• Tidak ada hasil yang ditemukan

Taksonomi

Berdasarkan penilaian Birdlife Internasional (2006), Burung Weris (Galllirallus philippensis), termasuk kedalam least concern (kurang mengkhawatirkan). Taksonomi burung weris adalah sebagai berikut:

King : Animalia Phylum : Chordata Kelas : Aves Order : Gruiformes Family : Rallidae Genus : Gallirallus

Species : Gallirallus philippensis

Burung weris masuk ke dalam famili Rallidae, atau burung rail, yaitu keluarga burung berukuran kecil hingga menengah. Habitat yang umum adalah rawa, dekat sungai atau danau, dan hutan lebat. Rallidae umumnya berkembang biak di daerah yang bervegetasi padat.

Burung air adalah burung yang seluruh hidupnya bergantung pada daerah perairan. Menurut Rusila (1994), burung air dapat diartikan sebagai kelompok burung yang secara ekologis bergantung pada lahan basah. Lahan basah yang dimaksud adalah daerah lahan basah yang alami dan buatan, meliputi daerah bakau, rawa, dataran berlumpur, danau, tambak, dan sawah.

Pada umumnya, Rallidae adalah omnivora. Banyak spesies dari famili Rallidae yang memakan invertebrata, buah-buahan, biji-bijian, dan hanya sedikit yang bersifat herbivor. Perilaku berkembang biak famili ini sulit diketahui apakah monogami, poligami, atau poliandri. Kebanyakan spesies ini jumlah telurnya 5-10 butir, namun ada juga burung yang bertelur hanya 1 butir, bahkan ada yang bertelur sampai 15 butir. Telur dalam satu sarang tidak selamanya menetas dalam jangka waktu bersamaan dan biasanya anak akan bergantung pada induknya sampai kurang lebih 1 bulan.

Morfologi

Sifat kuantitatif adalah ciri-ciri makhluk hidup yang dapat diukur, dihitung atau diskor. Karakter ini ditentukan oleh banyak pasang gen (poligenik) dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Sifat kualitatif, seperti warna, pola warna, sifat bertanduk atau tidak bertanduk dapat dibedakan tanpa harus mengukurnya. Sifat kualitatif biasanya hanya dikontrol oleh sepasang gen (Noor 2010).

Rail adalah famili yang cenderung bervariasi, berukuran kecil hingga menengah. Ukuran bervariasi dari 12 cm hingga 63 cm dengan bobot dari 20 g hingga 3 kg. Spesies Gallirallus torquatus memiliki paruh dan kaki gelap, paruh atas cokelat gelap, muka dan pipi hitam dengan strip putih dipipi. Burung ini memiliki panjang sayap 135-156 mm, Tarsus 46-53 mm, ekor 45-62 mm, paruh 41-48 mm. Gallirallus philipensis memiliki panjang sayap 129-144 mm, tarsus 39-46 mm, ekor 65-68 mm, dan panjang paruh 27-33 mm ( Allen et al. 2004). Ukuran panjang badan Gallirallus phillipensis adalah 28-33 cm, alis abu-abu pucat panjang, pita karat lebar melalui mata, bagian atas berbintik putih (Coates & Bishop 1997).

Ozaki (2009) menyatakan bahwa untuk penentuan jenis kelamin pada Gallirallus okinawae dapat dilakukan melalui ukuran kepala dan tinggi paruh, sedangkan untuk melihat umur dari Gallirallus okinawae dapat dilakukan melalui bentuk dan warna bulu primer, paruh, dan mata.

Habitat dan Penyebaran

Famili ini menunjukkan tingkat keragaman habitat yang cukup tinggi yang meliputi crake, coot, gallinule rail, dan swamphens. Banyak dari famili ini yang akrab dengan tanah basah, dan juga daratan, kecuali padang tandus, dan wilayah kutub. Burung ini menyenangi daerah lembap atau lahan basah, seperti daerah dekat sungai, rawa, atau danau dengan vegetasi lebat. Burung ini biasanya cukup pemalu, tapi bisa menjadi sangat jinak dan berani dalam beberapa keadaan, seperti di daerah pulau di Great Barrier Reef. Beberapa spesies dari famili Rallidae hidup dalam berbagai jenis hutan, dari daerah dataran rendah sampai daerah dataran tinggi.

