• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terumbu Karang

Pengertian Karang dan Simbiotik Alga

Karang merupakan nama lain dari ordo Scleractinia yang memiliki jaringan batu kapur yang keras. Ordo Scleractinia dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok karang pembentuk terumbu (reef building) dan kelompok karang bukan pembentuk terumbu (non reef building). Karang pembentuk terumbu merupakan karang hermatipik yang memerlukan cahaya matahari untuk hidup, sedangkan kelompok bukan pembentuk terumbu adalah karang ahermatip ik yang hidup tanpa cahaya matahari di dasar laut (Veron 1993; Nybakken 1993; Tomascik et al.

1997).

Karang hermatipik hanya ditemukan di daerah tropis, sedangkan karang ahermatipik tersebar luas di seluruh dunia. Perbedaan utama antara karang hermatipik dan karang ahermatipik adalah terdapatnya simbiose mutualisma dengan zooxanthellae, tumbuhan alga bersel tunggal (dinoflagellata uniselular) -

Gymnodinium microadriatum, yang terdapat di dalam jaringan karang. Karang hermatipik bersimbiose dengan alga tersebut sedangkan hampir semua karang ahermatipik tidak bersimbiose (Ditlev 1980; Nybakken 1993). Menurut Barnes (1980) terdapat lebih dari 60 genera karang yang bersimbiose dengan zooxanthellae.

Asosiasi simbiotik antara zooxanthellae dengan karang sedemikian eratnya hingga sangat menentukan proses metabolisme, kemampuan untuk membentuk kerangka dan sebaran vertikalnya hewan tersebut. Selain itu zooxanthellae juga terdapat dalam berbagai jenis invertebrata di daerah terumbu karang sehingga

8 memberikan petunjuk bahwa peranan alga tersebut sangat penting dalam ekosistem terumbu karang (Nybakken 1993; Nontji 1984). Oleh karena itu karang hermatipik mempunyai sifat yang unik, yaitu perpaduan antara sifat hewan dan tumbuhan, sehingga arah pertumbuhannya selalu bersifat fototropik positif. Kebutuhan akan cahaya matahari adalah untuk kepentingan zooxanthellae (Nybakken 1993).

Struktur Karang

Karang dapat hidup berkoloni maupun soliter. Individu karang terdiri dari polip (bagian yang lunak) dan kerangka kapur (bagian yang ke ras). Polip karang (Gambar 2), mulutnya terletak di bagian atas dan sekaligus berfungsi sebagai anus. Makanan yang masuk dicerna oleh filamen mesentary dan sisa makanan dikeluarkan melalui mulut. Jaringan tubuh karang terdiri dari ektoderm, mesoglea dan endoderm (Veron 1986).

9 Ektoderm merupakan jaringan terluar yang mempunyai cilia, kantung lendir (mucussac) dan sejumlah nematokis (nematocyst). Mesoglea adalah jaringan yang terletak anta ra ektoderm dan endoderm, bentuknya seperti agar-agar (jelly). Endoderm merupakan jaringan yang paling dalam dan sebagian besar berisi zooxanthellae (Nybakken 1993), tetapi menurut Barnes (1980) zooxanthellae yang bersimbiose juga berada di dalam jaringan gastroderm.

Ukuran diameter polip karang yang berbentuk koloni umumnya adalah 1- 3 mm, sedangkan jenis yang soliter ada yang mencapai 25 cm (Barnes 1980). Rangka karang terdiri dari kristal kalsium karbonat dan disekresikan oleh epidermis yang berada di pertengahan bawah polip . Proses sekresi ini meghasilkan rangka cawan (skeletal cup), dimana polip Karang menetap. Cawan tersebut dinamakan calyx, dinding yang mengelilingi cawan disebut theca dan lantai cawan disebut lempeng basal (basal plate). Pada bagian lantai terdapat dinding septa yang terbuat dari kapur tipis (radiating calcareous septa) (Gambar 4). Disamping memberikan tempat hidup bagi polip karang, cangkang (terutama sklerosepta/septa) juga memberikan perlindungan. Bila berkontraksi, polip menja di kecil dan berada dalam cangkang sehingga menyulitkan predator yang akan memangsanya (Barnes 1980).

