• Tidak ada hasil yang ditemukan

Genus Padi (Oryza) termasuk dalam suku Oryzae dari famili Poaceae. Sekitar 20 spesies utama tersebar pada lembah tropis Afrika, Asia Selatan dan Asia Tenggara, Cina Selatan, Amerika Tengah dan Amerika Selatan serta Australia (Chang, 1976). Padi yang banyak ditanam adalah spesies Oryza sativa. Spesies

Oryza glaberrima, juga banyak ditanam di beberapa negara Afrika Barat, yang

secara berangsur digantikan oleh Oryza sativa. Jenis padi (Oryza sativa) secara umum dikelompokan berdasarkan morfologi menjadi 3 tipe yaitu, indica, japonica (sinonim sinica), dan javanica (Katayama, 1993). Padi indica adalah jenis padi indigenous dari wilayah lembah Asia tropis dan subtropis. Padi japonica terdapat secara terbatas di zona iklim sedang dan subtropis. Padi japonica banyak ditanam di China, sehingga padi japonica dikenal juga sebagai padi sinica atau keng (Chang, 1976). Padi javanica sebagian besar tumbuh di Indonesia (De Datta, 1981), saat ini lebih dikenal sebagai tropical japonica.

Balai Penelitian Tanaman Padi (Balitpa) telah mengembangkan teknologi perakitan varietas unggul padi berpotensi hasil tinggi melalui perakitan padi tipe baru (PTB) dan padi hibrida. Teknologi budidayanya dikembangkan antara lain melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) terutama pada 1ahan sawah irigasi. Padi tipe baru (PTB) memiliki sifat penting, antara lain: 1) jumlah anakan sedikit (7-12 batang) dan semuanya produktif, 2) malai lebih panjang dan 1ebat (>300 butir/malai), 3) batang besar dan kokoh, 4) daun tegak, tebal, dan hijau tua, 5) perakaran panjang dan lebat. Potensi hasil PTB 10-25% tebih tinggi dibandingkan dengan varietas unggul yang ada saat ini. Kalau IR64 dan varietas unggul lainnya dihasilkan melalui persilangan antar padi jenis indica (padi cere), PTB dihasilkan melalui persilangan antara padi jenis indica dengan japonica. Padi hibrida juga berpotensi dikembangkan untuk dapat mengatasi kemandekan produktivitas padi saat ini. Padi hibrida dihasilkan melalui pemanfaatan fenomena

heterosis turunan pertama (F1) dari hasil persilangan antara dua induk yang berbeda. Fenomena heterosis tersebut menyebabkan tanaman F1 lebih vigor, tumbuh lebih cepat, anakan lebih banyak, dan malai lebih lebat sekitar 1 t/ha lebih tinggi daripada varietas unggul biasa (inbrida). Namun keunggulan tersebut, tidak diperoleh pada populasi generasi kedua (F2) dan berikutnya. Oleh karena itu produksi benih F1 dalam pengembangan padi hibrida memegang peran penting dan strategis. Ditinjau dari aspek genetik, PTB dan padi hibrida memiliki potensi hasil yang lebih tinggi, tetapi sistem dan teknologi produksinya berbeda dengan varietas unggul biasa ( Las et al., 2003).

Teknik budidaya padi telah dikenal oleh manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Berdasarkan teknik budidayanya padi dibagi menjadi 4 macam yaitu: 1) Budidaya padi sawah, diduga dimulai dari daerah lembah Sungai Yangtse di Tiongkok, 2) Budidaya padi lahan kering, dikenal manusia lebih dahulu daripada budidaya padi sawah 3) Budidaya padi lahan rawa, dilakukan di beberapa tempat di Pulau Kalimantan 4) Budidaya gogo rancah atau disingkat gora, yang merupakan modifikasi dari budidaya lahan kering. Sistem ini sukses diterapkan di Pulau Lombok, yang hanya memiliki musim hujan singkat. Setiap sistem budidaya memerlukan kultivar yang adaptif untuk masing-masing sistem (Plantus, 2003).

