• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Jeruk Siam (Citrus nobilis var Microcarpa )

Jeruk Siam termasuk varietas jeruk yang mempunyai peranan penting di pasaran Indonesia karena produksinya yang paling tinggi, disukai konsumen dan nilai ekonominya menguntungkan ( Sunarmi dan Soedibyo, 1992). Menurut Wahyunindyawati et al (1991), keuntungan dalam berusahatani jeruk Siam adalah sepuluh kali lipat dari keuntungan tanaman semusim. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila luas areal pertanaman jeruk Siam di Indonesia terus meningkat. Menurut klasifikasi dalam tatanama (sistematika) jeruk, jeruk Siam termasuk dalam : Famili : Rutaceae Subfamili : Aurantioidae Tribe : Citriae Subtribe : Citrinae Genus : Citrus

Subgenus : Eucitrus, Papeda Species : Citrus nobilis

Varietas : Citrus nobilis LOUR var. Microcarpa Hassk

Jeruk Siam yang dibudidayakan secara komersial pada umumnya mempunyai tinggi pohon antara 2,5 – 3 m. Pohon jeruk Siam biasanya berasal dari cangkokan atau okulasi. Untuk pohon yang berasal dari okulasi, tingginya ditentukan oleh penggunaan batang bawahnya. Pohon jeruk Siam yang menggunakan batang bawah JC (japanese citroen) biasanya memiliki tinggi sekitar 272,5 cm, lingkar batang 16,8 cm, dan lebar tajuk sekitar 197,5/207,5 cm (dua arah). Sedangkan yang menggunakan batang bawah RL (rough lemon) biasanya memiliki tinggi sekitar 267,5 cm, lingkar batang 31,9 cm dan lebar tajuk 217,5/217,5 cm (dua arah).

Kebanyakan varietas jeruk Siam memiliki bentuk dan ukuran daun yang bisa dibedakan dari jenis jeruk lainnya. Bentuk daunnya oval dan berukuran sedikit lebih besar dari jeruk keprok garut. Ukuran daun sekitar 7,5 cm x 3,9 cm dan memiliki sayap daun kecil yang berukuran sekitar 0,8 cm x 0,2 cm. Ujung daunnya agak terbelah, sedangkan bagian pangkalnya meruncing. Urat daunnya menyebar sekitar 0,1 cm dari tepi daun. Antara batang dengan daun dihubungkan oleh tangkai daun dengan panjang sekitar 1,3 cm.

Jeruk Siam mempunyai ciri khas yaitu kulit buahnya tipis (sekitar 2 mm), permukaannya halus, licin, mengkilap dan menempel lekat pada daging buahnya. Dasar buahnya berleher pendek dengan puncak berlekuk. Tangkai buahnya pendek dengan panjang sekitar 3 cm dan berdiameter 2,6 mm. Ukuran buah jeruk siam sekitar 5,5 cm x 5,9 cm. Biji buahnya berbentuk avoid, warna putih kekuningan dengan ukuran sekitar 0,9 cm x 0,6 cm, dan jumlah biji per buahnya sekitar 20 biji. Daging buahnya lunak dengan rasa manis dan harum. Produksi buahnya cukup lebat dengan per buah sekitar 75,6 gr. Satu pohon rata-rata dapat menghasilkan sekitar 7,3 kg buah. Biasanya buah sudah dapat dipanen pada bulan Mei – Agustus ( Tim Penulis PS, 2003)

Berbagai macam jeruk Siam ditemukan di Indonesia, diantaranya yang terkenal adalah Siam Madu, Siam Pontianak, Siam Palembang, Siam Garut dan Siam Banjar. Di samping itu masih terdapat jenis jeruk Siam lainnya yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Sebenarnya macam-macam jeruk Siam ini tidak jauh berbeda satu dengan lainnya. Tim Penulis PS (2003) mengidentifikasikan perbedaan berbagai jeruk Siam dalam hal warna kulit, keharuman, dan rasa yang

sedikit berbeda. Perbedaan ini biasanya timbul karena beda daerah penanamannya. Tempat yang berbeda tentunya mempunyai karakteristik faktor alam yang berbeda pula sehingga berpengaruh terhadap karakteristik buahnya.

