• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ikan belida tergolong ke dalam kelas Actinopterygii, Ordo Osteoglossiformes,

famili Notopteridae, genus Chitala, spesies Chitala lopis (Nelson 1976; Kottelat et al.

1993; 1997), memiliki sinonim Notopterus chitala dengan nama internasional giant

featherback. Di Indonesia ikan belida dikenal dengan nama belido (Sumatera) atau pipih (Kalimantan).

Ciri-ciri morfologi ikan belida, berdasarkan Weber dan deBeaufort (1913);

Kottelat et al. (1993; 1997), memiliki badan pipih dan memanjang dengan bagian

punggung yang tampak membesar. Bagian perut berduri ganda dengan bagian ekor yang juga memanjang. Ukuran sisik kecil, berbentuk sikloid, pada samping badan membentuk gurat sisi. Bukaan mulut lebar, dibatasi rahang atas depan dan rahang atas. Rahang atas memanjang sampai bawah atau belakang mata. Sirip punggung kecil, terletak kira-kira direntang pertengahan sirip dubur yang bersatu dengan sirip ekor. Sirip perut yang bersatu

pada dasarnya kecil (rudiment). Selaput insang (gill membrane) bersatu pada bagian

dasarnya dan bebas dari isthmus dengan jari-jari selaput insang berjumlah 7-9. Saringan insang tidak banyak, kuat, ada serangkaian tonjolan pada bagian dalam lengkung insang yang pertama, struktur morfologis ikan belida terlihat pada Gambar 3.

Pola warna terdiri dari 3 fase yaitu fase maculosus (150-270 mm), seluruh badan ditutupi bintik bulat kecil. Banyak garis miring berbintik-bintik pada sirip dubur dan badan bagian belakang dan sebuah bintik hitam pada pangkal sirip badan (fase borneensis, 300-600 mm), tidak ada tanda-tanda lain kecuali bintik hitam pada pangkal sirip dada (fase hypselonotus, > 600 mm); beberapa spesimen tidak memiliki tanda-tanda

pada badan (fase lopis, kisaran ukuran tidak dikenal) (Kottelat et al. 1993).

8

Gambar 3. Struktur morfologis ikan belida

Penyebaran famili Notopteridae menurut Inuoe et al. (2009), meliputi kawasan

Afrika terutama bagian tengah (tropika), Asia Selatan dan Asia Tenggara. Kawasan Afrika meliputi negara-negara seperti; Kongo, Gabon, Zaire, Kamerun, Republik Afrika Tengah, Sudan, Nigeria, Pantai Gading, Benin, Gambia, Cad dan Sinegal. Kawasan Asia Selatan meliputi negara India, Banglades dan Pakistan. Sedangkan kawasan Asia Tenggara meliputi negara-negara; Myanmar, Thailand (Sungai Choupraya), Kamboja dan Laos (DAS Mekong), Malaysia dan Indonesia, Gambar 4.

Gambar 4. Penyebaran Notopteridae menurut Inoue et al. (2009)

Penyebaran ikan belida di wilayah Indonesia meliputi sungai-sungai besar beserta daerah aliran sungai, daerah banjiran dan danau yang terdapat di Pulau Sumatera,

9

Kalimantan dan Jawa. Penyebaran jenis ikan tersebut diperkirakan terjadi pada zaman pleistosen, saat terjadi susut laut akibat pendinginan suhu global. Pada saat itu Pulau Sumatera, Kalimantan dan Jawa merupakan satu daratan dengan banyak sungai panjang mengalir berhulu di Sumatera dan Jawa dengan muara di wilayah sebelah utara dan selatan Kalimantan, Gambar 5.

Ket: = jumlah populasi besar, = jumlah populasi sedang dan = jumlah populasi kecil

Gambar 5. Penyebaran ikan belida di Indonesia (Voris, 2000)

Identifikasi Stok Ikan

Identifikasi stok ikan dapat dilakukan melalui pengukuran pada struktur morfologis (karakter morfometrik) (Tschibwabwa 1997; Sudarto 2003; Gustiano 2003) dan karakter meristik (Seymour 1959; MacCrimmon and Clayton 1985; Al-Hasan 1984; 1987a,b)) dan marka molekular (Waltner 1988; Krueger 1986; Sudarto 2003).

