• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rosela (Hibiscus sabdariffa)

Rosela merupakan tanaman asli Afrika. Rosela didomestikasi pada awal abad 4000 SM di Sudan. Sekarang rosela secara luas menyebar ke negara-negara tropik dan subtropik. Tumbuhan ini umumnya dikenal

masyarakat dengan nama rosela, garnet

balonda (Sunda), mrambos {Jawa Tengah), dan kasturi roriha (Ternate). Berdasarkan ilmu taksonomi tumbuhan rosela dapat diklasifikasikan dalam divisi Spermatophyta, kelas Magnoliopsida, bangsa Malvales, suku

Malvaceae, marga Hibiscus, dan jenis H.

PENDAHULUAN

Penyakit asam urat (gout) sudah dikenal sejak 2000 tahun yang lalu dan menjadi salah satu penyakit tertua yang dikenal manusia. Diperkirakan bahwa penyakit asam urat terjadi pada 840 orang setiap 100 000 orang (Juandy 2008). Penyakit asam urat sangat berhubungan dengan hiperurisemia akibat kelebihan produksi dari asam urat dan dipengaruhi oleh tingginya masukan makanan yang kaya akan asam nukleat, seperti jeroan, kacang-kacangan, makanan hasil laut, dan makanan hasil fermentasi (Owen & Jhons 1999).

Obat sintetik yang biasa dikonsumsi untuk mengobati asam urat adalah alopurinol. Alopurinol merupakan obat medis yang digunakan untuk menghambat enzim xantin oksidase (XO), tetapi obat ini memberikan banyak efek samping seperti radang hati dan reaksi alergi. Dengan demikian, perlu obat alternatif yang memiliki aktivitas pengobatan lebih baik dan efek samping yang rendah

(Chiang et al. 1994). Senyawa flavonoid dan

alkaloid pada tanaman dapat berperan sebagai obat untuk penyakit gout dengan menghambat

kerja XO (Cos et al. 1998; Milián et al. 2004).

Penggunaan bahan alam sebagai obat

memiliki kelebihan, yaitu meskipun

penggunaannya dalam waktu lama tetapi efek samping yang ditimbulkan relatif kecil sehingga dianggap lebih aman (Katno & Pramono 2002).

Penelitian penghambat aktivitas XO telah banyak dilakukan pada berbagai tanaman obat yang berpotensi sebagai obat antigout.

Penelitian yang dilakukan Kong et al. (2000)

melaporkan bahwa ekstrak metanol

Cinnamomum cassia, Chrysanthemum indicum, dan Lycopus europaeus memiliki aktivitas menghambat XO lebih besar dari

50%. Ekstrak tanaman Hexachlamys edulis

dan Tamus communis L. memiliki aktivitas penghambat XO karena mengandung senyawa

flavonoid dan tanin (Schmeda et al. 1996;

Boumerfeg et al. 2009). Senyawa

6-aminopurine yang berasal dari daun gandum memiliki daya inhibisi yang kuat dengan nilai

IC50 10.89 µM (Hsieh et al. 2007). Hasil

penelitian Iswantini dan Darusman (2003) menunjukan peran ekstrak kasar flavonoid herba sidaguri sebagai penghambat aktivitas XO dengan daya inhibisi terkuat bila dibandingkan dengan produk jamu komersial antigout lainnya yang beredar di pasaran. Kemampuan ekstrak kasar flavonoid sidaguri sebagai penghambat aktivitas XO mencapai

55.29% melalui mekanisme inhibisi

kompetitif (Hidayat 2007).

Kelopak rosela kaya flavonoid antosianin, asam sitrat, asam askorbat, tanin, saponin, dan

triterpenoid (Mlati et al. 2007). Sementara

ciplukan mengandung saponin, flavonoid (luteolin), polifenol, alkaloid, fisalin, asam

palmitat, dan asam stearat (Edeoga et al.

2005). Kandungan senyawa flavonoid, tanin, dan alkaloid pada ekstrak kasar herba ciplukan dan rosela berpotensi mampu

menghambat XO (Schmeda-Hirschmann et al.

1996; Cos et al. 1998; Milian et al. 2004).

