• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ikan Tuna

Ikan tuna termasuk dalam keluarga Scombridae, dengan tubuh seperti cerutu, mempunyai kulit yang licin dengan sirip dada melengkung dengan ujung yang lurus dan pangkal yang lebar. Sirip ekor cagak dua dengan kedua ujungnya yang panjang dan pangkal bulat kecil, mempunyai dua sirip punggung, sirip depan pendek dan terpisah dengan sirip belakang, mempunyai jari- jari sirip tambahan (finlet) di belakang sirip punggung dan sirip dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil sirip ekor bercagak agak ke dalam dengan jari- jari penyokong menutup seluruh ujung hypural.

Klasifikasi ikan tuna (Thunnus alalunga) menurut Subardja et.al (1989). Filum : Chordata

Sub Filum : Vertebrata Kelas : Osteichthyes Sub Kelas : Actioopterygii Ordo : Perciformes

Sub Ordo : Scombridae Genus : Thunnus

Spesies : Thunnus alalunga

Ikan tuna ini memiliki ciri morfologi dengan mata agak besar, gill racker 25-31 buah pada helai insang pertama. Terdapat 7-9 finlet di belakang sirip punggung kedua. Sirip dada panjangnya 30% dar fork length dan dapat mencapai sirip punggung kedua, terdapat 7-8 finlet di belakang sirip dubur.

Warna hitam legam kebiru-biruan. Pada sisi bawah perut berwarna keputih-putihan. Sepanjang sisi tubuh berwarna biru lemah seperti pelangi, sirip punggung pertama berwarna kuning tua, sirip punggung kedua dan sirip dubur berwarna kuning terang. Finlet sirip dubur dan sirip ekor hitam (Subardja et.al., 1989).

Limbah Hasil Perikanan

Produksi perikanan tangkap dalam periode sepuluh tahun terakhir (1990 – 2000) meningkat rata-rata 4.47% per tahun, yaitu dari 2.66 juta ton meningkat menjadi 4.11 juta ton (Ditjen Perikanan Tangkap, 2002). Peningkatan produksi tersebut telah meningkatkan konsumsi ikan per kapita pada tahun 1998 menjadi 21,78 kg per kapita pada tahun 2001 (Dahuri, 2002). Dengan meningkatnya jumlah konsumsi ikan, maka jumlah limbahnya akan meningkat juga, karena tidak semua ikan dapat dimakan.

Limbah merupakan sisa dari proses pengolahan hasil perikanan yang tidak dimanfaatkan dan tidak mempunyai nilai ekonomis, bahkan dapat merugikan. Menurut Hardjo et al. (1989) pengertian limbah industri hasil pertanian adalah produk suatu proses industri yang belum mempunyai nilai ekonomis, yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Selanjutnya dinyatakan bahwa limbah seyogyanya dapat dianggap sebagai sumberdaya tambahan yang dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan limbah disamping mempunyai nilai ekonomis juga mempunyai arti penting bagi lingkungan dan dampak perlakuan yang tidak wajar terhadap limbah pada pola kehidupan perlu ditekankan.

Pengambilan kembali dan pengubahan limbah bahan pangan menjadi semakin penting dilihat dari segi ekonomi pada industri pangan dan non pangan. Hal ini memungkinkan pemanfaatan maksimal dari bahan mentah dan memperkecil persoalan polusi dan penanganan limbah (Buckle, 1987). Selanjutnya dinyatakan bahwa dengan meningkatnya jumlah penduduk dunia dan adanya kekurangan pangan yang bermutu tinggi dengan harga murah di beberapa bagian dunia, penggunaan kembali zat-zat makanan dari sumber-sumber yang selama ini terbuang dan pemanfaatannya sebagai makanan manusia dan binatang merupakan hal penting.

Ilyas dan Soeparno (1985) mengelompokkan limbah hasil perikanan berdasarkan jenisnya, yaitu: (a) hasil samping, berupa ikan mentah utuh yang merupakan hasil ikutan dari usaha penangkapan (by catch); (b) limbah pengolahan, yang terdiri atas campuran kepala, isi perut, kulit, tulang, sirip, ekor, dan lain- lain; (c) limbah surplus, berupa ikan utuh karena kelebihan pemasaran dan pengolahan; (d) limbah industri, berupa ikan utuh, potongan atau hancuran yang terjadi pada distribusi dan pemasaran. Selama ini pemanfaatan limbah hasil perikanan lebih banyak digunakan sebagai bahan baku pengolahan tepung ikan, kerupuk, dan silase.

