• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Pembangunan Ekonomi

Secara filosofis proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik (Rustiadi et al,. 2005). Selanjutnya Todaro (2000) pembangunan paling tidak harus memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan pedoman praktis dalam memahaminya. Komponen yang paling hakiki tersebut yaitu kecukupan makanan (sustenance), memenuhi kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga diri atau jati diri (self-esteem), serta kebebasan (freedom) untuk memilih. Todaro (1998), juga mendefinisikan pembangunan merupakan proses multidimensional yang melibatkan perubahan- perubahan besar dari struktur sosial sikap mental yang sudah terbiasa dan lembaga-lembaga nasional sebagai akselerator pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan, dan kemiskinan absolut.

Sedangkan dari sudut pandang yang lebih sempit, Glasson (1977) mendefinisikan pembangunan wilayah yaitu kemampuan wilayah yang bersangkutan untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan. Sehubungan dengan itu, Anwar dan Rustiadi (2000) mengemukakan tujuan pembangunan wilayah secara umum, yakni (1) pertumbuhan ekonomi (growth), (2) pemerataan (equity), (3) dan keberlanjutan (sustainability). Selanjutnya Anwar dan Rustiadi juga mengemukakan bahwa pembangunan berbasis pengembangan wilayah dan lokal memandang penting keterpaduan antar sektoral, antar spatial (keruangan), serta antar pelaku pembangunan di dalam dan antar daerah, sehingga program- program pembangunan sektoral dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah.

Teori pembangunan ekonomi, pasca-perang dunia kedua, awalnya di dominasi oleh pemikiran neoklasik dimana akumulasi kapital merupakan engine

pertumbuhan ekonomi suatu negara atau wilayah. Salah satu model yang sering digunakan sebagai rujukannya adalah model Harrod-Domar. Pada tahun 1940-

14 an, Harrod (1948) dan Domar (1946) secara terpisah membangun suatu model makro dinamis melalui pengembangan teori Keynes. Dimana pada tahun 1950-an dan 1960-an, model ini diaplikasikan untuk perencanaan ekonomi di negara berkembang. Teori ini memang berhasil membangun ekonomi Jerman dan Israel, tetapi useless untuk diterapkan di negara berkembang karena faktanya investasi saja tidak cukup.

Secara implisit teori ini mengasumsikan adanya sikap-sikap yang sama antara negara berkembang dengan negara maju. Akan tetapi asumsi ini tidak sesuai dengan kenyataan yang ada di negara-negara berkembang. Di negara berkembang, Indonesia misalnya, sangat kekurangan faktor-faktor komplementer yang paling penting seperti halnya kecakapan manajerial, tenaga kerja yang terlatih, kemampuan perencanaan dan pengelolaan berbagai proyek pembangunan, kelembagaan dan faktor budaya yang kondusif bagi pembangunan (Todaro, 2000).

Dalam perspektif demikian, oleh Hayami (2001) model Harrod-Domar yang diterapkan di negara berkembang berakhir pada jebakan keseimbangan ekonomi yang rendah (low equilibrium trap). Oleh karena itu model ini juga disebut sebagai model of low equilibrium trap. Dimana untuk melepaskan diri dari perangkap keseimbangan rendah menuju ekonomi berkelanjutan, perlu melalui mobilisasi tingkat tabungan yang tinggi, dimana tidak ada tabungan yang dihasilkan jika dibiarkan tergantung pada mekanisme pasar. Lompatan yang luar biasa dalam memobilisasikan tabungan dan investasi adalah “critical minimum

effort” bagi ekonomi berpendapatan rendah. Model ini berimplikasi bahwa jika

impor modal skala besar seperti yang dialami selama masa kolonial dipandang tidak berharga bagi ekonomi berkembang yang baru merdeka, maka tidak ada alternatif pembangunan lainnya kecuali memaksa masyarakatnya mengencangkan ikat pinggangnya (Hayami, 2001).