Morfometrik adalah perbandingan ukuran relatif bagian-bagian tubuh ikan, sementara meristik adalah bagian yang dapat dihitung dari ikan yang merupakan jumlah bagian-bagian tubuh ikan. Perbedaan morfologis antar populasi dapat berupa perbedaan jumlah, ukuran dan bentuk (Sprent 1972), keunggulan menggunakan karakter morfologis dalam membedakan populasi adalah mudah dilakukan, tidak memerlukan biaya besar dan tidak memerlukan waktu lama (Mustafa 1999; Gustiano 2003). Identifikasi stok atau sub populasi ikan belida menggunakan karakter meristik sebelumnya pernah dilakukan oleh

MAHAKAM BARITO KAHAYAN KAPUAS CISADANE TULANG BAWANG BANGKA MUSI BATANGHARI SIAK INDRAGIRI KAMPAR

10

Wibowo dkk. (2008a) berdasarkan karakter jumlah duri pada ventral, jumlah sirip anal, jumlah sirip dada dan jumlah sirip punggung. Hasil penelitian mengungkapkan populasi ikan belida di Perairan Riau terbagi menjadi tiga subpopulasi, yaitu subpopulasi tipe Kampar Kiri, Kampar Kanan dan Indragiri. Pembeda diantara ketiga subpopulasi adalah jumlah duri pada ventral.

Penanda molekular mampu mengidentifikasi perbedaan genetik langsung pada level DNA sebagai komponen genetik. Semua karakter yang ditampilkan baik secara nyata atau tidak oleh satu individu hewan tidak lain adalah pencerminan karakter gen yang dimiliki oleh individu hewan tersebut, atau dapat disebut bahwa semua informasi yang dapat diamati pada suatu individu hewan adalah penanda genetik dari individu tersebut. Karakteristik penanda molekular ini dapat menanggulangi keterbatasan penggunaan penanda morfologi karena penanda ini bebas dari pengaruh-pengaruh epistasi, lingkungan dan fenotipe, sehingga dapat menyediakan informasi yang lebih akurat (Muladno 2006).

Salah satu penanda molekuler yang biasa digunakan untuk identifikasi stok adalah analisis sekuense mtDNA. Hal ini karena mtDNA bersifat maternal dan diturunkan oleh parentalnya tanpa rekombinasi (Harrison 1989; Amos and Hoelzel 1992), molekulnya

kompak dan ukuran panjangnya relatif pendek (16000–20000 nukleotida) tidak

sekompleks DNA inti sehingga dapat dipelajari sebagai satu kesatuan utuh, tingkat evolusi yang tinggi (5-10 kali lebih besar dari DNA inti) sehingga dapat memperlihatkan

dengan jelas perbedaan antar populasi dan hubungan kekerabatan (Brown et al, 1979;

Brown 1983), memiliki jumlah copy yang besar 1000-10000 dan lebih cepat dan mudah

mendapatkan hasil dari jaringan yang telah diawetkan sebelumnya (Brown 1983).

Mitokondria memiliki molekul DNA tersendiri dengan ukuran kecil yang susunannya berbeda dengan DNA inti. mtDNA hewan secara umum memiliki jumlah dan jenis gen yang sama, yaitu 13 daerah yang mengkode protein masing-masing NADH

dehidrogenase (ND1, ND2, ND3, ND4, ND5, ND6, ND4L), Cytochrome-c Oxidase

(Cytochrome Oxidase unit I, Cytochrome Oxidase unit II, Cytochrome Oxidase unit III),

Cytochrome-b, dan ATPase 6 (ATP6 dan ATP8); 2 gen pengkode rRNA yaitu 12S rRNA

dan 16S rRNA; 22 gen pengkode tRNA masing-masing tRNA fenil alanin (tRNAphe),

valin ((tRNAval), leusin (tRNALeu), isoleusin (tRNAIle), metionin (tRNAMet), triptofan (tRNATrp), asam aspartat (tRNAAsp), lisin (tRNALys), glisin (tRNAGly), arginin (tRNAArg),

11

histidin (tRNAHis), serin (tRNASer), leusin (tRNALeu), treonin (tRNAThr), glutamat (tRNAGlu), prolin (tRNAPro), serin (tRNASer), tirosin (tRNATyr), sistein (tRNACys),

asparagin (tRNAAsn), alanin (tRNAAla), glutamin (tRNAGln) dan daerah bukan pengkode,

hanya terdiri dari daerah kontrol (daerah D_Loop) yang memegang peranan penting

dalam proses transkripsi dan replikasi genom mitokondria (Lemire 2005), Gambar 6. Daerah kontrol pada mtDNA memiliki laju mutasi yang lebih cepat dibandingkan dengan daerah mitokondria yang lain, daerah ini sangat baik digunakan untuk analisa keragaman hewan, baik di dalam spesies maupun antar spesies (Muladno 2006) dan

sering digunakan sebagai penanda genetik (Bentzen et al. 1993). Penanda genetik atau

DNA barcoding dianggap sebagai suatu sistem standar untuk identifikasi semua taksa eukariot secara akurat dan cepat.

