Padi
Padi merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia. Tanaman padi berakar serabut, daun berbentuk lanset (sempit memanjang), urat daun sejajar, memiliki pelepah daun, bunga tersusun sebagai bunga majemuk, buah dan biji sulit dibedakan karena merupakan bulir (grain) (Hattori & Siwi 1986). Smith & Dilday (2002) menyatakan bahwa Oryza sativa terbagi menjadi tiga subspesies yaitu japonica, indica, dan javanica. Padi indica ditanam dan dikonsumsi secara luas di Indonesia. Padi subspesies indica umumnya memiliki masa dormansi beberapa minggu. Sifat ini cocok untuk daerah basah tropik karena suhu dan kelembaban sangat sesuai untuk perkecambahan (Yoshida 1981). Perbedaan morfologi antara padi subspesies indica, japonica, dan javanica dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Perbedaan morfologi padi indica, japonica, dan javanica
Karakteristik Indica Japonica Javanica
Daun Lebar hingga
sempit
Sempit Lebar dan kaku
Warna daun Hijau muda Hijau tua Hijau muda
Butir padi Panjang hingga pendek, ramping dan sedikit rata
Pendek dan membulat
Panjang, lebar dan tebal
Bentuk lemma dan palea
Tipis dan rambut pendek
Tebal dan rambut panjang
Rambut yang panjang
Jaringan Lunak Keras Keras
Kadar amilum 23–31% 10–20% 20–25%
Sumber: Smith & Dilday (2002)
Morfologi suatu tanaman sangat berpengaruh terhadap produktivitasnya. Pemahaman mengenai bentuk dan fungsi dari organ-organ tanaman padi diperlukan untuk merancang tipe tanaman padi ideal. Organ-organ tanaman padi terdiri atas: a) gabah terdiri atas biji yang terbungkus oleh sekam, b) akar yang berfungsi sebagai penguat/penunjang tanaman untuk dapat tumbuh tegak, menyerap hara dan air dari dalam tanah, c) daun dan tajuk, d) batang yang
6
berfungsi sebagai penopang tanaman, penyalur senyawa-senyawa kimia dan air dalam tanaman, serta e) bunga padi (malai).
Padi dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah, dalam keadaan tergenang atau di lahan kering yang kelembabannya sesuai dengan kapasitas lapang. Suhu optimum untuk pertumbuhan padi ialah sekitar 27 oC. Padi adalah tanaman hari pendek (short day plant) dengan periodisitas cahaya optimal untuk pembungaan 10 jam. Penyinaran yang lama dapat memperlambat atau menghambat pembungaan. Periodisitas kritis berkisar antara 12-24 jam tergantung pada kultivar (Setiamihardja & Herawati 2000).
Tanaman padi subspesies japonica varietas Nipponbare sering digunakan sebagai model penelitian bagi tanaman monokotil. Beberapa alasan yang mendukung penggunaan tanaman tersebut antara lain ukuran genomnya relatif kecil (430 Mbp), mudah ditransformasi dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi (Kolesnik et al. 2004). Genom padi diperkirakan mengandung 32 000 – 55 000 gen baik pada padi japonica (Nipponbare) maupun indica (Remelia 2008). Informasi tersebut dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya yaitu identifikasi fungsi gen-gen padi (Greco et al. 2003).
Perkembangan Transformasi Genetik pada Padi
Padi merupakan makanan pokok bagi hampir setengah dari penduduk dunia dan telah banyak digunakan sebagai sistem model tanaman untuk tanaman monokotil. Secara garis besar terdapat dua teknik transfer gen yang telah berhasil diterapkan, yaitu transfer gen secara langsung dan tidak langsung. Transfer gen secara langsung misalnya dengan senyawa kimia polyethylene glycol (PEG), atau penembakan DNA. Transfer gen secara tidak langsung menggunakan bantuan bakteri tanah A. tumefaciens (Slamet-Loedin 1994). Secara alami A. tumefaciens
hanya menginfeksi tanaman dikotil sehingga keberhasilan transformasi dengan A. tumefaciens pada awalnya hanya terbatas pada tanaman dikotil.