Nematokis

Filum Coelenterata disebut juga Cnidaria yang dalam bahasa Yunani adalah sengat. Anggota dari filum ini adalah hydra, ubur-ubur, anemone laut dan koral. Coelenterata mempunyai rongga pencernaan dan mulut, tetapi tidak ada anus. Anatomi dari filum ini adalah mempunyai dinding tubuh yang terdiri dari 3

10 lapisan, yaitu epidermis (lapisan paling luar), gastrodermis (lapisan paling dalam dan membatasi rongga pencernaan), dan mesoglea (lapisan yang terletak di antara epidermis dan gastrodermis) (Suwignyo et al. 2005).

Pada lapisan epidermis terdiri dari lima macam sel yaitu sel epitel otot, sel interstisial, sel cnidocyte, sel kelenjar lender, dan sel saraf indera. Di dalam cnidocyte terdapat nematokis, yaitu suatu struktur seperti kapsul bulat atau lonjong. Di dalam nematokis terdapat semacam benang atau pipa halus atau duri melingkar-lingkar, dan pangkalnya menempel pada dasar nematokis. Bila ada rangsangan dari luar, benang dalam nematokis ditembakkan keluar. Nematokis paling banyak terdapat di tentakel dan ujung oral (Suwignyo et al. 2005) .

Gambar 3 Tipe nematokis: (A) Perekat; (B) Penggulung; (C) Penusuk (Suwignyo et al. 2005)

Terdapat tiga macam tipe nematokis berdasarkan fungsinya yaitu (Suwignyo

et al. 2005) :

a. Perekat (glutinant, isorhiza): mempunyai pipa halus yang ujungnya terbuka dan menghasilkan bahan perekat sebagai pertahanan diri dan untuk melekatkan diri ke substrat.

A

B

11 b. Penggulung (volvent, demoneme): berukuran kecil dan berfungsi untuk

menggulung mangsa, berbentuk seperti tali lasso.

c. Penusuk (penetrant, stenotele): berukuran besar agak bulat mengandung 3 buah duri besar dan 3 deret duri-duri kecil, dan berfungsi untuk menyuntikkan racun ke dalam tubuh mangsa

Sedangkan berdasarkan bentuknya terdapat 9 tipe nematokis yaitu:

1. Atrich: tipe nematokis yang didefinisikan oleh bentuknya yang bulat tanpa dasar (basal shaft) atau senapan (barbs).

2. Basitrich: tipe nematokis yang didefinisikan oleh bentuknya yang bulat tetapi sudah mempunyai senapan (barbs) pada dasar.

3. Holotrich: tipe nematokis yang didefinisikan oleh non-differensial basal shaft dan sebuah senapan (barb) disepanjang tubuhnya.

4. Macrobasic amastigophore: tipe nematokis yang didefinisikan oleh bentuknya yang bulat memanjang dan terdapat senapan di ujungnya. 5. Microbasic amastigophore: tipe nematokis yang didefinisikan oleh

bentuknya yang membulat panjang namun kecil dan hanya terdapat senapan di ujungnya.

6. Microbasic b-mastigophore: tipe nematokis yang didefinisikan oleh bentuknya yang membulat dan berongga, tetapi pemisah antara rongga dan tabung tubule tidak ada tanda yang jelas.

7. Microbasic p-mastigophore: tipe nematokis yang didefinisikan oleh bentuknya yang membulat dan mempunyai sebuah rongga dan tabung, pemisah antara rongga senapan dan tabung terlihat dengan jelas.

12 8. Spirocyst: tipe cnidae yang didefinisikan oleh bentuknya yang panjang,

spriral, tidak menyengat dan membulat.

9. Heterotrich: tipe nematokis yang didefinisikan oleh bentuk tubuhnya yang panjang membulat dengan garis-garis melintang ditubuhnya.