Berdasarkan kandungan senyawa yang terdapat pada tanaman rosela dan ciplukan

dilakukan uji khasiat ekstrak tanaman

terhadap pengobatan gout melalui evaluasi pengamatan pada laju pembentukkan kristal natrium urat dari larutan lewat jenuh. Nilai indeks laju turbiditas (TRI) kristal natrium urat ditentukan untuk menunjukkan efek penghambatan ekstrak rosela dan herba ciplukan pada pembentukkan kristal natrium

urat. Penentuan nilai TRI dilakukan

menggunakan metode turbidimetri

berdasarkan metode Kavanagh et al. (2000)

dengan memodifikasi konsentrasi, jenis

kristal, dan penentuan waktu pengukuran.

Penelitian ini dilakukan untuk

membuktikan ekstrak kasar kelopak rosela dan ciplukan mampu menghambat aktivitas

XO secara in vitro dan mampu menurunkan

nilai TRI kristal natrium urat, serta

mengetahui potensinya sebagai antigout dan membandingkannya dengan obat alopurinol.

TINJAUAN PUSTAKA

Rosela (Hibiscus sabdariffa)

Rosela merupakan tanaman asli Afrika. Rosela didomestikasi pada awal abad 4000 SM di Sudan. Sekarang rosela secara luas menyebar ke negara-negara tropik dan subtropik. Tumbuhan ini umumnya dikenal

masyarakat dengan nama rosela, garnet

balonda (Sunda), mrambos {Jawa Tengah), dan kasturi roriha (Ternate). Berdasarkan ilmu taksonomi tumbuhan rosela dapat diklasifikasikan dalam divisi Spermatophyta, kelas Magnoliopsida, bangsa Malvales, suku

Malvaceae, marga Hibiscus, dan jenis H.

Kelopak bunga rosela kaya akan antosianin, asam sitrat, dan pektin. Rosela mengandung flavonoid gosipetin, quarsetin, hibisketin dan sabdaretin. Selain itu juga mengandung mineral seperti zat besi, natrium, kalsium, kalium, karbohidrat, serat, gula, dan vitamin (Duke 2008). Dalam kelopak kering rosela mengandung 1.7–2.5% antosianin

(Blunden et al. 2005). Ekstrak rosela

mengandung 51% antosianin dan antioksidan

24% (Tsai et al. 2002). Salah et al. (2002)

melaporkan kandungan flavonoid kuarsetin, luteolin, dan luteolin glikoksida pada ekstrak rosela. Zat-zat seperti gosipetin, antosianin, dan hibiskin glikosida dipercaya sebagai diuretik (peluruh air seni) dan efek koleretik

(pengeluaran empedu oleh hati) (Blunden et

al. 2005).

Rosela biasa digunakan sebagai obat tradisional untuk penyakit tekanan darah

tinggi, penyakit hati, dan demam (Wang et al.

2000; Ross 2003; Mojiminiyi et al. 2007).

Pigmen merah antosianin pada kelopak rosela dapat digunakan sebagai pewarna makanan

(Esselen & Sammy 1975). Sementara

kandungan terbesar dalam ekstrak air rosela ialah asam sitrat, asam askorbat, dan malat

(Blunden et al. 2005).

Kamhi et al. (2000) merekomendasikan

penggunaan herba rosela kepada dokter sebagai pengganti obat medis hipertensi karena rasio dan risiko penggunaan herba rosela lebih aman dan lebih baik dibanding kandungan obat medis.

Ciplukan (Physalis angulata) Ciplukan adalah tumbuhan asli Amerika yang kini telah tersebar secara luas di daerah tropis. Di Jawa tumbuh secara liar di kebun, tegalan, tepi jalan, semak, dan tepi hutan. Ciplukan di masyarakat Sunda disebut

cecenet, sedangkan di Jawa disebut sebagai

ceplukan, serta di masyarakat Bali disebut

angket, kepok-kepokan, atau keceplokan. Di

Inggris dikenal dengan nama morel berry

(Gambar 2). Berdasarkan ilmu taksonomi

tumbuhan ciplukan dapat diklasifikasikan

dalam divisi Spermatophyta, kelas

Dicotyledonnae, bangsa Solanales, suku

Solanaceae, marga Physalis, dan jenis P.

angulata.

Ciplukan adalah tumbuhan yang tersebar

sepanjang daerah tropis dan subtropis dunia. Penggunaan tumbuhan ini populer dalam pengobatan menyembuhkan luka, radang hati, malaria, penyakit kelamin, rematik, sakit

telinga (Freiburghaus et al. 1996; Schimmer et

al. 2001; Ankrah et al. 2003; Choi.& Hwang

2003).