Keberhasilan transformasi genetik pada tanaman padi (monokotil) menggunakan Agrobacterium pertama kali dilaporkan oleh Hiei et al.(1994). Keberhasilan transformasi yang dilakukan oleh Hiei et al. (1994) menggunakan vektor super biner pTOK233 yang disisipkan ke dalam A. tumefaciens virulen
7
biasa LBA 4404, dan vektor biner p1G121Hm yang disisipkan ke dalam A. tumefaciens super virulen EHA101. Keberhasilan tersebut didukung dengan penggunaan kalus embriogenik, penambahan senyawa asetosiringon dan kondisi pH yang rendah untuk mengaktifkan gen-gen vir dari A. tumefaciens.
Penambahan asetosiringon dapat membantu keberhasilan transformasi menggunakan vektor Agrobacterium tumefaciens pada tanaman monokotil seperti tanaman padi. Senyawa ini diketahui berhasil menginduksi terekspresinya gen-gen
vir pada plasmid Ti (Hiei et al. 1994; Saharan et al. 2004; Rahmawati 2006). Penambahan asetosiringon dapat meningkatkan keberhasilan efisiensi transformasi tanaman monokotil seperti pada tanaman tebu (Fitranty et al. 2003; Wulandari 2005), tanaman jagung (Utomo 2005), dan tanaman Anggrek (Pambudi 2009). Penambahan asetosiringon sangat penting untuk transformasi tanaman padi karena tanaman padi yang termasuk monokotil yang tidak menghasilkan senyawa asetosiringon. Konsentrasi senyawa asetosiringon yang optimum dan umum digunakan untuk transformasi genetik pada tanaman monokotil menggunakan
Agrobacterium adalah 100 µM (Fitranty et al. 2003).
Terdapat dua kelompok besar tanaman padi budidaya yaitu subspesies indica dan japonica. Padi indica ditanam dan dikonsumsi secara luas di dunia termasuk di Indonesia. Oleh karena itu transfer gen pada tanaman padi tidak hanya terbatas pada kelompok japonica tetapi juga untuk padi varietas elit kelompok indica. Informasi keberhasilan transformasi genetik pada padi indica masih terbatas. Padi indica sulit ditransformasi karena umumnya sensitif terhadap kultur jaringan dan kurang responsif jika ditransformasi (Maftuchah 2003; Lin & Zhang 2005; Purnamaningsih 2006; Mulyaningsih et al. 2010).
Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan efisiensi transformasi padi indica antara lain dengan pemilihan jaringan sebagai material awal yang digunakan. Ketepatan pemilihan jaringan/eksplan dan waktu transformasi dapat mempengaruhi waktu yang diperlukan untuk mendapatkan tanaman transgenik (Hiei & Komari 2006; Toki et al. 2006). Eksplan tersebut dapat berupa skutelum benih yang membentuk kalus embriogenik (Rames et al. 2009), skutelum benih secara in planta (Supartana et al. 2005), benih (Toki et al. 2006) dan embrio zigotik muda (Hiei & Komari 2006). Eskplan berupa embrio zigotik muda
8
merupakan kumpulan sel meristem yang aktif membelah. Oleh karena itu, metode transformasi menggunakan eksplan embrio zigotik muda merupakan teknik transformasi yang baik untuk padi c(Mulyaningsih 2011). Transformasi secara in
planta menggunakan eksplan berupa skutelum benih yang dilakukan oleh Supartana et al. (2005) dapat menghasilkan tanaman transgenik dalam waktu yang singkat.