Organisme yang berasosiasi dengan terumbu karang

Kondisi fisik terumbu karang yang kompleks memberikan andil bagi keragaman dan produktivitas biologinya. Banyaknya lubang dan celah di terumbu karang memberikan tempat tinggal, perlindungan, tempat mencari makan dan berkembangan biak bagi ikan dan invertebrata yang ada di perairan terumbu karang maupun yang berasal dari lingkungan sekitarnya (Nybakken 1993).

Gambar 4 Organisme yang berasosiasi dengan terumbu karang (Castro & Huber 2000)

Biota yang hidup di daerah terumbu karang merupakan suatu komunitas yang meliputi kumpulan kelompok biota dari berbagai tingkat trophik (Gambar 4). Masing-masing komponen dalam komunitas ini mempunyai ketergantungan yang erat satu dengan yang lain (Nybakken 1993).

13

Status Ekosistem Terumbu Karang di Kepulauan Seribu

Kondisi ekosistem terumbu karang di daerah tropis khususnya di Indonesia saat ini sangat dipengaruhi oleh peningkatan populasi penduduk. Hal ini sesuai yang dinyatakan oleh Wilkinson et al. (1993) bahwa pada tahun 1993 bahwa 10 sampai 20 tahun mendatang, 30% terumbu karang di dunia akan hancur dan rusak. Pada tahun 1998, World Resources Institute di Washington mengestimasi bahwa 50% dari terumbu karang di dunia sangat terancam, dan 10% telah hancur dan rusak (Bryant et al. 1998).

Terumbu karang di Indonesia bagian barat mendapatkan lebih banyak tekanan dibandingkan dengan terumbu karang di bagian timur Indonesia (Chou 1998). Khususnya di Kepulauan Seribu yang selama 25 tahun terakhir menanggung beban limbah dari Jakarta (Cesar 1996). Limbah domestik, limbah industri, dan penangkapan ikan yang merusak (termasuk bom sianida) merupakan faktor utama yang membuat terumbu karang di Kepulauan Seribu semakin riskan (Bryant et al.

1998; Chou 1998; Erdmann 1996). Dampak negatif dari beberapa aktivitas manusia dan alam di daerah terumbu karang di Kepulauan Seribu Jakarta disajikan pada Tabel 1.

Pemboman (blast fishing), suatu teknik yang menggunakan ledakan untuk membunuh ikan dan hal ini sangat merusak ekosistem secara ekstrim. Terlebih lagi kegiatan pemboman ini membunuh ikan target dan non-target serta hewan invertebrate dari segala jenis kelas dan ukuran, dan juga ledakan merusak dan menghancurkan struktur terumbu. Kegiatan pemboman ini menghasilkan hancurnya karang-karang batu (massive) dan juga patahan-patahan karang bercabang. Pemulihan terumbu dalam situasi seperti ini sangat kecil

14 kemungkinannya sehubungan dengan hancurnya struktur terumbu dan substrat dasar (Erdmann 1996).

Tabel 1 Dampak negatif dari beberapa aktivitas manusia dan alam di daerah Terumbu Karang di Kepulauan Seribu Jakarta

Faktor Kategori dampak

Kegiatan manusia dan alam Dampak negatif Referensi

Perikanan:

Pemboman (blast fishing) Sianida

Muroami

Patahan karang Karang mati Pengumpul ikan menginjak -injak karang

Sukarno et al. (1983), Sukarno (1996), Erdmann (1996), Bryant et al. (1998), Chou (1998) Pariwisata: Jangkar kapal

Berjalan diatas terumbu

Patahan karang Karang rusak Sukarno et al. (1983), Sukarno (1996), Erdmann (1996), Supriharyono (2000) Penambangan: Penambangan karang Penambangan Kima Penambangan pasir laut

Karang rusak

Banyak bongkahan karang Pulau-pulau hilang Sukarno et al. (1983), Sukarno (1996), Erdmann (1996), de Vantier et al. (1998), Ongkosongo & Natsir (1994 ) Manusia Pencemaran: Eksplorasi minyak Sedimentasi Sampah Mematikan karang Mematikan karang Mematikan karang Sukarno (1996), Supriharyono (2000), Cesar (1996)