Gambar 6. Skema molekul sirkuler pada genom mitokondria (Lemire 2005)

Keragaman Genetik

Keragaman genetik merupakan bagian dari keragaman hayati (biodiversity) yang

memiliki pengertian yang lebih luas, yakni keragaman struktural maupun fungsional dari kehidupan pada tingkat komunitas dan ekosistem, populasi, spesies dan molekul DNA (Soewardi 2007). Sumberdaya genetik memiliki peranan penting karena semakin beragam sumberdaya genetik, akan semakin tahan populasi tersebut untuk hidup dalam jangka waktu yang lama dan semakin tinggi daya adaptasi populasi terhadap perubahan lingkungan. Disamping itu, keragaman genetik juga merupakan kunci penting meningkatkan produktivitas dari suatu spesies (Soewardi 2007).

12

Keragaman genetik populasi adalah keragaman gen (tipe dan frekuensi) yang ada dalam populasi (Primack dkk. 1998). Gen berada dalam kromosom yang mengandung molekul DNA penyusun gen dan mengkode biosintesis protein (Mustafa 1999). Karakteristik genetik suatu populasi ikan di alam berdasarkan beberapa studi menunjukkan adanya heterogenitas spasial, bahkan pada jarak yang sangat dekat (Smith and Chesser 1981). Fenomena ini disebabkan oleh seleksi yang mencerminkan adaptasi

terhadap kondisi lingkungan lokal dan proses stokastik (drift) (Smith dan Chesser 1981).

Keragaman genetik populasi juga dapat dihitung berdasarkan data haploid yang merupakan karakteristik mtDNA. Dugaan keragaman genetik berdasarkan data mtDNA,

menggunakan h sebagai suatu ukuran keragaman haplotipe, dalam konteks ini, h

mendeskripsikan jumlah dan frekuensi haplotipe mitokondria yang berbeda.

Penelitian keragaman genetik ikan belida pernah dilakukan oleh Madang (1999) di Sungai Musi Provinsi Sumatera Selatan menggunakan analisis protein yang menginformasikan keragaman genetik ikan belida di Sungai Musi tergolong rendah. Wibowo dkk. (2008b) melakukan analisis DNA dengan teknik RFLP, berdasarkan gen 16sRNA mtDNA menggunakan 4 enzim restriksi di Sungai Kampar dan Sungai Ogan Provinsi Riau. Hasil penelitiannya mengungkapkan keragaman genetik ikan belida di

Sungai Kampar dan Sungai Ogan tergolong rendah berkisar antara 0 – 0.125, nilai ini

relatif rendah jika dibandingkan ikan-ikan air tawar lainnya, misalnya Nila.

Fluktuasi Asimetrik

Faktor lingkungan dapat menyebabkan perubahan struktur morfologis, reproduksi dan kemampuan bertahan hidup ikan, sebagai mekanisme adaptasi terhadap perubahan

lingkungan (fenotipic plastisity) (Stearns 1983). Respon adaptif yang dilakukan ikan

terhadap lingkungan memiliki konsekuensi. Hal ini dapat terlihat pada perbedaan bentuk, ukuran, jumlah dan ciri-ciri morfologi yang lain pada organ tubuh yang berpasangan

antara organ bagian kiri dan bagian kanan (Wilkins et al. 1995). Perbedaan fenotip pada

individu pada organ tubuh yang berpasangan dapat menunjukkan fluktuasi asimetrik, yaitu adanya perbedaan antara karakter sisi kiri dan sisi kanan yang menyebar secara normal dengan rata-rata yang mendekati nol sebagai akibat dari ketidakmampuan individu untuk berkembang secara tepat dan normal (Van Valen 1962).