6 Kulit Ikan

Kulit ikan, umumnya terdiri dari dua lapisan utama yaitu epidermis dan dermis. Lapisan dermis merupakan jaringan pengikat yang cukup tebal dimana mengandung sejumlah serat-serat kolagen (Lagler et al., 1977).

Pada jaringan pengikat di dalam otot ikan, paling sedikit terdiri atas kolagen tipe I dan tipe V yang telah diidentifikasi sebagai mayor dan minor kolagen (Kimura et. al., 1988). Selanjutnya Sato et al. (1991) menyatakan bahwa penguraian secara enzimatis kolagen tipe V dipengaruhi oleh tingkat kelunakan otot ikan setelah panen seperti pada ikan rainbow trout (Oncorhychus mykiss) dan sardin (Sardinops melanosticta).

Kulit ikan mengandung air 69.6%, protein 26.9%, abu 2.5% dan lemak 0.7%. Secara kimiawi konstituen dari kulit dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu konstituen non protein dan protein. Kandungan air pada kulit ikan lebih sedikit jika dibandingkan kandungan air pada dagingnya, sedangkan kandungan abu lebih banyak pada kulit.

Kandungan protein pada kulit hampir sama dengan kand ungan protein daging (Oosten, 1969).

Menurut Judoamijoyo (1974) menyatakan bahwa kira-kira 80% dari bahan kering kulit terdiri dari protein yang banyak macamnya serta sangat kompleks komposisinya. Protein kulit dapat dibagi dalam dua golongan besar, yaitu: (1) Protein yang tergolong

firous protein meliputi kolagen (yang terpenting), keratin dan elastin; (2) Protein yang tergolong globular protein meliputi albumin dan globulin.

Pemanfaatan kulit, tulang dan gelembung renang ikan secara ko mersial sebagai bahan baku industri gelatin, dimana selama ini hanya merupakan limbah, dapat menanmbah penghasilan secara ekonomi dan memberi keuntungan bagi pengelolaan limbah industri perikanan karena bahan tersebut dihasilkan dalam jumlah yang banyak (Choi dan Regenstein, 2000). Menurut Surono et al. (1994) menyatakan bahwa tulang dan kulit ikan sangat potensial untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan gelatin, karena mencakup 10-20% dari total berat tubuh ikan.

Kapur Tohor (CaO)

Kapur Tohor diproduksi dengan memanaskan batu kapur (CaCo3) pada suhu antara 9000C hingga 12000C. Batu kapur tohor merupakan bahan yang bersifat reaktif dengan air dan akan membentuk Ca(OH)2 yang berbentuk bubuk. Reaksi CaO dengan air membentuk Ca(OH)2 merupakan reaksi eksoterm yang akan melepaskan kalor dan menghasilkan bahan yang berbetuk bubuk putih (Chang dan Tikkanen, 1988). Bentuk CaCO3setelah dibakar menjadi CaO sama dengan bentuk sebelumnya, tetapi porositasnya menjadi besar, karena setelah dibakar berarti CO2 telah dilepaskan, dan beratnya akan menurun menjadi 56% (Gaspary dan Bucher, 1981). Reaksi kimia tersebut adalah:

CaO(s) + H2O Ca (OH)2(S) ∆H = -64.8 KJ

Kapur (CaO) digunakan pada proses pengapuran dengan melarutkannya ke dalam air, sehingga akan terbentuk larutan Ca(OH)2. Setelah proses pengapuran selesai, maka dilakukan buang kapur dengan menggunakan asam seperti HCl dan H2SO4 atau garam asam seperti (NH4)2SO4, lalu dilakukan dengan pencucian dengan air untuk menghilangkan kelebihan asam. Proses pengapuran dilakukan dengan cara meredam kulit ke dalam larutan kapur jenuh yang terdiri dari air sekitar 300% dan kapur sebanyak 5 - 10% dari bobot kulit basah (William, 1974).