Ciplukan mengandung saponin, flavonoid (luteolin), polifenol, alkaloid, steroid, vitamin

C, asam palmitat, dan asam stearat (Edeoga et

al. 2005). Tanaman ciplukan bersifat analgetik

(penghilang nyeri), detoksikan (penetral racun) serta pengaktif fungsi kelenjar-kelenjar tubuh. Saponin dan alkaloid yang terkandung dalam ciplukan memberikan rasa pahit dan berkasiat sebagai anti tumor dan menghambat pertumbuhan kanker, terutama kanker usus

besar (Lin et al. 1992; Bastos et al. 2006).

Ekstrak etanol ciplukan memiliki aktivitas

antibakteri (Nayeemulla et al. 2006).

Asam Urat

Penyakit asam urat atau sering disebut artritis gout merupakan kelainan metabolik akibat deposisi kristal natrium urat pada jaringan atau akibat supersaturnasi asam urat di dalam cairan ekstra seluler. Asam urat adalah senyawa alkaloid turunan purin (xantin). Senyawa asam urat yang ditemukan pertama kali oleh Scheele pada tahun 1776 merupakan produk akhir dari metabolisme nitrogen. Asam urat diperoleh dari hasil ekskresi pada urin hewan pemakan daging.

Asam urat (C5H4N4O3) merupakan kristal

putih, tidak berbau dan berasa, mengalami dekomposisi dengan pemanasan menjadi asam sianida (HCN), sangat sukar larut dalam air, larut dalam gliserin dan alkali. Asam urat dapat larut pada larutan dengan pH tinggi dan

Gambar 2 Tanaman ciplukan. Gambar 1 Kelopak rosela.

dapat pula dipanaskan untuk membantu kelarutannya hingga suhu 60 °C.

Natrium urat adalah kristal yang terbentuk akibat tingginya konsentrasi asam urat dalam darah. Kristal natrium urat terkumpul pada persendian dan tulang rawan. Natrium urat sama halnya dengan asam urat, sukar larut dalam air. Faktor yang mempengaruhi pembentukan kristal natrium urat ialah pH,

suhu, kekuatan ionik, dan konsentrasi Na+.

Bentuk geometris kristal natrium urat adalah triklin atau berbentuk jarum (Rinaudo & Boistelle 1982).

Penyakit asam urat umumnya menyerang lebih banyak pria daripada perempuan. Hal ini dikarenakan perempuan memiliki hormon estrogen yang ikut membuang asam urat

melalui urin (Mansjoer et al. 2004). Kadar

asam urat rata-rata di dalam darah atau serum bergantung pada usia dan jenis kelamin. Pada laki-laki, sebelum pubertas kadarnya sekitar

3,5 mg/dl. Setelah pubertas, kadarnya

meningkat secara bertahap dan dapat

mencapai 5,2 mg/dl. Pada perempuan kadar asam urat biasanya tetap rendah, baru pada usia pramenopause kadarnya di dalam darah rata-rata sekitar 4 mg/dl. Setelah menopause, kadarnya meningkat lagi sampai 4,7 mg/dl (Dalimartha 2006).

Hiperurisemia adalah peningkatan kadar

asam urat serum di atas nilai normal, yang pada laki-laki di atas 7 mg/dl dan pada

perempuan di atas 6 mg/dl. Hiperurisemia

bisa menimbulkan penyakit gout.

Pengobatan dan pencegahan asam urat

bisa dilakukan dengan beberapa cara.

Pengobatan secara medis, yaitu dengan menghambat proses sintesis asam urat melalui

pemberian alopurinol dan menghambat

masuknya leukosit ke dalam sendi yang terkena deposit asam urat dengan kolkisin,

atau dengan pemberian obat AINS (

anti-inflamasi nonsteroid) (Johnstone 2005). Pengobatan dan pencegahan penyakit gout bisa dilakukan dengan beberapa cara, yang pertama melakukan pola diet makanan, seperti

menghindari makanan kaya purin,

menghindari alkohol, dan banyak minum air

putih. Pengobatan dengan memberikan

ramuan tradisional telah terbukti melalui penelitian bahwa beberapa jenis tanaman mengandung berbagai senyawa aktif kimia yang dapat meluruhkan asam urat dengan cepat dan tuntas. Dalam pengobatan asam urat, obat tradisional memiliki beberapa fungsi, yaitu menetralisisr tumpukan sisa asam urat, toksin pada otot, tulang, dan sendi, serta membantu proses pembuangan. Selain

itu juga dapat melancarkan sirkulasi darah sehingga menghilangkan peradangan secara lembut dan aman serta mengurangi rasa nyeri (Dalimartha 2006).

