Padi (Oryza sativaL.)
Padi (Oryza sativa L.) merupakan komoditas serealia yang diproduksi terbesar kedua setelah gandum. Asia merupakan sentra produksi dan konsumen terbesar dunia. Selain Asia, padi juga merupakan tanaman penting di beberapa wilayah Utara dan Selatan Amerika, Afrika, Australia dan Eropa (Wailes et al. 1998). Padi yang dibudidayakan saat ini ada dua jenis yaitu Oryza sativa L. (padi Asia) dan Oryza glaberrima (padi Afrika), namun hanya Oryza sativa L. yang dibudidayakan secara luas terutama di Asia (Datta 1981). Terdapat 25 spesies padi (AAK 1990), yang tersebar mulai dari Afrika, Asia, Amerika hingga Australia (Chang 2003). Padi termasuk dalam Divisi Angiospermae, Kelas Monocotyledonae, Ordo Poales, Famili Poaceae atau Gramineae, Genus Oryza sativa. Oryza sativa berdasarkan ekogeografi terdiri dari subspesies indica, javanica dan japonica yang terpisah secara genetik (Siregar 1981).
Padi indica merupakan indigenus Asia dengan iklim tropis dan subtropis. Padi japonica (sinica) terbatas pada wilayah subtropik (Chang 2003). Subspesies padi javanicamerupakan yang paling banyak ditanam di Indonesia. Menurut Datta (1981), budidaya tanaman padi diklasifikasikan menjadi tiga yaitu: (1) lahan kering, tanpa air yang tergenang atau tanpa pengairan, (2) lahan basah, dan (3) tergenang.
Padi japonica memiliki ciri daun sempit berwarna hijau tua bulir bulat berambut panjang. Contoh padi japonica adalah kultivar Nipponbare. Sedangkan padi indica memiliki ciri berdaun sempit berwarna hijau terang, bulir ramping umumnya tidak berbulu, contohnya padi Ciherang. Secara umum famili Gramineae memiliki ciri akar serabut, daun berbentuk lanset, urat daun sejajar, memiliki pelepah daun, bunga tersusun seperti bunga majemuk, dengan satuan bunga berupa floret yang tersusun dalam spikelet. Secara umum, morfologi tanaman padi disajikan pada Gambar 1.
Ciherang merupakan padi sawah varietas unggul hasil beberapa kali persilangan, yaitu IR18349-53-1-3-1-3/IR19661-131-3-1//IR119661-131-3- 1///IR64////IR64 Cere. Umur tanamannya cukup singkat yaitu 116 hingga 125 hari, bentuk tanaman tegak, dengan tinggi mencapai 107 hingga 115 sentimeter, menghasilkan anakan produktif 14 hingga 17 batang (Suprihatnoet al. 2007).
Pada penelitian ini gen CsNitr1-L dipindahkan dari padi japonica varietas Nipponbare ke padi indica varietas Ciherang menggunakan metode persilangan terarah atau lebih dikenal dengan metode site-directed crossing atau marker- assisted backcrossing (Mackill et al. 2007). Tanaman padi japonica cv. Nipponbare transgenik yang mengandung gen CsNitr1-L di bawah kendali promoter 35S CaMV telah disilangkan dengan padi Indica yaitu Ciherang. Menurut Reyes (2000), untuk mendapatkan tanaman dengan sifat yang diinginkan perlu beberapa kali silang balik, paling tidak diperlukan 5 kali silang balik untuk meminimalisir fragmen yang tidak diinginkan (Chahal dan Gosal 2002).
Gambar 1. Morfologi tanaman padi. A= Struktur biji padi, B= Bagian dari anakan/batang primer dan sekunder, C= Komponen malai, D= Bagian-bagian dari bunga padi (spikelet), dan E= Perkecambahan biji padi (Datta 1981).
Asimilasi Nitrat
Tumbuhan menggunakan nitrat sebagai substrat awal untuk sintesis senyawa yang mengandung nitrogen seperti asam amino (Marschner 1995). Asimilisasi nitrat pada tanaman terjadi di akar dan daun. Nitrat diambil secara simport dari dalam tanah melalui kerja H+-P-ATPase. Kemudian nitrat tersebut disimpan di vakuola sel akar atau diasimilasi di sel epidermis akar dan korteks. Nitrat yang berlebih akan ditranspor melalui pembuluh xilem menuju sel mesofil daun. Nitrat direduksi menjadi NH4+ di dalam kloroplas (Gambar 2).