Penggunaan Air pada Tanaman Padi

Air sangat diperlukan untuk kehidupan tanaman. Kebutuhan air tanaman dipengaruhi oleh spesies termasuk didalamnya perbedaan struktur tanaman dan perbedaan periode pertumbuhan (De Datta, 1981). Tanaman dapat merasakan air yang tersedia di sekitar akar lalu merespon dengan mengirim hidrolik dan/atau sinyal kimia ke pucuk untuk mendapatkan beberapa respon adaptif, mencakup penutupan stomata, berkurangnya luas daun, dan pertukaran gas ( Serraj et al.,

2008). De Datta (1981) menyatakan suplai air yang cukup merupakan salah satu faktor penting dalam produksi padi. εenurut Budi dan Kartaatmadja (2002), air

bagi pertanian pangan, khususnya padi, tidak hanya menentukan produktivitas tanaman, tetapi juga mempengaruhi intensitas pertanaman (IP) dan luas tanam potensial. Siregar (1981) mengemukakan bahwa kebutuhan air tanaman padi ditetapkan oleh berbagai macam faktor, seperti: jenis tanah, iklim (basah atau kering), umur tanaman, dan sebagainya. Selain jenis tanah, kebutuhan air tanaman padi juga dipengaruhi oleh jenis padi. Varietas padi berumur genjah membutuhkan air lebih sedikit dari padi berumur dalam. Kesuburan tanah juga turut mempengaruhi kebutuhan air, padi yang ditanam di lahan yang kurang subur membutuhkan air yang lebih sedikit dibandingkan padi yang ditanam pada lahan yang lebih subur.

Adaptasi Padi terhadap Cekaman Kekeringan

Padi termasuk tumbuhan C3, pada tumbuhan C3 kekringan mengakibatkan laju fotorespirasi meningkat dan laju fotosintesis menurun sehingga metode adaptasinya adalah dengan menutup stomata. Cekaman kekeringan akan menyebabkan rendahnya laju penyerapan air oleh akar tanaman (Borges, 2003). Cekaman kekeringan juga berpengaruh terhadap penurunan turgor yang berdampak pada penurunan perkembangan dan perbesaran ukuran sel, selain itu adanya peningkatan akumulasi senyawa metabolik osmotik seperti prolin (Syaidah, 2009). Padi yang relatif tahan terhadap kekeringan adalah padi gogo, namun padi secara keseluruhan sebagai tumbuhan C3 masih kurang efisien dalam pemanfaatan air dibanding tumbuhan C4 (δong, 1999). Cekaman kekeringan selain menghambat laju fotosintesis juga menekan akumulasi N dalam tumbuhan (Arifai, 2009). εenurut Rauf et al. (2000) unsur N adalah unsur yang paling terlihat pengaruhnya pada tanaman padi, peranannya adalah: 1) merangsang pertumbuhan vegetatif, 2) meningkatkan jumlah anakan, 3) meningkatkan jumlah bulir atau rumpun. Kekurangan unsur N akibat kekeringan dapat menyebabkan pertumbuhan kerdil, daun tampak kekuning-kuningan dan sistem perakaran terbatas. Daun merupakan peubah yang mudah diamati untuk melihat respon

terhadap kekeringan didasarkan atas fungsinya sebagai penerima cahaya dan tempat berlangsungnya fotosintesis (Filho dan Paiva, 2006). Respon terhadap kekeringan dapat dilihat dari daun yang menguning dan menggulung.

Pengaruh kekeringan pada padi sawah menyebabkan puso dan penurunan produktivitas. Penurunan produktivitas tersebut dikarenakan pada siklus pengisian gabah padi tidak menerima pasokan air yang cukup, padi dapat dipanen tetapi produksi dan mutu gabah menurun (BPS, 2011). Kekurangan air (kekeringan) selama tahap vegetatif dan reproduktif dapat menekan pertumbuhan tanaman (De Datta et al., 1975). εenurut De Datta (1981), kekeringan akan menyebabkan penurunan hasil panen sebesar 20-25%. Sukiman et al. (2010) menyatakan pengaruh kekeringan pada masa vegetatif tidak selalu terlihat langsung namun mempengaruhi pertumbuhan generatifnya. εenurut O’toole dan Chang (1979) jika kekeringan terjadi saat proses inisiasi malai maka akan menurunkan pembungaan, dan jika terjadi saat gametogenesis maka akan meningkatkan jumlah gabah hampa serta jika terjadi saat stadia pengisian gabah maka akan menurunkan bobot 1,000 butir. Ditambahkan dalam Sukiman et al. (2010) kekeringan pada tahap primordia dan pembungaan meningkatkan jumlah gabah hampa per malai, bobot gabah hampa per malai dan persentase gabah hampa. Sutaryo et al. (2005) menyatakan jumlah gabah isi per malai berpengaruh secara langsung terhadap hasil gabah.