Peningkatan gizi masyarakat melalui konsumsi buah jeruk sangat baik karena kandungan gizi buah jeruk cukup baik terutama sebagi sumber vitamin C dan A, serta kalsium. Jeruk Siam mempunyai kandungan vitamin A paling tinggi dibandingkan jenis jeruk yang lain.

(Tabel 1)

Tabel 1. Komposisi gizi beberapa jenis buah jeruk tiap 100 gr buah jeruk

No Komposisi zat gizi Jeruk Pamelo Jeruk Siam Jeruk Manis JerukNipis

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Kalori (kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin A (SI) Vitamin B1 (mg) Vitamin C (mg) Air (%) BDD (%) 48 0.6 0.2 12.4 23 27 0.5 20 0.04 43 86.3 62 44 0.8 0.3 10.9 33 23 0.4 420 0.07 31 87.3 71 45 0.9 0.2 11.2 33 23 0.4 190 0.08 49 87.2 72 37 0.8 0.1 12.3 40 22 0.6 0 0.04 27 86 76 Keterangan : BDD = bahan dapat dimakan

Sumber : Anonim (1981)

Teknologi Pascapanen Buah Jeruk

1. Pemanenan

Pemanenan jeruk siam harus dilakukan pada fase yang tepat (waktu optimum), apalagi jeruk Siam merupakan buah yang bersifat nonklimaterik, yaitu buah yang tidak mengalami proses pematangan setelah dipanen. Jeruk Siam tidak menunjukkan gejala kenaikan respirasi yang cepat selama pematangan. Dengan demikian penentuan saat panen yang optimum harus dilakukan agar diperoleh kualitas buah yang baik. Menurut Pantastico (1993) tanda kematangan yaitu

apabila ada perubahan pada warna kulit buah. Untuk menentukan waktu panen dapat dilakukan dengan beberapa cara :

a. Secara visual, dengan melihat warna kulit dan ukuran buah, adanya sisa tangkai putik, mengeringnya tepi daun tua dan mengeringnya tubuh tanaman.

b. Secara fisik, dilihat dari mudah tidaknya buah terlepas dari tangkai dan berat jenisnya.

c. Secara analisis kimia, kandungan zat padat, zat asam, perbandingan zat padat dengan asam dan kandungan zat pati.

d. Secara perhitungan, jumlah hari setelah bunga mekar dalam hubungannya dengan tanggal berbunga dan unit panas.

e. Secara fisiologi, dengan melihat respirasi.

Tingkat kemasakan buah akan mempengaruhi lama penyimpanan pada waktu jeruk dipasarkan. Makin tua tingkat kemasakan buah dipetik, makin cepat buah matang dan busuk sehingga tidak tahan lama dalam penyimpanan, begitu juga sebaliknya. Lama penyimpanan juga mengurangi sari buah sehingga kadar vitamin C-nya berkurang (Tim Penulis PS, 2003).

Tim Penulis PS (2003), menyatakan bahwa jeruk Siam dapat dipanen pada umur 6-8 bulan setelah bunga mekar. Beberapa hasil penelitian, menyebutkan umur petik buah jeruk yang optimal antara lain jeruk manis batu masa dari bunga sampai menjadi buah masak adalah 7 – 9 bulan ( Pracaya, 2003), jenis Berkerach 240 hari, Kedu 231 hari, dan Madura 235 hari dari pembungaan, sedangkan jeruk siam/keprok garut 189 hari dari buah sebesar kelereng ( Setiadjid dan Tahir, 2004).

Menurut Tim Penulis PS (2003), ciri-ciri fisik buah jeruk siam siap panen di antaranya adalah :

- Kulit buahnya hijau-kekuningan - Buah tidak terlalu keras jika dipegang

- Bagian bawah buah agak lunak/empuk dan bila dijentik dengan jari, bunyinya tidak nyaring lagi.

