• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian biologis, tingkah laku, reproduksi, dan kekerabatan burung weris, gallirallus philippensis di Minahasa Sulawesi Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian biologis, tingkah laku, reproduksi, dan kekerabatan burung weris, gallirallus philippensis di Minahasa Sulawesi Utara"

Copied!
165
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN BIOLOGIS, TINGKAH LAKU, REPRODUKSI, DAN

KEKERABATAN BURUNG WERIS,

Gallirallusphilippensis

(Gruiformes: Rallidae)DI MINAHASA

SULAWESI UTARA

LUCIA JOHANA LAMBEY

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Kajian Biologis, Tingkah Laku, Reproduksi, dan Kekerabatan Burung Weris, Gallirallus philippensis (Gruiformes: Rallidae)di Minahasa Sulawesi Utara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2013

(3)

Kekerabatan Burung Weris, Gallirallus philippensis (Gruiformes: Rallidae)di Minahasa Sulawesi Utara. Dibimbing oleh RONNY RACHMAN NOOR, WASMEN MANALU, dan DEDY DURYADI SOLIHIN.

Daging burung weris mempunyai potensi sebagai sumber protein, dan telah lama dikonsumsi oleh masyarakat Minahasa. Dikhawatirkan, populasi satwa harapan tropis ini mengalami penurunan secara drastis dengan perburuan yang tidak terkontrol. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari keragaman fenotipik, genetik, aspek biologi, dan gambaran tingkah laku pada kondisi pembudidayaan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2011 sampai Agustus 2012. Kegiatan penelitian yang dilaksanakan meliputi kegiatan lapangan untuk pengambilan sampel DNA, karakteristik morfologi, dan kajian biologis. Penelitian analisis molekuler dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler, Pusat Studi Ilmu Hayati dan Bioteknologi IPB. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Burung weris pada empat lokasi di Minahasa memiliki tingkat kesamaan morfologi yang tinggi. Burung weris pada empat lokasi di Minahasa, yaitu Papontolen, Ranoyapo, Tondano, dan Wusa, memiliki variasi genetik berupa perbedaan nukleotida, yang masih tinggi ditunjukkan dengan keberadaan 5 haplotipe berbeda, akan tetapi masih satu klaster Gallirallus philippensis pada empat lokasi di Minahasa. Gallirallus philippensis yang ada di Minahasa, Australia, serta Filipina memiliki jarak genetik yang cukup jauh sehingga membentuk klaster tersendiri. Berdasarkan hasil pengukuran terdapat perbedaan karakter morfometri pada burung weris, yaitu jantan lebih besar dibandingkan betina pada karakter bobot tubuh, panjang paruh, dan lebar paruh. Perubahan karakter morfologi, terutama perubahan warna pada bagian kepala dan pertumbuhan bulu sayap, terlihat jelas berdasarkan perkembangan umur, yang dengan demikian dapat dijadikan dasar pendugaan umur burung. Sarang burung weris adalah sarang tunggal dengan tipe terbuka, clutch size 1-8 butir dan memiliki musim bertelur. Lama inkubasi adalah 19 hari, fertilitas telur burung weris 64.13%, dengan daya tetas 45.76%. Persentase karkas burung weris sebesar 65.85%, sangat potensial untuk dikembangkan sebagai ternak penghasil daging. Berdasarkan komposisi kimia, daging burung weris memiliki kualitas yang baik setara dengan ternak yang telah didomestikasi. Tingkah laku penetasan burung weris memiliki ciri yang unik dan sangat berbeda dari unggas umumnya. Proses penetasan burung weris memiliki 6 tahapan mulai dari retaknya telur sampai dengan keluarnya anak burung dari cangkangnya. Peletakan telur pada akhir penetasan ialah bagian tumpul menghadap ke atas. Burung weris termasuk burung diurnal yang aktivitasnya dilakukan pada pagi hingga sore hari. Pada burung weris dewasa, aktivitas tertinggi adalah bergerak, sedangkan pada anakan burung lebih banyak istirahat/tidur. Pola tingkah laku burung weris yang diwariskan, seperti aktivitas mandi, tidak berubah walaupun lingkungan berubah.

(4)

Relationshipof Weris Bird Gallirallus philippensis (Gruiformes: Rallidae) at Minahasa, North Celebes Supervision of RONNY RACHMAN NOOR, WASMEN MANALU, and DEDY DURYADI SOLIHIN.

Meat of weris has potential as a source of protein, and the Minahasa community eats the meat as a traditional food. The population of weris bird has decreased drastically mainly due to uncontrolled hunting. The purpose of this research was to study the variations of phenotypic, genetic, and biological aspects of weris behavior raised under captivity. The research was conducted in May 2011 until August 2012. Research activities included DNA sampling, morphological characteristics, and biological studies. Molecular analysis was conducted at the Laboratory of Molecular Biology and Centre of Biological Sciences Study and Center of Biotechnology, Bogor Agricultural University. The results showed that weris from four locations in Minahasa had a high level of morphological similarity. Weris from four locations: Papontolen, Ranoyapo, Tondano, and Wusa had genetic variations with different haplotipes, thereby forming multiple branching, but still one group. Gallirallus philippensis in Minahasa and Australia had no relationship. Based on morphometric measurements, weris males were larger than females on body weight, beak length, and beak width. Changes in morphological characters, especially discoloration on the head and wings pins hair growth during growth and development, could be used as the basis of age estimation. Weris nest was a single nest with open type, clutch size 1-8 items and have the spawning season. Incubation period was 19 days, fertility was 64.13%, and hatchability was 45.76%. The carcass percentage was 65.85%, so it had potential to be utilizedas meat producer. Based on the chemical composition of the meat, weris had a good meat quality. Hatching behavior of weris was unique, and very different from the other birds.Weris have six stages of hatching, that was begun with the break down of the egg until the chick movement out of the gas shell. Weris was a diurnal bird with activity started in the morning until the afternoon. Weris chick performed different activities from the adults Weris. The highest activity of adult weris was moving, but the weris chicks mainly resting. The weris inherited behavior of bathing, and this behavior did not change even if the environment changed.

(5)

Kekerabatan Burung Weris, Gallirallus philippensis (Gruiformes: Rallidae) di Minahasa Sulawesi Utara. Dibimbing oleh RONNY RACHMAN NOOR,

WASMEN MANALU, dan DEDY DURYADI SOLIHIN.

Burung weris (Gallirallus philippensis) yang dikenal sebagai Buff Banded Rail atau mandar padi kalung kuning, dianggap sangat rentan terhadap kepunahan, dikarenakan dari 20 spesies, hanya dua yang dianggap tidak terancam punah, salah satunya adalah Gallirallus philippensis. Disamping itu, daging burung weris telah lama dikonsumsi dan telah memberikan sumbangan protein hewani bagi masyarakat Minahasa sehingga diperlukan suatu upaya untuk tetap menjaga kelestariannya di alam serta tetap tersedianya daging burung weris melalui pemeliharaan ex situ. Laporan ilmiah tentang kajian aspek biologis, tingkah laku, reproduksi, dan karakteristik morfologi burung weris masih sangat kurang sehingga hasil penelitian ini merupakan langkah awal untuk keberhasilan proses budidaya burung weris kedepan.

Karakteristik morfologi antarlokasi, perbedaan jenis kelamin, dan pendugaan umur dilakukan dengan pengukuran beberapa karakter morfologi, yaitu bobot badan, panjang paruh, lebar paruh, panjang sayap, panjang shank, dan panjang ekor. Data di analisis secara deskriptif, PCA (Principle Component Analysis), analisis klaster, dan grafik box plot.

Karakteristik genetik burung weris di Minahasa dilakukan untuk melihat keragaman genetik, jarak genetik, dan pohon filogeny dengan mengambil sampel darah burung weris, dan dilakukan isolasi dan ekstraksi DNA berdasarkan metode Sambrook et al. (1989). Amplifikasi daerah Cytochrome-b dengan menggunakan primer spesifik, selanjutnya dilakukan perunutan nukleotida. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak MEGA versi 4,0 (Tamura et al. 2007).

Kajian biologis burung weris meliputi habitat bertelur, persarangan, clutch size, bentuk telur, ukuran telur, sex ratio, fertilitas, daya tetas, lama inkubasi, kematian embrio, pemeliharaan menyangkut masa kritis, jenis pakan, cara pemberian pakan, bentuk pakan, perkandangan, brooder, karakteristik kimia karkas, dan persentase daging. Metode yang digunakan adalah survei langsung ke habitat burung weris, informasi dari petani dan penangkap, serta melakukan peneropongan, penimbangan dan pengukuran telur, penetasan telur, pemeliharaan sampai umur 60 hari, serta analisis kimia daging. Analisis yang digunakan adalah secara deskriptif dan kuantitatif,serta disajikan dalam bentuk tabeldan gambar.

(6)

joining dengan 1000 kali pengulangan.