Pengisian Gabah

Pengisian gabah merupakan salah satu tahap reproduktif dari tanaman padi. Tahap reproduktif dimulai setelah padi mencapai tahap anakan maksimum, yang berbeda berdasarkan varietas dan lingkungan. Tahap reproduktif ditandai dengan inisiasi malai primordia pada batang (De Datta, 1981).

Inisiasi malai dimulai ketika primordia malai berdiferensiasi sehingga mulai nampak. Pada varietas genjah (umur panen 105 hari setelah tanam (HST)) primordia malai berdiferensiasi sekitar 40 HST dan terlihat 11 hari setelahnya.

Inisiasi malai terjadi pertama kali pada batang utama kemudian diikuti oleh anakan dengan pola yang acak. Pada varietas padi umur panjang (panen 135-160 HST), dasar tangkai mengalami pemanjangan sebelum inisiasi malai. Pada kondisi keterbatasan air, inisiasi malai mungkin mengalami penundaan. Ini juga terjadi pada padi sistem tebar langsung pada lahan tanpa pelumpuran (De Datta, 1981).

Saat malai terus berkembang, bulir mulai terlihat dan dapat dibedakan. εalai muda meningkat dalam ukuran dan berkembang ke atas di dalam pelepah daun bendera menyebabkan pelepah daun menggembung. Pengembangan daun ini disebut bunting. Bunting terjadi pertama kali pada ruas batang utama. Pada tahap bunting ujung daun layu dan anakan non-produktif terlihat pada bagian dasar tanaman.

Tahap selanjutnya adalah heading, dikenal juga tahap keluarnya malai atau bunga. Tahap ini ditandai dengan munculnya ujung malai dari pelepah daun bendera. εalai terus berkembang sampai keluar seutuhnya dari pelepah daun. Pembungaan (anthesis) terjadi segera setelah heading. Oleh sebab itu heading

diartikan sama dengan antesis ditinjau dari hari kalender. Dalam suatu rumpun atau suatu komunitas tanaman, tahap ini memerlukan waktu 10-14 hari karena terdapat laju perkembangan antar tanaman atau antar anakan. Apabila 50% bunga telah keluar maka pertanaman tersebut dianggap sudah dalam tahap pembungaan.

Anthesis dimulai ketika benang sari bunga yang paling ujung pada tiap

cabang malai telah keluar dari bulir dan terjadi proses pembuahan. Pembungaan belangsung pada pukul 08.00-13.00 dan pembuahan selesai 5-6 jam setelahnya. Antesis terjadi 25 hari setelah bunting (Yoshida, 1981).

Tahap berikutnya adalah gabah matang susu, pada tahap ini gabah mulai terisi cairan kental berwarna putih susu. Apabila ditekan maka cairan itu akan keluar. εalai berwarana hijau dan mulai merunduk. Pelayuan pada dasar anakan berlanjut, daun yang tetap hijau adalah daun bendera dan dua daun dibawahnya. Gabah setengah matang (dough grain stage), pada tahap ini isi gabah berubah menjadi gumpalan lunak yang selanjutnya mengeras. Gabah pada ujung malai

mulai menguning. Pertanaman terlihat menguning, seiring menguningnya malai ujung dua daun terakhir pada setiap anakan mulai mengering. Tahap terakhir yaitu gabah matang penuh. Setiap gabah matang berkembang penuh, keras, dan berwarna kuning. Tahap pematangan selesai setelah 90-100% bulir isi menjadi kuning. Daun bagian atas mengering dengan cepat. Pada varietas tertentu daun bagian atas tetap hijau (De Datta, 1981).

Di daerah tropis tahap pematangan (dari pembungaan sampai matang) membutuhkan waktu 25-35 hari tergantung varietas. Di negara-negara dengan iklim sedang, seperti Jepang, Australia bagian selatan, dan Amerika Serikat, pematangan membutuhkan waktu 45-60 hari (De Datta, 1981).