Gambar 2. Proses asimilasi nitrat di akar dan daun tanaman (Heldt 2005). Nitrat tidak dapat diasimilasikan langsung tetapi harus terlebih dahulu direduksi menjadi NH4+ agar dapat diubah menjadi senyawa organik. Tahap
penting untuk merubah nitrat menjadi asam amino melibatkan enzim nitrat reduktase (NR) dan nitrit reduktase (NiR). Tahap pertama adalah mereduksi NO3-
menjadi NO2- oleh enzim nitrat reduktase (NR) yang terjadi di sitosol. Kemudian
oleh enzim nitrit reduktase (NiR), N02-diubah menjadi NH4+(Hopkin dan Hiiner
2008). Reaksi perubahan nitrat menjadi amonium disajikan pada Gambar 3. Nitrit jarang ditemukan pada konsentrasi tinggi karena dapat meracuni tanaman (Oji dan Okamoto 1981, Takahasi et al. 1998 Sugiura et al. 2007), sehingga perlu untuk diminimalisir keberadaanya (Sustiprijatnoet al. 2006).
Aktifitas enzim nitrat reduktase di akar banyak dipengaruhi oleh fotosintesis. Hal ini dapat dilihat dari aktifitas enzim NR yang menjadi aktif setelah terjadinya fotosintesis (Sawhneyet al. 1972, Hopkin dan Hiiner 2008).
Gambar 3. Perubahan nitrat menjadi amonium yang terjadi di dalam sel.
Peranan GenNitr1-L
Gen Nitr1-L merupakan gen yang menyandikan transporter nitrit. Pada tanaman tingkat tinggi terdapat dua gen yang serupa yaitu Nitr1-L dan Nitr1-S (Sugiura et al. 2007). Transporter nitrit yang berfungsi pada membran kloroplas ini dapat mengangkut nitrit dari sitosol ke dalam stroma di kloroplas. Gen CsNitr1-Lyang berasal dari tanaman mentimun telah diisolasi oleh Takahashi dan Sugiura [Tanpa tahun]. Gen CsNitr1-S Merupakan isoform dari gen CsNitr1-L dengan 484 urutan asam amino yang identik, namun tidak memiliki asam amino ke 120 N-terminal (Sugiuraet al. 2007).
Nitr1-L merupakan kelompok gen POT (Oligopeptide Transporter). Salah satu kelompok gen ini ditemukan pertama kali di Candida albicans. Gen ini kemudian banyak ditemukan pada tanaman tingkat tinggi (Tsay et al. 2007). Reduksi nitrit menjadi amonia memerlukan penyerapan enam elektron yang dikatalis oleh enzim nitrit reduktase yang terletak di plastida. Reduktase nitrit berisi cluster 4Fe 4S kovalen terikat satu molekul FAD, dan satu siroheme siklik tetrapyrrole dengan satu atom Fe di tengah. Strukturnya berbeda dari heme karena mengandung residu asetil dan propionil tambahan yang berasal dari sintesis pirol Cluster 4Fe-4S, FAD, dan siroheme membentuk rantai transpor electron dimana elektron ditransfer dari ferredoxin menjadi nitrit . Nitrit reduktase memiliki afinitas yang sangat tinggi untuk nitrit. Kapasitas untuk pengurangan nitrit dalam kloroplas jauh lebih besar dari pada untuk pengurangan nitrat di sitosol. Oleh karena itu semua nitrit yang dibentuk oleh reduktase nitrat dapat sepenuhnya dikonversi menjadi amonia. Hal ini penting karena nitrit merupakan racun bagi sel (Siddiqiet al. 1992).
Enzim nitrit reduktase (NiR) 8H++ NO2-+6e- → NH4++ 2H2O
Enzim nitrat reduktase (NR) 2H++ NO3- + →NO2-+ H2O
Shingles et al. (1996) menjelaskan transportasi NO2- diseluruh amplop kloroplas terjadi oleh pengangkutan terprotonasi bentuk NO2- dan HNO atau dengan penyerapan ion nitrit. Fungsi dari H+-ATPase pada bagian dalam amplop kloroplas mungkin untuk menghasilkan gradien untuk kegiatan transportasi proton. Transport diseluruh amplop kloroplas vesikel membran dapat terjadi dengan salah satu dari tiga mekanisme penting atau kombinasi ketiganya yaitu melalui difusi, melintasi membran atau disosiasi dengan vesikel.