Dalam perkembangan selanjutnya, teori pembangunan ekonomi diwarnai oleh model yang dikembangkan oleh Solow (1956) dan Swan (1956). Dengan menggunakan fungsi produksi neoklasik, Solow (1956) dan Swan (1956) dalam Hayami (2001) mengembangkan sudut pandang yang sangat berbeda dari model Harrod-Domar dalam kaitannya dengan akumulasi modal dan pertumbuhan

15 ekonomi. Perbedaannya terletak pada asumsi fungsi produksi yang digunakan. Pada model Harrod-Domar diasumsikan bahwa rasio kapital dan output bersifat tetap. Asumsi ini berimplikasi bahwa fungsi produksi agregat memiliki bentuk Y=AK, dimana A=1/c dan bersifat konstan; dan c=K/Y. Sementara Solow-Swan model menggunakan bentuk fungsi produksi Neoclassical yakni Y= f (L,K;T); dimana Y adalah output dan L adalah Tenaga Kerja yang berada dalam tingkat teknologi T.

Kontribusi penting dari model Solow-Swan yaitu terlihat dari kemampuannya dalam menjelaskan peranan perubahan teknologi dalam pertumbuhan ekonomi. Menurut Solow-Swan model pertumbuhan pendapatan per kapita tidak bisa berkelanjutan tanpa disertai kemajuan teknologi. Namun demikian model ini masih sangat terbatas, karena mengasumsikan teknologi sebagai faktor eksogen. Determinan kemajuan teknologi belum bisa dijelaskan oleh model Solow-Swan.

Oleh karena itu keterbatasan model Solow-Swan tersebut dilengkapi oleh

endogenous growth model yang dipelopori oleh Romer (1986) dan Lucas (1988).

Pada model pertumbuhan endogenus, berusaha untuk menjelaskan mekanisme bagaimana pengetahuan baru tercipta melalui aktivitas ekonomi, sehingga meningkatkan skala ekonomi. Asumsi dasar yang digunakan adalah bahwa pengetahuan baru untuk memperbaiki ekonomi produksi terakumulasi sedikit demi sedikit melalui upaya-upaya individual perusahaan untuk mendesain dan mengkonstruksi mesin dan pabrik lebih efisien dalam aktivitas investasinya dan pengetahuan sebagai barang publik. Sehingga dalam jangka panjang, keseluruhan desain yang ditemukan oleh semua perusahaan dalam suatu ekonomi akan menjadi stok pengetahuan yang dapat digunakan oleh perusahaan lainnya. Dan pada gilirannya, efisiensi produktif dari suatu perusahaan akan meningkat secara paralel dengan peningkatan pada total modal dan pengetahuan dalam ekonomi.

Dari model pertumbuhan endogen tersebut maka dapat diambil intinya yaitu akumulasi kapital dalam bentuk tangible (berwujud, yakni kapital fisik) dan kapital dalam bentuk intangible (yakni pengetahuan dan ide-ide baru) serta bersama-sama dengan teknologi merupakan faktor penting sebagai determinan

16 pertumbuhan ekonomi (Hayami, 2001). Selanjutnya Hayami (2001) menjelaskan bahwa dalam konteks pembangunan sistem sosial perlu memperhatikan keterkaitan institutions (Rule), budaya (culture) faktor produksi dan teknologi. Dengan lain perkataan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi perlu dukungan keterkaitan komponen tesebut.

Kemudian pada teori pembangunan ekonomi wilayah, dalam perkembangannya mencoba memasukkan faktor institusi/kelembagaan sebagai determinan pembangunan ekonomi wilayah yang dikenal dengan teori Growth

Machine Theory (GMT) dan The New Institutional Economics (NIE) Theory. Pada

dua teori ini terlihat sudah memperhatikan peranan politik dan political institution dalam pembangunan ekonomi. Karena pemikiran local politicians dan perencana lokal akan secara langsung mempengaruhi tingkat pertumbuhan dan penentuan kebijakan pembangunan. Keterlibatan politik seperti langsung dalam penentuan kebijakan, peraturan-peraturan, pajak, penyediaan infrastruktur publik. Oleh karena itu dimensi politik dijadikan sebagai komponen penting yang perlu diperhatikan.