Xantin Oksidase

Xantin aksidase (XO) berperan penting dalam katabolisme purin. XO mempunyai 2 bentuk, yaitu XO dan xantin dehidrogenase (XDH). XDH dapat dikonversi menjadi XO pada mamalia, baik dalam reaksi reversibel maupun irreversibel. XO merupakan enzim yang tersebar luas dalam beberapa spesies dari bakteri hingga manusia. Di dalam tubuh, XO ditemukan di sel hati dan otot, tetapi tidak ditemukan di dalam darah.

XO merupakan suatu kompleks enzim yang terdiri atas 1332 residu asam amino,

molibdenum (HO2SMo), FAD, dan Fe2S2

sebagai pusat reaksi redoks, dengan bobot molekul sebesar 275 000 Dalton membentuk 2

subunit yang saling setangkup (Hart et al.

1970). Menurut Westerfeld et al. (1959)

Senyawa yang dapat berfungsi sebagai penstabilisasi XO diantaranya adalah salisilat, sistein, histamin, dan versenat. Sementara senyawa yang dapat menginhibisi XO berupa ion logam, urea, purin-6-aldehida, dan 2-amino-4-hidroksipteridin-6 aldehida.

XO mengkatalis oksidasi hipoxantin

menjadi xantin lalu menjadi asam urat yang berperan penting pada penyakit gout. Pada saat bereaksi dengan xantin untuk membentuk asam urat, atom oksigen ditransfer dari molibdenum ke xantin. Perombakan pusat molibdenum yang aktif terjadi dengan

penambahan air (Cos et al. 1998) (Gambar 3).

Xantin+ 2O2 + H2O asam urat + 2O2*-+2H+ Xantin+O2+ H2O asam urat + H2O2

Gambar 3 Skema reaksi xantin oksidase yang mengkonversi hipoxantin menjadi xantin dan asam urat

Selama proses oksidasi molekul, oksigen

bertindak sebagai akseptor elektron

menghasilkan radikal superoksida (O2*) dan

hidrogen peroksida (Ramdhani 2004).

Satu unit XO dapat mengkonversi satu mikromol substrat (xantin) menjadi asam urat tiap satu menit pada pH optimum (pH 7.5) dan suhu optimum (25 °C). Apabila substratnya hipoxantin, aktivitasnya menjadi 50% atau setengahnya. XO dapat diisolasi dari berbagai macam sumber seperti susu, mikroorganisme, dan buttermilk.

XO memiliki pengaruh antitumor dan berperan aktif dalam timbulnya panas akibat penyimpanan hepatik ferritin dalam plasma. Selain itu, XO diketahui dapat mengkatalisis reduksi nitrat dan nitrit menjadi nitrit oksida

(Millr et al. 2002) dan sekaligus menyebabkan

pembentukan radikal superoksida yang dapat

menyebabkan peradangan (Bodamyali et al.

2002). Produksi asam urat berlebih dapat menyebabkan hiperurisemia namun ketika asam urat disimpan di dalam persendian akan menyebabkan peradangan dan penyakit gout. Penelitian untuk penghambat XO akan menguntungkan bukan saja untuk mengobati gout tetapi juga untuk menyerang berbagai

penyakit lain (Kadota et al. 2004).

Flavonoid

Flavonoid tersebar luas di alam, terutama dalam tumbuhan tingkat tinggi dan jaringan muda. Sekitar 5–10% metabolit sekunder

tumbuhan adalah flavonoid. Flavonoid

merupakan grup senyawa alami dengan ragam struktur fenolat yang dapat ditemukan pada buah, sayuran, gandum, batang, akar, cabang, bunga, teh, dan anggur (Middleton 1998).

Flavonoid mempunyai kerangka dasar yang terdiri atas 15 atom karbon dengan 2 cincin benzena terikat pada suatu rantai

propana membentuk susunan C6-C3-C6

(Gambar 4). Susunan tersebut dapat

menghasilkan 3 struktur, yaitu 1,3-diaril

propana (flavonoid), 1,2-diarilpropana

(isoflavonoid), dan 1,1-diarilpropana

(neoflavonoid) (Markham 1988).