Bulu seribu (Acanthaster planci) Memangsa karang secara

berlebihan karena tidak predatornya

de Vantier (1996)

Alam

El-nino Memutihkan karang dan

kematian karang secara massal

Brown & Suharsono 1990

Kerusakan terumbu karang di Kepulauan Seribu juga ditegaskan oleh de Vantier (1996) bahwa penurunan penutupan karang dan kekayaan jenis disebabkan oleh serangan populasi bintang laut berduri (Acanthaster planci), suhu tinggi akibat el-nino pada tahun 1991 dan 1993 (Brown & Suharsono 1990), kualitas air yang tidak baik dan praktek perikanan tangkap yang merusak (racun sianida dan muro-ami). Selain itu, stress terumbu karang di Kepulauan Seribu

15 juga disebabkan oleh aktivitas reklamasi, jetty, dan bagan (liftnet) (Ongkosongo & Natsir 1994)

Ikan Kepe -Kepe (Chaetodontidae) Karakteristik dan Klasifikasi

Ikan kepe-kepe (Butterflyfishes) merupakan salah satu ikan terumbu yang mudah dikenali diperairan terumbu karang (Gambar 5). Kebanyakan ikan kepe- kepe ditemukan di perairan tropis, dangkal, disekitar terumbu karang pada kedalaman kurang dari 60 feet (18 m). Tetapi, beberapa penemuan terakhir telah ditemukan spesies baru yang berada pada kedalaman 600 feet (180 m) (Fishbase 2005) .

Gambar 5 Jenis ikan kepe -kepe Chaetodon octofasciatus (Chaetodontidae) yang dijadikan spesies indikator da lam penelitian ini (bar = 1 cm)

Para ahli ikhtiologi mengklasifikasikan ikan kepe -kepe kedalam Famili Chaetodontidae berdasarkan desain gigi mereka. Semuanya mempunyai gigi yang mirip sisir. Umumnya mulutnya lancip dan rahangnya dilengkapi dengan gigi-gigi kecil dan tajam untuk mencari makanannya di celah-celah karang batu. Pergerakan yang cepat dan bentuk warna yang jelas juga merupakan salah satu alasan pemberian nama pada grup ikan ini. Para peneliti juga mengusulkan

16 beberapa kemungkinan fungsi dari war na-warna dramatis dan bentuk pewarnaan yang umumnya didominasi oleh kuning, hitam dan putih. Untuk beberapa ikan kepe-kepe, khususnya spesies yang mempunyai hubungan yang dekat dengan habitat yang sama, pengenalan spesies mungkin penting pada saat identifikasi pasangan. Beberapa spesies hidup berpasangan dan mempunyai wilayah teritori tertentu yang sesuai dengan pewarnaanya yang berguna untuk menyamar dari pemangsaan. Beberapa lainnya, pewarnaan penting untuk perlindungan dari predator. ikan kepe-kepe umumnya aktif pada siang hari (diurnal), dan mencari tempat perlindungan di habitat terumbu pada malam hari (Fishbase 2005; Nontji 1993).

Berikut Klasifikasi dari ikan kepe -kepe Chaetodon octofasciatus: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Osteichthyes Ordo : Perciformes Famili : Chaetodontidae Genus : Chaetodon

Spesies : Chaetodon octofasciatus

Ekobiologi Chaetodontidae

Ikan kepe-kepe mempunyai variasi makanan mulai dari karang, plankton, invertebrata, alga, spons, dan beberapa tumbuhan laut lainnya (Fishbase 2005). Namun, untuk mengetahui perannya sebagai bioindikator kesehatan karang maka variasi makanan ikan kepe-kepe difokuskan pada pemakan karang (Tabel 2).