The New Institutional Economics (NIE) berusaha memasukkan faktor

kelembagaan (institusi) dan perubahan institusi dalam teori pembangunan ekonomi. Proposisi yang dikembangkan oleh NIE adalah bahwa perkembangan perekonomian suatu wilayah dapat didekati melalui perubahan kelembagaan

(institutional change) dan penataan kelembagaan sebagai infrastruktur

pengembangan wilayah. Pendekatan ini adalah turunan (derivat) dari mazhab institusionalisme yang mengembangkan keyakinan bahwa kelembagaan menjadi kata-kunci penting suatu perubahan sosio-ekonomi regional. Gagasan ini dikembangkan dari ide dasar Coase (1937) yang mengajukan proposisi bahwa kelembagaan memastikan bekerjanya sistem organisasi lebih kokoh sekaligus menghindarkan beban biaya tinggi yang diperlukan untuk memonitor ketidakpastian dalam proses-proses transaksi yang harus ditanggung oleh para pihak yang berinteraksi.

North (1990) mengukuhkan proposisi Coase dengan menyodorkan satu teori

17 kelembagaan politik dan ekonomi memang menjadi kebutuhan untuk disesuaikan dan dikembangkan guna menekan transaction cost dilemma yang selalu hadir pada suatu sistem sosial-ekonomi yang berkembang semakin kompleks sebagai akibat pertukaran-pertukaran ekonomi yang bekerja di bawah kelembagaan kapitalistik. Dalam pandangan North (1990) perkembangan perekonomian dan pertukaran (transaksi ekonomi) di suatu wilayah yang terus meningkat perlu di imbangi dengan pengembangan sistem tata-pengaturan kelembagaan yang kompatibel, jika tidak, maka akan muncul informal forms of governance yang hadir untuk memfasilitasi kebutuhan dan pemanfaatan kesempatan untuk short-

term profits.

Sementara Menurut GMT pertumbuhan ekonomi suatu kawasan (negara, daerah) dapat terbentuk sebagai akibat langsung dari aktivitas tata pengaturan administrasi-politik yang secara operasional mampu men-generate keputusan- keputusan dan aturan-aturan yang decisive bagi berkembangnya aktivitas ekonomi kawasan tersebut. Artinya, “kekuatan pengaturan politik lokal” dapat berfungsi sebagai mesin penggerak perkembangan wilayah lokal.

Dalam melihat pertumbuhan regional pada dasarnya menggunakan konsep- konsep pertumbuhan ekonomi secara agregat. Hanya saja pada pertumbuhan regional titik penekanan analisisnya lebih diletakkan pada akumulasi faktor produksi. Akumulasi faktor produksi tenaga kerja dan modal dalam suatu daerah dari satu tahun ke tahun berikutnya. Selain itu bila dikaitkan dengan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE), maka dapat dilihat pertumbuhan neraca sektor produksi, dan neraca rumah tangga. Dalam sistem dinamik, tingkat pertumbuhan suatu daerah dapat ditemukan lebih tinggi/lebih rendah dari pada tingkat normal yang dicapai oleh perekonomian nasional. Dalam kaitannya dengan pertumbuhan regional maka pada sistem neraca sosial ekonomi dapat dijadikan instrumen untuk melihat pertumbuhan akumulasi dari faktor produksi, sektor produksi dan rumah tangga di daerah.

Mengacu pada Model Harrod-Domar yang menjelaskan pentingnya peranan investasi di dalam proses pertumbuhan ekonomi, khususnya mengenai dampak ganda yang dimiliki investasi, seperti (1) investasi dapat menciptakan pendapatan,

18 dan (2) investasi membesarkan kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan stok modal. Yang pertama disebut sebagai dampak permintaan, dan kedua disebut sebagai dampak penawaran investasi (Kasliwal, 1995).

Arsyad (1999) menjelaskan yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi daerah adalah apabila terjadi peningkatan pendapatan masyarakat di suatu wilayah, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (added value) yang terjadi di wilayah tertentu. Pertambahan pendapatan tersebut di ukur dalam nilai rill atau di nyatakan dalam harga konstan. Djojohadikusuma (1994) menjelaskan pertumbuhan ekonomi pada dasarnya terkait dengan proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam satu daerah. Pertumbuhan menyangkut perkembangan berdemensi tunggal dan di ukur dengan meningkatnya hasil produksi (output) dan pendapatan. Identifikasi pertumbuhan menurut Kuznet dalam Djojohadikusumo, (1985) memiliki beberapa ciri, yaitu (1) laju pertumbuhan pendapatan perkapita dalam arti nyata (2) distribusi angkatan kerja menurut sektor kegiatan produksi yang menjadi sumber nafkah, dan (3) pola persebaran penduduk.