Gambar 4 Kerangka dasar flavon

Flavonoid sebagai derivat benzo-γ-piron

mempunyai banyak kegunaan di samping fungsinya yang pokok sebagai vitamin P

untuk meningkatkan resistensi dan

menurunkan permeabilitas kapiler darah. Efek lain flavonoid sangat banyak macamnya terhadap berbagai organisme dan efek ini dapat menjelaskan mengapa tumbuhan yang

mengandung flavonoid dipakai dalam

pengobatan. Flavonoid dapat bekerja sebagai antivirus, antialergi, antimikroorganisme, dan antioksidan untuk mengendalikan radikal bebas yang dapat menyebabkan tumor (Middleton 1998).

Flavonoid dikenal sebagai antioksidan dan memberikan daya tarik sejumlah peneliti untuk meneliti flavonoid sebagai obat yang

berpotensi mengobati penyakit yang

disebabkan oleh radikal bebas. Flavonoid juga penghambat efektif dari beberapa enzim

termasuk XO, siklooksigenase, dan

lipooksigenase (Ruangrungsi et al. 1981;

Hoorn et al. 2002; Hayashi et al. 1988).

Flavonoid berpotensi dapat digunakan sebagai

obat untuk penyakit gout dan ischemia dengan

cara menurunkan konsentrasi asam urat dan penangkapan aktivitas superoksida dalam

jaringan manusia (Cotelle et al. 1992). Flavon

memiliki aktivitas inhibisi lebih kuat

dibandingkan flavonol. Senyawa krisin,

apigenin, luteolin, galangin, kaempferol, dan quarsetin memiliki aktivitas penghambat XO dan senyawa yang memiliki aktivitas inhibisi

paling kuat adalah senyawa luteolin (Cos et

al. 1998). Struktur senyawa flavonoid

ditunjukan pada Table 1.

Tabel 1 Struktur senyawa flavonoid

Turbidimetri

The America Public Health Association (APHA) mendefinisikan dari sifat optik yang

menyebabkan cahaya dihamburkan dan

ditransmisikan secara lurus pada sampel. Turbiditas bukanlah ukuran langsung dari partikel suspensi dalam air, tetapi ukuran dari

Senyawa R3 R5 R6 R7 R3' R4' Krisin H OH H OH H H Apigenin H OH H OH H OH Luteolin H OH H OH OH OH Galangin OH OH H OH H H Kaemferol OH OH H OH H OH Kuarsetin OH OH H OH OH OH

efek hamburan partikel yang terkena cahaya. Intensitas cahaya yang dihamburkan dan

diserap oleh suspensi adalah fungsi

konsentrasi jika kondisi lainnya konstan (Khopkar 1984).

Kavanagh et al. (2000) menyatakan bahwa

indeks laju turbiditas adalah nilai percobaan hasil pengukuran sifat turbiditas reaksi pembentukan suatu kristal. Dalam kaitannya dengan batu kristal natrium urat, nilai ini merupakan dugaan yang memadai terhadap nilai konstanta laju dan karakteristik bentuk kristal natrium urat, dan kedua parameter ini mewakili proses terbentuknya batu kristal natrium urat di dalam ginjal. Pendekatan pengukuran konstanta laju dan karakteristik kristal natrium urat berdasarkan perubahan turbiditasnya dapat dihitung dari persamaan berikut:

Ln (∆D/mint=0) ≈ ln (Ka) – n ln (Sprod) + (n x

0,81) ln ([Na]t=0) + n ln ([Urat]t=0)

Dimana (∆D/mint=0) = nilai perubahan

pembentukan kristal, K = konstanta laju, a =

karakteristik kristal, n = orde reaksi, Sprod =

perubahan kelarutan, [Na]t=0 dan [urat]t=0

adalah konsentrasi natrium dan urat pada saat t = 0. Indeks laju turbiditas dari kristal natrium urat didapatkan dari anti-ln intersep kurva

antara ln (∆D/mint=0) dan ln [Urat]t=0 .

Jika percobaan dilakukan dengan

penambahan konsentrasi urat yang berbeda-beda tapi pada pH, suhu, dan [Na] yang tetap,

kemudian diplotkan ln (∆D/min) pada ln

[Urat]maka akan diperoleh gradien garis lurus

dan sebuah intersep dimana berkaitan

langsung dengan ln (Ka) (Kavanagh et al.