Untuk mendapatkan kualitas buah yang baik, cara pemanenan jeruk siam harus dilakukan secara hati-hati. Waktu pemetikan dilakukan pada saat matahari sudah bersinar dan tidak terdapat lagi sisa embun, yaitu sekitar jam 9 pagi atau

sore. Tangkai buah di kerat dengan gunting paskas sekitar 1- 2 cm dari buahnya. Menggunakan keranjang atau kantong yang dapat digantung di leher sehingga buah jeruk tidak perlu dijatuhkan ke bawah karena buah akan rusak. Dan menggunakan tangga untuk memetik buah pada cabang yang tinggi (Tim Penulis PS, 2003).

2. Pencucian dan pembersihan

Pencucian diperlukan untuk menghilangkan kontaminasi residu fungisida yang disemprotkan, spora jamur dan tanah/kotoran. Pencucian dilakukan dengan perendaman dan bantuan sikat lunak atau lap halus jangan sampai merusak kulit. Pencelupan dalam larutan fungisida dapat diganti dengan pencelupan dalam air hangat bersuhu 48 – 53 0C slama 3 – 4 menit setelah pencucian ( Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura, Deptan, 2004).

3. Sortasi dan pengkelasan (grading)

Sortasi diperlukan untuk memisahkan buah yang sehat, tidak rusak, cacat fisik dan seragam ukuran buahnya untuk mengkelaskan buah berdasarkan standar mutu buah jeruk. Sortasi dapat dilakukan secara manual dengan tangan, alat mekanik atau dengan peralatan sortasi elektronik.

Buah jeruk siam mempunyai standar mutu buah berdasarkan SNI 01-1992 kemudian direvisi menjadi Standar Nasional Indonesia (SNI) 3165-2009 buah jeruk berdasarkan usulan dari pemangku kepentingan sebagai upaya untuk menghasilkan jeruk dengan mutu sesuai permintaan pasar dengan mengadopsi standar CODEX STAN 245-2004, Amd 1-2005 dan memodifikasinya sesuai dengan kondisi di Indonesia. Dalam SNI buah jeruk siam ditetapkan ketentuan tentang mutu, ukuran, toleransi, penampilan, pengemasan, pelabelan, rekomendasi dan higienis pada buah jeruk siam.

a. Ketentuan mengenai mutu 1. Ketentuan minimum

 Untuk semua kelas buah jeruk siam, ketentuan minimum yang harus dipenuhi adalah :

- Utuh - Padat (firm) - Penampilan segar - Layak dikonsumsi

- Bersih, bebas dari benda asing - Bebas dari memar

- Bebas dari hama dan penyakit

- Bebas dari kerusakan akibat suhu rendah dan atau tinggi

- Bebas dari kelembaban eksternal yang abnormal, kecuali pengembunan sesaat setelah pemindahan dari tempat penyimpanan dingin

- Bebas dari aroma dan benda asing.

 Buah harus dipetik secara hati-hati dan telah mencapai tingkat kematangan yang tepat sesuai dengan kriteria ciri varietas dan atau jenis komersial dan lingkungan tumbuhnya.

 Ketentuan kematangan

Padatan terlarut total daging buah minimum 80 brix (delapan derajat brix). Derajat brix menggambarkan nilai rata-rata keseluruhan bagian daging buah. Warna buah harus menunjukkan ciri varietas dan atau jenis komersial serta lokasi tanam. Perlakuan penguningan kulit buah (degreening) tidak diperbolehkan.

 Pelilinan diperkenankan sepanjang tidak menyebabkan perubahan mutu dan karakteristik buah dengan memperhatikan persyaratan keamanan pangan.

2. Pengkelasan

Jeruk siam di golongkan dalam 3 (tiga) kelas mutu, yaitu :

 Kelas Super

Jeruk siam bermutu baik (super) yaitu mencerminkan ciri varietas atau tipe komersial bebas dari kerusakan kecuali kerusakan sangat kecil yang tidak dipengaruhi mutu dan penampilan buah secara umum.

 Kelas A

Jeruk siam bermutu baik yaitu mencerminkan ciri varietas atau tipe komersial dengan kerusakan kecil yang diperbolehkan sebagai berikut : - sedikit penyimpangan pada bentuk

- sedikit penyimpangan pada warna kulit

- sedikit penyimpangan pada kulit terkait dengan pembentukan buah - sedikit bekas luka/cacat pada kulit akibat mekanis

- total area yang mengalami penyimpangan dan cacat maksimum 10 % dari total luas permukaan buah dan penyimpangan tersebut tidak boleh mempengaruhi mutu daging buah.