Saat ini berbagai kultivar tanaman padi telah berhasil ditransformasi menggunakan Agrobacterium. Ashikari et al. (2005) mengintroduksikan gen yang meregulasi sitokinin oksidase ke dalam padi indica varietas Habataki dan ke dalam padi japonica varietas Koshihikari. Supartana et al. (2005) melakukan transformasi secara in planta menggunakan Agrobacterium tumefaciens strain LBA-4404 pada padi Koshihikari. Mulyaningsih et al. (2010) berhasil mengintroduksikan gen regulator HD-Zip pada padi indica kultivar Batutegi dan Kasalath. Gen HD-Zip merupakan salah satu faktor transkripsi yang terkait dengan adaptasi perkembangan tanaman terhadap cekaman kekeringan. Gen isopentenyltransferase (ipt) berhasil diintroduksikan ke dalam genom padi kultivar Nipponbare (Wagiran et al. 2010). Isopentenyltransferase berperan sebagai katalisator dalam jalur biosintesis sitokinin tanaman padi, sehingga memberikan pengaruh terhadap tinggi tanaman, panjang malai, jumlah biji per malai pada tanaman padi (Wagiran et al. 2010).
Gen DEP1
Peningkatan produksi tidak hanya dipengaruhi oleh tinggi tanaman dan waktu pembungaan. Arsitektur malai padi juga memegang peranan penting dalam peningkatan produksi, yaitu berpengaruh terhadap fotosintesis. Padi dengan malai tegak memberikan aerasi CO2 yang baik dan meningkatkan penerimaan cahaya
yang menyebabkan fotosintesis dapat berjalan lebih efektif sehingga pengisian bulir maksimal (Guo & Hong 2010; Piao et al. 2009).
Penelitian mengenai gen-gen yang berpengaruh terhadap peningkatan produksi padi melalui perbaikan arsitektur malai sudah banyak dilakukan.
9
Perbaikan arsitektur malai tersebut meliputi panjang malai, jumlah cabang primer per malai, ukuran bulir, rasio set biji, kepadatan malai, dan ketegakan malai.
Huang et al. (2009) berhasil mengklon gen DEP1 yang terdapat dalam lokus DEP1. Lokus DEP1 merupakan lokus yang bertanggungjawab terhadap tiga karakter tanaman padi, yaitu kepadatan malai, jumlah bulir per panikula, dan ketegakan panikula.
Penelitian terkait karakter malai yang tegak pada tanaman padi telah dilakukan, namun hasil yang diperoleh masih terbatas. Gen dominan dan resesif diketahui berpengaruh terhadap karakter malai padi yang tegak. Alel dominan yang terdapat pada lokus DEP1 merupakan mutasi gain-of-function yang menyebabkan pemotongan phosphatidylethanolamine-binding protein-like domain protein, suatu protein pengontrol pergantian morfologis antara pertumbuhan tunas dan struktur bunga pada tanaman. Efek alel tersebut menyebabkan reduksi panjang internodus inflorensia, dan peningkatan jumlah bulir per malai sehingga terjadi peningkatan hasil bulir padi. Dengan demikian DEP1 (Dense and Erect Panicle 1) bertanggung jawab terhadap tiga bentuk ekspresi yaitu densitas panikula, jumlah bulir per panikula yang tinggi dan panikula yang tegak (Huang et al. 2009).
Selain gen DEP1, gen yang diidentifikasi terkait dengan peningkatan jumlah bulir per malai dan sifat panikula yang tegak pada tanaman padi adalah gen Gn1a dan EP2. Ashikari et al. (2005) melaporkan bahwa gen Gn1a
merupakan gen yang mengaktifkan enzim cytokine oxidase yang berperan dalam mendegradasi fitohormon sitokinin sehingga merangsang pembentukan organ reproduksi (malai). Jumlah bulir pada tanaman padi transforman Gn1a mencapai 21% lebih banyak daripada jumlah bulir pada tanaman padi kontrol (nontransgenik).
Gen EP2 terletak pada kromosom padi nomor 7 dan diekspresikan pada berkas pembuluh. Mutasi loss-of-function gen tersebut menyebabkan fenotip malai tegak pada tanaman padi. Lokus EP2 merupakan lokus yang berperan dalam mengkode protein EP2 yang terletak di retikulum endoplasma, namun fungsi biokimiawinya belum diketahui (Zhu et al. 2009).
11