Fluktuasi asimetri seringkali digunakan sebagai suatu ukuran stabilitas perkembangan sebagai bentuk ekspresi gen, yakni kemampuan untuk mengatur

13

perkembangan dan menghasilkan target fenotipe meskipun ada gangguan lingkungan (Waddington 1942; Van Valen 1962). Individu yang memiliki nilai fluktuasi asimetri rendah memiliki keuntungan selektif dibandingkan dengan individu yang memiliki nilai fluktuasi asimetri tinggi dan untuk itu nilai fluktuasi asimetri dipandang sebagai bagian

dari fitness (Jones 1987). Clarke (1995) melaporkan beberapa studi yang mengungkapkan

hubungan antara simetri individu dan komponen fitness seperti kemampuan bertahan hidup, fekunditas, pertumbuhan dan kesuksesan kawin. Dalam suatu kajian nilai fluktuasi

asimetri dan fekunditas pada ikan brook stickleback (Culea inconstans) ditemukan bahwa

betina dengan perhitungan jari-jari lemah sirip dada yang asimetrik menghasilkan lebih

sedikit telur dibandingan betina yang memiliki karakter simetrik (Hechter et al. 2000).

Betina dengan jari-jari lemah sirip dada yang simetrik memiliki 15% lebih banyak telur dalam sarang dibandingkan betina dengan jumlah jari-jari lemah sirip dada yang asimetrik. Ovari betina simetri, memiliki rata-rata lebih berat 6.5% dibandingkan ovari ikan yang asimetrik.

Makanan

Besarnya populasi ikan dalam suatu perairan antara lain ditentukan oleh makanan yang tersedia, makanan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan dan diserap oleh ikan sehingga dapat digunakan untuk menjalankan metabolisme tubuhnya. Kebiasaan makanan (food habit) ikan penting untuk diketahui, karena pengetahuan ini memberikan petunjuk tentang pakan dan selera organisme terhadap makanan. Effendie (1997) mendefinisikan kebiasaan makanan sebagai kuantitas dan kualitas makanan yang dimakan oleh ikan. Kebiasaan makan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ukuran ikan dalam memanfaatkan makanan yang tersedia, habitat hidupnya, kesukaan terhadap jenis makanan tertentu, musim, ukuran dan umur ikan, periode harian mencari makanan dan

jenis kompetitor (Hickley 1993 dalam Satria dan Kartamihardja 2002).

Umumnya ikan memperlihatkan tingkat kesukaan terhadap jenis makanan tertentu dan hal ini terlihat dari jenis makanan dominan yang ada dalam lambungnya (Weatherley

dan Gill 1987 dalam Effendie 1997). Natarajan dan Jhingran dalam Effendie (1997)

menyatakan bahwa untuk menentukan jenis organisme makanan yang dimanfaatkan oleh

ikan digunakan indeks bagian terbesar (Index of Preponderance), yang merupakan

gabungan dari metode frekuensi kejadian dan metode volumetrik. Nikolsky (1963) mengkategorikan makanan kedalam 4 kelompok, yaitu: (1) makanan utama, makanan

14

yang paling banyak ditemukan dalam saluran pencernaan; (2) makanan pelengkap, makanan yang sering ditemukan dalam saluran pencernaan dengan jumlah yang sedikit; (3) makanan tambahan, makanan yang jarang ditemukan dalam saluran pencernaan dan jumlahnya sangat sedikit; dan (4) makanan pengganti, makanan yang hanya dikonsumsi apabila makanan utama tidak tersedia.

Struktur anatomis pencernaan ikan berdasarkan jenis makanannya terlihat pada

Tabel 1. Ikan belida atau Chitala lopis oleh Welcomme (1979) dikelompokkan ke dalam

predator besar, pemakan ikan segala ukuran, udang dan kepiting. Adjie dan Utomo (1994) menginformasikan komposisi makanan ikan belida di Lubuk Lampam (Sungai Musi Provinsi Sumatera Selatan) terdiri dari: ikan kecil (50.02%) dan udang (21.87%). Adjie

dkk. (1999) melaporkan makanan ikan belida di Sungai Batanghari Provinsi Jambi terdiri

dari Ikan (50.02-78.94%), udang (3.61-21.87%), serangga (0.09%), cacing (0.01%), gastropoda (0.01%), bahan tumbuhan (0.62-6.99%) dan tidak teridentifikasi (0.62- 6.99%).