Menurut Christianto (2001), komponen larutan basa (CaO) yang digunakan sebagai larutan perendam dapat menyebabkan meningkatnya kadar abu gelatin yang dihasilkan, terutama dalam bentuk garam- garam karboksilat. Reaksi pembentukan garam kalsium karboksilat adalah sebagai berikut

8 Natrium Sulfida (Na2S)

Proses pembuangan rambut (epidermis) dilakukan dengan menggunakan bahan kimia, misalnya Natrium sulfida (Na2S). Pembuangan lapisan epidermis dilakukan melalui perendaman kulit dalam bak pengapuran dengan larutan 300% air. 2% Na2S, dan 4% kapur tohor (persentase dihitung dari berat kulit basah). Pengapuran dilakukan selama 48 jam dengan tiap hari kulit dikeluarkan dan larutan diaduk. Bila memakai tong berputar atau haspel untuk pengapuran, tiap jam diputar 5 menit selama jam kerja. Sisa lapisan epidermis halus dan kasar dapat dibuang dengan tangan (Judoamidjojo et al., 1979). Menurut William (1974), kapur digunakan untuk membuka tenunan serat kulit, dan Na2S untuk membuang rambut (perontok rambut) dan melepaskan epidermis.

Menurut Christianto (2001) komponen larutan basa yang digunakan sebagai larutan perendam dapat menimbulkan residu abu di dalam gelatin yang dihasilkan, terutama dalam bentuk garam- garam karboksilat. Mineral natrium sebagai residu dari Na2S berikatan dengan gugus karboksil bebas dari asam amino penyusun rantai polipeptida membentuk garam- garam karboksilat.

Gambar 2 Reaksi pembentukan garam natrium karboksilat Amonium Sulfat [(NH4)2SO4]

Pembuangan kapur dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan berupa asam-asam atau garam-garam amonium, banyaknya antara ½ - 1% dari berat kulit dicampur dalam 300% air. Garam- garam amonium daya pembuang kapurnya bisa lebih sempurna dan lebih aman. Pembuangan kapur dapat dilakukan di dalam pedal, tong berputar atau bak. Pembuangan kapur yang tidak terikat dengan kulit, cukup dengan air yang mengalir selama ½ jam. Penambahan bahan pembuang kapur harus sedikit demi sedikit sambil dilakukan pengadukan (pH cairan dijaga tidak boleh kurang dari 4). Penampang kulit

diperiksa dengan indikator phenolphthalein untuk mengetahui masih ada atau tidaknya kapur. Bagian penampang yang berwarna merah menunjukkan masih adanya kapur (Judoamidjojo et al., 1979). Menurut William, pembuangan kapur dengan garam amonium sulfat lebih efektif karena tidak terjadi pengendapan dan pembengkakakn. Pembuangan kapur ini bertujuan untuk membuang kapur bebas dan kapur terikat yang ada dalam kulit.

Enzim Protease

Proses pembuangan rambut dalam industri penyamakan kulit biasanya menggunakan bahan kimia seperti Na2S. Namun proses ini juga dapat dilakukan dengan menggunakan enzim (Judoamidjojo et al., 1979). Menurut Varnali (2002), secara umum metode pelepasan rambut dibagi menjadi dua grup yaitu; 1) penyerangan terhadap rambut dan menghancurkannya hingga menjadi bubur (biasanya menggunakan Ca(OH)2 atau NaOH dan Na2S); 2) dengan cara mendestruksi (modifikasi) jaringan epidermis di sekitar bulatan akar rambut, sehingga rambut dapat terlepas dengan utuh dan dapat dibuang secara mekanis. Proses pelepasan rambut ini, baik secara umum maupun secara konvensional, dilakukan pada proses pengapuran, melalui perusakan membran basalis di bagian epidermis sehingga rambut terlepas (Judoamidjojo et al., 1979).

Enzim protease yang digunakan dalam industri kulit, semula hanya diterapkan pada proses pelumatan atau pelunakan. Fungsi dari protease ini adalah melemaskan jaringan serat-serat kolagen dan protein elastin, sehingga kulit tersebut dapat disamak dan dilembabkan untuk menghasilkan kulit jadi. Saat ini, mengingat manfaat dari protease yang begitu besar, maka pemanfaatannya tidak hanya pada proses pelunakan saja tetapi juga pada proses yang lain seperti perendaman, pelepasan rambut dan pembuangan lemak (Puvanakrishnan dan Dhar, 1988; Feigel, 1995).