 Kelas B

Jeruk siam bermutu baik yaitu mencerminkan ciri varietas/tipe komersil, dengan kerusakan kecil yang diperbolehkan sebagai berikut:

- sedikit penyimpangan pada bentuk - sedikit penyimpangan pada warna kulit

- sedikit penyimpangan pada kulit terkait pada pembentukkan buah - sedikit bekas luka/cacat pada kulit akibat mekanis

- total area yang mengalami penyimpangan dan cacat maksimum 15 % dari total luas permukaan buah dan penyimpangan tersebut tidak boleh mempengaruhi mutu daging buah.

b. Ketentuan mengenai ukuran

Kode ukuran ditentukan berdasarkan diameter maksimum buah, sesuai dengan Tabel 2.

Tabel 2. Kode ukuran dan diameter buah jeruk berdasarkan SNI Kode ukuran Diameter (mm)

1 2 3 4 >70 61 – 70 51 – 60 40 – 50

c. Ketentuan mengenai toleransi 1. Toleransi mutu

- Kelas super

Batas toleransi mutu kelas super, yang diperkenankan tidak memenuhi ketentuan mutu, maksimum 5 % dari jumlah atau bobot jeruk siam tetapi masih termasuk dalam kelas A.

Batas toleransi mutu kelas A yang diperkenankan tidak memenuhi ketentuan mutu maksimum 10 % dari jumlah atau bobot jeruk siam tetepi masih termasuk dalam kelas B

- Kelas B

Batas toleransi mutu kelas B yang diperkenankan tidak memenuhi ketentuan mutu maksimum 10 % dari jumlah atau bobot jeruk siam tetepi masih memenuhi persyaratan minimum.

2. Toleransi ukuran

Untuk semua kelas, batas toleransi ukuran yang diberikan adalah 10% berdasarkan jumlah atau bobot diatas atau dibawah kisaran ukuran yang ditentukan.

4. Pelapisan lilin (waxing)

Tujuan pelapisan lilin pada buah jeruk adalah membuat kulit buah tampak bersinar dan mampu bertahan selama proses pemasaran serta mengurangi susut bobot buah yang terjadi selama penyimpanan. Buah jeruk dibersihkan atau dicuci untuk menghilangkan kontaminan pada permukaan buah namun hal itu dapat mengganggu lapisan alami lilin, mengakibatkan peningkatan kehilangan uap air. Pada kondisi komersial lapisan lilin mampu mengurangi susut berat minimal 30% namun pada kondisi percobaan yang memadai pengurangan susut bobot 50% dapat dicapai (Sardi, 2004).

Pelapisan lilin terhadap buah-buahan dapat mengurangi respirasi dan transpirasi sehingga proses biologis penurunan kandungan gula dan unsur organik buah jeruk dapat diperlambat dan umur simpan buah jeruk dapat lebih lama. Pelapisan lilin dapat dilakuan dengan pembusaan, penyemprotan, pencelupan atau pengolesan.

Terdapat beberapa jenis lilin yang biasa digunakan dalam pelapisan lilin. Carnauba memiliki sinar yang rendah dan harga yang murah. Lilin berbahan dasar

shellac memiliki sinar terbaik, namun harganya paling mahal. Lilin beberbahan dasar shellac di sarankan untuk digunakan pada buah yang di ekspor ke Jepang. Lilin berbahan dasar polyethylen harganya murah namun menyediakan kontrolyang paling efektif terhadap susut berat dan sinar. Lilin berbahan dasar resin dapat melukai kulit buah jeruk, namun dapat merefleksikan sinar yang bagus (Sardi, 2004).

5. Penguningan (degreening)

Penguningan dilakukan untuk membuat warna kuning kulit buah jeruk lebih merata dan seragam. Penguningan merupakan proses perombakan pigmen hijau(klorofil) pada kulit jeruk secara kimiawi dan sekaligus membentuk warna kuning jingga (karotenoid) pada kulit jeruk. Proses ini tidak berpengaruh terhadap bagian dalam jeruk, gula, asam dan juice jeruk.

