• Tidak ada hasil yang ditemukan

Avian Influenza

Avian Influenza atau biasa disebut flu burung merupakan agen infeksius yang berupa virus. Virus influenza ini merupakan virus RNA yang termasuk dalam famili Orthomyxoviridae. Asam nukleatnya berantai tunggal, terdiri dari 8 segmen gen yang mengkode sekitar 11 jenis protein. Virus influenza memiliki selubung yang terdiri dari kompleks protein dan karbohidrat. Untuk proses penempelannya pada reseptor yang spesifik, virus ini mempunyai tonjolan (spikes) yang berfungsi menginfeksi sel – sel inangnya (host) pada saat virus ini menginfeksi. Terdapat 2 jenis penonjolan yaitu hemaglutinin (HA) dan neuroamidase (NA), yang terletak di bagian terluar dari virion. (Horimoto dan Kawaoka 2001).

Gambar 1 Morfologi virus Avian Influenza (Anonim 2011)

Virus influenza mempunyai empat jenis antigen yang terdiri dari protein nukleokapsid (NP), hemaglutinin (HA), neuramidase (NA), dan protein matriks (MP). Berdasarkan jenis antigen NP dan MP, virus influenza digolongkan dalam virus influenza A, B, dan C (Horimoto dan Kawaoka 2001). Virus influenza A sangat patogen pada manusia dan binatang, menyebabkan angka kematian dan kerugian yang tinggi, serta dapat menyebabkan pandemik di seluruh dunia. Penyebab virus Avian Influenza tipe A ini sangat patogen adalah karena mereka mudah bermutasi, baik berupa antigenik drift ataupun antigenik shift sehingga membentuk varian–varian baru yang lebih patogen. Dari berbagai penelitan seroprevalensi secara epidemiologis menunjukkan bahwa beberapa subtipe virus

influenza A telah menyebabkan wabah pandemik antara lain H7N7 (1977), H3N2 (1968), H2N2 (1957), H1N1 (1918), H3N8 (1900), dan H2N2 (1889) (Yuen dan Wong 2005).

Tipe virus influenza B adalah jenis yang hanya menyerang manusia, sedangkan virus influenza C adalah jenis yang paling jarang ditemukan walaupun dapat juga menyebabkan infeksi pada manusia dan binatang. Virus influenza B dan C jarang sekali atau bahkan tidak meyebabkan wabah pandemik (Horimoto dan Kawaoka 2001).

Penyakit Avian Influenza di Indonesia pertama kali dilaporkan terjadi di peternakan ayam layer di Kecamatan Legok Tangerang pada tahun 2003. Dari sini penyakit meluas ke 9 provinsi di Indonesia, yang meliputi 51 kota atau kabupaten dan menyebabkan kematian pada ternak unggas yang diperkirakan mencapai 4,13 juta ekor. Sampai dengan bulan Desember 2004, jumlah kumulatif kematian ternak unggas akibat Avian Influenza mencapai 6,27 juta ekor yang berasal dari 16 provinsi yang mencakup 100 kota atau kabupaten. Angka kematian tertinggi pada unggas terutama ditemukan di provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Lampung dimana jumlah kematian lebih dari 1 juta ekor tiap provinsi (Ditkeswan RI 2004).

Sekitar bulan Februari 2005 terjadi perluasan kasus Avian Influenza ke daerah baru yang meliputi Sulawesi Selatan lalu menyebar ke Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Barat dan pada akhir 2005, kasus Avian Influenza dilaporkan sudah mencapai Nangroe Aceh Darusalam. Pada akhir tahun 2006, kasus Avian Influenza dilaporkan terjadi di Manokwari, Irian Jaya Barat (Naipospos 2005)

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza ROXB)

Di antara tanaman obat yang termasuk suku jahe–jahean (Zingiberaceae), temulawak merupakan bahan yang terbanyak dipakai di dalam negeri untuk pabrik jamu atau obat tradisional (Syukur dan Hernani 2002). Rimpang temulawak adalah bagian yang sering dimanfaatkan untuk pengobatan alternatif dan dipercaya dapat meningkatkan kinerja ginjal dan bersifat antiinflamasi. Manfaat lain temulawak secara medis, diantaranya sebagai hepatoprotektor,

antikanker, antidiabetes, antimikroba, antilipidemia, antijamur, obat jerawat, penambah nafsu makan, dan antioksidan (Nurcholis 2008).