Berdasarkan hasil analisis PCA (Principle Component Analysis) didapatkan Eigen value (nilai eigen) dan persentase varians, yang menunjukkan bahwa cukup dengan dua sumbu PC1 dengan nilai eigen sebesar 4.0785 dan PC2 dengan nilai eigen sebesar 1.3101, dan persentase varians PC1 sebesar 68% dan PC2 sebesar 21% dapat memberikan kontribusi untuk penentuan komponen utama. Observasi, kontribusi pada sumbu 1 (PC1) diberikan pada panjang shank, sedangkan pada sumbu 2 (PC2) diberikan oleh panjang ekor. Kemudian dilanjutkan dengan analisis multivariat, yaitu analisis cluster menunjukkan bahwa kekerabatan burung weris antarlokasi sangat tinggi dengan tingkat kemiripan atau similaritas 99%. Berdasarkan hasil pengukuran terdapat perbedaan karakter morfometri pada burung weris, yaitu jantan lebih besar dibandingkan betina pada karakter bobot tubuh, panjang paruh, dan lebar paruh. Perubahan karakter morfologi terutama perubahan warna pada bagian kepala dan pertumbuhan bulu sayap terlihat jelas berdasarkan perkembangan umur, dengan demikian dapat dijadikan dasar pendugaan umur burung.

Matriks nilai jarak genetik kimura 2 parameter dari yang paling kecil dengan nilai 0 sampai paling besar ialah 0.007. Jarak genetik kimura 2 parameter tidak menunjukkan adanya pengelompokan pada masing-masing lokasi, tetapi ada pengelompokan beberapa ekor burung yang terdapat pada empat lokasi yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa lokasi tidak memberikan pengaruh untuk membentuk suatu kelompok yang berbeda. Secara umum dapat dikatakan bahwa Gallirallus philippensis tidak dapat dibedakan antarlokasi.

Jumlah haplotipe yang dihasilkan dari 16 sampel sekuen cyt-b sepanjang 695-nt dari empat lokasi berjumlah 5 haplotipe. Lokasi Papontolen memiliki 3 haplotipe, lokasi Tondano memiliki 3 haplotipe, lokasi Wusa memiliki 1 haplotipe, dan lokasi Ranoyapo memiliki 2 haplotipe. Hasil ini menunjukkan bahwa lokasi Papontolen dan Tondano mempunyai keragaman haplotipe yang paling beragam dibandingkan dengan populasi Wusa, dan Ranoyapo. Lokasi Wusa hanya memiliki 1 haplotipe saja (seragam), yaitu haplotipe 4 yang merupakan haplotipe bersama yang dimiliki oleh burung lain dalam lokasi yang berbeda.

(7)

burung weris adalah 65.85% dengan warna daging dan lemak sama dengan ayam kampung.

(8)

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(9)

SULAWESI UTARA

LUCIA JOHANA LAMBEY

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Ahmad Thohari, DEA Dr. Ir. Rukmiasih, MSi

(11)

Sulawesi Utara

Nama : Lucia Johana Lambey

NRP : D161090071

Program Studi/Mayor : Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc Ketua

Prof. Ir. Wasmen Manalu, Ph.D Anggota

Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Muladno,MSA Dr. Ir.Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(12)

anugerah dan kasihNya sehingga penulis bisa menyelesaikan disertasi ini dengan judul Kajian Biologis, Tingkah Laku, Reproduksi, dan Kekerabatan Burung Weris, Gallirallus philippensis (Gruiformes: Rallidae)di Minahasa Sulawesi Utarapada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan.Penyusunan disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor pada program studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Sekolah Pascasarjana, InstitutPertanian Bogor. Salah satu yang melatarbelakangi penelitian ini adalah belum adanya publikasi ilmiah menyangkut karakteristik fenotipik, genetik, dan kajian biologis serta tingkah lakuburung weris sebagai plasma nutfah yang ada di Minahasa. Burung weris sejak dulu telah memberikan sumbangan protein hewani bagi masyarakat di Minahasa khususnya sehingga penelitian ini merupakan langkah awal sebagai upaya menjaga kelestariannya dengan cara budidaya.

Penelitian ini dapat terlaksana karena adanya dukungan dari banyak pihak. Terima kasih penulis ucapkan kepada komisi pembimbing Bapak Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor MRur.Sc, Bapak Prof. Ir. Wasmen Manalu PhD, dan Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin DEA yang telah memberi arahan, bimbingan, saran, dan perhatian sejak perancangan penelitian, penulisan proposal, penelitian di lapangan dan di laboratorium sampai penyelesaian disertasi ini. Rasa terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.Ir. Dahrul Syah MSc.Agr, Dekan Pascasarjana IPB dan Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Prof.Dr. Ir. Muladno, MSA yang memberikan perhatian, pelayanan, dan semangat, para dosendilingkungan Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan dan staf administrasi Sekolah Pascasarjana IPBatas ilmu, arahan, layanan, bantuan, dan semua masukan yang diberikan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Sam Ratulangi atas izinnya untuk melanjutkan pendidikan Doktor di IPB. Terima kasih kepada pengelola Dikti atas dukungan dana pendidikan BPPS. Terima kasih kepada Pak Heri sebagai teknisi di Laboratorium Biologi Molekuler yang telah membantu selama proses isolasi dan ekstraksi DNA.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Only, Tiltje, Enci Lenda, Indri, Sabrina, Dave, Rendy,teman-teman Asrama Bogor Baru Satu danSempur, serta mahasiswa pascasarjana angkatan 2009 atas bantuan dan kerjasama yang baik selama menuntut ilmu di IPB sampai terselesainya disertasi ini.

(13)

peternakan di Indonesia, khususnya di Provinsi Sulawesi Utara.

Bogor, Januari2013

(14)

Minahasa Induk, Provinsi Sulawesi Utara. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Drs. Simon Lambey dan Ibu Amelia Esther Manapa.

(15)

DAFTAR TABEL ………. xxiii

DAFTAR GAMBAR ………. xxv

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xxvii

PENDAHULUAN Latar Belakang………. 1

Tujuan Penelitian ……….... 4

Manfaat Penelitian ……….. 5

Alur Penelitian ……… 5

TINJAUAN PUSTAKA ……… 7

KARAKTERISTIK MORFOLOGI, PERBEDAAN JANTAN DAN BETINA, DAN PENDUGAAN UMUR BURUNG WERIS (Gallirallus philippensis) DI MINAHASA SULAWESI UTARA Abstrak ……… 15

Abstract ………... 16

Pendahuluan ……… 17

Bahan dan Metode ………. 18

Hasil dan Pembahasan ……… 20

Simpulan ………. 33

Daftar Pustaka ………. 33

KARAKTERISTIK GENETIK BURUNG WERIS (Gallirallus philippensis) ASAL MINAHASA BERDASARKAN MARKA DNA MITOKONDRIA GEN Cytochrome-b Abstrak ……… 35

Abstract ………... 36

Pendahuluan ……… 37

Bahan dan Metode ……….. 40

(16)

xxii

KAJIAN BIOLOGIS DAN KARAKTERISTIK DAGING BURUNG WERIS (Gallirallus philippensis)

Abstrak ……… 57

Abstract ……….. 58

Pendahuluan ……… 59

Bahan dan Metode ………. 60

Hasil dan Pembahasan ……… 67

Simpulan……….. 82

Daftar Pustaka ……… 82

TINGKAH LAKU MENETAS DAN TINGKAH LAKU BURUNG WERIS (Gallirallus philippensis) DI PENANGKARAN Abstrak ……… 85

Abstract ………... 86

Pendahuluan ……… 87

Bahan dan Metode ……….. 88

Hasil dan Pembahasan ……… 90

Simpulan……….. 100

Daftar Pustaka ………... 101

PEMBAHASAN UMUM ……….. 103

SIMPULAN DAN SARAN……… 111

DAFTAR PUSTAKA ………. 113

(17)

1. Deskripsi morfometri burung weris (Gallirallus philippensis) berdasarkan

lokasi………... 21

2. Nilai Eigen dari empat lokasi burung weris (Gallirallus philippensis)

di Minahasa……… 22

3. Deskripsi morfometri Gallirallus philippensis berdasarkan jenis kelamin 26

4. Posisi perbedaan nukleotida dan haplotipe yang dihasilkan dari 16 sampel (4 lokasi) G. philippensis………. 47

5. Matriks jarak genetik kimura 2 parameter pada sampel Gallirallus

philippensisantara 4 lokasi di Minahasa……….. 48

6. Waktu ditemukannya telur burung weris……… 68

7. Persentase karkas burung weris dan beberapa jenis ternak atau hewan lain 79

8. Komposisi kimia daging dari beberapa hewan dan ternak……….. 81

9. Tahapan aktivitas menetas burung weris (Gallirallus philippensis)………. 91

(18)
(19)

2. Burung weris (Gallirallus philippensis)………... 18

3. Proyeksi dari lokasi dan karakter morfologi dalam bidang dua dimensi. 23 4. Dendogram tingkat kesamaan ukuran tubuh pada empat populasi burung weris (Gallirallus philippensis) di Minahasa……….. 24