Takahasi dan Sugiura (tanpa tahun) pertama kali mengisolasi gen Nitr1 pada tanaman mentimun. Selain pada mentimun, gen nitrit transporter juga telah diisolasi dari tanaman bayam (Ida dan Mikami 1986; Takahashiet al.2001), padi (Idaet al.1989), pea(Bowsher 1988), dan tembakau (Vaucheretet al. 1997; Kato et al. 2004). Selain itu, nitrit transporter juga banyak diteliti pada mikroorganisme seperti padaAspergillus nidulans(Unkleset al. 2011).
3 METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan mulai April 2012 sampai dengan Agustus 2012 di Laboratorium Biologi Molekuler, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Bahan
Bahan tanaman yang digunakan adalah populasi BC3F4 dari persilangan antara padi japonica cv. Nipponbare transgenik dan padi indica kultivar Ciherang. Ciri-ciri padi Ciherang disajikan pada Lampiran 1. Primer HPT-F (5’ GATGCCTCCGCTCGAAGTAGCG 3’) dan primer HPT-R (5’ GCATCTCCCGCCGTGCAC3’) digunakan untuk mengidentifikasi adanya gen hpt.Primer 35S - F (5’ GAGAGAAAGCTTCATGGAGTCAAAGATTCAAA 3’) dan primer CsNitr1-L-R (5’ ATAGATGATGGAGGCGATGG 3’) digunakan untuk mengetahui gen CsNitr1-L yang difusikan dengan promoter 35S CaMV menggunakan polymerase chain reaction (PCR). Primer Aktin-F (5’ TCCATCTTGGCATCTCTCA 3’) dan Primer Aktin-R (5’ GTACCCGCATCAGGCATC 3’) digunakan untuk mengamplifikasi aktin sebagai kontrol internal tanaman padi untuk mengetahui keberadaan DNA genom. Posisi primer HPT, 35S dan CsNitr1 disajikan pada gambar 4.
Gambar 4. Peta daerah T-DNA plasmid pIG121HM. RB = right border; PNOS= promoter nopaline sythase; NPTII = neomycin phosphotransferase II; TNos =terminator nopaline sythaseuntuk gen target; CsNitr1-L = nitrit reduktase; P35S = promoter 35S CaMV; hpt =hygromisin phosphotransferase; LB =left border;
Metod e Peneli ti an Seleksi kecambah transgenik dengan higromisin
Biji padi dikeringkan di dalam inkubator pada suhu 45 °C selama 2 hari. Biji-biji tersebut kemudian disterilisasi dengan perendaman dengan etanol 70% selama 1 menit dan pada larutan pemutih/bleach 30% (konsentrasi akhir sodium hypochlorite NaOCl 2%) + tween selama 1 jam. Biji kemudian dibilas dengan akuades steril sebanyak lima kali. Biji yang telah disterilkan kemudian ditumbuhkan di media MS0 yang mengandung 50 mg/l antibiotik higromisin selama tiga minggu untuk mendapatkan tanaman yang tahan higromisin. Sebagai kontrol terhadap efektifitas media seleksi, padi non transgenik ditanam di media selektif yang sama dengan media untuk tanaman transgenik.
Bibit yang tumbuh dipindahkan ke cawan petri baru dengan media air selama 1 minggu kemudian bibit dipindah ke media tanam berupa bak kecil yang berisi tanah selama 2 minggu. Selanjutnya bibit ini dipindah ke media ember yang berisi tanah, yang telah dianalisis terlebih dahulu untuk mengetahui kandungan N- total. Tanah yang digunakan sebagai media tumbuh adalah 10 kg/ember. Setiap ember ditanami satu bibit.
Perlakuan pupuk
Tanaman transgenik dan non transgenik yang telah dipindah ke ember diberi pupuk dasar 100 kg TSP dan 100 kg/ha KCl tiap hektar, pada saat tanam. Pupuk urea diberikan sebagai perlakuan dengan empat taraf yaitu 0, 50, 100 dan 150 kg/ha. Urea di berikan 3 kali yaitu 25% pada saat tanam, 25% berumur 4 MST dan 50% memasuki primordia akhir. Percobaan setiap genotipe pada setiap dosis pemupukan terdiri dari dua bibit.