Penguningan biasanya menggunakan zat perangsang metabolik berupa gas alifatis tidak jenuh yang disebut etilen. Etilen sulit diperoleh ( harus diimpor) di Indonesia, sebagai pengganti dapat digunakan asetilen (karbit) dan ethrel (asam 2 klorotilfosfonat ).

6. Penyimpanan

Penyimpanan buah jeruk segar yang optimal pada suhu 10 – 15 0C dengan kelembaban 85 – 90 %.

7. Pengemasan dan pengangkutan

Buah jeruk segar mudah rusak setelah dipanen, ditambah dengan adanya luka dan memar setelah mengalami pengangkutan dari kebun ke tempat pengumpul dan ke pasar dengan alat angkut mobil atau kereta api. Bahan pelindung kulit alami seperti lapisan lilin akan hilang karena kulit buah terkelupas, akhirnya timbul stress, terjadi susut bobot, kematangan buah dipercepat diikuti dengan pembusukan.

Pengangkutan buah jeruk di Indonesia biasanya dengan mobil, kereta api atau kapal laut. Pengangkutan dengan pesawat terbang relatif jarang, kecuali untuk diekspor ke luar negeri. Dalam pengangkutan, buah jeruk biasanya dikemas dalam kemasan kayu (wood pallet boxes) dengan alas berupa kertas atau daun-daunan. Ukuran peti bermacam-macam seperti 25 x 25 x25 cm, 45 x 26 x 28 cm, 30 x 30 x 30 cm, 60 x 28 x 28 cm. Peti kayu memiliki ventilasi pada sambungan antar papan. Peti kayu jeruk manis yang digunakan untuk ekspor berukuran 60 x 40 x40 cm dengan berat isi 25 – 30 kg. Jumlah tumpukan peti adalah 4 – 6 tumpuk. Sedangkan kemasan kotak karton berukuran 60 x 40 x 40 cm dengan kapasitas 25 – 30 kg dan tumpukan hanya dapat 2- 3 tumpuk.

Fisiologi Pasca Panen Buah Jeruk Siam

Buah jeruk Siam segar setelah dipanen masih melakukan proses hidup. Beberapa proses hidup yang penting pada buah jeruk siam adalah respirasi, transpirasi, dan proses pematangan buah. Proses biokimia tersebut menurunkan mutu kesegaran buah jeruk yang dapat dilihat dari penampakan, susut bobot dan penurunan nilai gizinya.

Respirasi adalah proses pengambilan oksigen dari udara dan pelepasan karbondioksida ke udara. Menurut Pantastico (1993), laju respirasi merupakan petunjuk yang baik untuk mengetahui daya simpan sayur dan buah setelah panen. Semakin tinggi laju respiasi, semakin pendek umur simpan.

Respirasi memerlukan oksigen untuk pembakaran senyawa makromolekul seperti karbohidrat, lemak, protein yang menghasilkan CO2 dan H2O serta sejumlah energi (Winarno dan Wiratakusumah, 1981).

Umumnya respirasi aerob pada buah tropis digambarkan dengan reaksi kimia sebagai berikut :

C6H12O6 + 6O2 6CO2 + 6H2O + 674 kal

Berdasarkan pola respirasinya, buah dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu buah klimaterik dan non klimaterik. Buah-buahan klimaterik menurut Pantastico (1993) adalah buah yang mengalami kenaikan produksi CO2 secara mendadak, kemudian mengalami penurunan yang cepat.Klimaterik sedikit banyak berhubungan dengan perubahan flavor, tekstur, warna yang erat hubungannya dengan kematangan buah. Biale dan Young (1981) menambahkan bahwa peningkatan laju respirasi pada buah klimaterik terjadi pada fase pemasakan, sedang pada buah non klimaterik tidak terjadi peningkatan laju respirasi pada akhir fase pemasakan.

Buah jeruk siam termasuk buah non klimaterik. Buah non klimaterik tidak menunjukkan perubahan (peningkatan) laju produksi etilen dan CO2 setelah panen, artinya buah jeruk harus dipanen setelah masak dipohon karena tidak mengalami pemeraman. Produksi etilen buah jeruk sangat rendah, yaitu kurang dari 0,1µL/kg-jam pada suhu 200C (Cantwell, 2001).