5. Perbandingan pengukuran enam karakter morfologi burung jantan dan betina……… 28

6. Perubahan warna pada bagian kepala, yaitu paruh, iris mata, dan warna alis mata sejak umur 1 hari sampai 60 hari……… 31 7. Pertumbuhan bulu sayap selama waktu pengamatan 60 hari…………... 31

8. Perubahan karakter burung weris dari umur 1 hari sampai 60 hari……. 32

9. Diagram alur penelitian ……….…………. 39

10. Sebaran sampel burung weris dari daerah Minahasa………... 41

11. Habitat burung weris di persawahan di Minahasa……… 43

12. DNA total dari masing-masing sampel……… 44

13. Hasil elektroforesis pada gel agarose fragmen produk PCR (695) dari Cyt b burung weris………... 45

14. Pohon filogeni Gallirallus philippensis antara lokasi di Minahasa (P, R, T, W) dengan Gallirallus philippensis dari Australia (Q1), dibandingkan dengan autgroup Rallus longirostris, menggunakan metode Neighbor Joining (NJ) dengan jarak genetik Kimura 2 Parameter Bootstrap 1000 kali……… 51

15. Pohon filogeni Gallirallus asal Minahasa (Indonesia) dibandingkan dengan data Gen Bank sepanjang 272 nt……… 53

16. Peta lokasi pengambilan sampel………... 60

17. Mesin tetas yang digunakan………. 61

(20)

xxvi

21. Kematian embrio selama proses penetasan……….. 72

22. Hubungan antara bobot telur dengan bobot tetas………. 74

23. Saluran pencernaan burung weris dan bagiannya……… 79

24. Penampilan warna daging dan lemak burung weris………. 80

25. Pengamatan tingkah laku burung weris di penangkaran……….. 90

26. Aktivitas tidur dan istirahat anak burung di penangkaran……… 92

27. Aktivitas terbang burung weris dalam penangkaran……… 97

(21)

1. Penjajaran runutan nukleotida gen Cyt-b parsial pada G . philippensis. 121

2. Penjajaran runutan 695 nukleotida gen Cyt-b parsial pada G .

philippensis………... 130

3. Penjajaran runutan 272 nukleotida Gen Cyt-b parsial pada G .

philippensis………... 139

(22)
(23)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki Indeks Keanekaragaman Hayati(Biodiversity Index) tertinggi dengan 17% spesies burung dari total burung di dunia (Paine 1997). Sekitar 1598 spesies burung ada di Indonesia. Sulawesi Utara mempunyai keanekaragaman satwa yang sangat tinggi, namun kebanyakan di antara satwa-satwa tersebut mengalami penurunan populasi. Mandar padi kalung kuning (Gallirallus philippensis) atau Buff bunded rail di Minahasa dikenal sebagai burung weris, dianggap sangat rentan terhadap kepunahan karena dari 20 spesies yang masih ada hanya dua yang dianggap tidak terancam, salah satunya adalah Gallirallus philippensis (Taylor dan van Perlo 1998). Sebagian besar burung ini adalah spesies kepulauan, atau dapat pula dengan daerah sebaran terbatas, beberapa diantaranya dikategorikan endemik dan masuk klasifikasi endangered dan extinct karena tingginya gangguan dari predator, seperti ular, kadal, anjing, kucing, serta adanya degradasi habitat akibat aktivitas manusia. Gangguan kelestariannya dapat menyebabkan kelangkaan. Menurut data dari IUCN, Gallirallus philippensis masuk ke dalam kriteria least concern (LC) atau belum mengkhawatirkan.

Potensi keindahan morfologis, keunikan tingkah laku, dan kemerduan suara merupakan daya tarik burung yang menyebabkan perburuannya sering dilakukan, terutama untuk kesenangan (hobiis). Selain itu, di beberapa daerah, satwa burung banyak pula yang diburu untuk dijadikan sebagai makanan (sumber protein hewani). Dengan demikian, keberadaan satwa burung tersebut semakin hari semakin berkurang populasinya, bahkan dikhawatirkan berkurang pula ragam jenisnya. Oleh karena itu, diperlukan upaya guna menjaga eksistensi sekaligus memulihkan populasi burung di Indonesia sehingga perlu dilakukan kegiatan konservasi. Konservasi burung dapat dilakukan secara in-situ (di dalam habitat alaminya), seperti melalui perlindungan jenis, pembinaan habitat dan populasi; dan secara ex-situ (di luar habitat alaminya), salah satu diantaranya melalui penangkaran.

(24)

itik, angsa, puyuh, telah memberikan sumbangan yang memadai untuk produk nasional. Namun, jumlah spesis burung yang tergolong sebagai populasi liar masih jauh lebih banyak lagi dan akhir-akhir ini mengalami ancaman yang sangat serius, baik karena kerusakan habitat, gangguan pencemaran, maupun penangkapan yang tidak terkendali dan secara klasik disebabkan oleh karena pemahaman masyarakat terhadap ekologis burung belum memadai.

Kegiatan penangkaran burung tidak hanya sekadar untuk kegiatan konservasi jenis dan peningkatan populasi, tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk pendidikan, penelitian, dan pengembangan wisata. Hasil penangkaran dapat dilepas-liarkan ke habitat alam (sesuai dengan syarat-syarat dan peraturan yang berlaku), serta sebagian dapat dimanfaatkan untuk tujuan komersial, terutama mulai dari hasil keturunan ke dua.

Masyarakat Manado dan Minahasa sudah sejak lama mengkonsumsi daging burung weris pada acara pengucapan syukur keberhasilan panen, perkawinan, dan acara syukuran lainnya. Pada acara syukuran tersebut masyarakat lebih memilih daging burung weris dibandingkan dengan daging ayam karena daging burung weris memiliki rasa yang manis, berserat, dan tidak berlemak dibanding ayam. Di daerah Minahasa, burung weris diperoleh dengan cara menangkap menggunakan jerat burung yang terbuat dari kayu atau buluh menggunakan tali snar yang dinamakan dodeso, ada yang menggunakan pukat, senapan angin, dan anjing sebagai hewan pemburu yang biasanya dilakukan pada malam hari. Penangkapan dengan menggunakan dodeso, senapan, dan hewan berburu, hasil tangkapannya dalam jumlah yang sedikit dan dalam keadaan mati, sedangkan yang menggunakan pukat biasanya hasil tangkapannya dalam jumlah yang besar dan dalam keadaan hidup. Para penangkap tidak mempedulikan apakah hasil tangkapannya sudah siap untuk dipanen atau belum, biasanya hanya yang masih anakan saja yang dilepaskan kembali dan jika alat tangkapannya berupa dodeso dan yang terkena dodeso masih anakan burung, tidak akan dilepaskan kembali karena hasil tangkapannya dalam keadaan lemah atau mati.

(25)

dodeso dijual lebih mahal dibandingkan dengan yang menggunakan pukat. Didaerah Minahasa Induk, para penangkap menjual dengan harga Rp.15.000– 20.000 perekor, lebih mahal dengan yang menjualnya dipasaran yang biasanya menggunakan pukat. Hasil tangkapan tersebut akan dijual dipasar dengan kisaran harga Rp7.500-15.000. Dibandingkan dengan ayam, burung weris lebih disenangi walaupun harganya relatif lebih mahal dengan ukuran bobot badannya yang kecil.

Burung weris termasuk burung daerah tropis yang bisa dikembangkan sebagai satwa harapan tropis karena burung weris adalah burung lokal yang mempunyai keunggulan, yaitu kemampuan adaptasi dengan lingkungan cukup tinggi dan tahan terhadap penyakit. Berdasarkan informasi dan pengamatan dialam, makanan burung weris sangat beragam dari invertebrata, (seperti cacing, molusca), biji-bijian, dan dari akar, tunas, dan daun, beras, jagung, buah, sampai dengan sisa makanan manusia. Berdasarkan hal tersebut, jika burung weris dibudidayakan, masalah yang paling besar adalah masalah pakan, namun masalah ini bisa diatasi, karena ketersediaan pakan yang ada didaerah habitatnya cukup memadai sehingga makanannya dapat dimanipulasi berdasarkan jenis makanan yang ada dihabitat alaminya. Selain itu, sampai saat ini belum ada informasi yang menyatakan bahwa burung weris memiliki sifat kanibal, jika dibandingkan dengan burung puyuh yang memiliki sifat kanibalisme yang tinggi.

(26)

kepunahan. Dalam populasi yang terdiri atas sejumlah kecil individu terdapat risiko biologi yang sangat besar, yaitu berkurangnya keragaman genetik karena peningkatan silang dalam. Silang dalam yang tinggi akan mengancam kelangsungan hidup populasi karena akan dihasilkannya keturunan-keturunan yang abnormal.