17

Tabel 2 Daftar beberapa spesies ikan kepe -kepe (Chaetodontidae) beserta tipe kebiasaan makannya (OC=Obligate corralivores, FC=Facultative corralivores)

No. Spesies Ikan OC FC Referensi

1 Chaetodon andamanensis + Fishbase (2005)

2 Chaetodon auriga + Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005) 3 Chaetodon baronessa + Fishbase (2005)

4 Chaetodon bennetti + Fishbase (2005) 5 Chaetodon citrinellus + Fishbase (2005)

6 Chaetodon collare + Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005) 7 Chaetodon decussatus + Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005) 8 Chaetodon ephippium + Fishbase (2005)

9 Chaetodon kleinii + Fishbase (2005) 10 Chaetodon lunula + Fishbase (2005) 11 Chaetodon paucifasciatus + Fishbase (2005)

12 Chaetodon plebeius + Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005) 13 Chaetodon rafflesii + Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005) 14 Chaetodon striatus + Fishbase (2005)

15 Chaetodon trifascialis + Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005)

16 Chaetodon trifasciatus + Yusuf & Ali (2004), Reese (1977), Fishbase (2005) 17 Chaetodon aureofasciatus + Fishbase (2005)

18 Chaetodon austriacus + Fishbase (2005)

19 Chaetodon lineolatus + Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005) 20 Chaetodon melannotus + Fishbase (2005)

21 Chaetodon multicinctus + Reese (1977), Fishbase (2005) 22 Chaetodon octofasciatus + Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005) 23 Chaetodon ornatissimus + Reese (1977), Fishbase (2005) 24 Chaetodon punctatofasciatus + Reese (1977), Fishbase (2005) 25 Chaetodon quadrimaculatus + Reese (1977), Fishbase (2005) 26 Chaetodon reticulatus + Reese (1977), Fishbase (2005) 27 Chaetodon triangulum + Yusuf & Ali (2004), Reese (1977) 28 Chaetodon unimaculatus + Reese (1977), Fishbase (2005) 29 Chaetodon vagabundus + Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005) 30 Chelmon rostratum + Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005) 31 Coradian altivelis + Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005) 32 Coradion chrysozonus + Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005) 33 Heniochus acuminatus + Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005) 34 Heniochus plurotaenia + Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005) 35 Heniochus singularis + Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005) 36 Megaprotodon striangulus + Reese (1977), Fishbase (2005)

Chaetodontidae hidup dekat dengan substrat dan makan secara diurnal. Terdapat lima kategori pemangsaan ikan kepe-kepe yaitu pemangsa karang batu (hard coral feeder), invertebrata sesil termasuk polip karang (invertebrate sesile feeder), invertebrata bentik, omnivor, dan planktivor (umumnya zooplankton)

18 (Nontji 1993; Fishbase 2005). Kebiasaan makan ikan kepe-kepe bervariasi sesuai dengan wilayah geografis. Di Great Barrier Reef sekitar 80% bersifat koralivor, Samudera Hindia bagian barat 72% sedangkan di Hawaii kurang dari 60% bersifat koralivor (Fishbase 2005).

Ikan kepe-kepe biasanya ditemukan secara individual, berpasangan, atau dalam kelompok kecil (Nontji 1993). Sumber makanan merupakan faktor penentu utama yang membedakan kehidupan sosial dan sistem pertemanan diantara ikan kepe-kepe. Ikan koralivor umumnya ditemukan berpasangan sedangkan ikan planktivor biasanya ditemukan berkelompok (Fishbase 2005; Nontji 1993).

Biogeografi Ikan Kepe-kepe (Chaetodontidae) di Dunia

Ikan kepe -kepe mempunyai pola distribusi yang tertutup dalam suatu grup dan pola variasi geografi yang berulang. Spesies ikan ini tersebar di sepanjang wilayah Indo-Pasifik sebanyak 116 species dan 45 jenis berada di Indonesia (Allen & Adrim 2003; Fishbase 2005; Nontji 1993; Burges 1978).

Gambar 6 Hubungan kekerabatan (phylogenetick) diantara genus dari famili Chaetodontidae (Blum 1989)

19 Hubungan kekerabatan diantara genus dari famili Chaetodontidae telah dijabarkan oleh Blum (1989). Hubungan tersebut diperoleh dari analisa cladistik dari 34 atribut karakteristik osteologi dan anatomi dalam ikan Chaetotontidae. Hubungan phylogentik tersebut ditunjukan pada Gambar 6.