Rallidae berkembang biak musiman, selama musim semi dan musim panas atau memasuki musim hujan di daerah tropis. Fakta-fakta ini tidak sama untuk

semua spesies, tapi kebanyakan mengikuti pola ini. Rail menampilkan tingkah laku seksual seperti pacaran dan pada akhirnya terjadi kopulasi. Pada beberapa spesies, kopulasi terjadi tanpa sebelumnya menampilkan tingkah laku pacaran. Sebelum kawin, biasanya Rail jantan Afrikan berjalan di sekitar betina dengan ekor diangkat dalam rangka untuk mengekspos bulu putih di bawah ekor atau Rail jantan berjalan di sekitar betina dengan sayap terangkat. Jantan dari genus "Sarothrura" ekornya bergetar dengan cepat dari sisi ke sisi dengan membungkuk atau sikap tegak.

Burung weris banyak ditemukan di Australia, Asia, dan wilayah barat Pasifik, termasuk Filipina, Indonesia, New Guinea, Australia, Selandia Baru - di mana ia dikenal sebagai Buff Banded Rail. Burung weris ini memiliki 26 subspesies yang dua subspesies di antaranya telah punah, yaitu G.p. andrewsi, endemik di Pulau Chatham dan G.p. macquariensis endemik di Kepulauan Macquariensis. Ada satu subspesies yang dalam kategori langka, yaitu G.p. andrewsi diKepulauan Cocos. Coates dan Bishop (1997) menyatakan bahwa burung weris terdapat di daerah Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara.

Habitat adalah bentuk komunitas biotik, atau sekumpulan komunitas biotik di mana seekor satwa atau populasi hidup (Bailey 1984). Habitat yang sesuai memenuhi semua syarat-syarat tempat hidup dari suatu spesies untuk suatu musim (habitat musim dingin, habitat perkembangbiakan) atau sepanjang tahun. Syarat-syarat habitat adalah bermacam tipe dari makanan, pelindung (cover), dan faktor lain yang dibutuhkan oleh spesies satwa liar untuk bertahan hidup dan berkembang biak. Alikodra (2010) menyatakan bahwa habitat adalah kawasan yang terdiri atas berbagai komponen, baik fisik maupun biologis, yang merupakan suatu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembang biak suatu organisme secara alami. Lebih jauh dijelaskan bahwa habitat mempunyai fungsi dalam menyediakan makanan, air, dan sebagai pelindung. Komponen fisik dan komponen biotik membentuk sistem yang dapat mengendalikan kehidupan satwa liar.

Semua organisme memiliki kemampuan untuk hidup, tumbuh, dan berkembang biak pada habitatnya. Habitat satwa terdiri atas dua komponen penting, yaitu lokasi geografis dan vegetasi. Oleh karena itu, berhasil tidaknya

suatu jenis satwa liar mempertahankan kelangsungan hidupnya ditentukan salah satunya oleh faktor karakteristik vegetasinya (Copperider et al. 1988).

Habitat burung weris adalah padang rumput, subtropis/tropis kering, perairan, rawa-rawa, lahan gambut, pesisir laut, pesisir danau, dan perkebunan. Hilangnya habitat (habitat loss) mencakup semua bentuk perubahan struktur habitat yang mengakibatkan pengurangan luas dan kualitas habitat yang tersedia bagi spesis tertentu (Dekker dan McGowan 1995). Kerusakan habitat (habitat degradation) adalah berkurangnya kualitas habitat tanpa kehilangan semua lindungan vegetasi yang diakibatkan oleh kegiatan tebang pilih dan over grazing oleh ternak.

Naungan (cover) adalah bagian dari habitat yang berfungsi sebagai tempat berlindung (terhadap panas matahari, predator, dan gangguan lain), beristirahat atau berkembang biak dari beberapa jenis satwa. Naungan dapat berfungsi sebagai tempat mencari makan dan minum.