Sampai saat ini, belum ada publikasi ilmiah ataupun penelitian tentang burung weris, selain itu belum ada usaha yang dilakukan oleh peneliti dan pemerintah untuk mengembangkan dan melestarikan satwa harapan ini diluar habitat aslinya. Alur penelitian yang akan dilakukan dapat dilihat pada Gambar 1. Melalui pemahaman ini, diperlukan suatu kajian biologi, tingkah laku, dan reproduksi untuk proses pengelolaan penangkaran dan pembudidayaan di kandang sampai pada hubungan kekerabatan burung weris di Minahasa. Diharapkan, populasi burung weris akan meningkat melalui proses budidaya sehingga dapat menyumbangkan pangan sumber protein hewani. Hasil-hasil penelitian dan kajian ini dapat dijadikan acuan dalam pengelolaan dan pembudidayaan burung weris (Gallirallus philipensis).

Tujuan Penelitian :

1. Mempelajari aspek biologi pada kondisi pembudidayaan ex situ yang dapat dikembangkan sebagai ternak pedaging.

2. Memperoleh gambaran tingkah laku yang berhubungan dengan aktivitas harian secara umum.

3. Mempelajari keragaman fenotipik dan genetik di dalam dan antar populasi. 4. Mengetahui kekerabatan beberapa burung weris yang ada di Minahasa, dapat

membedakan jenis kelamin jantan dan betina, serta melakukan pendugaan umur burung weris.

5. Membuat suatu pola manajemen pemeliharaan sesuai dengan lingkungan pembudidayaan.

(27)

Manfaat

1. Mendapatkan informasi habitat burung weris dan perkiraan populasinya. Hasil penelitian dapat digunakan untuk pengambilan kebijakan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dalam penanganan dan pengembangan satwa harapan yang ada di Sulawesi Utara.

2. Informasi hasil penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan oleh kalangan ilmuwan sebagai bahan kajian maupun data dasar untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian tentang burung weris sebagai satwa harapan tropis di Sulawesi Utara.

3. Mempertahankan keberadaan plasma nutfah.

Alur Penelitian

Gambar 1. Alur penelitian yang akan dilakukan.

(28)
(29)

TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi

Berdasarkan penilaian Birdlife Internasional (2006), Burung Weris (Galllirallus philippensis), termasuk kedalam least concern (kurang mengkhawatirkan). Taksonomi burung weris adalah sebagai berikut:

King : Animalia Phylum : Chordata Kelas : Aves Order : Gruiformes Family : Rallidae Genus : Gallirallus

Species : Gallirallus philippensis

Burung weris masuk ke dalam famili Rallidae, atau burung rail, yaitu keluarga burung berukuran kecil hingga menengah. Habitat yang umum adalah rawa, dekat sungai atau danau, dan hutan lebat. Rallidae umumnya berkembang biak di daerah yang bervegetasi padat.

Burung air adalah burung yang seluruh hidupnya bergantung pada daerah perairan. Menurut Rusila (1994), burung air dapat diartikan sebagai kelompok burung yang secara ekologis bergantung pada lahan basah. Lahan basah yang dimaksud adalah daerah lahan basah yang alami dan buatan, meliputi daerah bakau, rawa, dataran berlumpur, danau, tambak, dan sawah.

(30)

Morfologi

Sifat kuantitatif adalah ciri-ciri makhluk hidup yang dapat diukur, dihitung atau diskor. Karakter ini ditentukan oleh banyak pasang gen (poligenik) dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Sifat kualitatif, seperti warna, pola warna, sifat bertanduk atau tidak bertanduk dapat dibedakan tanpa harus mengukurnya. Sifat kualitatif biasanya hanya dikontrol oleh sepasang gen (Noor 2010).

Rail adalah famili yang cenderung bervariasi, berukuran kecil hingga menengah. Ukuran bervariasi dari 12 cm hingga 63 cm dengan bobot dari 20 g hingga 3 kg. Spesies Gallirallus torquatus memiliki paruh dan kaki gelap, paruh atas cokelat gelap, muka dan pipi hitam dengan strip putih dipipi. Burung ini memiliki panjang sayap 135-156 mm, Tarsus 46-53 mm, ekor 45-62 mm, paruh 41-48 mm. Gallirallus philipensis memiliki panjang sayap 129-144 mm, tarsus 39-46 mm, ekor 65-68 mm, dan panjang paruh 27-33 mm ( Allen et al. 2004). Ukuran panjang badan Gallirallus phillipensis adalah 28-33 cm, alis abu-abu pucat panjang, pita karat lebar melalui mata, bagian atas berbintik putih (Coates & Bishop 1997).

Ozaki (2009) menyatakan bahwa untuk penentuan jenis kelamin pada Gallirallus okinawae dapat dilakukan melalui ukuran kepala dan tinggi paruh, sedangkan untuk melihat umur dari Gallirallus okinawae dapat dilakukan melalui bentuk dan warna bulu primer, paruh, dan mata.

Habitat dan Penyebaran

Famili ini menunjukkan tingkat keragaman habitat yang cukup tinggi yang meliputi crake, coot, gallinule rail, dan swamphens. Banyak dari famili ini yang akrab dengan tanah basah, dan juga daratan, kecuali padang tandus, dan wilayah kutub. Burung ini menyenangi daerah lembap atau lahan basah, seperti daerah dekat sungai, rawa, atau danau dengan vegetasi lebat. Burung ini biasanya cukup pemalu, tapi bisa menjadi sangat jinak dan berani dalam beberapa keadaan, seperti di daerah pulau di Great Barrier Reef. Beberapa spesies dari famili Rallidae hidup dalam berbagai jenis hutan, dari daerah dataran rendah sampai daerah dataran tinggi.

(31)

semua spesies, tapi kebanyakan mengikuti pola ini. Rail menampilkan tingkah laku seksual seperti pacaran dan pada akhirnya terjadi kopulasi. Pada beberapa spesies, kopulasi terjadi tanpa sebelumnya menampilkan tingkah laku pacaran. Sebelum kawin, biasanya Rail jantan Afrikan berjalan di sekitar betina dengan ekor diangkat dalam rangka untuk mengekspos bulu putih di bawah ekor atau Rail jantan berjalan di sekitar betina dengan sayap terangkat. Jantan dari genus "Sarothrura" ekornya bergetar dengan cepat dari sisi ke sisi dengan membungkuk atau sikap tegak.

Burung weris banyak ditemukan di Australia, Asia, dan wilayah barat Pasifik, termasuk Filipina, Indonesia, New Guinea, Australia, Selandia Baru - di mana ia dikenal sebagai Buff Banded Rail. Burung weris ini memiliki 26 subspesies yang dua subspesies di antaranya telah punah, yaitu G.p. andrewsi, endemik di Pulau Chatham dan G.p. macquariensis endemik di Kepulauan Macquariensis. Ada satu subspesies yang dalam kategori langka, yaitu G.p. andrewsi diKepulauan Cocos. Coates dan Bishop (1997) menyatakan bahwa burung weris terdapat di daerah Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara.

Habitat adalah bentuk komunitas biotik, atau sekumpulan komunitas biotik di mana seekor satwa atau populasi hidup (Bailey 1984). Habitat yang sesuai memenuhi semua syarat-syarat tempat hidup dari suatu spesies untuk suatu musim (habitat musim dingin, habitat perkembangbiakan) atau sepanjang tahun. Syarat-syarat habitat adalah bermacam tipe dari makanan, pelindung (cover), dan faktor lain yang dibutuhkan oleh spesies satwa liar untuk bertahan hidup dan berkembang biak. Alikodra (2010) menyatakan bahwa habitat adalah kawasan yang terdiri atas berbagai komponen, baik fisik maupun biologis, yang merupakan suatu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembang biak suatu organisme secara alami. Lebih jauh dijelaskan bahwa habitat mempunyai fungsi dalam menyediakan makanan, air, dan sebagai pelindung. Komponen fisik dan komponen biotik membentuk sistem yang dapat mengendalikan kehidupan satwa liar.

(32)

suatu jenis satwa liar mempertahankan kelangsungan hidupnya ditentukan salah satunya oleh faktor karakteristik vegetasinya (Copperider et al. 1988).

Habitat burung weris adalah padang rumput, subtropis/tropis kering, perairan, rawa-rawa, lahan gambut, pesisir laut, pesisir danau, dan perkebunan. Hilangnya habitat (habitat loss) mencakup semua bentuk perubahan struktur habitat yang mengakibatkan pengurangan luas dan kualitas habitat yang tersedia bagi spesis tertentu (Dekker dan McGowan 1995). Kerusakan habitat (habitat degradation) adalah berkurangnya kualitas habitat tanpa kehilangan semua lindungan vegetasi yang diakibatkan oleh kegiatan tebang pilih dan over grazing oleh ternak.

Naungan (cover) adalah bagian dari habitat yang berfungsi sebagai tempat berlindung (terhadap panas matahari, predator, dan gangguan lain), beristirahat atau berkembang biak dari beberapa jenis satwa. Naungan dapat berfungsi sebagai tempat mencari makan dan minum.