Menurut Puvanakrishnan dan Dhar (1988), urutan pelepasan rambut dimulai dari lapisan terluar lalu dilanjutkan dengan pembengkakan dan pemecahan lapisan dalam akar dan bagian dari rambut yang terkeratinase. Enzim protease dapat masuk ke dalam kulit hanya melalui sisi daging ketika proses pelepasan rambut dilakukan pada suhu ruang. Yates (1986) seperti dikutip Puvanakrishnan dan Dhar (1988) menyatakan bahwa aktivitas enzim sebagai perontok rambut berkolerasi erat dengan penyerangan terhadap plasma

10 darah, kasein dan beberapa substrat protein. Pelepasan dari heksosa selama tingkat awal pelepasan rambut berhubungan dengan hilangnya kolagen yang disimpan sel dalam lapisan luar akar, sebelum ada perubahan dalam struktur folikel. Menurut Sadana (2002), sistem kerja enzim protease pada proses unhairing adalah dengan cara menghidrolisis hemoglobin, Bovine Serum Albumin (BSA) dan kolagen.

Keuntungan dari penggunaan enzim protease ini adalah dapat mengurangi nilai Biochemical Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD) dari limbah yang dihasilkan pada proses perontokan rambut (Trismilah, 2002). Cromogenia Units (1995) menyatakan bahwa penggunaan enzim dengan tetap menggunakan 1% sulfida, diperoleh reduksi COD sebesar 30-40%, BOD sebesar 30-40%, S (Sulfida anion) sebesar 50-65%, dan total padatan sebesar 65-80% dengan peningkatan daya kembali kulit sekitar 2%. Menurut Trusmilah (2002), penggunaan enzim protease dalam proses soaking, unhairing maupun bating mampu menghasilkan kulit berkulitas ya ng memenuhi SNI 06-0234, 1989.

Kolagen

Kolagen merupakan komponen struktural utama dari jaringan pengikat putih (white connective tissue) yang meliputi hampir 30% dari total protein pada jaringan organ tubuh vertebrata dan invertebrata (Poppe, 1997). Kolagen berwarna putih, berupa serat tidak bercabang, dikelilingi oleh matrik mukopolisakarida dan protein lainnya. Sifat-sifat ini tergantung dari tipe jaringan dan umur hewan. Pada mamalia, kolagen terdapat dikulit, tendon, tulang rawan dan jaringan pengikat. Demikian juga pada bangsa burung dan ikan, sedangkan pada avertebrata kolagen terdapat pada dinding sel (Johns, 1977). Kandungan kolagen pada suatu jaringan tergantung pada kandungan proteinnya, karena kolagen merupakan komponen terbesar dalam prote in jaringan, dan kadar protein pada jaringan hewan tergantung pada jenis hewannya, sebagai contoh kulit hewan besar mengandung kadar protein yang lebih besar dibanding dengan kulit hewan kecil (Akademi teknologi Kulit, 1984).

Kolagen yang berarti ”bahan pembentuk perekat” merupakan komponen protein utama jaringan pengikat, yang bertindak sebagai elemen penahan tekanan pada semua mamalia dan ikan (Glicksman, 1969). Unit sturuktural pembentuk kolagen adalah

tropokolagen yang berbentuk batang dengan panjang 3000Å, diameter 15Å serta mengandung tiga unit polipeptida yang saling berpilin membentuk struktur heliks yang disebut rantai a. Rantai tersebut mengandung 1000 residu asam amino dengan komposisi yang sangat bervariasi (Bennion, 1980). Wong (1989) menambahkan bahwa molekul tropokolagn mempunyai empat tipe yang digambarkan dengan rantai polipeptida yang mengandung triplet glisin dengan distribusi sebagai berikut : x-x; x- l; l-x; gly-l- l, dimana l adalah residu asam amino (prolin dan hidroksi prolin) dan x adalah residu asam amino lain. Susunan molekul tropokolagen pada fibril kolagen (Gambar 3).