Tabel 1. Struktur anatomis saluran pencernaan ikan berdasarkan jenis makanannya (Huet

1971 in Haloho 2008)

Segmen Herbivora Omnivora Karnivora

Rongga mulut Sering tidak bergigi Bergigi kecil Umumnya bergigi

tajam dan kuat

Faring Rigi tapis insang

banyak, rapat, dan panjang

Rigi tapis insang tidak terlalu banyak, tidak terlalu panjang, dan tidak rapat

Rigi tapis insang edikit, pendek, dan kaku Lambung Tidak berlambung/lambung palsu Memiliki lambung seperti kantung Memiliki lambung dengan berbagai bentuk

Usus Panjang, >3 kali

panjang tubuhnya Sedang, 2-3 kali panjang tubuhnya Pendek, ≤ 1 kali panjang tubuhnya Pertumbuhan

Pengertian pertumbuhan secara umum adalah perubahan dimensi (panjang, berat, volume, jumlah, dan ukuran) persatuan waktu baik individu maupun komunitas (Effendie 2002). Pertumbuhan adalah suatu indikator yang baik untuk melihat kondisi kesehatan individu, populasi, dan lingkungan (Moyle and Cech 2004). Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi

15

pertumbuhan ikan yaitu keturunan (genetik), jenis kelamin, parasit dan penyakit (Effendie 1997), serta umur dan maturitas (Moyle and Cech 2004). Faktor eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu jumlah dan ukuran makanan yang tersedia, jumlah ikan yang menggunakan sumber makanan yang tersedia, suhu, oksigen terlarut, kadar amonia di perairan dan salinitas (Moyle and Cech 2004).

Pertumbuhan ikan direfleksikan melalui model pertumbuhan dan tipe pertumbuhan. Beberapa metode perhitungan yang digunakan untuk menentukan model pertumbuhan yaitu: Plot Gulland and Holt, Plot Ford-Walford, Metode Chapman dan Plot

Von Bertalanffy. Plot Gulland and Holt memiliki keunggulan nilai ∆t (interval waktu)

tidak perlu menjadi konstanta. Keunggulan Plot Ford-Walford adalah dapat mengestimasi

nilai L (Panjang Asimptote) dan K (koefisien pertumbuhan) secara cepat, akan tetapi

melalui metode yang dikembangkan oleh Chapman, diketahui bahwa Plot Ford-Walford hanya bisa diaplikasikan jika observasi-observasi yang dilakukan bersifat berpasangan karena nilai ∆t menjadi suatu konstanta. Metode yang dianggap lebih baik dari metode di atas adalah Plot Von Bertalanffy karena dapat mengestimasi nilai K yang rasional, dengan

catatan digunakan suatu estimasi yang rasional dari L∞ (Sparre dan Venema 1999). Ikan

belida memiliki tipe pertumbuhan allometrik positif berdasarkan penelitian (Salam and Sarif 1997) di Banglades.

Reproduksi

Reproduksi pada ikan berhubungan erat dengan fekunditas dan gonad sebagai alat reproduksi seksualnya. Aspek biologi reproduksi menurut Nikolsky (1963), terdiri dari rasio kelamin, frekuensi pemijahan, waktu pemijahan, ukuran ikan pertama kali matang gonad dan tempat memijah. Ikan belida melakukan pemijahan di hutan rawa, terbukti pada perairan tersebut banyak ikan yang sudah matang gonad (siap memijah) (Utomo dan Asyari 1999), waktu pemijahannya diketahui terjadi pada bulan November-Januari (Adjie dan Utomo 1994). Secara bertahap induk yang sudah matang gonad beruaya dari sungai menuju daerah rawa banjiran, terutama hutan rawa yang banyak ditumbuhi tanaman dengan substrat keras, seperti pohon-pohon yang sudah mati sebagai tempat menempelkan telur.

Induk yang matang gonad adalah induk yang telah melakukan fase pembentukan

16

telur dimulai sejak terjadinya penumpukan bahan-bahan kuning telur (yolk) dalam sel

telur dan berakhir setelah sel telur mencapai ukuran tertentu atau nukleolus tertarik ke tengah nukleus. Setelah fase pembentukan kuning telur berakhir, sel telur tidak mengalami perubahan bentuk selama beberapa saat, tahap ini disebut fase istirahat (dorman). Menurut Woynarovich and Horvath (1980), bila rangsangan diberikan pada saat ini akan menyebabkan terjadinya migrasi inti ke perifer, inti pecah atau lebur, se!anjutnya terjadi ovulasi (pecahnya folikel) dan oviposisi. Bila kondisi lingkungan tidak cocok dan rangsangan tidak diberikan, telur yang dorman tersebut akan mengalami degradasi atau gagal diovulasikan lalu diserap kembali oleh sel-sel ovarium, telur yang

demikian dikenal dengan oosit atresia.