Tingkah Laku

Tingkah laku satwa dapat diartikan sebagai suatu ekspresi yang disebabkan oleh semua faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku satwa dinamakan rangsangan, stimuli atau agents, sedangkan aktivitas yang ditimbulkan dinamakan respons. Tingkah laku yang dipelajari tidak hanya apa yang dilakukan oleh hewan itu saja, tetapi juga kapan, dimana, bagaimana, dan mengapa tingkah laku terjadi.

Macam dan banyaknya rangsangan yang diterima akan menghasilkan pengalaman hewan dari waktu kewaktu pada masa lalu, yang sangat mempengaruhi respons hewan (Suratmo 1979). Selanjutnya, rangsangan yang sama juga dapat mempunyai efek yang berbeda pada individu yang berbeda atau pada spesies yang berbeda.

(33)

Respons hewan terhadap semua faktor rangsangan pada prinsipnya berasal dari suatu dorongan dasar untuk tetap hidup (Survive) dengan melakukan semua usaha. Survival suatu individu atau spesies bergantung pada kemampuannya memperoleh pakan, melakukan reproduksi, dan regenerasi. Dorongan dasar ini akan menentukan beberapa pola yang relatif tetap dalam tingkah laku hewan (Suratmo 1979).

Perilaku makan adalah penampakan tingkah laku dalam kaitannya dengan aktivitas makan. Aktivitas makan itu sendiri merupakan bagian dari aktivitas harian. Pada burung, umumnya aktivitas tersebut dilakukan pada pagi hingga sore hari, kecuali pada beberapa jenis burung malam (Powel 1986).

Perilaku makan binatang sangat bervariasi, baik lamanya makan maupun frekuensi tingkah laku pada saat makan. Perilaku makan dari tiap-tiap spesies hewan memiliki cara-cara yang spesifik. Faktor yang mempengaruhi berbedanya cara makan antara lain morfologi hewan yang mencari makan, rangsangan dari makanan itu sendiri, dan faktor dari dalam tubuh hewan yang akan memberikan urutan gerak tubuh pada binatang tersebut (Suratmo 1979).

Kushlan (1978) mengidentifikasi tiga macam perilaku makan yang tampak pada famili Ardeidae, yaitu berdiri atau mengikuti mangsa (stand or stalk feeding), mengganggu dan memburu mangsa (disturb and chase feeding), serta menangkap mangsa diudara dan dibawah perairan (aerial and deep water feeding).

Konservasi Satwa Liar

(34)

Konservasi sumber daya alam adalah kegiatan yang meliputi perlindungan, pengawetan, pemeliharaan, rehabilitasi, introduksi, pelestarian, pemanfaatan, dan pengembangan. Sesuai dengan pengertian konservasi sumber daya alam secara umum, Alikodra (2002) menyatakan bahwa konservasi satwa liar merupakan kegiatan yang meliputi perlindungan, pengawetan, pemeliharaan, rehabilitasi, introduksi, pelestarian, pemanfaatan, dan pengembangan satwa liar. Jadi, tujuan kegiatan konservasi satwa liar adalah terjaminnya kelangsungan hidup satwa liar dan terjaminnya kebutuhan masyarakat untuk memanfaatkannya, baik langsung maupun tidak langsung, berdasarkan prinsip pelestarian.

Konservasi Genetik

Tolok ukur keberhasilan kegiatan konservasi didasarkan pada keanekaragaman genetiknya sehingga keanekaragaman genetik menjadi indikator kunci yang penting. Keadaan alam yang berubah dari waktu kewaktu menyebabkan suatu spesies harus mampu beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, untuk bertahan hidup. Variasi genetik menentukan kemampuan individu untuk beradaptasi terhadap perubahan (Haig dan Nordtrom 1991).

Suatu organisme dikatakan mirip atau menyerupai induknya karena ada beberapa persamaan ciri-ciri yang dapat dilihat atau diwariskan. Ciri-ciri yang diwariskan itu disimpan sebagai informasi genetik dalam gen-gen yang secara molekuler tersusun atas asam nukleat DNA (Sofro 1994). Bila suatu ciri masih dinyatakan dalam perangkat genetiknya maka ciri-ciri ini disebut genotipe. Tapi jika genotipe ini sudah diekspresikan dalam bentuk suatu molekul protein dan dipengaruhi oleh faktor lingkungan maka ciri-ciri ini menjadi suatu penampilan atau fenotipe.

(35)

dapat dikategorikan spesies yang terancam punah dan mungkin untuk spesies lain dari famili Rallidae(Ozakiet al. 2010).

Keanekaragaman genetik identik dengan keanekaragaman alela dan heterozigositas genotipe. Hilangnya keanekaragaman hayati dapat menyebabkan: penyimpangan genetik secara acak, derajat silang dalam (inbreeding yang tinggi), dan pengurangan populasi yang efektif dari suatu spesies. Strategi yang dapat diaplikasikan pada populasi yang kecil ialah dengan memasukkan individu-individu baru dari populasi lain yang heterogen secara teratur sehingga akan meningkatkan kualitas genetik (Haig & Nordstrom 1991).

DNA Mitokondria

DNA yang terdapat dalam sel terdiri atas DNA inti dan DNA sitoplasma. DNA sitoplasma berupa DNA mitokondria dan DNA kloroplast. Genom inti dan sitoplasmik ini menjadi karakter organisme sehingga dapat dijadikan sebagai acuan dalam perbandingan ciri, baik kesamaan maupun perbedaannya. Semakin dekat kekerabatan pada tingkat takson maupun tingkatan keturunan (lineage) dari organisme tersebut maka semakin besar kesamaan pada tingkatan molekulnya. Hal ini yang menjadi dasar perunutan hubungan evolusi dan asal usul organisme (Duryadi 2005).

DNA mitokondria memiliki karakteristik sebagai molekul DNA yang diturunkan secara utuh tanpa adanya rekombinasi, memiliki molekul dengan ukuran kecil/pendek yang susunannya berbeda dari DNA inti, dan memiliki variasi basa nukleotida yang lebih tinggi dibandingkan dengan DNA inti. Tingginya variasi basa nukleotida disebabkan DNA mitokondria memiliki laju perubahan 5-10 kali lebih tinggi dibandingkan DNA inti (Muladno 2006).

(36)

mitokondria berevolusi dengan laju yang berbeda sehingga dapat berguna untuk studi sistematika dan penelusuran kesamaan asal usul (Park dan Moran 1995).

DNA mitokondria hewan secara umum memiliki jumlah dan jenis gen yang sama. Berdasarkan jenis gennya, genom mitokondria dibagi menjadi 2 bagian, yaitu daerah penyandi (coding region) yang terdiri atas 37 gen, yaitu 13 gen penyandi protein, 2 gen penyandi rRNA, dan 22 gen penyandi tRNA. Daerah bukan penyandi terdiri atas daerah kontrol (control region) yang memegang peranan dalam proses transkripsi dan replikasi genom mitokondria (Anderson et al. 1981).

Genom mitokondria pada kelompok burung sedikit berbeda dari susunan gen pada vertebrata lainnya. Perubahan yang terjadi diduga karena adanya pertambahan dan pengurangan gen pada replikasi mtDNA sehingga menghasilkan susunan gen yang baru (Quinn & Wilson 1993). Menurut Kvist (2000), perbedaan susunan genom mitokondria terletak pada urutan sel penyandi protein ND5 dan daerah D-loop. Menurut Mindell et al. (1998), urutan gen pada genom mitokondria vertebrata (selain ayam) adalah ND5, ND6, tRNAglu, Cyt-b, tRNAThr, tRNAPro dan D-loop, sedangkan genom mitokondria ayam mempunyai urutan gen ND5, Cyt-b, tRNAThr, tRNAPro, ND6, tRNAGludan D-loop. Susunan gen pada Pecidae, Cuculidae, Passeriformes, dan Falconiformes menjadi ND5, Cyt-b, tRNAThr, D-loop tRNAPro, ND6, tRNAGlu.

(37)

ABSTRAK

LUCIA JOHANA LAMBEY. Karakteristik Morfologi, Perbedaan Jantan dan Betina, dan Pendugaan Umur Burung Weris (Gallirallus philippensis) di Minahasa Sulawesi Utara. Dibimbing oleh RONNY RACHMAN NOOR, WASMEN MANALU, dan DEDY DURYADI SOLIHIN.

Tujuan penelitian ini adalah melihat kekerabatan Gallirallus philippensis antar lokasi di Minahasa, dan membedakan jenis kelamin, serta pendugaan umur berdasarkan perubahan morfologi Gallirallus philippensis. Tiga puluh lima ekor Gallirallus philippensis diambil dari empat lokasi, yaitu Tondano, Papontolen, Ranoyapo, dan Wusa. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa panjang paruh, panjang sayap, dan panjang shank tidak berbeda di empat lokasi yang diamati. Analisis PCA dari karakteristik morfometrik menunjukkan bahwa komponen utama pada burung weris adalah panjang shank dan panjang ekor. Analisis klaster menunjukkan bahwa Gallirallus philippensis di Minahasa memiliki tingkat kekerabatan yang tinggi. Analisis deskriptif menunjukkan bahwa bobot badan, panjang paruh, lebar paruh Gallirallus philippensis jantan lebih tinggi dibanding betina. Pendugaan umur Gallirallus philippensis dapat ditentukan berdasarkan warna iris mata, warna paruh, warna bulu bagian leher, dan pertumbuhan bulu bagian sayap.