Distribusi dari spesies Chaetodontidae telah dilakukan oleh Allen (1980). Penyebaran spesies Chaetodontidae sangat dipengaruhi hubungan phylogenetiknya. Ikan Chaetodontidae tersebar di seluruh dunia dengan penyebaran tertinggi di Indo-Pasifik. Khusus untuk jenis Chaetodon octofasciatus

hanya tersebar di wilayah Sri Langka, India, Great Barrier Reef Australia, Malaysia, Indonesia, New Guinea, Filipina, Rykyu Islands, Sela tan Jepang, Taiwan, dan Thailand (Blum 1988). Distribusi dari spesies Chaetodontidae diperlihatkan pada Gambar 7.

Gambar 7 Distribusi dari spesies Chaetodon octofasciatus (Chaetodontidae) (modifikasi Blum 1989).

Konsep Chaetodontidae sebagai bioindikator

Menurut Markert et al. (2003), terdapat tiga tipe utama bioindikator yaitu (1)

compliance indicator, yang dipilih untuk menduga ekosistem terumbu karang yang berhubungan dengan restorasi dan menjaga kualitas lingkungan, (2)

20 memberikan tanda kepada manajer untuk melakukan aksi sebelum kondisi lingkungan menjadi parah.

Konsep penggunaan spesies kunci tertentu sebagai indikator kondisi ekologis sekarang telah banyak dipakai untuk mendeteksi suatu kondisi lingkungan (Soule & Kleppel 1988). Ikan kepe-kepe sangat mungkin untuk menjadi indikator lingkungan terumbu karang karena hubungannya sangat erat dengan substrat karang hidup (Hourigan et al. 1988). Reese (1981) merupakan peneliti pertama yang mengusulkan butterflyfishes yang bersifat koralivor untuk dijadikan sebagai organisme indikator. Namun, ada dua hal yang harus diperhatikan adalah (1) biotik indikator yang sensitif lebih berguna untuk mendeteksi polusi pada level rendah seperti polusi kimia level rendah atau perubahan kecil temperatur atau tingkat nutrien, (2) tidak semua jenis Chaetodontidae dapat dijadikan spesies indikator. Misalnya yang bersifat planktivor tidak sensitif terhadap perubahan terumbu karang, atau omnivor memakan invertebrata selain karang dan alga sehingga sangat susah untuk mendeteksi kebiasaan makannya yang selalu berubah dan oportunis (Reese 1995).

Berbagai macam pertanyaan dan keraguan yang timbul terhadap penggunaan ikan kepe-kepe (butterflyfishes) sebagai biomonitor dan bioindikator. Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah terdapat banyak spesies dari famili Chaetodontidae yang mempunyai hubungan kuat dengan karang dan mereka banyak bersifat obligate corralivores (pemangsa karang) (Reese 1981; Harmelin- Vivien & Bouchon-Navaro 1983). Selain itu, metabolisme atau kebutuhan energi dari ikan kepe-kepe sangat berhubungan dengan kesehatan karang sehingga jenis

21 pemangsa karang tersebut merupakan calon potensial sebagai indikator perubahan terhadap terumbu karang (Crosby & Reese 1996).

Crosby & Reese (1996) menyatakan empat alasan penting mengapa Chaetodontidae merupakan indikator bagus yang sangat potensial:

(1) Nama ilmiah dari karang dan ikan bukan merupakan persyaratan utama yang harus diketahui oleh pengambil data;

(2) Pengumpulan data dapat dilakukan bertahap, misalnya langkah pertama dapat menghitung jumlah ikan Chaetodontidae di sepanjang transek dan kemudian langkah selanjutnya dapat menghitung jumlah koloni karang. Metode ini sangat seseuai apabila kurangnya sumberdaya manusia yang tersedia;

(3) Chaetodontidae merupakan indikator terbaik yang digunakan dimana ada perubahan secara waktu (gradual), gangguan kronis yang mana sulit untuk dihitung atau dilakukan oleh alternative metode lainnya, misalnya pengumpulan data jaringan dan analisis kualitas air.