2000).

BAHAN DAN LINGKUP KERJA

Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan ialah serbuk kelopak rosela, serbuk herba ciplukan, alopurinol, xantin oksidase, xantin, Tween 80,

kista A. salina Leach, asam urat, dan natrium

asetat. Bahan baku kelopak rosela dan herba

ciplukan diperoleh dari UPT Kebun

Percobaan Pusat Studi Biofarmaka LPPM-IPB, Bogor.

Alat analitis yang digunaka ialah

spektrofotometer UV-Vis Hitachi 2800 dan turbidimeter 2100P HACH.

.

Lingkup Kerja

Penelitian ini dilakukan beberapa tahap, yaitu persiapan sampel, penentuan kadar air, ekstraksi, uji fitokimia, uji toksisitas ekstrak

terhadap A. salina Leach, uji inhibisi ekstrak

terhadap aktivitas xantin oksidase secara in

vitro. Diagram alir penelitian disajikan pada Lampiran 1.

Persiapan sampel

Kegiatan Sortasi basah bertujuan

memisahkan kotoran atau bahan-bahan asing lainnya dari tanaman yang akan diteliti. Pekerjaan dilanjutkan dengan pencucian untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya yang masih menempel pada bahan yang sudah disortasi basah. Tahap berikutnya adalah perajangan bertujuan mempermudah proses pengeringan dan penggilingan. Tahap terakhir pengeringan dilakukan dengan udara kering hingga kadar air kurang dari 10% agar bahan yang diperoleh tidak mudah rusak akibat dari mikroorganisme.

Penentuan kadar air (AOAC 1984)

Cawan porselen dikeringkan dalam oven pada suhu 105 ºC selama 30 menit, lalu cawan porselen didinginkan dalam eksikator selama 30 menit dan ditimbang bobot kosongnya. Sampel ditimbang sekitar 3 g dan dimasukkan ke cawan porselen. Sampel beserta cawannya dipanaskan pada suhu 105°C selama 3 jam di dalam oven. Setelah didinginkan dalam eksikator selama 30 menit, cawan beserta isinya ditimbang. Prosedur dilakukan berulang kali sampai didapatkan bobot tetap dengan selisih kurang dari 1 mg. Penentuan kadar air dilakukan sebanyak 3 kali ulangan (triplo). Persen kadar air kelopak rosela dan herba ciplukan dihitung dengan persamaan:

% Kadar Air x100% a b a -= dengan

a = bobot sebelum dikeringkan (g)

b = bobot setelah dikeringkan (g)

Ekstraksi air (BPOM 2004)

Serbuk kelopak rosela dan herba ciplukan diekstraksi dengan nisbah sampel pelarut air 1:10 menggunakan metode maserasi selama 6 jam sambil sekali-sekali diaduk, kemudian didiamkan sampai 24 jam. Maserat dipisahkan dan proses diulangi 1 kali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama. Semua maserat dikumpulkan dan diuapkan dengan radas penguap berputar hingga diperoleh ekstrak kering (Lampiran 2).

efek hamburan partikel yang terkena cahaya. Intensitas cahaya yang dihamburkan dan

diserap oleh suspensi adalah fungsi

konsentrasi jika kondisi lainnya konstan (Khopkar 1984).

Kavanagh et al. (2000) menyatakan bahwa

indeks laju turbiditas adalah nilai percobaan hasil pengukuran sifat turbiditas reaksi pembentukan suatu kristal. Dalam kaitannya dengan batu kristal natrium urat, nilai ini merupakan dugaan yang memadai terhadap nilai konstanta laju dan karakteristik bentuk kristal natrium urat, dan kedua parameter ini mewakili proses terbentuknya batu kristal natrium urat di dalam ginjal. Pendekatan pengukuran konstanta laju dan karakteristik kristal natrium urat berdasarkan perubahan turbiditasnya dapat dihitung dari persamaan berikut:

Ln (∆D/mint=0) ≈ ln (Ka) – n ln (Sprod) + (n x

0,81) ln ([Na]t=0) + n ln ([Urat]t=0)

Dimana (∆D/mint=0) = nilai perubahan

pembentukan kristal, K = konstanta laju, a =

karakteristik kristal, n = orde reaksi, Sprod =

perubahan kelarutan, [Na]t=0 dan [urat]t=0

adalah konsentrasi natrium dan urat pada saat t = 0. Indeks laju turbiditas dari kristal natrium urat didapatkan dari anti-ln intersep kurva

antara ln (∆D/mint=0) dan ln [Urat]t=0 .