Tingkah Laku

Tingkah laku satwa dapat diartikan sebagai suatu ekspresi yang disebabkan oleh semua faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku satwa dinamakan rangsangan, stimuli atau agents, sedangkan aktivitas yang ditimbulkan dinamakan respons. Tingkah laku yang dipelajari tidak hanya apa yang dilakukan oleh hewan itu saja, tetapi juga kapan, dimana, bagaimana, dan mengapa tingkah laku terjadi.

Macam dan banyaknya rangsangan yang diterima akan menghasilkan pengalaman hewan dari waktu kewaktu pada masa lalu, yang sangat mempengaruhi respons hewan (Suratmo 1979). Selanjutnya, rangsangan yang sama juga dapat mempunyai efek yang berbeda pada individu yang berbeda atau pada spesies yang berbeda.

Pola perilaku merupakan segmen perilaku yang mempunyai fungsi adaptasi, untuk menjamin kelangsungan hidup dan keberadaan makhluk hidup pada suatu kawasan tertentu yang sesuai dengannya (Scott 1969). Tingkah laku terdiri atas campuran komponen-komponen yang diwariskan, dibawa dari lahir (insting), dan diperoleh dari lingkungan selama hidup, yaitu berupa pengalaman.

Respons hewan terhadap semua faktor rangsangan pada prinsipnya berasal dari suatu dorongan dasar untuk tetap hidup (Survive) dengan melakukan semua usaha. Survival suatu individu atau spesies bergantung pada kemampuannya memperoleh pakan, melakukan reproduksi, dan regenerasi. Dorongan dasar ini akan menentukan beberapa pola yang relatif tetap dalam tingkah laku hewan (Suratmo 1979).

Perilaku makan adalah penampakan tingkah laku dalam kaitannya dengan aktivitas makan. Aktivitas makan itu sendiri merupakan bagian dari aktivitas harian. Pada burung, umumnya aktivitas tersebut dilakukan pada pagi hingga sore hari, kecuali pada beberapa jenis burung malam (Powel 1986).

Perilaku makan binatang sangat bervariasi, baik lamanya makan maupun frekuensi tingkah laku pada saat makan. Perilaku makan dari tiap-tiap spesies hewan memiliki cara-cara yang spesifik. Faktor yang mempengaruhi berbedanya cara makan antara lain morfologi hewan yang mencari makan, rangsangan dari makanan itu sendiri, dan faktor dari dalam tubuh hewan yang akan memberikan urutan gerak tubuh pada binatang tersebut (Suratmo 1979).

Kushlan (1978) mengidentifikasi tiga macam perilaku makan yang tampak pada famili Ardeidae, yaitu berdiri atau mengikuti mangsa (stand or stalk feeding), mengganggu dan memburu mangsa (disturb and chase feeding), serta menangkap mangsa diudara dan dibawah perairan (aerial and deep water feeding).

Konservasi Satwa Liar

Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Kegiatan konservasi berasaskan pelestarian dan kemampuan serta pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara berkelanjutan dan seimbang. Asas tersebut adalah landasan dalam mencapai tujuan yang diinginkan, yaitu mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta kesinambungan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia (Widada et al. 2003).

Konservasi sumber daya alam adalah kegiatan yang meliputi perlindungan, pengawetan, pemeliharaan, rehabilitasi, introduksi, pelestarian, pemanfaatan, dan pengembangan. Sesuai dengan pengertian konservasi sumber daya alam secara umum, Alikodra (2002) menyatakan bahwa konservasi satwa liar merupakan kegiatan yang meliputi perlindungan, pengawetan, pemeliharaan, rehabilitasi, introduksi, pelestarian, pemanfaatan, dan pengembangan satwa liar. Jadi, tujuan kegiatan konservasi satwa liar adalah terjaminnya kelangsungan hidup satwa liar dan terjaminnya kebutuhan masyarakat untuk memanfaatkannya, baik langsung maupun tidak langsung, berdasarkan prinsip pelestarian.

Konservasi Genetik

Tolok ukur keberhasilan kegiatan konservasi didasarkan pada keanekaragaman genetiknya sehingga keanekaragaman genetik menjadi indikator kunci yang penting. Keadaan alam yang berubah dari waktu kewaktu menyebabkan suatu spesies harus mampu beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, untuk bertahan hidup. Variasi genetik menentukan kemampuan individu untuk beradaptasi terhadap perubahan (Haig dan Nordtrom 1991).