(38)

ABSTRACT

LUCIA JOHANA LAMBEY. Morphological Characteristics, Sex Differences, and Age Estimation of Weris (Gallirallus philippensis) in Minahasa, North Sulawesi. Under Supervision of RONNY RACHMAN NOOR, WASMEN MANALU, and DEDY DURYADI SOLIHIN.

The aims of this study were to study Gallirallus philippensis similarity intersites in Minahasa, to conduct sex determination, to determine the age of Gallirallus philippensis using morphological characteristic changes. Thirty five of weris birds were taken from four locations i.e Tondano, Papontolen, Ranoyapo, and Wusa in Minahasa, North Sulawesi. The results of descriptive analysis showed that beak lenght, wing length, and shank length did not differ among the birds in the four locations. The result of Principle Component Analysis of morphometric characteristics showed that the main component in the location were shank length and tail lenght. Based on Cluster Analysis results, the four populations had high similarity. Descriptive analysis showed that body weight, beak length, beak width of males weris were larger than those of females weris. Age of Gallirallus philippensis could be determined by the colors of the iris, beak, and feather of the neck, and the growth of the wing feathers.

(39)

Pendahuluan

Burung weris (Gallirallus philippensis; L 1766) dianggap sangat rentan terhadap kepunahan, karena dari 20 spesies dari genus Galliralus yang masih ada hanya dua yang dianggap tidak terancam, salah satunya adalah Gallirallus philippensis (Taylor & van Perlo 1998). Sebagian besar anggota genus Gallirallus adalah spesies kepulauan, beberapa diantaranya dikategorikan endemik dan masuk kedalam klasifikasi endangered dan extinct, karena tingginya gangguan dari predator, seperti ular, kadal, anjing, dan kucing, serta adanya degradasi habitat akibat aktivitas manusia. Menurut data dari IUCN, Gallirallus philippensis termasuk ke dalam kriteria LC (least concern) atau belum mengkhawatirkan, namun di daerah Minahasa jenis ini dijadikan sebagai salah satu makanan sumber protein hewani, dan dikhawatirkan telah terjadi pemanfaatan yang tidak terkendali. Hal ini dibuktikan dengan kesulitan dalam memperoleh burung weris di pasar-pasar tradisional di Minahasa saat ini.

Taylor & van Perlo (1998) melaporkan tentang pengukuran morfologi famili Rallidae, seperti panjang sayap, ekor, culmen, tarsus, bobot badan, dan total kepala yang diambil baik dari burung hidup dan spesimen. Kesimpulan yang didapat adalah bahwa sebagian besar famili Rallidae memiliki ukuran yang sama, baik jantan dan betina, walaupun jantan sedikit lebih besar dari betina. Lebih lanjut dikatakan bahwa sesudah bulu tumbuh, sangat sulit dibedakan antara burung dara atau remaja dari yang sudah dewasa.

(40)

Karakterisasi ini sangat bermanfaat untuk membantu proses penangkaran dan sebagai dasar penelitian spesies lain dari genus Gallirallus. Data pengukuran eksternal yang dikumpulkan dalam penelitian ini ialah mengenai umur dan jenis kelamin yang berguna untuk perbandingan antara spesies dan mempelajari hubungan perubahan evolusi serta adaptasi burung weris terhadap lingkungan atau habitatnya.

Tujuan penelitian ini adalah mempelajari keragamaan fenotipik, mengetahui kekerabatan beberapa burung weris yang ada di Minahasa, membedakan jenis kelamin berdasarkan ukuran tubuh, serta pendugaan umur burung weris berdasarkan perubahan morfologi.

Bahan dan Metode

Burung weris (Gallirallus philippensis; L 1766) yang diperoleh di lapangan berdasarkan pernyataan Coates & Bishop (1997), Kennedy et al (2004) memiliki ciri-ciri panjang sayap 129–144 mm, tarsus 39–46 mm, ekor 65–68 mm, dan panjang paruh 27–33 mm. Ukuran panjang total Gallirallus philippensis adalah 28-33 cm, alis abu-abu pucat panjang, pita karat lebar melalui mata, bagian atas mata bergaris putih serta bintik-bintik putih dibagian belakang (Gambar 2).

Gambar 2 Burung weris (Gallirallus philippensis)

(41)

sampel dilakukan secara purposive sampling dengan memilih beberapa lokasi

yang ada di Minahasa, yaitu Tondano, Minahasa (posisi 1º 17’ 31,60” N 124º 54’

03,94” E 681,5 m dpl), Wusa, Minahasa Utara (posisi 1º 34’ 01,24” N 124º 55’

37,97” E 81,82 m dpl), Papontolen, Minahasa Selatan (posisi 1º 16’ 22,17” N

124º 37’ 27,73” E 13,3 m dpl), Ranoyapo , Minahasa Selatan (posisi 0º 54’ 47,95”

N 124º 28’ 22,25” E 346,7 m dpl) (Gambar 3). Jumlah sampel yang dikoleksi

dari Tondano, Wusa, Ranoyapo, dan Papontolen masing-masing sebanyak 9, 9, 7, dan 10 ekor atau totalnya sebanyak 35 ekor dari burung weris yang telah mencapai dewasa tubuh.

Sumber : Bakosurtanal

Gambar 3 Sebaran sampel burung weris dari daerah Minahasa.

Data morfologi yang diukur ialah bobot badan yang diukur dengan menimbang individu burung dengan timbangan digital, panjang paruh yang diukur dari pangkal sampai ujung paruh, panjang sayap diukur dari ujung scapula (lipatan sendi sayap) sampai ujung bulu sayap primer terpanjang tanpa penekanan (alami), panjang ekor yang diukur antara pangkal bulu ekor sampai ujung bulu ekor terpanjang, dan panjang shank yang diukur dari belakang sendi intertarsal kearah bawah sampai daerah sole.

(42)

panjang paruh, lebar paruh, dan panjang shank diukur dengan menggunakan jangka sorong dengan akurasi 0.1 mm, dan bobot badan menggunakan timbangan pesola dengan akurasi 1 g.

Hasil pengukuran beberapa karakter tubuh dalam bentuk data sheet Excel ditabulasi kemudian dianalisis secara deskriptif untuk mendapatkan nilai rataan dan simpangan baku. Perbedaan rataan ukuran-ukuran tubuh antarlokasi diuji dengan menggunakan uji Duncan. Analisis morfologi dilakukan dengan analisis multivariat, yaitu Principle Component Analisis (PCA) dari program minitab 16, demikian pula dengan analisis klaster.

Karakteristik Morfometri Berdasarkan Jenis Kelamin

Sebanyak 34 ekor dari 35 sampel burung weris yang telah diukur karakteristik morfometri selanjutnya dibedah untuk melihat organ reproduksi (testis dan ovarium). Berdasarkan hasil pengamatan organ reproduksi, ke-34 sampel tersebut dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin. Analisis untuk mengetahui sebaran data dari jenis kelamin jantan dan betina digunakan grafik kotak plot (boxplot). Prinsip dari boxplot adalah 50% dari data pengamatan menyebar dalam kotak (box), dan median adalah 50% dari data pengamatan menyebar pada nilai median kotak plot (boxplot).

Pendugaan Umur Berdasarkan Karakteristik Morfologi

(43)

Hasil dan Pembahasan

Karakterisasi Gallirallus philippensis Berdasarkan Lokasi

Hasil analisis deskripsi morfometri (Tabel 1) menggambarkan bahwa burung weris di lokasi Papontolen dan Ranoyapo memiliki rataan bobot tubuh yang lebih berat dibandingkan dengan bobot tubuh burung weris yang ada dilokasi Tondano dan Wusa, walaupun sama-sama sudah mencapai dewasa tubuh. Perbedaan ini diduga dipengaruhi oleh perbedaan umur karena diambil di alam dan beberapa faktor lingkungan, seperti ketersediaan pakan, suhu, dan posisi geografis lokasi.