Analisis fenotipe
Fenotipe yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah tanaman tiap rumpun, berat kering tanaman, hari mulai berbunga, panjang malai, berat 100 biji, jumlah biji per malai dan berat biji tiap rumpun. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan uji beda nyata. Tinggi tanaman diukur mulai dari titik tumbuh hingga leher malai, yang dilakukan di akhir penelitian (panen) terhadap satu tanaman yang paling tinggi dalam satu rumpun. Jumlah anakan tiap rumpun dihitung ketika tanaman memasuki masa reproduktif ditandai dengan keluarnya malai dengan menghitung semua tanaman dalam satu rumpun dikurangi dengan tanaman induk. Umur berbunga dihitung dari saat tanam sampai dengan tanaman menghasilkan malai.
Panjang malai diukur dari pangkal malai sampai dengan ujung malai dengan mengambil 3 malai tiap rumpun kemudian di rata-ratakan. Berat seratus biji dihitung berdasarkan rata-rata dari tiga kali penimbangan dari 100 biji yang diambil secara acak untuk tiap rumpun. Berat biji tiap rumpun diukur dengan menimbang seluruh biji yang dihasilkan tanaman dalam satu rumpun. Jumlah biji per malai dihitung berdasarkan rata-rata dari 3 malai tiap rumpun yang diambil secara acak.
Rancanan percobaan
Percobaan ini terdiri dari 4 macam dosis pemupukan yaitu 0, 50, 100 dan 150 kg/ha. Masing-masing percobaan pemupukan menggunakan rancangan acak kelompok dengan satu perlakuan dan dua ulangan. Perlakuan terdiri dari lima genotipe. Masing-masing perlakuan terdiri dari dua tanaman. Adapun rumus matematikanya adalah sebagai berikut:
Yij = µ + τi + Bj + єij
Dimana :
Yij : Pengamatan Faktor genotipe taraf ke-i, faktor pemupukan taraf kej dan kelompok ke-k
µ : Rataan Umum
τi : Pengaruh Faktor genotipe pada taraf ke-i
Bj : Pengaruh Kelompok pada taraf ke-j
єij : Pengaruh galat pada faktor genotipe taraf ke-i dan kelompok ke-j
Pengolahan data dilakukan terhadap pengaruh genotipe untuk masing- masing dosis pemupukan dan tidak dilakukan pengolahan antar dosis pemupukan. Isolasi DNA tanaman
Isolasi DNA tanaman padi menggunakan prosedur CTAB (Doyle & Doyle 1990) yang dimodifikasi. DNA diisolasi dari tanaman padi setelah dipindah ke bak kecil. Sebanyak 0,5 g daun padi digerus dengan nitrogen cair hingga membentuk serbuk kemudian ditambahi 600 µl larutan buffer CTAB (CTAB, PVP, ß-merkaptoetanol) dan 1/10 volume Na asetat di dalam tabung mikro. Selanjutnya tabung mikro yang berisi suspensi sel dan DNA diinkubasi pada suhu 65°C selama 30 menit dan diinkubasi di dalam es selama 5 menit. Setelah itu, 1x vol chloroform-isoamil alkohol (24:1) ditambahkan kedalam suspensi tersebut, kemudian dibolak-balik agar tercampur dan dilanjutkan dengan sentrifugasi 11.000 g selama 15 menit. Cairan yang terdapat di atas dipindahkan ke tabung mikro baru kemudian ditambahi dengan 1/10 volume Na asetat, 2/3 volume isopropanol dingin dan 2 x volume etanol absolute (98%) lalu di bolak-balik sebentar agar tercampur, kemudian diinkubasi di es selama 15 menit. Tabung disentrgifugasi lagi dengan kecepatan 11.000g. Cairan dibuang dan endapan yang terbentuk ditambahi dengan etanol 70% kemudian disentrifugasi kembali dengan kecepatan 11.000gselama 5 menit. Endapan yang ada dikeringkan dengan vakum 5 menit, lalu dilarutkan dengan 50 µl buffer TE (10 mM Tris-HCl; 1 mM EDTA) dan diberi perlakuan 1µl RNAse (100 µg/µl). Suspensi DNA kemudian diinkubasi 37 °C selama 30 menit. Kualitas dan kuantitas DNA yang diisolasi selanjutnya diukur dengan nanodrop.