Berdasarkan laju respirasi buah jeruk tergolong komoditi hortikultura yang laju respirasinya rendah, ini dapat dilihat pada Tabel.3

Tabel 3. Klasifikasi komoditi hortikultura berdasarkan laju respirasinya

Kelas Kisaran laju respirasi pada

50C(410F) (ml CO2/kg-jam) Komoditi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi < 5 5 – 10 10 – 20 20 – 40 40 – 60

Kurma, buah dan sayuran kering, kacang-kacangan

Apel, bit seledri, jeruk, bawang putih,bawang merah, anggur, pepaya, nenas, kentang(mature), ubi jalar.

Apricot, pisang, kubis, wortel,mentimun, selada, mangga, pir, tomat, kentang(immature).

Alpukat, wortel(dengan daun), kembang kol, selada(leaf).

Artichoke, brokoli, bunga potong, bawang daun, okra, buncis

Sumber : Kader, 1992

Laju respirasi suatu produk dipengaruhi oleh faktor internal yang terdiri dari : tingkat perkembangan, susunan kimiawi jaringan, ukuran produk, pelapis alami dan jenis jaringan. Selain itu laju respirasi juga dipengaruhi oleh faktor luar (eksternal) yaitu oleh suhu, etilen, oksigen yang tersedia, karbondioksida, zat-zat pengatur pertumbuhan dan kerusakan buah ( Pantastico, 1993).

Perubahan Fisiko Kimia Selama Penyimpanan

1. Kekerasan

Jumlah zat pektat berubah selama perkembangan buah, yang larut meningkat sedangkan jumlah zat-zat pekat seluruhnya menurun. Perubahan pektin menyebabkan ketegaran buah menjadi berkurang. Selama penyimpanan turunnya ketegaran buah disebabkan oleh peruraian protopektin yang tidak larut menjadi asam pektat dan pektin yang lebih mudah larut sehingga menurunkan kohesi dinding sel yang mengikat sel yang satu dengan lainnya sehingga buah menjadi lunak ( Pantastico, 1993).

Tucker (1993) menambahkan bahwa penurunan kekerasan buah dapat meningkat selama penyimpanan yang disebabkan oleh 3 mekanisme yaitu

penurunan tekanan turgor, degradasi (perombakan zat tepung) dan pemecahan dinding sel buah. Penurunan tekanan turgor sel pada umumnya disebabkan penurunan komposisi dinding sel, terjadi karena adanya senyawa penyusun dinding sel menjadi fraksi yang berat molekulnya lebih rendah dan larut di dalam air.

2. Warna

Menurut Ting dan Attaway (1971) karotenoid merupakan pigmen yang sangat penting dalam buah jeruk. Saat buah matang kandungan karotenoid di dalam kulit dan sari buah bertambah sedangkan klorofil menghilang.

Pada kulit buah jeruk, selama proses pematangan akan terjadi perubahan warna dari hijau menjadi kuning. Hal ini karena pada proses pematangan jumlah klorofil menurun pada kulit buah dan karotenoid meningkat.

3. Susut bobot

Berdasarkan hasil penelitian Sipayung (1976) dan Madawiwaha (1988), selama penyimpanan berat buah jeruk siam mengalami penurunan. Menurut Pantastico (1993) menjelaskan bahwa penurunan bobot dapat disebabkan oleh terurainya glukosa menjadi CO2 dan air selama proses respirasi walaupun jumlahnya kecil.

4. Kadar gula

Berdasarkan hasil penelitian Sipayung (1976) dan Madawiwaha (1988) selama penyimpanan terjadi kenaikan gula. Selama penyimpanan buah jeruk mula-mula terjadi kenaikan kandungan gula yang kemudian disusul dengan penurunan. Kenaikan kandungan gula tersebut disebabkan oleh pemecahan polisakarida-polisakarida ( Biale, 1961).

5. Vitamin C

Buah jeruk mengandung beberapa vitamin antara lain vitamin C, provitamin A (b karoten), thiamin, niasin, riboflavin, asam pantotenat, biotin, asam folat, inositol dan tokoferol. Diantara vitamin-vitamin tersebut vitamin C (asam askorbat) paling banyak terdapat didalam buah jeruk (Kefford dan Chandler, 1970).