Menurut Sugiharto (2004), rimpang temulawak mengandung senyawa metabolit aktif, seperti kurkumin, xanthorrizol, minyak atsiri, zat pati, flavonoid, kamfer, turmerol, phellandrene, myrcene, isofuranogermacen, p-tolymetilkarbitol, kation Fe, Ca, Na, dan K. Sedangkan menurut Hwang et al. (2000), kandungan pati dalam temulawak dapat berkhasiat sebagai senyawa imunomodulator.

Taksonomi temulawak menurut Supriadi (2008) adalah: kingdom : Plantae divisi : Magnoliophyta kelas : Monocotyledonae ordo : Zingiberales famili : Zingiberaceae genus : Curcuma

spesies : Curcuma xanthorrhiza ROXB

Gambar 2 Rimpang temulawak (Supriadi 2008)

Meniran (Phyllanthus niruri L)

Meniran merupakan tanaman yang telah dipergunakan turun temurun sebagai obat tradisional karena memiliki banyak khasiat. Khasiat tanaman meniran karena adanya kandungan berbagai senyawa kimia berkhasiat, di antaranya adalah alkaloid (sekurinin), flavonoid (kuersetin, kuersitrin, isokuersitrin, astragalin, nirurin, niruside, rutin, leukodelfinidin, dan galokatekin), dan lignan (filantin dan hipofilantin) (Kardinan dan Kusuma 2004).

Bagian–bagian tanaman meniran telah dimanfaatkan untuk mengobati berbagai penyakit. Daun dan batang meniran dipakai sebagai obat penyakit kelamin. Ekstrak air dari meniran dipakai sebagai pelarut batu ginjal dan batu di saluran kencing oleh masyarakat di Brazil dan Peru (Freitas et al. 2002).

Taksonomi meniran menurut Tjandrawinata (2005)adalah:

Kingdom : Plantae divisi : Magnoliophyta kelas : Magnoliopsida ordo : Euphorbiales famili : Euphorbiaceae genus : Phyllanthus

spesies : Phyllanthus niruri L

Kandungan flavonoid dari meniran dipakai sebagai pemacu aktivitas sistem imun (imunomodulator). Sebagai imunomodulator, kandungan flavonoid pada meniran tidak semata-mata berefek meningkatkan sistem imun, namun juga menekan sistem imun apabila aktivitasnya berlebihan. Jika aktivitas sistem imun berkurang, maka kandungan flavonoid dalam meniran akan mengirimkan sinyal intraseluler pada reseptor sel untuk meningkatkan aktivitasnya. Sebaliknya jika sistem imun kerjanya berlebihan, maka meniran berkhasiat dalam mengurangi kerja sistem imun tersebut. Jadi meniran berfungsi sebagai penyeimbang sistem imun (Suhirman dan Winarti 2010).

Tjandrawinata et al. (2005), telah melakukan uji pra-klinis untuk menguji aktivitas ekstrak daun meniran. Uji pra-klinis dilakukan terhadap tikus dan mencit, untuk menentukan keamanan dan karakteristik imunomodulasi dari ekstrak daun meniran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak P.niruri dapat memodulasi sistem imun melalui proliferasi dan aktivasi limfosit T & B, sekresi sitokin spesifik (gamainterferon, interleukin, tumor nekrosis, dan faktor alfa), aktivasi sistem komplemen, dan aktivasi sel fagosit (makrofag dan monosit). Selain itu, juga terjadi peningkatan sel sitotoksik, seperti Natural Killer cell (NK sel).