Kapasitas limbung (sink size) dalam hal ini ukuran gabah, biasanya ditentukan sebelum tahap pembungaan, seperti jumlah malai per rumpun dan jumlah gabah per malai. Jumlah gabah isi dan bobot 1,000 butir ditentukan selama tahap pematangan atau setelah pembungaan (Yoshida dan Parao, 1976). Jumlah gabah isi ditentukan oleh kondisi suhu selama pematangan. Cuaca yang tidak optimal selama tahap reduksi pembelahan dan antesis serta kerapatan tanaman yang tinggi menentukan jumlah gabah isi per malai. Jumlah malai dan gabah isi menentukan bobot 1,000 butir. Tingginya suhu harian selama tahap pematangan menurunkan bobot 1,000 butir dan efisiensi pengisian gabah (Oldeman et al.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan Sawah Baru University farm

IPB, Dramaga, Bogor (Gambar 1). Penanaman dilakukan pada lahan dibawah konstruksi atap polyethylene, dilaksanakan dari Oktober 2011 sampai dengan Juni 2012.

Gambar 1. Rumah Plastik Bahan dan Alat

Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih padi varietas Ciherang, IR-64, Way Apo Buru, Silugonggo, εenthik Wangi, Jatiluhur, Rokan dan IPB 3S. Pupuk yang digunakan yaitu Urea, SP18 dan KCl. Pestisida digunakan jika dibutuhkan. Alat-alat yang digunakan : Alat-alat pertanian, roll meter, penggaris timbangan analitik, oven, trai semai dan alat tulis kantor.

Metode Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Petak Terbagi (split plot) dengan dua faktor perlakuan yaitu periode kekeringan sebagai petak utama yang terdiri atas 4 taraf : dikeringkan saat 3 minggu setelah tranplanting (εST) (K3); dikeringkan saat 6 εST (K6); dikeringkan saat 9 εST (K9) dan kontrol (K0) (tanpa dikeringkan). Varietas sebagai anak petak yang terdiri dari IR-64, Ciherang, IPB 3S, Way ApoBuru, Jatiluhur, εenthik Wangi, Silugonggo

dan Rokan. Kombinasi 2 faktor perlakuan menghasilkan 32 kombinasi perlakuan yang diulang 3 kali sehingga terdapat 96 unit percobaan.

εodel linier Rancangan Petak terbagi (split plot):

Yijk = µ + Kk + αi + ik + βj+(αβ)ij + ijk

Keterangan :

Yijk : Nilai pengamatan perlakuan periode kekeringan ke-i, dan varietas ke-j dan blok ke-k

µ : Rataan umum

Kk : Pengaruh pengelompokan

αi : Pengaruh petak utama (kekeringan)

βj : Pengaruh anak petak (varietas)

ik : Komponen galat dari petak utama (Periode kekeringan)

(αβ)ij : Pengaruh interaksi antara petak utama (periode kekeringan) dan anak

petak (varietas)

ijk : Pengaruh galat dari interkasi antara petak utama (kekeringan) dan anak

petak (varietas)

Seluruh data percobaan dianalisis menggunakan analisis ragam pada taraf uji α = 5%. Apabila berpengaruh nyata, dilakukan analisis lanjut menggunakan uji Duncan’s εultiple Range Test (DεRT).

Pelaksanaan

Penelitian dilaksanakan di rumah plastik yang memiliki ukuran 20 x 15 m. Di dalam rumah plastik terdapat bak tanam dengan ukuran 4 m x 3 m sebanyak 16 bak dengan kedalaman lapisan olah kurang lebih 30 cm. Jarak petak antar perlakuan petak utama 35 cm dan jarak petak antar ulangan 35 cm. Sebelum dilakukan penanaman, terlebih dahulu dilakukan penggenangan selama 5 hari dan pengolahan tanah dilakukan 2 kali. Pada tiap petak percobaan ditanami 8 varietas, tiap varietas terdiri dari 30 tanaman dalam 2 barisan tanaman dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm, dan jarak tanam antar varietas 25 cm. Pada kedua sisi petak