Lahan Rawa

Lahan rawa adalah lahan yang sepanjang tahun, atau selama waktu yang panjang dalam setahun, selalu jenuh air (saturated) atau tergenang (waterlogged) air dangkal. Sebenarnya lahan rawa merupakan lahan yang menempati posisi peralihan di antara sistem daratan dan sistem perairan (sungai, danau atau laut), yaitu antara daratan dan laut, atau di daratan sendiri, antara wilayah lahan kering (uplands) dan sungai/danau. Karena menempati posisi peralihan antara sistem perairan dan daratan, maka lahan ini sepanjang tahun, atau dalam waktu yang panjang dalam setahun (beberapa bulan) tergenang dangkal, selalu jenuh air, atau mempunyai air tanah dangkal (Subagyo, 1997).

Lahan rawa yang terdapat di dataran rendah, baik yang menempati dataran banjir sungai maupun yang menempati wilayah dataran pantai,khususnya di sekitar muara sungai-sungai besar danpulau-pulau deltanya. Pada kedua wilayah ini posisinya bersambungan dengan laut terbuka, pengaruh pasang surut dari laut sangat dominan. Di bagian muara sungai dekat laut, pengaruh pasang surut sangat dominan, dan ke arah hulu atau daratan, pengaruhnya semakin berkurang sejalan dengan semakin jauhnya jarak dari laut (BBSDL, 2006).

Berdasarkan pengaruh air pasang surut, khususnya sewaktu pasang besar (spring tides) di musim hujan, bagian daerah aliran sungai di bagian bawah (down stream area) dapat dibagi menjadi 3 (tiga) zona. Menurut Subagyo (1997) klasifikasi zona-zona wilayah rawa terdiri dari :

- Zona I : Wilayah rawa pasang surut air asin/payau - Zona II : Wilayah rawa pasang surut air tawar

- Zona III : Wilayah rawa lebak, atau rawa non-pasang surut

a. Lahan Rawa Pasang Surut

Lahan rawa pasang surut adalah lahan yang rejim airnya dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut atau sungai. Untuk keperluan praktis dan guna memudahkan pengelolaan lahannya, maka berdasarkan macam dan tingkat kendala yang diperkirakan dapat ditimbukan oleh faktor fisiko-kimia tanahnya, pada awalnya lahan pasang surut dibagi ke dalam empat tipologi utama,

yaitu :lahan potensial, lahan sulfat masam, lahan gambut dan lahan salin ( Widjaya Adhi, 1995).

Lahan potensial dan sulfat masam mengandung lapisan pirit dan bertanah sulfat masam. Lahan sulfat masam di daerah pasang surut dikelompokkan berdasarkan jangkauan air pasang yang dikenal dengan tipe luapan air. Badan Litbang Pertanian membagi tipe luapan air lahan pasang surut menjadi tipe luapan A, B, C dan D (Subagyo ,1997). Lahan bertipe luapan A selalu terluapi air pasang, baik pada musim hujan maupun musim kemarau, sedangkan lahan bertipe luapan B hanya terluapi air pasang pada musim hujan saja. Lahan bertipe luapan C tidak terluapi air pasang tetapi mempengaruhi muka air tanahnya dengan kedalaman kurang dari 50 cm, sedangkan lahan bertipe luapan D adalah seperti tipe C hanya kedalaman air tanahnya lebih dari 50 cm.

Luas lahan rawa pasang surut di Kalimantan Selatan sekitar 372.637 ha, sedangkan menurut Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan (1995), luas lahan pasang surut yang telah direklamasi di provinsi Kalimantan Selatan sekitar 250.051 ha, dimana 44,5% berupa lahan sawah.

Penggunaan lahan sawah pasang surut umunya adalah tanaman pangan, tetapi sejak tahun 1990-an dengan menerapkan penataan lahan sistem surjan maka bagian atasnya diusahakan tanaman jeruk siam banjar. Menurut Antarlina dan Izzuddin (2006),pada lahan pasang surut tipologi luapan A menghasilkan buah

Dokumen terkait