Jika percobaan dilakukan dengan

penambahan konsentrasi urat yang berbeda-beda tapi pada pH, suhu, dan [Na] yang tetap,

kemudian diplotkan ln (∆D/min) pada ln

[Urat]maka akan diperoleh gradien garis lurus

dan sebuah intersep dimana berkaitan

langsung dengan ln (Ka) (Kavanagh et al.

2000).

BAHAN DAN LINGKUP KERJA

Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan ialah serbuk kelopak rosela, serbuk herba ciplukan, alopurinol, xantin oksidase, xantin, Tween 80,

kista A. salina Leach, asam urat, dan natrium

asetat. Bahan baku kelopak rosela dan herba

ciplukan diperoleh dari UPT Kebun

Percobaan Pusat Studi Biofarmaka LPPM-IPB, Bogor.

Alat analitis yang digunaka ialah

spektrofotometer UV-Vis Hitachi 2800 dan turbidimeter 2100P HACH.

.

Lingkup Kerja

Penelitian ini dilakukan beberapa tahap, yaitu persiapan sampel, penentuan kadar air, ekstraksi, uji fitokimia, uji toksisitas ekstrak

terhadap A. salina Leach, uji inhibisi ekstrak

terhadap aktivitas xantin oksidase secara in

vitro. Diagram alir penelitian disajikan pada Lampiran 1.

Persiapan sampel

Kegiatan Sortasi basah bertujuan

memisahkan kotoran atau bahan-bahan asing lainnya dari tanaman yang akan diteliti. Pekerjaan dilanjutkan dengan pencucian untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya yang masih menempel pada bahan yang sudah disortasi basah. Tahap berikutnya adalah perajangan bertujuan mempermudah proses pengeringan dan penggilingan. Tahap terakhir pengeringan dilakukan dengan udara kering hingga kadar air kurang dari 10% agar bahan yang diperoleh tidak mudah rusak akibat dari mikroorganisme.

Penentuan kadar air (AOAC 1984)

Cawan porselen dikeringkan dalam oven pada suhu 105 ºC selama 30 menit, lalu cawan porselen didinginkan dalam eksikator selama 30 menit dan ditimbang bobot kosongnya. Sampel ditimbang sekitar 3 g dan dimasukkan ke cawan porselen. Sampel beserta cawannya dipanaskan pada suhu 105°C selama 3 jam di dalam oven. Setelah didinginkan dalam eksikator selama 30 menit, cawan beserta isinya ditimbang. Prosedur dilakukan berulang kali sampai didapatkan bobot tetap dengan selisih kurang dari 1 mg. Penentuan kadar air dilakukan sebanyak 3 kali ulangan (triplo). Persen kadar air kelopak rosela dan herba ciplukan dihitung dengan persamaan:

% Kadar Air x100% a b a -= dengan

a = bobot sebelum dikeringkan (g)

b = bobot setelah dikeringkan (g)

Ekstraksi air (BPOM 2004)

Serbuk kelopak rosela dan herba ciplukan diekstraksi dengan nisbah sampel pelarut air 1:10 menggunakan metode maserasi selama 6 jam sambil sekali-sekali diaduk, kemudian didiamkan sampai 24 jam. Maserat dipisahkan dan proses diulangi 1 kali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama. Semua maserat dikumpulkan dan diuapkan dengan radas penguap berputar hingga diperoleh ekstrak kering (Lampiran 2).

Ekstraksi etanol (BPOM 2004)

Serbuk kelopak rosela dan herba ciplukan diekstraksi dengan nisbah sampel pelarut etanol 95% 1:10 menggunakan metode maserasi selama 6 jam sambil sekali-sekali diaduk, kemudian didiamkan sampai 24 jam. Maserat dipisahkan dan proses diulangi 1 kali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama. Semua maserat dikumpulkan dan diuapkan dengan radas penguap berputar hingga diperoleh ekstrak kental (Lampiran 2). Penentuan rendemen ekstrak (Ramdani 2004)

Ekstrak sampel yang telah dipekatkan dengan radas penguap berputar ditambahkan

Dokumen terkait