ditanam tanaman pinggir. Jumlah populasi per petak adalah 260 tanaman. Untuk pemeliharaan tanaman dilakukan pemupukan dalam 3 tahap menggunakan pupuk dasar 37.5 kg N/ha, 36 kg P2O5/ha, dan 60 kg K2O/ha diberikan 1 εST

dan untuk pemupukan kedua dan ketiga diberikan 37.5 kg N/ha pada 5 εST dan 9 εST. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan sesuai kebutuhan di lapangan. Pemberian air dilakuan sesuai periode kekeringan tiap perlakuan. Untuk perlakuan K3 pemberian air dihentikan saat tanaman berumur 3 εST sampai panen, perlakuan K6 ketika tanaman berumur 6 εST sampai panen, perlakuan K9 ketika tanaman berumur 9 εST sampai panen dan perlakuan tanpa kekeringan (kontrol) pemberian air terus dilakukan hingga panen. Pada penggenangan awal tinggi muka air dipertahankan 2.5 cm dari permukaan tanah. Panen dilakukan serentak pada 13 εST, karena terserang hama.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan pada 3 tanaman contoh dalam satu unit percobaan. Peubah yang diamati dalam penelitian adalah : 1) Jumlah gabah isi dan hampa per rumpun pada malai, pangkal malai, ujung malai, cabang primer dan cabang sekunder, 2) Bobot gabah per rumpun pada malai, pangkal malai, ujung malai, cabang primer dan cabang sekunder, 3) Bobot 1,000 butir gabah. Berdasarkan IRRI (1996) karakter pengisian gabah dilakukan pada stadia 9 (saat mencapai kriteria panen). Identifikasi gabah isi dilakukan terhadap gabah dengan menekan bulir dengan jari.

Pengamatan yang dilakukan adalah mengamati pola pengisian gabah dengan cara menghitung jumlah dan bobot gabah isi dan hampa per rumpun tanaman contoh, yang dimaksud gabah hampa adalah gabah yang tidak terisi sama sekali. Perhitungan gabah dilakukan dengan cara memisahkan malai bagian ujung dengan bagian pangkal kemudian memisahkannya lagi menjadi cabang primer dan cabang sekunder.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Percobaan ini dilaksanakan pada lahan di bawah naungan atap polyethylen

(rumah plastik). Hal tersebut dimaksudkan untuk meminimalkan faktor luar seperti hujan yang dapat mempengaruhi hasil percobaan. Suhu maksimum di dalam rumah plastik mencapai 35o – 38o C.

Hama banyak menyerang pada saat 10 εST diantaranya walang sangit

(Leptocorisa oratorius) yang menghisap bulir padi saat masak susu. Hama wereng

coklat (Nilaparvata lugens) menyerang pada saat padi siap panen, tanaman yang terkena hama menjadi coklat dan kering. Tanaman juga ada yang menjadi busuk pada bagian pangkal dan kemudian layu (Gambar 2). Varietas hibrida Rokan yang berumur lebih dalam dibandingkan varietas lain mengalami kerusakan yang lebih parah dibandingkan dengan varietas dengan umur genjah seperti Silugonggo. Karena adanya hama tersebut tanaman padi dipanen lebih awal secara serentak.

Gambar 2. Serangan wereng pada tanaman padi : a. Wereng menyerang pangkal batang, b. Tanaman menjadi coklat dan kering, c. Tanaman busuk pangkal dan layu

Jumlah Gabah per Rumpun

Jumlah gabah total, gabah isi dan gabah hampa per rumpun pada semua posisi gabah dalam malai berdasarkan uji F pada taraf uji α = 5% dipengaruhi sangat nyata oleh perlakuan periode cekaman kekeringan, kecuali jumlah gabah hampa pada cabang primer yang tidak menunjukkan pengaruh t nyata. Jumlah gabah hampa per rumpun terlihat dipengaruhi oleh varietas serta terdapat interaksi antara varietas dengan periode cekaman kekeringan (Tabel 1).