Analisis genhptdanCsNitr1-Ldengan PCR
DNA yang telah diisolasi selanjutnya dianalisis dengan PCR menggunakan metode Sambrook dan Russel (1989). Reaksi PCR terdiri dari 100
ɳg DNA, 7,5 µl Readymix PCR kit 2G, 0,75 DMSO, 0,75 µl primer forward (10 µM), 0,75 µl primer reverse (10 µM), dan 4,25 µl ddH2O steril dengan total
volume 15 µl. Kondisi PCR yang digunakan untuk analisis gen hpt adalah pra PCR 94°C selama 5 menit, denaturasi 94°C selama 30 detik, annealing 65°C selama 30 detik, extention pada suhu 72°C selama 30 detik. Seluruh rangkaian dilakukan selama 35 siklus dan diakhiri dengan pasca PCR pada suhu 72°C selama 5 menit. Kondisi PCR yang digunakan untuk analisis gen CsNitr1-L adalah pra PCR 95°C selama 4 menit,denaturasipada suhu 94°C selama 1 menit, annealing pada suhu 55°C selama 45 detik, extention pada suhu 72°C selama 1 menit. Seluruh rangkaian dilakukan sebanyak 30 siklus, diakhiri dengan pasca PCR pada suhu 72°C selama 5 menit. Hasil PCR dielektroforesis pada gel agarose 1 % pada voltase 75 volt selama 45 menit. Selanjutnya gel direndam dengan larutan etidium bromida (0,5 mg/l) selama 10 menit dan di air selama 7 menit. Visualisasi pita DNA di gel dilakukan di bawah UV transiluminator dengan Gel Doc.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Seleksi Resistensi Kecambah Padi Ciherang Transgenik terhadap Higromisin
Seleksi terhadap kecambah yang resisten terhadap higromisin menunjukkan bahwa rata-rata kecambah yang resisten adalah diatas 90%. Pada media selektif yang sama tidak satupun kecambah dari tanaman padi varietas Ciherang non transgenik yang tumbuh (Tabel 1). Di media non selektif yang merupakan media MS0 tanpa higromisin, semua kecambah non transgenik dapat tumbuh normal (Gambar 5). Hal ini menunjukkan bahwa media selektif yang mengandung 50 mg/l higromisin mampu membedakan tanaman transgenik dari tanaman non transgenik.
Tabel 1. Seleksi ketahanan kecambah terhadap higromisin pada tanaman padi Ciherang
Genotipe Jumlah Biji awal
Kecambah Resisten
terhadap higromisin Persentase Kecambah resisten higromisin Resisten Sensitif G3 100 96 4 96% G7 100 93 7 93% G8 100 91 9 91% G11 100 98 2 98% Ciherang 100 0 100 0%
Gambar 5. Perkecambahan padi di media selektif MS0 yang mengandung 50 mg/l higromisin dan di media non selektif MS0 yang tidak mengandung higromisin umur 18 hari. A. Kecambah padi non transgenik di media selektif, B. Kecambah padi transgenik di media selektif, C. Kecambah padi non transgenik di medai non selektif.
Tanaman yang hidup di media selektif ini diduga mengandung transgen yaitu genhpt danCsNitr-L. Untuk mengkonfirmasi bahwa tanaman yang resisten higromisin adalah transgenik yang mengandung gen hpt, dari tiap galur, 4 tanaman transgenik putatif diambil secara acak untuk dianalisis secara molekuler dengan PCR. PCR dengan primer HPT-F dan HPT-R menghasilkan amplifikasi sebesar 516 pasang basa (pb) yang sesuai dengan daerah hpt yang diapit oleh kedua primer tersebut. PCR terhadap tanaman padi Ciherang non transgenik dengan primer yang sama dan kondisi yang sama tidak menghasilkan amplifikasi DNA (Gambar 6). Hasil ini mengkonfirmasi bahwa tanaman yang resisten higromisin mengandung gen hpt sehingga seluruh tanaman resisten higromisin adalah transgenik. Tanaman transgenik yang mengandung hpt yang sudah dikonfirmasi secara molekuler untuk selanjutnya ditanam di ember untuk mengetahui fenotipenya.