Suatu organisme dikatakan mirip atau menyerupai induknya karena ada beberapa persamaan ciri-ciri yang dapat dilihat atau diwariskan. Ciri-ciri yang diwariskan itu disimpan sebagai informasi genetik dalam gen-gen yang secara molekuler tersusun atas asam nukleat DNA (Sofro 1994). Bila suatu ciri masih dinyatakan dalam perangkat genetiknya maka ciri-ciri ini disebut genotipe. Tapi jika genotipe ini sudah diekspresikan dalam bentuk suatu molekul protein dan dipengaruhi oleh faktor lingkungan maka ciri-ciri ini menjadi suatu penampilan atau fenotipe.

Keanekaragaman genetik dari spesies liar Gallirallus okinawae dengan menganalisis haplotipe pada daerah non coding (Control Region) DNA genome mitokondria ditemukan keragaman nukleotida Gallirallus okinawae lebih tinggi daripada yang ditemukan dispesies lain burung langka. Keragaman nukleotida yang rendah didaerah kontrol (CR mt DNA) mungkin menunjukkan bahwa Gallirallus okinawae telah mengalami botleneck, atau dapat dikatakan bahwa program konservasi untuk Gallirallus okinawae sangat perlu karena spesies ini

dapat dikategorikan spesies yang terancam punah dan mungkin untuk spesies lain dari famili Rallidae(Ozakiet al. 2010).

Keanekaragaman genetik identik dengan keanekaragaman alela dan heterozigositas genotipe. Hilangnya keanekaragaman hayati dapat menyebabkan: penyimpangan genetik secara acak, derajat silang dalam (inbreeding yang tinggi), dan pengurangan populasi yang efektif dari suatu spesies. Strategi yang dapat diaplikasikan pada populasi yang kecil ialah dengan memasukkan individu-individu baru dari populasi lain yang heterogen secara teratur sehingga akan meningkatkan kualitas genetik (Haig & Nordstrom 1991).

DNA Mitokondria

DNA yang terdapat dalam sel terdiri atas DNA inti dan DNA sitoplasma. DNA sitoplasma berupa DNA mitokondria dan DNA kloroplast. Genom inti dan sitoplasmik ini menjadi karakter organisme sehingga dapat dijadikan sebagai acuan dalam perbandingan ciri, baik kesamaan maupun perbedaannya. Semakin dekat kekerabatan pada tingkat takson maupun tingkatan keturunan (lineage) dari organisme tersebut maka semakin besar kesamaan pada tingkatan molekulnya. Hal ini yang menjadi dasar perunutan hubungan evolusi dan asal usul organisme (Duryadi 2005).

DNA mitokondria memiliki karakteristik sebagai molekul DNA yang diturunkan secara utuh tanpa adanya rekombinasi, memiliki molekul dengan ukuran kecil/pendek yang susunannya berbeda dari DNA inti, dan memiliki variasi basa nukleotida yang lebih tinggi dibandingkan dengan DNA inti. Tingginya variasi basa nukleotida disebabkan DNA mitokondria memiliki laju perubahan 5-10 kali lebih tinggi dibandingkan DNA inti (Muladno 2006).

DNA mitokondria (mtDNA) mempunyai beberapa kelebihan yang menjadikannya banyak digunakan untuk mengidentifikasi keragaman genetik dan dinamika populasi. Beberapa kelebihan tersebut adalah (1) memiliki ukuran yang kompak dan relatif kecil (16.000-20.000 pasang basa), tidak sekompleks DNA inti sehingga dapat dipelajari satu kesatuan yang utuh; (2) berevolusi lebih cepat (3) hanya sel telur yang menyumbangkan material mitokondria sehingga mitokondria DNA hanya diturunkan dari induk betina; dan (4) bagian-bagian dari genom

mitokondria berevolusi dengan laju yang berbeda sehingga dapat berguna untuk studi sistematika dan penelusuran kesamaan asal usul (Park dan Moran 1995).