(44)

Tabel 1 Deskripsi morfometri burung weris (Gallirallus philippensis) berdasarkan Ranoyapo tidak berbeda, kecuali lokasi Tondano yang memiliki nilai lebih rendah dibandingkan dengan 3 lokasi tersebut. Keseluruhan habitat tempat burung weris ini ditemukan berupa daerah persawahan atau lahan basah buatan yang fungsi utamanya sebagai tempat menanam padi. Burung weris menjadikan persawahan sebagai tempat mencari makan karena banyak ditemukan hewan invertebrata, seperti keong (moluska), krustacea dan ekinodermata. Perbedaan ukuran morfologi berkaitan dengan perbedaan pakan dan habitat. Seperti burung Robin (Erithacus rubecula) yang hidup pada 3 tipe habitat yang berbeda mempunyai ukuran tarsus pendek dan paruh yang panjang karena ukuran pakannya yang bervariasi (Rosinska 2007). Morfologi paruh dan tarsus merupakan karakter yang dapat mengalami evolusi karena karakter-karakter tersebut dipengaruhi oleh adaptasi terhadap perubahan pola dan jenis pakannya (Grenier & Greenberg 2005). Hal ini dapat diamati pada burung pemakan serangga (insectivorous) yang mencari makan di bagian atas pohon dan dedaunan, pada semak belukar, burung-burung tersebut mempunyai ukuran paruh dan tarsus yang relatif lebih panjang (Carrascal et al. 1990). Karakter lain, seperti panjang paruh, panjang sayap, dan panjang shank, adalah relatif sama, sedangkan panjang ekor dan lebar paruh berbeda.

(45)

dengan dua sumbu (PC1 dan PC2) sudah dapat menjelaskan komponen utama dalam pengamatan ini. Hal tersebut terlihat dari Eigen value PC1 sebesar 4,0785 dan PC2 sebesar 1,3101, sedangkan sumbu yang lain memiliki nilai yang sangat kecil. Demikian juga dengan persentase varians PC1 sebesar 68% dan PC2 sebesar 21% sehingga total 89% kontribusi untuk penentuan komponen utama dapat dijelaskan oleh sumbu 1 (PC1) dan sumbu 2 (PC2). Observasi, kontribusi pada sumbu 1 (PC1) diberikan pada panjang shank sedangkan pada sumbu 2 (PC2) diberikan oleh panjang ekor (Gambar 4).

Tabel 2 Eigen value dari empat lokasi burung weris (Gallirallus philippensis) di Minahasa

PC1 PC2 PC3

Eigen value 4.0785 1.3101 0.6114

%variance 0.680 0.218 0.102

Cumulative 0.680 0.898 1.000

Bobot tubuh (g) 0.465 -0.080 0.425

Panjang paruh (cm) 0.410 -0.301 -0.565

Lebar paruh (cm) 0.314 0.617 0.401

Panjang ekor (cm) -0.252 0.675 -0.485

Panjang sayap (cm) 0.468 0.257 -0.184

Panjang shank (cm) 0.484 0.034 -0.264

(46)

2

Gambar 4 Proyeksi dari lokasi dan karakter morfologi dalam bidang dua dimensi

Menggunakan analisis multivariat yang lain, yaitu analisis klaster (Gambar 5), hasilnya menunjukkan pengelompokan sejumlah individu ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan derajat kemiripan yang paling dekat. Secara umum, berdasarkan parameter ukuran tubuh populasi burung pada empat daerah terbagi dalam tiga kelompok, yaitu kelompok pertama adalah populasi burung di Tondano dan Wusa, selanjutnya keduanya tergabung dalam kelompok yang lebih jauh, yaitu dengan daerah Ranoyapo dan hubungan yang lebih jauh lagi, yaitu dengan kelompok burung di Papontolen walaupun tingkat perbedaannya sangat sedikit sekali.

Hal ini menunjukkan bahwa diantara keempat lokasi di Minahasa memiliki hubungan morfologis yang sangat dekat. Hasil ini ditunjukkan pula pada konstruksi pohon dendogram (Gambar 5). Penyebaran burung weris yang ada pada keempat lokasi di Minahasa masih mungkin terjadi walaupun jarak terbang dari burung weris tidak sejauh jarak antara masing-masing lokasi.

Wusa

Ranoyapo

Papontolen

(47)

Papontolen burung weris (Gallirallus philippensis) di Minahasa

Biasanya burung weris hasil tangkapan dipelihara beberapa saat kemudian baru dipotong sesuai kebutuhan sehingga kemungkinan ada yang terlepas, ataupun pada proses pengangkutan beberapa burung bisa terlepas sehingga terjadi perkawinan burung weris pada lokasi yang berbeda. Selain itu, antardaerah di Minahasa dipisahkan oleh sungai yang satu dengan lainnya dihubungkan oleh jembatan penyeberangan sehingga perpindahan dari satu lokasi ke lokasi yang lain bisa terjadi dan tidak menutup kemungkinan terjadi pula perkawinan antara burung dari satu lokasi dengan lokasi yang lain, yang berakibat burung weris di empat lokasi yang berbeda memiliki banyak kesamaan.

(48)

Pada kondisi habitat yang tidak lagi memenuhi kebutuhan hidup, burung akan berpindah ke wilayah lain. Berbagai tipe habitat menyediakan kelimpahan sumber pakan untuk berbagai jenis burung (Howes et al. 2003), walaupun menurut Paerman (2002) hubungan antara struktur vegetasi dan struktur komunitas burung terkadang sulit untuk diamati.

Perbedaan Jenis Kelamin Berdasarkan Data Morfometri

Secara umum berdasarkan warna bulu yang dimiliki burung weris adalah jenis burung yang monomorfik, yaitu tidak dapat dibedakan antara jantan dan betina. Yong (2011) menyatakan bahwa sembilan ukuran parameter pada burung Swinhoe's Storm Petrels tidak dapat digunakan untuk pembedaan jenis kelamin walaupun dari warna menunjukkan bahwa burung betina memiliki refleksi warna pada bulu-bulu di bagian perut yang lebih tinggi, dan pada bagian mahkota refleksi warna lebih tinggi pada jantan.

Berdasarkan analisis data morfometrik, burung weris jantan memiliki bobot tubuh, panjang paruh, dan lebar paruh yang berbeda dari burung betina. Bobot tubuh burung jantan lebih berat dari betina, yang disebabkan burung jantan lebih agresif untuk berburu dan menangkap mangsa dibanding betina sehingga burung jantan memiliki kesempatan untuk memperoleh makanan lebih besar dibandingkan dengan burung betina. Oleh karena itu, tampaknya burung weris memiliki dimorfisme seksual (Tabel 3). Fenomena yang sama dapat ditemukan pada burung lain, yaitu bobot badan Blackbird (Turdus merula) jantan lebih berat dibandingkan betina pada setiap musim (Wysocki 2002).

Tabel 3 Deskripsi morfometri Gallirallus philippensis berdasarkan jenis kelamin

Peubah

(49)

Hasil analisis boxplot terhadap karakter bobot badan menunjukkan bahwa burung jantan memiliki sebaran nilai lebih kecil dibandingkan dengan burung betina. Hal ini mencerminkan bahwa keragaman bobot tubuh burung weris jantan lebih kecil. Nilai median bobot badan burung weris jantan berada pada angka 186,25 g, jika dibandingkan dengan nilai median burung betina yang sebagian besar data menunjukkan menyebar di atas nilai median. Hal ini sejalan dengan pendapat Taylor dan van Perlo (1998) bahwa sebagian besar spesies dari genus Rallidae memiliki ukuran yang sama baik jantan dan betina, walaupun jantan sedikit lebih besar dari betina. Selanjutnya (Ozaki 2009) menyatakan dari karakter morfometri Gallirallus okinawae yang diukur menunjukkan nilai rataan jantan lebih besar dibandingkan betina.

Burung jantan memiliki paruh lebih panjang dan lebih lebar dari betina. Panjang paruh burung weris jantan mempunyai nilai median 2.92 cm, dan nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan burung weris betina. Diduga hal ini disebabkan dalam proses mengasuh anak untuk burung weris dilakukan oleh kedua induknya, induk betina mengasuh anaknya dalam sarang, sedangkan induk jantan berfungsi untuk mencari makan bagi anak-anaknya sehingga paruh jantan lebih panjang dari betina. Pada familli Rallidae, burung jantan lebih banyak menggunakan paruhnya untuk mencari makanan dan memecahkan cangkang krustasea. Diduga hal ini menyebabkan bagian paruh jantan biasanya lebih panjang dan sempit dibandingkan dengan betina. Sievwright & Higuchi (2011) menyatakan bahwa paruh panjang dan tipis pada Oriental Honey Buzzard dengan ujung bengkok mengalami proses evolusi karena sering digunakan untuk mengambil larva serta menggali sarang tawon untuk keluar dari tanah. Melalui pengidentifikasian ciri-ciri morfologi kunci dengan menggunakan pengukuran morfometrik memungkinkan untuk lebih memahami adaptasi dan proses evolusi terkait dengan perilaku makan pada burung.

(50)

menyatakan bahwa burung Reed warblers (Acrhocephalus scirpaceous) sebagai burung yang memiliki daya terbang jarak jauh, mempunyai karakter morfologi yang sangat berbeda antara burung jantan dan betina. Burung jantan lebih panjang sayapnya dibandingkan betina sehingga dikatakan faktor morfometri kunci untuk membedakan jenis kelamin adalah dengan mengukur panjang sayap. Rosinska (2007) menyatakan bahwa untuk burung migran keberhasilan sexing dengan menggunakan panjang sayap adalah 80%-81%.