Selanjutnya Sukirno (1985) melihat ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah, yaitu (1) tanah dan kekayaan alam (2) jumlah dan kualitas penduduk dan tenaga kerja (3) barang modal dan tingkat teknologi, (4) sistem sosial dan sikap masyarakat (5) luas pasar sebagai sumber pertumbuhan. Sedangkan menurut Todaro (2000) komponen- komponen pertumbuhan ekonomi yang penting dalam masyarakat, yaitu : (1) akumulasi modal termasuk semua investasi baru dalam bentuk tanah, peralatan fisik dan sumber daya alam (2) perkembangan penduduk, khususnya yang menyangkut pertumbuhan angkatan kerja, dan (3) kemajuan teknologi.

Pembangunan yang dilaksanakan disuatu daerah pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah (region) tersebut tanpa melupakan tujuan pembangunan nasional. Kegagalan dalam melaksanakan kegiatan pembangunan akan terlihat apabila laju pertumbuhan ekonomi meningkat, namun tingkat pendapatan masyarakat masih rendah. Implikasinya bahwa kegiatan pembangunan belum mampu menciptakan spread effect maupun

19 Menurut Anwar (1992), kegiatan pembangunan seringkali bersifat eksploitasi dengan menggunakan teknologi yang padat modal dan kurang memanfaatkan tenaga kerja setempat, sehingga manfaatnya bocor keluar wilayah. Lebih lanjut dikatakan, multiplier yang ditimbulkan kurang dapat ditangkap secara lokal dan regional, sehingga penduduk setempat seolah-olah (as if) menjadi penonton. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya disparitas terhadap pembangunan atau tingkat pertumbuhan suatu wilayah, sehingga kemampuan wilayah dalam mengelola barang dan jasa, baik dalam bentuk barang jadi maupun setengah jadi akan berbeda.

Tingkat kebocoran suatu wilayah dapat ditandai dengan tingginya keterkaitan kebelakang (backward linkage) sedang keterkaitan kedepannya

(forward linkage) cenderung rendah dan juga berkaitan dengan rendahnya dampak

pengganda (multiplier effect), karena nilai tambah (value added) yang semestinya dapat ditangkap wilayah tersebut justru manfaatnya diambil wilayah lain. Menurut Anwar (1995) beberapa hal yang dapat mengakibatkan tingginya tingkat kebocoran wilayah antara lain :

(1). Sifat Komoditas

Komoditas yang bersifat eksploitasi umumnya yang natural resources mempunyai kecenderungan mengalami kebocoran wilayah yang tinggi apabila dalam sistem produksinya membutuhkan persyaratan-persyaratan tertentu, baik kualitas sumberdaya manusia, teknologi yang dipakai, kedekatan dengan pasar maupun persyaratan lainnya yang mengakibatkan aktifitas ekonomi suatu komoditas yang berasal dari suatu wilayah dilaksanakan di wilayah lain, sehingga nilai tambahnya sebagian besar ditangkap wilayah lain.

(2). Sifat Kelembagaan

Salah satu sifat kelembagaan yang utama adalah menyangkut kepemilikan

(owners), karena berkaitan dengan tingkat kebocoran wilayah yang terjadi. Faktor

pemilikan lahan juga berpengaruh terhadap persyaratan dalam penerimaan tenaga kerja walaupun hal ini tidak secara nyata, namun sering terlihat bahwa pemilik yang berasal dari luar daerah misalnya warga negara Indonesia atau warga negara asing dalam mengambil keputusan atau kebijaksanaan terlihat berbeda jika

20 dibandingkan dengan yang berasal daerah setempat. Pada umumnya yang berasal dari luar daerah lebih mementingkan profit sedangkan yang berasal dari daerah setempat selain profit, juga memperhatikan sosial budaya dan lingkungan.