Analisis Fenotipe Pertumbuhan Tinggi tanaman padi
Pertumbuhan tanaman padi tidak lepas dari peran unsur hara terutama unsur Nitrogen (N). Masa vegetatif awal tanaman padi membutuhkan unsur N yang tinggi untuk pertambahan biomasa dan pembentukan tajuk tanaman serta pengisian biji (Dobermann dan Fairhurst 2000; Tegeder dan Rentsch 2010).
Pada tingkat pemupukan urea yang sama tanaman transgenik mempunyai tinggi yang tidak berbeda nyata dengan tanaman non transgenik (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa gen CsNitr1-L tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman. Hal ini dikarenakan nitrat yang merupakan sumber hara selain amonium oleh tanaman transgenik lebih di arahkan ke pengisian sink bukan ke pengisian source sehingga tinggi tanaman padi transgenik tidak berbeda dengan tanaman non transgenik. Dijelaskan oleh Gardner et al. (1991) bahwa tanaman yang memiliki karakter genotipe yang kuat tidak dapat dimodifikasi oleh pengaruh luar.
Gambar 6. Hasil PCR dengan kombinasi primer HPT-F dan primer HPT-R untuk amplifikasi genhpt.M= marka DNA 1 Kb ladder P= Plasmid yang mengandung genhpt, NT= padi Ciherang non transgenik, 1-16= padi transgenik BC3F4. 1-4=galur G3, 5-8= galur G7, 9-12=galur G8, 13-16= galur G11
Jumlah anakan tiap rumpun
Tanaman transgenik dan non transgenik pada dosis 0 dan 100 kg/ha, menghasilkan jumlah anakan tiap rumpun yang tidak berbeda, sedangkan pada dosis 50 dan 150 kg/ha G3 dan G11 menghasilkan rumpun yang paling banyak (Tabel 3). Tingginya rumpun pada G3 dan G11 kemungkinan adanya protein transporter nitrit yang berperan dalam meningkatkan proses asimilasi nitrat lebih baik dari galur transgenik lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh Ning et a.l (2009) jumlah anakan lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan seperti kerapatan populasi dan jarak tanam serta nutrisi yang tersedia. Yao-Hong et al. (2009) menjelaskan bahwa kebanyakan tanaman menyerap asimilat lebih tinggi pada saat inisiasi malai. Asimilat lebih digunakan untuk pembentukan malai dan pengisisan gabah (Makarimet al. 2000; Suhartatiket al. 2007).
Berat kering tanaman tiap rumpun
Tanaman transgenik dan non-transgenik pada pemupukan 0 dan 50 kg/ha urea cenderung memiliki bobot kering yang tidak berbeda. Pada dosis urea diatas 100 kg/ha, tanaman nontransgenik menunjukkan berat kering yang lebih tinggi (Tabel 4). Tingginya bobot kering tanaman non-transgenik sebagai akibat
Tabel 2. Pengaruh genotipe terhadap tinggi (cm) tanaman pada setiap dosis pemupukan urea.
Genotipe
Pupuk Urea (kg/ha)
0 50 100 150 Rata-
rata G3 99.00a 101.00a 106.00a 110.00a 104.00a G7 94.50a 97.00a 98.50ab 113.50a 101.00a G8 93.00a 92.50a 92.50b 106.50a 96.00a G11 94.00a 94.50a 100.50a 109.00a 99.50a Ciherang 100.00a 100.50a 102.50a 105.50a 102.12a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama
adalah tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%.
Tabel 3. Pengaruh genotipe terhadap jumlah anakan tiap rumpun pada setiap dosis pemupukan urea.
Genotipe Pupuk Urea (kg/ha)
0 50 100 150 Rata-rata
G3 5.50a 19.00a 12.00a 24.00a 15.12ab
G7 4.00a 13.00b 13.00a 12.00b 10.50c
G8 7.50a 7.50c 15.50a 18.00b 09.62c
G11 11.50a 16.00ab 18.50a 27.50a 15.87a
Ciherang 10.00a 11.00bc 12.00a 13.50b 11.62bc Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
akumulasi asimilat yang tertahan di sumber (source) tanaman yaitu bagian vegetatif yang tidak sepenuhnya dipindahkan dengan baik oleh tanaman untuk pembentukansink. Hal ini di jelaskan oleh Makarim dan Suhartatik (2009) bahwa sejak inisiasi malai, terjadi penumpukan asimilat namun setelah antesis bobot jerami berkurang hingga 90%. Pada tanaman transgenik bobot brangkasan kering lebih ringan dibanding tanaman nontransgenik sebagai akibat aktifitas transgen yang cukup tinggi untuk pembentukan hasil (Zhaoet al. 2010).