Tabel 1. Rekapitulasi sidik ragam jumlah gabah per rumpun pada berbagai posisi terhadap perlakuan cekaman kekeringan dan varietas serta interaksi keduanya Perlakuan K V K.V εalai Total ** ** tn Isi ** tn tn Hampa ** ** *

Pangkal εalai Total ** tn tn

Isi ** tn tn

Hampa ** ** **

Ujung εalai Total ** ** tn

Isi ** * tn

Hampa ** ** *

Cabang Primer Total ** tn tn

Isi ** tn tn

Hampa tn ** *

Cabang sekunder Total ** ** tn

Isi ** * tn

Hampa ** ** **

Keterangan : * = berpengaruh nyata pada taraf uji α

=

5%, ** = berpengaruh sangat nyata pada taraf uji α = 5%, tn = tidak berpengaruh nyata. K: cekaman kekeringan, V: varietas.

Jumlah gabah total per tanaman pada malai, pangkal malai, ujung malai, cabang primer, dan cabang sekunder tertinggi pada K0 dan K9. Pada K3 bobot rata-rata baik gabah total, isi, dan hampa adalah terendah pada berbagai posisi gabah (Tabel 2). εenurut O’toole dan Chang (1979) jika kekeringan terjadi saat

proses inisiasi malai maka akan menurunkan pembungaan, dan jika terjadi saat gametogenesis maka akan meningkatkan jumlah gabah hampa. Pengaruh kekeringan pada masa vegetatif tidak selalu terlihat langsung namun mempengaruhi pertumbuhan generatifnya (Sukiman et al., 2010).

Tabel 2. Pengaruh perlakuan periode cekaman kekeringan terhadap jumlah gabah per rumpun

Posisi gabah K3 PerlakuanK6 K9 K0

...butir/rumpun...

εalai Total 366.09 b 424.61 b 624.69 a 743.75 a

Isi 243.59 c 254.48 c 422.87 b 564.70 a

Hampa 122.50 b 170.12 a 201.82 a 179. 05 a Pangkal malai Total 169.92 b 185.94 b 283.33 a 335.95 a

Isi 104.10 c 99.74 c 172.65 b 230.85 a

Hampa 65.82 b 86.20 ab 110.57 a 105.10 a Ujung malai Total 195.79 b 233.11 b 341.67 a 407.42 a

Isi 139.11 c 155.68 c 250.53 b 333.47 a

Hampa 56.686 b 77.44 a 91.14 a 73.95 ab

Cabang primer Total 219.18 b 235.93 b 309.59 a 349.10 a

Isi 151.47 b 156.47 b 237.01 a 288.50 a

Hampa 67.71 tn 79.46 tn 72.59 tn 60.59 tn Cabang sekunder Total 146.91 c 182.19 c 315.10 b 394.25 a

Isi 92.11 c 98.01 c 185.86 b 276.20 a

Hampa 54.70 c 84.18 b 129.23 a 118.46 a

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata

pada DεRT taraf α = 5%, tn = tidak berpengaruh nyata.

Berdasarkan posisi gabah di malai, jumlah gabah total, gabah isi dan gabah hampa pada pangkal malai lebih sedikit dibandingkan jumlah gabah total gabah isi dan gabah hampa pada ujung malai. Semua perlakuan periode cekaman kekeringan menunjukkan hasil yang sama, pengisian gabah pada ujung malai lebih banyak dibandingkan dengan pangkal malai. Jumlah gabah total pada cabang sekunder menunjukkan jumlah yang lebih sedikit dibandingkan jumlah gabah total pada cabang primer. Hal itu terlihat pada perlakuan K3 dan K6,

sedangkan pada K9 dan K0 jumlah gabah total pada cabang sekunder lebih banyak dari cabang primer. Jumlah gabah isi pada cabang primer perlakuan K9 dan K0 menunjukkan jumlah yang lebih banyak dibandingkan pada cabang sekunder, hasil ini serupa dengan pelakuan K3 dan K6, dengan hasil ini dapat dilihat bahwa pengisian gabah lebih banyak terjadi pada cabang primer dibandingkan pada cabang sekunder.

εenurut Tubur (2011), terdapat perbedaan respon 8 varietas terhadap kekeringan pada sistem sawah. Berdasarkan parameter jumlah anakan produktif, skor penggulungan dan skor kekeringan daun, dan indeks kekeringan untuk daya hasil, kedelapan varietas tersebut dapat dikelompokan menjadi 3 kelompok, Jatiluhur dan Way Apo Buru termasuk kelompok yang toleran; Rokan dan εenthik Wangi termasuk kelompok yang peka; IR64, Ciherang, IPB 3S dan Silugonggo termasuk pada kelompok agak toleran (εoderat).