Selain itu tingkat kebocoran suatu wilayah dapat dilihat dari komposisi impornya, baik impor sebagai input antara maupun sebagai input dari komponen permintaan akhir. Biasanya untuk mengukur tingkat kebocoran wilayah digunakan rasio input antara yang berasal dari impor dengan total input.

Konsep pembangunan berkelanjutan sudah mulai diadopsi dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi dimana tujuan sosial, ekonomi dan ekologi dipertimbangkan dalam kerangka pembangunan. Menurut Laporan Komisi Lingkungan dan Pembangunan (The Burdtland Comission) yang berjudul Our

Common Future dalam Gonarsyah, (2005) pembangunan berkelanjutan artinya

memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang. Lebih jauh Serageldin (1996) menguraikan tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan dalam tiga tujuan pokok yang saling berkaitan, yakni : (1) tujuan ekonomi, yaitu pertumbuhan berkelanjutan dan efisiensi kapital, (2) tujuan sosial, yaitu pengentasan kemiskinan dan pemerataan, serta (3) tujuan ekosistem, yaitu pengelolaan sumberdaya yang menjamin keberlanjutan.

Uraian yang dikemukakan terdahulu menunjukkan bahwa tujuan ganda efisiensi dan keberlanjutan dapat dicapai dengan memperlakukan keberlanjutan sebagai kendala. Artinya, masyarakat yang berpegang pada kedua tujuan tersebut akan membatasi diri untuk hanya mempertimbangkan jalur-jalur efisiensi yang juga berkelanjutan (sustainable). Sejauhmana kendala keberlanjutan mengikat

(binding) atau tidak tergantung sekali kepada kemajuan sosial dan peningkatan

(augmenting) sumberdaya. Lepas dari polemik antara kubu optimis dan kubu

pesimis mengenai keberlanjutan ekonomi, yang penting bagi kita adalah mempertimbangkan kebijakan yang dapat meningkatkan kemungkinan tercapainya jalur yang efisien dan keberlanjutan (Gonarsyah, 2005).

Pada Gambar 3 terlihat bahwa untuk menuju pembangunan wilayah yang berkelanjutan maka diperlukan adanya saling keterkaitan yang bersinergi antar aspek politik, ekonomi dan manajemen, kelembagaan (sosial dan budaya), tata

21 ruang serta lingkungan. Dengan lain perkataan bahwa untuk mencapai pembangunan wilayah yang berkelanjutan maka sejak dini diperlukan pemahaman masyarakat dan pemerintah daerah, serta semua komponen pembangunan bahwa antar aspek seperti Gambar 3. memiliki peran yang tidak dapat diabaikan satu sama lain begitu saja.

Gambar 3. Perspektif Pembangunan Wilayah Berkelanjutan

Pendekatan makro yang hingga saat ini dipandang relevan untuk menelaah dampak atau keterkaitan antara sektor perekonomian wilayah adalah analisis

Input-Output yang sekaligus merupakan pengembangan teori ”Keseimbangan

umum Walras” (Daryanto dan Hafizrianda, 2010). Dalam table I-O tersebut keadaan perekonomian wilayah diasumsikan berada dalam keseimbangan dalam artian jumlah penawaran komoditas sama dengan jumlah permintaan.

Keterkaitan antar Sektor dan Multiplier terhadap Ekonomi Wilayah

Aspel Lingkungan Aspek Ekonomi &

Manajemen Aspek Politik

Aspek Tata Ruang

Aspek kelembagaan (Sosial budaya)

22 Alat analisis Input-Output (model I-O) pada hakekatnya dikembangkan untuk menganalisis dan mengukur hubungan-hubungan antar berbagai sektor produksi dan konsumsi dalam perekonomian regional. Ketergantungan antara sektor-sektor dalam sistem tertentu dijabarkan melalui seperangkat persamaan- persamaan linier, serta karakteristik struktural direfleksikan oleh besaran koefisien persamaan yang bersangkutan.