Induk ikan belida menempelkan telurnya pada benda-benda yang berada 1.5-2 m, dibawah permukaan air, termasuk pada batang kayu baik yang masih hidup maupun yang sudah mati (Adjie dan Utomo 1994). Batang kayu merupakan rumpon bagi ikan kecil dan udang yang merupakan makanan utama ikan ini, sehingga pada waktu melakukan

pemijahan mudah mendapatkan makanan. Balon (1975) dalam Welcomme (1979),

menambahkan ikan belidatermasuk kelompok ikan yang membangun sarang dengan apa

saja dan dimana saja, sejauh memenuhi strategi reproduksinya. Ikan belida memiliki

jumlah telur 260-6080 butir dengan diameter 0.15 – 3.76 mm di Sungai Batanghari

Provinsi Jambi (Adjie dkk. 1999), 1194-8320 butir telur dengan diameter telur 1.5-3.0

mm di Lubuk Lampam Provinsi Sumatera Selatan (Adjie dan Utomo 1994) dan 1000 –

6000 butir telur di Kolam Patra Tani (Sunarno dkk. 2003). Ukuran pertama kali ikan belida matang gonad adalah 40-50 cm (Sunarno dkk. 2003).

Kualitas Perairan

Ikan belida membutuhkan kondisi lingkungan perairan untuk hidup, tumbuh dan berkembangbiak. Kondisi lingkungan perairan yang dibutuhkan ikan belida termasuk faktor fisika (suhu perairan, turbidity, kedalaman dan arus), kimia (oksigen terlarut, pH, kesadahan dan amoniak) dan biologi perairan (riparian vegetasi).

Suhu perairan berpengaruh terhadap sintasan, reproduksi, pertumbuhan organisme muda dan kompetisi (Krebs 1985). Bagi ikan yang hidup di perairan tawar, perubahan suhu perairan pada musim penghujan memberikan tanda secara alamiah untuk melakukan pemijahan, beruaya dan mencari makan. Menurut Wibowo dan Sunarno (2006) suhu

17

menggambarkan sifat optik air, turbidity yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi seperti pernapasan, daya lihat organisme akuatik serta dapat menghambat penetrasi cahaya di dalam air. Kecepatan arus ditentukan oleh kemiringan, kekasaran, kedalaman, dan kelebaran dasar, dinyatakan dengan satuan meter per detik (Odum 1963). Kedalaman perairan dinyatakan dengan satuan meter, merupakan nilai variabel yang berkaitan langsung dengan volume badan perairan.

Oksigen terlarut atau Disolved Oxigen (DO) merupakan gas O2 yang terlarut

dalam perairan (Jeffris and Mills 1996 in Effendi 2003). Konsentrasi oksigen terlarut

berfluktuasi secara harian dan musiman tergantung pada pencampuran (mixing) dan

pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah yang masuk

kedalam air (Effendi 1997). Kandungan oksigen perairan yang sesuai untuk ikan belida > 2 ppm (Wibowo dan Sunarno 2006).

Parameter pH air menunjukkan reaksi basa atau asam terhadap titk netral pH 7,0 (Schmittou 1991). Nilai pH mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia, pada suasana alkalis (pH tinggi) lebih banyak ditemukan ammonia yang tak terionisasi dan bersifat toksik, dimana amonia yang tidak terionisasi lebih mudah diserap tubuh organisme

akuatik dibandingkan dengan amonium (Tebbut dalam Effendi 1997). Sebagian besar

biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai pH sekitar 7–8.5 (Effendi

2003). Ikan belida bisa hidup pada pH rendah maksimal pada pH 4 (Wibowo dan Sunarno 2006). Kristanto dan Subagja (2008), menduga terdapat keterkaitan antara pH dan konduktivitas perairan dengan penempelan telur ikan belida.

Kesadahan adalah gambaran kapasitas air untuk menetralkan asam atau dikenal

dengan sebutan acid –neutralizing capacity (ANC) atau kuantitas anion di dalam air yang

dapat menetralkan kation hidrogen. Kesadahan berperan sebagai buffer perairan terhadap

perubahan pH yang drastis, kesadahan yang baik berkisar antara 40–500 mg/L CaCO3

(Effendi 1997). Ikan belida beradaptasi pada kondisi perairan yang memiliki kesadahan relatif rendah Adjie dkk. (1999).

METODE PENELITIAN

Dokumen terkait