Ada dua tipe ikatan yang merupakan struktur sekunder dan tersier kolagen yaitu: 1) Ikatan intramolekul yang terjadi antara rantai-rantai molekul tropokolagen dan; 2) Ikatan intermolekul yaitu ikatan antara molekul tropokolagen (Johns, 1977). Molekul kolagen tersusun dari kira-kira dua puluh asam amino yang memiliki bentuk agak berbeda bergantung pada sumber bahan bakunya. Asam amino glisin, prolin dan hidroksiprolin merupakan asam amino utama kolagen. Asam-asam amino aromatik dan sulfir terdapat dalam jumlah yang sedikit. Hidroksiprolin merupakan salah satu asam amino pembatas dalam berbagai protein (Estoe dan Leach, 1977). Molekul dasar pembentuk kolagen disebut tropokolagen yang mempunyai struktur batang dengan BM 300.000, dimana di dalamnya terdapat tiga rantai polipeptida yang sama panjang, bersama-sama membentuk struktur heliks (Bennion, 1980).

Konversi kolagen yang bersifat tidak larut air menjadi gelatin yang larut air merupakan transformasi esensial dalam pembuatan gelatin. Kolagen harus diberi perlakuan awal untuk mengubahnya menjadi bentuk yang sesuai sehingga dapat diekstraksi. Ekstraksi ini dapat menyebabkan pemutusan ikatan hidrogen diantara ketiga rantai tropokolagen menjadi tiga rantai bebas, dua rantai saling berikatan dan satu rantai bebas, dan tiga rantai yang masih berikatan (Poppe, 1992). Serat kolagen akan mengembang dengan baik tetapi tidak larut bila direndam dalam larutan alkali atau larutan garam netral dan nonelektrolit. Kolagen akan terputus jika terkena asam kuat atau basa kuat dan akan mengalmi transformasi dari bentuk untaian larut dan tidak tercerna menjadi gelatin yang larut air (Lehninger, 1982).

12 Menurut Balian dan Bowes (1969), kolagen mengandung asam amino glisisn, prolin, dan hidroksiprolin serta sejumlah kecil senyawa aromatik dan sulfur yang terkandung dalam asam amino. Lehninger (1982) menambahkan bahwa kolagen mengandung kira-kira 35% glisin dan kira-kira 11% alanin, tetapi yang paling menonjol adalah kandungan prolin dan 4-hidroksiprolin yang tinggi yaitu sekitar 21% (bersama-sama). Prolin dan hidroksiprolin merupakan asam amino yang jarang ditemukan pada protein selain kolagen dan elastin.

Gambar 3 Susunan molekul kolagen (Lehninger, 1982)

Larutan tropokolagen akan terdenaturasi oleh pemanasan atau perlakuan dengan penambahan zat seperti asam, basa, urea, kalsium dan permanganat. Tropokolagen yang telah terdenaturasi akan terdisosiasi menjadi tiga komponen yaitu a, ß, dan ?. Komponen a merupakan rantai tunggal polipeptida dengan bobot molekul kurang lebih 100.000 (sepertiga dari berat molekul tropokolagen), komponen ß dan ? merupakan dimer dan trimer yang dibentuk dari ikatan silang (Parker, 1982).

Tiap tiga rantai polipeptida dalam unit tropokolagen membentuk struktur heliks tersendiri, menahan bersama-sama dengan ikatan hidrogen antara grup –NH dari residu glisin pada rantai yang satu dengan grup –CO pada rantai lainnya. Cincin prolidin, prolin dan hidroksiprolin membantu pembentukan rantai polipeptida dan memperkuat triple heliks pada rantai ikatan hidrogen, melalui jembatan molekul air, sama seperti ikatan hidrogen langsung pada grup karbonil (Wong, 1989).

Kolagen yang terdapat pada kulit dan otot ikan mempunyai kemampuan untuk membentuk gel setelah dipanaskan. Kemampuan pembentukan gel ini tergantung pada karakteristik spesies ikan dan kolagen dari kulit ikan mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan kolagen dari otot. Kandungan NaCl yang rendah berpengaruh nyata terhadap kekuatan gel kolagen dari kulit ikan tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap kemampuan gel kolagen dari otot (Montero dan Borderias 1991).