Hasil analisa Input-Output menunjukan sektor-sektor kunci (key sector) dalam perekonomian regional yang menjadi pertimbangan utama untuk dikembangkan yang pada akhirnya menentukan tingkat pertumbuhan atau pembangunan ekonomi yang biasa diukur dengan nilai produk dosmestik Regional Bruto (PDRB) atau Gross Dosmestic Product (GDP) yang merupakan nilai pasar yang berlaku dari seluruh barang dan jasa yang dihasilkan suatu wilayah dalam satu tahun. Penggunaan nilai PDRB ini penting dan sering digunakan mengingat sebagian besar PDRB yang diperoleh dari data wilayahnya. Dalam konteks nasional istilah yang digunakan pada akhirnya akan menjadi pendapatan wilayah dan untuk hal tersebut adalah Gross National Product (GNP). Jadi PDRB mencerminkan pertumbuhan ekonomi (Rustiadi et al., 2005).

Dengan demikian analisis Input-Output menitik beratkan analisis dan kajian tentang pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi erat kaitannya dengan pembangunan sosial. Pembangunan sosial dapat mendorong pembangunan ekonomi terutama pembangunan sosial yang berkaitan dengan mekanisme pelaksanaan sosial (Social Enforcement) melalui norma-norma sosial yang akan menciptakan keadaan ekonomi yang lebih efisien dari pada mekanisme pelaksanaan hukum yang eksplisit (Explicit Legal Enterforcement) (Anwar, 2005).

Dalam analisis Input-Output dikaji tentang pendapatan, tenaga kerja kondisi riil pembangunan ekonomi, dan dampaknya terhadap kesempatan kerja. Dengan demikian analisis Input-Output yang menitikberatkan kajian kinerja pembangunan ekonomi berkaitan erat dengan pembangunan sosial karena pembangunan ekonomi atau lebih tepat pertumbuhan ekonomi merupakan persyaratan bagi terciptanya pembangunan manusia, karena dengan pembangunan ekonomi

23 terjamin peningkatan pendapatan melalui penciptaan kesempatan kerja (Rustiadi

et al. 2005).

Tabel I-O merupakan gambaran perekonomian suatu wilayah pada tahun tertentu secara makro dan menyeluruh (comprehensive) sehingga dapat digunakan sebagai alat analisis dan dasar perencanaan ekonomi yang praktis dan bersifat kuantitatif. Salah satu keunggulan tabel tersebut adalah dapat menjadi dasar untuk perencanaan pembangunan, baik partial, struktural, maupun global, karena untuk setiap kebijakan yang akan diambil, dapat pula diperhitungkan segala macam kemungkinan akibat/dampak yang akan terjadi, baik terhadap objek pembangunan itu sendiri maupun yang lain-lainnya. Dengan demikian sasaran pembangunan akan dapat dicapai relatif lebih tepat. Pandangan tersebut bertolak dari kenyataan bahwa tabel I-O merupakan suatu analisa matriks yang menunjukkan hubungan transaksi barang dan jasa yang terjadi di suatu wilayah, pada suatu periode tertentu, dan juga menunjukkan keterkaitan suatu sektor dengan sektor ekonomi lainnya. Tabel tersebut sangat menonjolkan hubungan dan keterkaitan antar sektor produksi, antara input dan output, antara domestik dan impor. Demikian juga hubungan antara permintaan akhir.

Tabel I-O yang menunjukkan dampak akibat bertambahnya satu unit permintaan akhir terhadap seluruh sektor disebut derajat kepekaan atau keterkaitan ke hilir atau keterkaitan kedepan (forward linkage). Sedang dampak yang diakibatkan satu unit permintaan masing-masing sektor terhadap output seluruh sektor disebut daya penyebaran atau keterkaitan kebelakang (backward

linkage) hubungan ke bahan hulu. Apabila derajat kepekaan dan daya penyebaran

ini dihitung indeksnya masing-masing, akan diperoleh forward linkageeffect ratio

dan backward linkage effect ratio. Indeks tersebut dapat dipakai untuk mengetahui

sektor-sektor mana yang merupakan sektor kunci (key sector) dimana dalam perencanaan pembangunan ekonomi tentunya akan mendapat prioritas untuk dikembangkan.