Gambar 3 Tanaman meniran (Tjandrawinata et al.2005)

Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)

Sambiloto merupakan tanaman liar yang banyak tersebar di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Sambiloto juga dikenal dengan nama yang berbeda pada tiap daerah, yaitu sambilata (Sumatra), Ki Oray (Sunda), sambiloto (Jawa), papaitan (Maluku), dan ampadu tanah (Minang). Sambiloto mengandung metabolit sekunder turunan lakton, yang terdiri dari andrografolid, deoksiandrografolid, saponin, tannin, flavonoid, homoanografolid, 14-deoksi-11, 12- didehidroandrografolid (Aji 2009).

Taksonomi sambiloto menurut Aji (2009) adalah:

kingdom : Plantae divisi : Magnoliophyta kelas : Magnoliopsida ordo : Scrophulariales famili : Acanthaceae genus : Andrographis

spesies : Andrographis paniculata

Komponen aktif dari sambiloto yang diisolasi dari ekstrak metanol mempunyai efek imunomodulator dan dapat menghambat induksi sel penyebab HIV. Komponen komponen tersebut, dapat meningkatkan proliferasi dan induksi IL-2 limfosit perifer darah manusia (Elfahmi 2006). Menurut Puri et al. (1993), sambiloto dapat merangsang sistem imun tubuh, baik berupa respon antigen spesifik, maupun respon imun non spesifik yang kemudian akan menghasilkan sel fagosit. Respon antigen spesifik yang dihasilkan akan menyebabkan

diproduksinya limfosit dalam jumlah besar, terutama limfosit B. Limfosit B akan menghasilkan antibodi yang merupakan plasma glikoprotein dan akan mengikat antigen, serta merangsang proses fagositosis (Decker 2000).

Gambar 4 Tanaman sambiloto (Decker 2000)

Temuireng (Curcuma aeruginosa Roxb)

Tanaman temuireng berupa semak, berbatang semu. Daun tungal, berwarna hijau kecoklatan, memiliki bunga majemuk dan rimpang induk yang besar, berdaging dan mengerucut. Rimpang temuireng adalah bagian yang paling umum digunakan sebagai obat herbal.

Taksonomi temuireng menurut Sastroamidjojo (2001) adalah: kingdom : Plantae divisi : Magnoliophyta kelas : Liliopsida ordo : Zingiberales famili : Zingiberaceae genus : Curcuma

spesies : Curcuma aeruginosa Roxb

. Rimpang temuireng berkhasiat untuk menambah nafsu makan, menyembuhkan cacingan, obat perut kembung, obat luka, mempercepat masa nifas, obat batuk, asma, kudis, encok, meningkatkan kontraksi uterus dan sebagai obat antijamur (Syukur dan Hernani 2002). Kandungan kimia ekstrak rimpang temuireng mengandung minyak atsiri, tannin, kurkumol, kurkumenol, isokurkumenol, kurzerenon, kurdion, kurkumalakton, germakron, α, ß, γ-elemene,

inderazulene, kurkumin, demethyoxykurkumin, saponin, bisdemetyoxykurkumin, monoterpene, sesquiterpene, flavonoid dan alkaloid (Chinami et al. 2006).

Gambar 5 Tanaman Temuireng (Planthus 2008)

Ayam Broiler

Ayam adalah vertebrata darah panas dengan tingkat metabolisme tinggi. Anak ayam umur sehari (DOC – Day Old Chick) memiliki suhu tubuh 39°C dan suhu tersebut meningkat secara bertahap setelah hari ke-4 sampai ayam tersebut mencapai suhu maksimal pada hari ke-10. Suhu ayam dewasa berkisar antara 40,6°C – 40,7°C (Suprijatna et al. 2005). Ayam peliharaan yang ada di Indonesia sekarang merupakan keturunan dari ayam hutan hasil perbaikan mutu genetis sesuai dengan manfaat dan tujuan pemeliharaannya.