Jumlah gabah total per rumpun terlihat dipengaruhi oleh varietas ( Tabel 3). Pengelompokan toleransi varietas terhadap kekeringan pada penelitian Tubur (2011), sepertinya tidak terlihat berpengaruh pada peubah jumlah gabah total per rumpun.

Tabel 3. Pengaruh varietas terhadap jumlah gabah total per rumpun

Varietas Jumlah total

...butir/rumpun... IR-64 467.16 c Ciherang 419.94 c IPB 3S 626.50 bc Way ApoBuru 449.57 c Jatiluhur 701.47 ab εenthik wangi 551.70 bc Silugonggo 464.52 c Rokan 839.79 a

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak

Hal tersebut dapat dilihat dari varietas Rokan yang merupakan varietas yang peka tehadap cekaman kekeringan justru memiliki jumlah gabah per rumpun yang paling tinggi, lebih tinggi dibandingkan Jatiluhur dan Way Apo Buru. IPB 3S yang merupakan varietas moderat dan εenthik Wangi yang merupakan varietas peka juga terlihat memiliki jumlah gabah yang lebih tinggi dibandingkan Way Apo Buru yang merupakan varietas toleran.

Jumlah gabah hampa pada semua posisi malai terlihat dipengaruhi oleh varietas (Tabel 4). Varietas Rokan memiliki jumlah gabah hampa tertinggi pada semua posisi dalam malai dan IR64 memiliki jumlah gabah hampa yang paling rendah. Pada varietas yang toleran seperti Jatiluhur juga terlihat jumlah gabah hampa yang tinggi. Varietas moderat seperti IPB 3S memiliki jumlah gabah hampa yang lebih tinggi dibandingkan varietas yang peka terhadap kekeringan seperti εenthik Wangi meskipun tidak berbeda secara statistik.

Tabel 4. Pengaruh varietas dan posisi gabah pada malai terhadap jumlah gabah hampa per rumpun

Varietas εalai Pangkal Posisi gabah hampaUjung Cabang primer Cabang Sekunder ...butir/rumpun... IR-64 116.93 c 60.76 c 56.17 b 60.89 b 56.03 d Ciherang 142.57 c 75.50 c 67.07 b 67.98 bc 74.59 cd IPB 3S 168.90 c 88.69 c 80.21 a 60.51 bc 108.39 ab Way ApoBuru 132.75 c 79.86 c 52.89 b 57.43 bc 75.33 cd Jatiluhur 252.58 b 130.16 b 122.42 a 89.57 b 163.01 a εenthik wangi 141.79 c 73.40 c 68.39 b 56.18 bc 85.61 bc Silugonggo 124.82 c 75.97 c 48.85 b 52.24 c 72.58 cd Rokan 373.73 a 216.76 a 133.19 a 154.08 a 195.87 a

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata

pada DεRT taraf α = 5%

Dari Tabel 3 dan Tabel 4, terlihat kehampaan gabah berbanding lurus dengan jumlah total gabah per rumpun. Sesuai dengan Abdullah (2009) yang menyatakan jumlah gabah per malai yang tinggi juga menyebabkan tingginya

kehampaan. Varietas Rokan yang merupakan varietas hibrida yang secara genetik memiliki jumlah gabah per rumpun yang tinggi memiliki jumlah gabah hampa yang tinggi pula. Tingginya kehampaan pada juga dikarenakan varietas hibrida memerlukan kondisi yang optimum untuk pertumbuhannya sehingga tidak tahan terhadap kondisi tercekam dibandingkan varietas lainnya.

Berdasarkan posisi gabah, jumlah gabah hampa pada pangkal malai lebih banyak dibandingkan jumlah gabah hampa pada ujung malai, semua varietas menunjukkan hasil yang sama. Jumlah gabah hampa pada cabang primer terlihat lebih sedikit dibandingkan jumlah gabah hampa pada cabang sekunder, kecuali pada varietas IR64 yang jumlah gabah hampa pada cabang primernya lebih banyak dibandingkan cabang sekunder. Kehampaan lebih banyak terjadi pada pangkal malai dan cabang sekunder dibandingkan pada ujung malai dan cabang

Dokumen terkait