(4) Metode bioindikator ini sangat ramah lingkungan (environmentally friendly), relatif murah, tidak merusak dan tidak membutuhkan teknisi ilmiah yang sangat terampil.

Oleh karena itu, Chaetodontidae yang pemangsa karang merupakan indikator ideal karena ikan ini memangsa karang secara langsung. Lebih lanjut, ikan kepe- kepe menunjukkan tingkat kesukaan pada spesies karang tertentu sehingga akan sangat sensitif apabila terjadi perubahan suatu sistem terumbu karang. Selain itu, karena ikan kepe-kepe sangat teritoria l maka akan sangat mudah memantaunya secara periodik.

22 Ukuran teritori dari ikan kepe-kepe ditentukan oleh jumlah makanan karang yang tersedia. Jika ketersediaan makanan karang sedikit di suatu area terumbu karang maka ikan tersebut akan memperluas daerah teritorinya (Crosby & Reese 1996). Perubahan tingkah laku sosial tersebut menyediakan indikasi dini yang sensitif bahwa terjadi ketidakstabilan dan perubahan di dalam ekosistem tersebut.

Penelitian tentang Chaetodontidae

Terdapat beberapa penelitian ya ng menggunakan ikan kepe-kepe sebagai indikator keanekaragaman terumbu karang di Indonesia dan Filipina menunjukkan hasil yang sangat bagus (Crosby et al. 1996). Beberapa jenis ikan kepe-kepe yang sudah diteliti sebagai indikator perubahan lingkungan adala h Chaetodon multicinctus, C. ornatissimus, C. trifasciatus, dan C. unimaculatus (Hourigan et al. 1988). White (1988) menyatakan jumlah total spesies Chaetodontidae menunjukkan korelasi yang signifikan terhadap penutupan karang keras (hard coral). Sedangkan di Kepulauan Seribu, Adrim et al. (1991) menyebutkan bahwa

Chaetodon octofasciatus memungkinkan untuk dijadikan indikator degradasi terumbu karang akibat tekanan lingkungan. Namun, tidak semua ikan Chaetodontidae sebagai pemakan karang keras (scleractinian coral), ada juga memakan octocoral (karang lunak) misalnya Chaetodon melannotus (Alino et al.

1988).

Berdasarkan penelitian Bawole et al. (1999) dikemukakan bahwa variasi ikan Chaetodontidae ditentukan oleh bentuk pertumbuhan Acropora bercabang, non- acr opora bercabang, non-acropora massive, non-acropora encrusting dan habitat yang beragam. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa kehadiran yang dominan dari

23

Chaetodon octofasciatus mengindikasikan bahwa terumbu karang sudah mengalami perubahan, sedangkan kehadiran Chaetodon trifasciatus, Chaetodon trifascialis dan Chaetodon ornatissimus mengindikasikan bahwa kondisi karang belum mendapatkan gangguan yang berarti atau masih relatif baik. Dari penelitian tersebut disarankan perlu adanya penelitian yang lebih lanjut tentang kebiasaan makan dan tingkah laku ikan Chaetodontidae, dengan perhatian khusus pada jenis

Chaetodon octofasciatus, Chaetodon trifasciatus, Chaetodon trifascialis dan

Chaetodon ornatissimus. Dari penelitian Yusuf dan Ali (2004) menyatakan bahwa ditemukan kelimpahan yang tinggi dari Chaetodon octofasciatus dan Chaetodon collare di Pulau Mayar, Malaysia, meskipun penutupan karang di di daerah ini kurang beragam dan sehat.

Adrim dan Hutomo (1989) menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara ketiga yang mempunyai keanekaragaman ikan kepe-kepe (butterflyfishes) setelah Great Barrier Reef, Australia (50 spesies), dan Filipina (45 spesies). Namun, kajian biologis dan ekologis dari kelompok ikan ini masih sangat jarang dan biasanya hanya merupakan bagian kecil dari berbagai penelitian. Lebih lanjut Adrim dan Hutomo (1989) menemukan adanya hubungan positif antara persen penutupan karang hidup dengan jumlah dan jenis ikan Chaetodontidae di Laut Flores.

Dokumen terkait