Berikut adalah taksonomi Zoologi ayam menurut Suprijatna et al. (2005): kingdom :Animalia filum :Chordata subfilum :Vertebrata kelas :Aves ordo :Galliformes genus :Gallus

spesies :Gallus domesticus

Ayam broiler adalah sebutan untuk ayam ras pedaging, merupakan jenis ras unggulan hasil persilangan dari bangsa-bangsa ayam yang memiliki daya produktivitas tinggi, terutama dalam memproduksi daging ayam karena mampu tumbuh cepat sehingga dapat menghasilkan daging dalam waktu relatif singkat (5- 7 minggu). Dengan waktu pemeliharaan yang relatif singkat dan menguntungkan,

maka banyak peternak baru serta peternak musiman yang bermunculan diberbagai wilayah Indonesia (Pramudyati dan Effendy 2009).

Kelompok ayam yang dihasilkan melalui proses pemuliabiakan oleh

breederfarm untuk tujuan ekonomis tertentu disebut dengan strain (Suprijatna et al. 2005). Adapun jenis strain ayam broiler yang banyak beredar di pasaran adalah: Super 77, Tegel 70, ISA, Kim cross, Lohman 202, Hyline, Vdett, Missouri, Hubbard, Shaver Starbro, Pilch, Yabro, Goto, Cobb, Arbor arcres, Tatum, Indianriver, Hybro, Cornish, Brahma,Langshans, Hypeco-Broiler, Ross, Marshall”m”, Euribrid, A.A 70, H&N, Sussex, Bromo, CP 707 (Pramudyati dan Effendy 2009).

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juni 2011. Kegiatan pemeliharaan dan perlakuan hewan coba bertempat di fasilitas kandang hewan percobaan Bagian Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Uji ketahanan hidup ayam yang diinfeksi dengan virus Avian Influenza (uji tantang) dilakukan di PT Vaksindo Satwa Nusantara, Gunung Putri, Cicadas, Bogor.

Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah 60 ekor ayam broiler (strain Cobb) yang dibagi dalam 6 kelompok perlakuan yang dapat dilihat pada Tabel 1, vaksin Newcastle Disease aktif dan inaktif, vaksin gumboro aktif, vaksin

Avian Influenza inaktif, virus Avian Influenza lapang H5N1 strain Nagrak 0,1 ml

105 EID50, dan formula tanaman obat Indonesia yaitu F1 (temulawak, meniran,

sambiloto, dan temuireng), F2 (temulawak, meniran, dan temuireng), F3 (temulawak dan temuireng), dan F4 (meniran dan sambiloto).

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah alat pemeliharaan dan perlakuan ayam yang meliputi 6 petak kandang ayam, pipet atau stomach tube

untuk mencekok ramuan herbal, peralatan kebutuhan harian ayam seperti air minum, pakan, dan sekam sebagai alas kandang.

Metode Penelitian

Persiapan Kandang Penelitian

Kandang ayam dibuat menurut sistem lantai (floor). Seluruh dinding dan lantai ruangan percobaan dikapur dengan kapur tembok berwarna putih, didesinfeksi dengan desinfektan kelompok fenol sintetik dan difumigasi dengan gas formalin 10% v/v sehari sebelum ayam percobaan dimasukkan.

Penyediaan Ekstrak

Ekstrak tanaman obat yang digunakan adalah ekstraksi tanaman temulawak, sambiloto, dan temuireng dengan pelarut etanol dan ekstraksi tanaman meniran

yang menggunakan pelarut air. Pembuatan ekstraksi dan formula dari kombinasi tanaman obat dilakukan di Pusat Studi Biofarmaka Institut Pertanian Bogor.

Pencekokan Ekstrak

Setiap hari, tiap kelompok ayam dicekok dengan masing-masing formula tanaman obat dengan menggunakan stomach tube. Ayam diangkat dan dibuka mulutnya lalu stomach tube dimasukkan ke dalam mulut ayam dan disemprot formula tanaman obat yang telah dilarutkan di dalam aquades. Aturan pencekokan adalah 1 kali sehari pada pukul 16.00 WIB selama 26 hari.