Pada ikan terdapat tiga tipe protein, yaitu protein myofibril (65–75%), sarkoplasma (20–30%), dan stromata (1–3%). Protein stromata merupakan jaringan ikat yang terdiri dari komponen kolagen dan elastin (Suzuki, 1981).

Kolagen murni sangat sensitif terhadap reaksi enzim dan kimia. Di samping pelarutnya kolagen ikan mempunyai kandungan asam amino rendah dibandingkan dengan kolagen mamalia, karena itu temperatur denaturasi proteinnya menjadi rendah (Johns, 1977).

Fibril kolagen terdiri dari sub-unit polipeptida berulang yang disebut tropokolagen yang disusun dalam untaian paralel dari kepala sampai ekor. Tropokolagen terdiri atas tiga rantai polipeptida yang berpilin erat menjadi tiga untaian tambang. Tiap rantai polipeptida dalam tropokolagen juga merupakan suatu heliks (Lehninger, 1982).

Gelatin

Gelatin berasal dari bahasa latin ”gelare” yang berarti membuat beku dan merupakan senyawa yang tidak pernah terjadi secara alamiah (Glicksman, 1969). Gelatin adalah protein dari kolagen kulit, membran, tulang, dan bagian tubuh berkolagen lainnya. Gelatin jika direndam dalam air akan mengembang dan menjadi lunak, berangsur-angsur menyerap air 5-10 kali bobot gelatin. Gelatin larut dalam air panas dan jika didinginkan membentuk gel.

Gelatin dapat diperoleh dengan cara denaturasi panas dari kolagen. Pemanasan kolagen secara bertahap akan menyebabkan struktur rusak dan rantai-rantai akan terpisah. Berat molekul, bentuk dan konformasi larutan kolagen sensitif terhadap perubahan temperatur yang dapat menghancurkan makro molekulnya (Wong, 1989).

14 Konversi kolagen menjadi gelatin biasanya didasarkan pada pengaturan temperatur ekstraksi, yang dilakukan untuk mencegah kerusakan protein pada suhu tinggi. Kisaran temperatur ekstraksi yang digunakan antara 500C – 1000C, sedangkan nilai pH ekstraksi dapat bervariasi untuk tiap metode (Hinterwaldner, 1977).

Harper et al., (1977) perbedaan gelatin dengan kolagen selain kandungan triptofan dan tirosin adalah gelatin mempunyai sifat mudah larut dan gampang dicerna sehingga dapat dipakai sebagai sumber protein dalam makanan tetapi hanya berperan sebagai suplement sebab gelatin kurang mengandung asam amino yang cukup.

Gelatin termasuk molekul besar. Menurut Ward dan Court (1977) menyatakan bahwa berat molekul (BM) gelatin mencapai 90.000 sedangkan pada gelatin komersial berkisar antara 20.000 - 70.000. Balian dan Bowes (1969) menyatakan bahwa berat molekul gelatin merupakan kelipatan 768 atau kelipatan C32H52O12N10.

Gelatin mengandung 19 asam amino yang dihubungkan dengan ikatan peptida membentuk rantai polimer panjang (Glicksman, 1969). Senyawa gelatin merupakan suatu polimer linier yang tersusun oleh satuan terulang asam amino glisin-prolin-prolin atau glisin-prolin- hidroksiprolin. Komposisi asam amino gelatin bervariasi tergantung pada sumber kolagen tersebut, spesies hewan penghasil dan jenis kolagen (Ward dan Court, 1977). Gelatin tidak mengandung triptofan dan hanya mengandung sedikit tirosin dan sistin (Charley, 1982).

Penurunan komposisi asam amino tergantung pada metode pembuatannya. Pembuatan dengan proses alkali umumnya lebih banyak mengandung hidroksiprolin dan lebih sedikit tirosin dibandingkan dengan proses asam (Ward dan Courts, 1977). Glisin adalah asam amino utama dan merupakan 1/3 dari seluruh asam amino yang menyusun gelatin. Sekitar 1/3 asam amino diisi oleh prolin dan hidroksiprolin yang selain dalam bentuk hidroksiprolin juga terdapat dalam bentuk 2- hidroksiprolin atau 3-hidroksiprolin dalam jumlah kecil (Charley, 1982).