Keterkaitan perlu diperhatikan, karena setiap kasus dalam proses pembangunan saling mempengaruhi sehingga tingkat pertumbuhan suatu sektor ekonomi juga dipengaruhi sektor-sektor lain baik secara langsung maupun tidak

24 langsung. Disamping keterkaitan intersektor dalam proses pembangunan perlu memperhatikan bentuk-bentuk keterkaitan lainnya antara lain keterkaitan spasial, keterkaitan lokasi dan produksi sebagaimana dikemukakan Williams dan Nilson (1980), Batten dan Roy 1982) dalam Rustiadi et al., (2005). Konsep dasar keterkaitan lokasi dan produksi (Location-Production Interaction/LPI) mempertimbangkan tiga fenomena dalam suatu formulasi yang simultan, yakni : 1. Lokasi stock kapital fisik

2. Aktifitas produksi yang terjadi pada stock tersebut 3. Aliran-aliran berbagai aktifitas.

Interaksi lokasi produksi tersebut di definisikan sebagai distribusi peluang

( rs ijk

P ) dimana r adalah wilayah asal, i, aktifitas yang respon terhadap faktor- faktor produksi/resproduksi (k) yang difasilitasi j dan s adalah wilayah tujuan. Sebagai contoh kita dapat menghubungkan teori lokasi perdagangan Ohlins (1993) dengan model interaksi produksi dari Input-Output Wilson (1970) dalam Rustiadi et al., (2005).

Keterkaitan (linkage) yang juga berperan dalam proses pembangunan ekonomi adalah interaksi antar wilayah (interaksi spasial). Interaksi spasial merupakan suatu proses yang terjadi disuatu wilayah karena aktifitas yang dilakukan manusia di dalam/antar wilayah. Aktifitas-aktifitas yang dimaksudkan antara lain mobilitas kerja, migrasi arus informasi dan arus komoditas. Analisis interaksi spasial mempelajari pergerakan komoditi, barang-barang, orang, informasi, dan lainnya antar titik-titik dalam ruang. Analisis yang popular digunakan untuk menduga besarnya interaksi spasial adalah model gravitasi yang dapat digunakan untuk menganalisis dan menduga pola interaksi spasial.

Keterkaitan sektor pertanian dengan sektor industri dikembangkan Aldelman dan Hirschman dalam Syafaat dan Mardianto (2002). Pandangan Adelman mengenai pengembangan sektor pertanian berbeda dengan Hirschman. Hirschman memandang sektor pertanian sebagai sektor yang pasif, sementara Adelman sebaliknya. Perbedaan pandangan itu terletak pada kriteria pemilihan sektor kunci (leading sektor) dalam akselerasi pembangunan. Kriteria yang digunakan Hirschman dalam menentukan sektor kunci menurut pandangan

25 Adelman terlalu sempit karena hanya mempertimbangkan keterkaitan produk dan yang lebih spesifik keterkaitan kebelakang yang jelas akan menempatkan sektor pertanian pada sektor inferior. Padahal kenyataannya berdasarkan hasil penelitian Rangarajan (1982); Bell dan hazel (1980); Adelman (1984); Haggblade et al. (1991); Delgado et al. (1994); Bautista (1986); Capallo dan Mundlak (1982), menunjukkan bahwa keterkaitan antara sektor pertanian dengan sektor industri tidak hanya keterkaitan produk, tetapi ada media keterkaitan lainnya, yaitu keterkaitan konsumsi, investasi, dan tenaga kerja yang mampu menjelaskan secara lebih menyeluruh mengenai keterkaitan kedua sektor tersebut.

Oleh karena itu, maka kriteria yang diciptakan oleh Hirschman untuk menentukan sektor kunci tidak mampu mengartikulasikan potensi keterkaitan sektor pertanian dengan industri. Hasil penelitian Rangarajan dalam Syafaat dan Mardianto (2002) menunjukkan bahwa (a) semakin tinggi output sektor pertanian maka semakin tinggi pula pengeluaran untuk komoditas bukan pangan (nonfood) dan pengeluaran untuk pakaian; (b) semakin tinggi pendapatan rumah tangga, maka semakin tinggi pula simpanan (savings) rumah tangga. Haggblade et al.,

Dokumen terkait