Hal ini tidak terjadi pada burung weris, karena burung weris memiliki jangkauan terbang yang terbatas, tidak seperti burung migran. Alasan lain yang dapat mendukung hasil penelitian ini adalah habitat burung weris yang menyediakan kelimpahan makanan bagi burung weris sehingga tidak membutuhkan usaha bagi burung weris jantan dalam mencari makanan untuk burung weris betina maupun anaknya. Selain itu, diduga ukuran sampel yang kurang sehingga keragaman data kecil. Oleh karena itu, burung weris jantan memiliki panjang sayap yang hampir sama dengan betina. Dengan kata lain, panjang sayap jantan tidak berbeda nyata dibandingkan dengan betina (Tabel 3).

(51)
(52)

Pendugaan Umur

Pendugaan umur dilakukan terhadap burung weris hasil penetasan sebanyak 27 ekor. Selama pengamatan, banyak burung yang mati dan yang berhasil mencapai umur 60 hari hanya 1 ekor.

Karakter morfologi yang mengalami perubahan setelah penetasan dan selama pertumbuhan umur burung dipenangkaran adalah warna iris mata, yaitu pada saat menetas mata anak burung keseluruhannya berwarna hitam, kemudian perlahan-lahan mulai mengalami perubahan warna pada bagian iris mata dari warna hitam pada umur 1 hari sampai 20 hari. Selanjutnya, secara perlahan pula mulai mengalami perubahan warna menjadi kecokelatan dan pada umur 30 hari secara perlahan-lahan warna berubah dari cokelat agak muda kewarna cokelat tua.

Pada umur 60 hari, warna cokelat mulai berubah menjadi agak kemerahan dan jika diamati pada sampel-sampel yang ditangkap di habitat alaminya didapatkan warna iris mata dari warna cokelat tua sampai warna merah agak muda sampai ke warna merah. Diduga warna iris mata akan mengalami perubahan dari hitam kemudian kewarna cokelat dan akhirnya semakin bertambah umur maka akan mengalami perubahan menjadi merah (Gambar 7). Hal ini sejalan dengan pernyataan (Rosinska 2007), usia burung Robin sesuai dengan perubahan karakteristik menyangkut bentuk, warna, ukuran bulu, ukuran mandibula, dan ukuran ekor.

Alis mata burung weris pada saat baru menetas belum tampak garis putih, namun setelah burung berumur 30 hari mulai nampak warna putih di bagian atas mata. Sejalan dengan bertambahnya umur, maka warna alis mata yang putih akan semakin jelas dengan bertambah panjang (Gambar 7).

(53)

sampai pada pangkal paruh. Burung yang ditangkap biasanya mempunyai paruh berwarna merah muda sampai warna kehitaman.

Bulu leher mengalami perubahan dari warna hitam secara perlahan-lahan menjadi warna abu-abu, selanjutnya muncul spot putih bercampur dengan warna kecokelatan. Sejalan dengan bertambahnya umur pada hari ke-60, warna bulu leher kembali berubah menjadi warna abu-abu.

Bulu pada bagian sayap mulai bertumbuh pada waktu pengamatan hari ke- 20, dan pada hari ke-60, bulu pada bagian sayap, yaitu bulu primer, sekunder, dan alula sudah tumbuh sempurna. Pada waktu pengamatan 60 hari, didapatkan bulu sayap telah bertumbuh sempurna sehingga diduga bahwa burung tersebut telah memasuki fase pertumbuhan dara (Gambar 8). Ozaki (2009) menyatakan bahwa pertumbuhan bulu burung sesudah lahir sampai menjadi burung dara, bulu burungnya hampir sama dengan bulu burung dewasa sehingga pada pengamatan eksternal sangat sulit membedakan burung dara dari burung dewasa. Ditambahkan bahwa pengetahuan yang terbatas tentang bulu Gallirallus okinawae menyebabkan sangat sulit untuk membedakan umur burung melalui pengamatan bulu burung (Ozaki 2009). Ketersediaan pakan berperan penting untuk pertumbuhan dan kualitas bulu burung (Desrochers 1992). Secara keseluruhan, perubahan warna bagian-bagian tubuh burung weris dapat ditampilkan pada Gambar 9.

(54)

Gambar 7 Perubahan warna pada bagian kepala yaitu paruh, iris mata, warna alis mata sejak umur 1 hari sampai 60 hari.

Gambar 8 Pertumbuhan bulu sayap selama waktu pengamatan 60 hari

1 h 10 h 20 h 30

40 h 50 h 60 h

20 hr 30 hr 40 hr

50 hr 60 hr

(55)

Umur Perubahan Karakter Gambar 1 hari  Keseluruhan bulu berwarna hitam pekat

 Mata hitam, paruh merah muda, dan pada ujung paruh warna putih pada hari ke 3 warna putih hilang

 Warna shank abu-abu tua

10 hari  Keseluruhan bulu berwarna hitam pekat

 Mata hitam, keseluruhan paruh berwarna hitam

 Warna shank abu-abu tua

20 hari  Keseluruhan bulu mulai berubah warna menjadi abu-abu tua, dan buluh pada sayap mulai tumbuh dengan bercak-bercak putih

30 hari  Alis putih pada bagian mata

 Warna iris mata berubah kecokelat muda

 Bulu pada bagian belakang dan sayap mulai berubah warna menjadi kecokelatan

 Pada bagian leher berubah menjadi abu-abu muda

40 hari  Sebagian besar belakang berwarna cokelat

 Garis cokelat dibawah alis

 Bulu sayap primer dan sekunder mulai tumbuh sempurna

 Sebagian paruh berwarna merah muda

 Pada bagian leher abu-abu mudah bercampur cokelat dan spot putih

50 hari  Warna iris mata dari cokelat muda kecokelat tua

 Warna cokelat dibawah alis putih semakin jelas

 Keseluruhan paruh berwarna merah muda

60 hari  Iris mata berwarna cokelat tua

 Keseluruhan bagian leher berubah menjadi abu-abu muda

(56)

Simpulan

Burung weris (Gallirallus philippensis) pada empat lokasi di Minahasa memiliki tingkat kesamaan morfologi yang tinggi. Berdasarkan hasil pengukuran terdapat perbedaan karakter morfometri pada Gallirallus philippensis, yaitu burung weris jantan lebih besar dibandingkan betina pada karakter bobot tubuh, panjang paruh, dan lebar paruh. Perubahan karakter morfologi terutama perubahan warna pada bagian kepala dan pertumbuhan bulu sayap terlihat jelas berdasarkan perkembangan umur, dengan demikian dapat dijadikan dasar pendugaan umur burung.

Saran

Penelitian karakter morfologi perlu dikembangkan lebih lanjut dengan lokasi yang lebih luas atau lebih menyebar terutama untuk daerah Sulawesi

Daftar Pustaka

Carrascal LM, Moreno E, Tellera JL. 1990. Ecomorphological Relationships in a Group of Insectivorous Bird of Temperate Forest in winter. Holarctic between and within individuals. Anim Behav 43:885-894.

Gyimóthy Zs, Gyurácz J, Bank L, Bánhidi P, Farkas R, Németh Á, CsörgőT.

2011. Autumn migration of Robins (Erithacus rubecula) in Hungary. Biologia 66(3): 548–555.

Hall S, Ryttman H, Fransson T, Stolt B. 2004. Stabilising selection on wing length in reed warblers (Acrocephalus scirpaceus). J Avi Bio 35:7-12.

Howes J, Bakewell D, Rusila-Noor Y. 2003. Panduan Studi Burung Pantai. Bogor: Wetlands International-Indonesia Programme.

(57)

Noor RR. 2008. Genetika Ternak. Edisi ke-4. Jakarta: Penebar Swadaya

Ozaki K. 2009. Morphological differences of sex and age in the Okinawa Rail Gallirallus okinawae. Ornithol Sci 8: 117-124.

Paeman PB. 2002. The scale of community structure: habitat variation and avian guilds in the tropical forest. Ecologic Monographs 72: 19-39.

Rosiñska K. 2007. Biometrics and morphology variation within sex-age groups of Robins (Erithacus rubecula) migrating through the Polish Baltic coast. Ring 29, 1-2: 91-106.

Sievwright H, Higuchi H. 2011. Morphometric analysis of the unusual feeding morphology of Oriental Honey Buzzards.Ornithologic Sci 10(2):131-144.

Taylor B, van Perlo B. 1998. A guide to the Rails, Crakes, Gallinules and Coots of the world: Pica Press.

Wiens JA. 1989. The ecology of bird communities 1. Cambridge: Cambridge University Press.

Wisocki D. 2002. Biometrical analysis of an urban population of the Blackbird (Turdus merula ) in Szczecin (NW Poland). Ring 24, 2:69-7676.

(58)

Gambar

Gambar 1.  Alur penelitian yang akan dilakukan.
Gambar 2  Burung weris (Gallirallus philippensis)
Gambar 3  Sebaran sampel burung weris dari daerah Minahasa.
Tabel 1 Deskripsi morfometri burung weris (Gallirallus philippensis) berdasarkan
+7

Referensi

Dokumen terkait