Perlakuan penelitian

Penelitian ini menggunakan ayam pedaging atau broiler (strain Cobb) yang berumur 1 hari dengan bobot badan seragam. Sebelum perlakuan dimulai, diadakan masa adaptasi selama 4 hari untuk mengembalikan kondisi ayam dari stres karena pemindahan dan transportasi. Selama masa ini diberikan vitamin dan elektrolit lewat air minum sesuai dengan rekomendasi pabrik pembuat. Selain itu juga dilakukan vaksinasi Newcastle Disease dan vaksinasi Gumboro sebagai prosedur wajib pemeliharaan ayam untuk penelitian di lapang. Sebanyak 60 ekor ayam pedaging dibagi ke dalam 6 kelompok perlakuan yaitu (Tabel 1) :

Tabel 1 Kelompok Perlakuan

Perlakuan Keterangan Kontrol – (SPF) 10 ekor ayam tanpa diberi perlakuan apa–apa baik divaksin maupun

diberi formula tanaman obat.

Kontrol + 10 ekor ayam divaksin Avian Influenza inaktif tanpa diberi formula tanaman obat.

F1 10 ekor ayam tidak divaksin Avian Influenza dan diberi formula

temulawak, meniran, sambiloto, dan temuireng.

F2 10 ekor ayam tidak divaksin Avian Influenza dan diberi formula

temulawak, meniran dan temuireng.

F3 10 ekor ayam tidak divaksin Avian Influenza dan diberi formula

temulawak dan temuireng.

F4 10 ekor ayam tidak divaksin Avian Influenza diberi formula meniran dan sambiloto.

Uji Ketahanan Hidup

Setelah masa perlakuan dan pemeliharaan selama 26 hari, semua kelompok perlakuan diinfeksi dengan virus Avian Influenza lapang strain Nagrak 0,1 ml 105 EID50 melalui rute perinhalasi yang dilakukan di dalam fasilitas kandang

Biosafety Level 3 PT Vaksindo Satwa Nusantara, Gunung Putri, Cicadas, Bogor. Pengamatan kematian ayam dilakukan sampai 10 hari pasca infeksi.

Analisis Data

Data jumlah dan hari kematian ayam dicatat hingga hari ke-10, kemudian dianalisis secara deskriptif dan naratif disertai penyajian tabel serta dibandingkan dengan bahan pustaka.

HASIL PEMBAHASAN

Uji Tantang Ayam Broiler Terhadap Virus Avian Influenza

Seluruh kelompok perlakuan terhadap ayam dan juga kontrol baik kontrol tervaksin maupun kontrol tanpa perlakuan diuji tantang dengan menggunakan virus Avian Influenza. strain Nagrak 0,1 ml 105 EID50 melalui rute perinhalasi

dalam fasilitas kandang Biosafety Level 3. Penggunaan fasilitas kandang Biosafety Level 3 dimaksudkan agar tidak mencemari lingkungan dan meminimalisasi faktor luar yang dapat menyebabkan kematian ayam selain infeksi dari virus

Avian Influenza.

Parameter yang digunakan pada penelitian ini adalah persen proteksi, yaitu persentase ayam yang hidup setelah uji tantang dibandingkan dengan jumlah ayam total. Selain itu, gradasi kematian ayam setiap harinya dianalisis secara deskriptif dan dibandingkan dengan literatur dan pustaka yang telah ada. Uji tantang dilakukan selama 10 hari untuk mendapatkan data yang optimal karena kematian ayam akibat infeksi virus Avian Influenza terjadi pada 3-4 hari sesudah terjadinya infeksi. Hasil penelitian dari uji tantang ayam broiler terhadap virus

Avian Influenza didapatkan jumlah sisa ayam hidup yang berbeda-beda setiap harinya seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.

