dan air yang telah ditentukan volumenya berdasarkan rumus ISTA (1995) dimasukkan dalam aluminium foil dan ditutup rapat kemudian dibiarkan selama 24 jam pada suhu 5oC. Benih yang telah ditingkatkan kadar airnya kemudian diinkubasikan dalam water-bath pada suhu 41oC selama waktu perlakuan (0, 12, 24, 36 dan 48 jam). Setelah pengusangan cepat selesai, dilakukan pengujian viabilitas benih untuk menunjukkan ketahanannya terhadap pengusangan cepat. Pengujian dilakukan dengan mengecambahkan benih dengan metode UKDdp (Uji Kertas Digulung dalam plastik) pada alat pengecambah benih tipe IPB 72-1.
Perhitungan jumlah air yang ditambahkan diperoleh berdasarkan rumus ISTA (1995) sebagai berikut :
W2 = 100 - A x W1 100 - B
Keterangan : A = Kadar air benih awal berdasarkan bobot basah (%)
B = Kadar air benih yang diinginkan berdasarkan bobot basah (%)
W1 = Berat awal benih yang telah diketahui (g)
Pengujian Kandungan Klorofil
Metode analisis terhadap kandungan klorofil dilakukan secara non destruktif menggunakan spektrofotometer. Proses pengujian kandungan klorofil dilakukan dengan mengukur nilai absorbansi pada panjang gelombang 646.6 dan 663.6 nm (Gitelson, 2002). Analisis kandungan klorofil dilakukan pada bagian
seed coat. Pengujian dilakukan terhadap 10 butir benih kedelai untuk setiap satuan percobaan.
Keterangan : a = Sumber cahaya LS-1 Tungsten Halogen, b = holder, c = Spektrometer fiber optik USB2000, d = Komputer
Gambar 1. Rangkaian Alat Pengujian Kandungan Klorofil
Pengamatan
Viabilitas benih
Pengamatan viabilitas benih dilakukan pada beberapa tolok ukur yang meliputi daya berkecambah, indeks vigor dan kecepatan tumbuh.
1.0Daya Berkecambah (DB) diukur berdasarkan persentase kecambah normal 000pada hitungan pertama dan kedua pengamatan viabilitas.
∑ benih yang ditanam Keterangan:
∑ KN I : jumlah kecambah normal pengamatan pertama pada 3 Hari Setelah Tanam (HST)
∑ KN I : jumlah kecambah normal pengamatan kedua (5 HST)
2. Indeks Vigor (IV), diukur berdasarkan persentase kecambah normal pada 000hitungan pertama pengamatan viabilitas.
IV= ∑ KN I x 100% ∑ benih yang ditanam
Keterangan:
∑ KN I : jumlah kecambah normal pengamatan pertama (3 HST)
3. Kecepatan Tumbuh (KCT), pengamatan dilakukan setiap hari dan dihitung 0dengan jumlah tambahan perkecambahan setiap hari atau etmal pada kurun 0waktu perkecambahan dalam kondisi optimum.
KCT= t
d 0
Keterangan:
t : kurun waktu perkecambahan (etmal)
d : tambahan persentase kecambah normal setiap etmal (1 etmal =24 jam)
Kandungan Klorofil
Kandungan klorofil diukur dengan spektrofotometer pada absorbansi dengan = 646.6 nm dan = 663.6 nm, menurut rumus Gitelson (2002) :
Total klorofil (nmol cm-2) = (8.29 x A663.6) + ( 19.54 x A646.6)
Ukuran Benih
Pengamatan ukuran benih dilakukan pada beberapa tolok ukur yang meliputi bobot 100 butir, bobot kering benih, dan berat jenis.
1.0Bobot 100 butir (g), pengamatan dilakukan dengan mengambil sampel 100 butir per satuan percobaan dan menimbang bobot sampel tersebut pada kadar air ± 10% (Lampiran 2).
2. Bobot kering benih (g), pengamatan dilakukan dengan mengambil sampel 0secara acak sebanyak 10 butir benih setiap satuan percobaan. Benih tersebut 0kemudian dioven dengan suhu 60oC selama 3 hari dan ditimbang.
3. Berat jenis (g cm-3) pengamatan dilakukan dengan membagi antara bobot 100 0butir dengan selisih volume aquades sebelum dan sesudah benih dimasukkan 0ke dalam gelas ukur yang berisi aquades.
Permeabilitas Benih
Pengujian permeabilitas benih dilakukan dengan tolok ukur daya hantar listrik. Uji Daya Hantar Listrik (μmhos cm-1
g-1), dilakukan dengan merendam 25 butir benih yang telah ditimbang pada 50 ml air bebas ion selama 24 jam kemudian air rendamannya diukur dengan alat electric conductivity meter.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Benih kedelai dipanen pada dua tingkat kemasakan yang berbeda yaitu tingkat kemasakan 2 dipanen berdasarkan standar masak panen pada deskripsi masing-masing varietas yang berkisar antara 82-95 HST, sedangkan tingkat kemasakan 1 dipanen satu minggu lebih awal yaitu antara 75-80 HST. Hal ini dilakukan untuk melihat kandungan klorofil serta vigor benih kedelai terhadap ketahanan benih setelah pengusangan cepat pada tingkat kemasakan yang berbeda. Berdasarkan waktu panen yang telah ditentukan untuk tingkat kemasakan 1 dan tingkat kemasakan 2, secara visual di lapangan diperoleh kriteria panen kedelai kuning dan hitam seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Panen Kedelai Kuning dan Hitam
Tingkat Kemasakan 1 Tingkat Kemasakan 2 75-80 HST (Hari Setelah Tanam) 82-95 HST (Hari Setelah Tanam) Kedelai kuning:
Warna kulit polong hijau kekuningan
Warna batang pada hijau kekuningan
Terdapat siluet warna kulit benih
Kedelai hitam:
Warna kulit polong kuning kecoklatan
Warna batang pada tanaman kuningan
Kedelai kuning:
Warna kulit polong hijau kuning penuh
Warna batang pada tanaman kuning keemasan
warna kulit benih kuning
Kedelai hitam:
Warna kulit polong coklat gelap Warna batang pada tanaman kuning kecoklatan
Pengusangan cepat metode Controlled Deterioration atau kemunduran terkontrol dilakukan dengan meningkatkan kadar air benih menjadi 22% kemudian diinkubasi pada water-bath dengan suhu 41oC selama 0, 12, 24, 36 dan 48 jam. Pengusangan benih dengan tingkat kadar air yang tinggi dan suhu yang tinggi menyebabkan benih kehilangan viabilitas dengan cepat. Benih yang telah kehilangan viabilitas tumbuh abnormal atau mengalami kematian sehingga tidak mampu menghasilkan kecambah normal. Pada lot benih tersebut secara umum
pengusangan dengan metode Controlled Deterioration tidak terkendala oleh berkembangnya cendawan hingga saat benih dikeluarkan dari proses pengusangan.
Ketahanan Benih Kedelai terhadap Pengusangan Cepat Terkontrol