Umur berbunga
Umur berbunga tanaman transgenik pada setiap dosis pemupukan yang sama mulai dari pemupukan 0 kg/ha urea hingga 150 kg/ha urea, berbeda nyata dengan tanaman non-transgenik. Tanaman transgenik cenderung memasuki masa reproduktif lebih cepat dibandingkan dengan tanaman non-transgenik (Tabel 5). Hal ini diduga bahwa transgen mengangkut asimilat dengan cepat sehingga memacu tanaman untuk memasuki masa reproduktif lebih cepat. Gardner et al. (1991) menjelaskan bahwa tanaman akan memasuki masa reproduktif lebih cepat ketika nutrisi yang diterima sudah mencukupi untuk itu. Yao-Hong (2009) menunjukkan nutrisi akan diserap tanaman lebih tinggi pada saat memasuki masa reproduktif.
Tabel 4. Pengaruh genotipe terhadap berat kering tanaman tiap rumpun pada setiap dosis pemupukan urea.
Genotipe Pupuk Urea (kg/ha)
0 50 100 150 Rata-rata
G3 0.11a 0.12a 0.14b 0.16a 0.13b
G7 0.10a 0.11a 0.12b 0.13b 0.11bc
G8 0.09a 0.10a 0.11b 0.13b 0.10c
G11 0.11a 0.11a 0.14b 0.16a 0.13bc
Ciherang 0.11a 0.16a 0.17a 0.18a 0.15a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%.
Tabel 5. Pengaruh genotipe terhadap umur berbunga (hari) pada setiap dosis pemupukan urea.
Genotipe Pupuk Urea (kg/ha)
0 50 100 150 Rata-rata
G3 62c 70bc 62c 63c 64c
G7 71ab 73ab 72ab 72ab 72b
G8 69abc 74ab 67bc 67bc 69b
G11 63bc 64c 64c 65bc 64c
Ciherang 77a 78a 78a 76a 77a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%.
Panjang malai
Malai tanaman padi menopang gabah yang merupakan sink yang perlu dipenuhi dengan fotosintat dari berbagai sumber (source) dalam tanaman (Makarim dan Suhartatik 2009). Secara umum tanaman non trangenik memiliki rata-rata panjang malai yang lebih panjang daripada tanaman transgenik kecuali G8 (Tabel 6). Hal ini kemungkinan karena umur berbunga tanaman nontransgenik lebih panjang daripada tanaman transgenik. Menurut Pringadiet al.(2008) bahwa panjang malai menentukan hasil akhir namun tidak selamanya demikian dikarenakan ada faktor lain seperti kerapatan biji dan persentase kehampaan.
Bobot seratus biji
Pada kondisi yang sama tanpa perlakuan 0 kg/ha urea, tanaman transgenik mempunyai biji yang berukuran tidak berbeda nyata dengan tanaman non transgenik. Namun dengan adanya perlakuan pemupukan tanaman transgenik menghasilkan biji dengan ukuran yang cukup bervariasi. Galur 11 mempunyai ukuran biji yang berbeda nyata dengan tanaman transgenik lainnya dan nontransgenik (Tabel 7).
Tabel 6. Pengaruh genotipe terhadap panjang malai pada setiap dosis pemupukan urea.
Genotipe Pupuk Urea (kg/ha)
0 50 100 150 Rata-rata
G3 22ab 23a 22c 24a 23b
G7 21ab 22a 24b 25a 23b
G8 23ab 25a 26a 26a 25a
G11 21b 24a 23c 24a 23b
Ciherang 24a 25a 26a 24a 25a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%.
Jumlah biji tiap malai
Pada dosis urea yang rendah tanaman transgenik menghasilkan jumlah biji tiap malai yang lebih tinggi dari pada tanaman transgenik, sedangkan pada dosis yang lebih tinggi tanaman transgenik tidak selalu mempunyai jumlah biji tiap malai yang lebih tinggi dari pada tanaman non transgenik. Semua galur transgenik mempunyai rata-rata jumlah biji tiap malai yang lebih tinggi dari pada tanaman