DNA mitokondria hewan secara umum memiliki jumlah dan jenis gen yang sama. Berdasarkan jenis gennya, genom mitokondria dibagi menjadi 2 bagian, yaitu daerah penyandi (coding region) yang terdiri atas 37 gen, yaitu 13 gen penyandi protein, 2 gen penyandi rRNA, dan 22 gen penyandi tRNA. Daerah bukan penyandi terdiri atas daerah kontrol (control region) yang memegang peranan dalam proses transkripsi dan replikasi genom mitokondria (Anderson et al. 1981).

Genom mitokondria pada kelompok burung sedikit berbeda dari susunan gen pada vertebrata lainnya. Perubahan yang terjadi diduga karena adanya pertambahan dan pengurangan gen pada replikasi mtDNA sehingga menghasilkan susunan gen yang baru (Quinn & Wilson 1993). Menurut Kvist (2000), perbedaan susunan genom mitokondria terletak pada urutan sel penyandi protein ND5 dan daerah D-loop. Menurut Mindell et al. (1998), urutan gen pada genom mitokondria vertebrata (selain ayam) adalah ND5, ND6, tRNAglu, Cyt-b, tRNAThr, tRNAPro dan D-loop, sedangkan genom mitokondria ayam mempunyai urutan gen ND5, Cyt-b, tRNAThr, tRNAPro, ND6, tRNAGludan D-loop. Susunan gen pada Pecidae, Cuculidae, Passeriformes, dan Falconiformes menjadi ND5, Cyt-b, tRNAThr, D-loop tRNAPro, ND6, tRNAGlu.

Penggunaan gen cyt-b digunakan dalam analisis genetik karena kodon ketiga mengalami perubahan yang cepat sehingga dapat digunakan untuk memperkirakan tingkat perbedaan antar subspecies. Gen cyt-b dapat digunakan untuk menganalisis perubahan pada tingkat populasi dan mengetahui hubungan filogeni. Penggunaan runutan mtDNA dengan penanda cyt-b untuk studi keragaman genetik, penyebaran, evolusi, dan hubungan filogeni telah banyak dilakukan pada burung (Ericson & Johansson 2003; Zhang et al. 2007). Smith & Filardi (2007) melakukan penelitian pada ordo Passeriformes, Psittaciformes, Colombiformes, Apodiformes, dan Coraciiformes.

ABSTRAK

LUCIA JOHANA LAMBEY. Karakteristik Morfologi, Perbedaan Jantan dan Betina, dan Pendugaan Umur Burung Weris (Gallirallus philippensis) di Minahasa Sulawesi Utara. Dibimbing oleh RONNY RACHMAN NOOR, WASMEN MANALU, dan DEDY DURYADI SOLIHIN.

Tujuan penelitian ini adalah melihat kekerabatan Gallirallus philippensis antar lokasi di Minahasa, dan membedakan jenis kelamin, serta pendugaan umur berdasarkan perubahan morfologi Gallirallus philippensis. Tiga puluh lima ekor Gallirallus philippensis diambil dari empat lokasi, yaitu Tondano, Papontolen, Ranoyapo, dan Wusa. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa panjang paruh, panjang sayap, dan panjang shank tidak berbeda di empat lokasi yang diamati. Analisis PCA dari karakteristik morfometrik menunjukkan bahwa komponen utama pada burung weris adalah panjang shank dan panjang ekor. Analisis klaster menunjukkan bahwa Gallirallus philippensis di Minahasa memiliki tingkat kekerabatan yang tinggi. Analisis deskriptif menunjukkan bahwa bobot badan, panjang paruh, lebar paruh Gallirallus philippensis jantan lebih tinggi dibanding betina. Pendugaan umur Gallirallus philippensis dapat ditentukan berdasarkan warna iris mata, warna paruh, warna bulu bagian leher, dan pertumbuhan bulu bagian sayap.

ABSTRACT

LUCIA JOHANA LAMBEY. Morphological Characteristics, Sex Differences, and Age Estimation of Weris (Gallirallus philippensis) in Minahasa, North Sulawesi. Under Supervision of RONNY RACHMAN NOOR, WASMEN MANALU, and DEDY DURYADI SOLIHIN.