Gambar 4 Struktur kimia gelatin (Poppe, 1992)

Gelatin dibagi menjadi dua tipe berdasarkan perbedaan proses pengolahannya yaitu tipe A dan tipe B. Dalam pembuatan gelatin tipe A, bahan baku diberi perlakuan perendaman dalam larutan asam sehingga proses ini dikenal dengan sebutan proses asam. Sedangkan dalam pembuatan gelatin tipe B, perlakuan yang diaplikasikan adalah perlakuan basa, proses ini disebut dengan proses alkali (Utama, 1997). Menurut Wiyono (2001), gelatin ikan dikategorikan sebagai gelatin tipe A. Secara ekonomis, proses asam lebih disukai dibandingkan proses basa. Hal ini karena perendaman yang dilakukan dalam proses asam relatif lebih singkat dibandingkan proses basa.

Tabel 2 Beberapa sifat gelatin berdasarkan tipenya*

Parameter Gelatin Tipe A Gelatin Tipe B

Kekuatan gel (bloom) 75 - 300 75 – 275

Viskositas (Cp) 2.0 – 7.5 2.0 – 7.5

Kadar Abu (%) 0.3 – 2.0 0.05 – 2.0

pH 3.8 – 6.0 5.0 – 7.1

Titik Isoelektrik 9.0 – 9.2 4.8 – 5.0

* Tourtellote (1980)

Bahan baku yang biasanya digunakan pada proses asam adalah tulang dan kulit babi, sedangkan bahan baku yang digunakan pada proses basa adalah tulang dan kulit sapi (Viro, 1992). Gelatin tipe A dihasilkan dari proses asam, yang umumnya diterapkan pada

16 kulit babi, dimana molekul kolagennya muda, sedangkan gelatin tipe B dihasilkan dari proses asam dan basa, yang umumnya diterapkan pada tulang dan kulit sapi, dimana molekul kolagen triple heliksnya lebih tua, ikatan silangnya lebih padat dan kompleks (GMAP, 2002). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses asam yang digunakan untuk bahan baku yang relatif lunak, sedangkan proses alkali diterapkan pada bahan baku yang relatif keras.

Asam mampu mengubah serat kolagen triple heliks menjadi rantai tunggal, sedangkan larutan perendam basa hanya mampu menghasilkan rantai ganda. Hal ini menyebabkan pada waktu yang sama jumlah kolagen yang dihidrolis oleh larutan asam lebih banyak daripada larutan basa. Karena itu perendaman dalam larutan basa

membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menghidrolisis kolagen (Ward dan Court, 1977).

Tabel 3 Spesifikasi Gelatin Farmasi* . Parameter

Unit Kelas

Khusus

Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3

Kadar air % 14.0 14.0 14.0 14.0

Kekuatan gel Bloom.g 240 200 160 140

Viskositas cP 20 20 20 20 Kadar abu % 1.0 1.0 2.0 2.0 pH - 5.5-7.0 5.5-7.0 5.5-7.0 5.5-7.0 Arsen Ppm 0.8 0.8 0.8 0.8 Logam berat Ppm 50 50 50 50 Mikrobiologi Per gr 1000 1000 1000 1000

E. coli Per 100 g Neg Neg Neg Neg

Salmonella - Neg Neg Neg Neg

*Fish Gelatin. 2003

Gelatin larut dalam air, asam asetat dan pelarut alkohol seperti gliserol, propilen glykol, sorbitol dan manitol, tetapi tidak larut dalam alkohol, aseton, karbon tetra klorida, benzen, petroleum eter dan pelarut organik lainnya. Pada kondisi tertentu juga larut dalam campuran aseton-air dan alkohol-air (Viro, 1992). King (1969) menyatakan bahwa gelatin

mudah larut pada suhu 71.10C dan cenderung membentuk gel pada suhu 48.90C. Sedangkan menurut Johns (1977) menyatakan bahwa pemanasan yang dilakukan untuk melarutkan gelatin sekurang-kurangnya 490C atau biasanya pada suhu 60-700C.

Gelatin memiliki beberapa sifat yaitu dapat berubah secara reversibel dari bentuk

Dokumen terkait