The aims of this study were to study Gallirallus philippensis similarity intersites in Minahasa, to conduct sex determination, to determine the age of Gallirallus philippensis using morphological characteristic changes. Thirty five of weris birds were taken from four locations i.e Tondano, Papontolen, Ranoyapo, and Wusa in Minahasa, North Sulawesi. The results of descriptive analysis showed that beak lenght, wing length, and shank length did not differ among the birds in the four locations. The result of Principle Component Analysis of morphometric characteristics showed that the main component in the location were shank length and tail lenght. Based on Cluster Analysis results, the four populations had high similarity. Descriptive analysis showed that body weight, beak length, beak width of males weris were larger than those of females weris. Age of Gallirallus philippensis could be determined by the colors of the iris, beak, and feather of the neck, and the growth of the wing feathers.

Pendahuluan

Burung weris (Gallirallus philippensis; L 1766) dianggap sangat rentan terhadap kepunahan, karena dari 20 spesies dari genus Galliralus yang masih ada hanya dua yang dianggap tidak terancam, salah satunya adalah Gallirallus philippensis (Taylor & van Perlo 1998). Sebagian besar anggota genus Gallirallus adalah spesies kepulauan, beberapa diantaranya dikategorikan endemik dan masuk kedalam klasifikasi endangered dan extinct, karena tingginya gangguan dari predator, seperti ular, kadal, anjing, dan kucing, serta adanya degradasi habitat akibat aktivitas manusia. Menurut data dari IUCN, Gallirallus philippensis termasuk ke dalam kriteria LC (least concern) atau belum mengkhawatirkan, namun di daerah Minahasa jenis ini dijadikan sebagai salah satu makanan sumber protein hewani, dan dikhawatirkan telah terjadi pemanfaatan yang tidak terkendali. Hal ini dibuktikan dengan kesulitan dalam memperoleh burung weris di pasar-pasar tradisional di Minahasa saat ini.

Taylor & van Perlo (1998) melaporkan tentang pengukuran morfologi famili Rallidae, seperti panjang sayap, ekor, culmen, tarsus, bobot badan, dan total kepala yang diambil baik dari burung hidup dan spesimen. Kesimpulan yang didapat adalah bahwa sebagian besar famili Rallidae memiliki ukuran yang sama, baik jantan dan betina, walaupun jantan sedikit lebih besar dari betina. Lebih lanjut dikatakan bahwa sesudah bulu tumbuh, sangat sulit dibedakan antara burung dara atau remaja dari yang sudah dewasa.

Karakterisasi terhadap bangsa hewan atau ternak lokal adalah input yang sangat berharga dalam pemanfaatan yang berkelanjutan dan pelestarian sumber daya genetik hewan tersebut (Noor 2010). Permasalahan yang menjadi dasar sehingga diperlukan suatu karakteristik morfologi adalah belum tersedianya data yang lengkap perihal karakteristik fenotipik, dan kekerabatan burung weris yang ada di Minahasa sehingga diperlukan suatu inventarisasi karakteristik morfologi ukuran-ukuran tubuh (morfometrik) sebagai salah satu kekayaan sumber daya genetik di Minahasa. Selain itu, burung weris merupakan salah satu burung monomorfik yang sulit untuk dibedakan antara jantan dan betina dari bentuk dan warna bulu sehingga informasi tentang ukuran tubuh dan kondisi tubuh yang berkaitan dengan dimorfisme seksual akan sangat berharga.

Karakterisasi ini sangat bermanfaat untuk membantu proses penangkaran dan sebagai dasar penelitian spesies lain dari genus Gallirallus. Data pengukuran eksternal yang dikumpulkan dalam penelitian ini ialah mengenai umur dan jenis kelamin yang berguna untuk perbandingan antara spesies dan mempelajari hubungan perubahan evolusi serta adaptasi burung weris terhadap lingkungan atau habitatnya.

Tujuan penelitian ini adalah mempelajari keragamaan fenotipik, mengetahui kekerabatan beberapa burung weris yang ada di Minahasa, membedakan jenis kelamin berdasarkan ukuran tubuh, serta pendugaan umur burung weris berdasarkan perubahan morfologi.

Dokumen terkait