Kelompok Perlakuan

Jumlah Sisa Ayam Hidup Pada Hari Ke- Mortalitas (∑mati / total) %Proteksi 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Non Vaksin AI + F1 10 10 10 6 2 1 1 1 1 1 1 9/10 10 Non Vaksin AI + F2 10 10 10 5 3 2 0 0 0 0 0 10/10 0 Non Vaksin AI + F3 10 10 9 6 3 2 2 2 2 1 1 9/10 10 Non Vaksin AI + F4 10 10 10 5 2 1 1 0 0 0 0 10/10 0 Kontrol Tervaksin 10 10 10 6 6 4 3 2 2 1 0 10/10 0 SPF (non vaksin) 10 9 8 2 1 1 0 0 0 0 0 10/10 0

Tabel 2 Jumlah sisa ayam hidup setiap harinya selama 10 hari masa uji tantang ayam broiler terhadap virus Avian Influenza

Berdasarkan data hasil penelitian di atas dapat diamati bahwa ayam broiler yang dapat bertahan sampai hari terakhir adalah ayam pada kelompok perlakuan formula 3 (F3) dan formula 1 (F1) dimana masing-masing kelompok terdapat sisa

1 ekor ayam. Formula 3 (F3) adalah kelompok ayam broiler tanpa pemberian vaksin tetapi dicekok dengan formula kombinasi antara temulawak dan temuireng. Pada hari ke-2 terjadi kematian 1 ekor ayam, 3 ekor ayam pada hari ke-3, 3 ekor ayam pada hari ke-4, 1 ekor pada hari ke-5, dan kematian 1 ekor pada hari ke-9 sehingga tersisa 1 ekor pada hari terakhir.

Kelompok formula 1 (F1) adalah kelompok ayam broiler tanpa vaksin tetapi dicekok dengan formula kombinasi antara temulawak, meniran, sambiloto, dan temuireng. Kelompok formula 1 (F1) juga menyisakan 1 ekor ayam pada hari ke-10, terjadi gradasi kematian ayam yang tinggi pada kelompok perlakuan 1 (F1). Pada hari ke-3, terjadi kematian 4 ekor ayam, 4 ekor ayam pada hari ke-4, dan 1 ekor pada hari ke-5. Jadi sejak hari ke-5 pada kelompok perlakuan 1 (F1) sudah tersisa 1 ekor ayam yang bertahan sampai hari terakhir.

Perlakuan yang diberikan pada kelompok formula 3 yaitu ayam dicekok dengan kombinasi formula temulawak dan temuireng tetapi tidak mendapat vaksinasi Avian Influenza. Pada hasil penelitian pada kelompok formula 3 terlihat bahwa pemberian formula kombinasi antara temulawak dan temuireng dapat memberikan daya tahan hidup yang lebih lama dengan adanya 1 ekor ayam yang masih hidup pada hari terakhir perlakuan walaupun tanpa pemberian vaksinasi. Tingkat kematian ayam yang berbeda-beda pada tiap kelompok perlakuan menandakan adanya aktifitas yang terjadi akibat pemberian formula yang berasal dari temulawak dan temuireng. Avian Influenza merupakan penyakit pada unggas yang memiliki morbiditas dan mortalitasnya sangat tinggi. Persentase kematian pada unggas dapat mencapai angka 100%. Pada gejala awal ditemukan adanya penurunan nafsu makan, lemah, penurunan produksi telur, gangguan pernapasan berupa batuk, bersin, menjulurkan leher, hiperlakrimasi (leleran mata berlebih), dan bulu kusam. Terlihat pembengkakan (edema) pada muka dan kaki, ptechiae

subkutan pada kaki sehingga kaki terlihat kemerahan, seperti bekas kerokan. Gejala diare sering juga ditemukan. Penampakan khas adalah sianosis pada pial dan jenggernya, eksudat cair dari rongga hidung dan kematian mendadak secara beruntun dalam jumlah yang besar. (Damayanti et al. 2004).

Temulawak dan temuireng merupakan tanaman obat yang berasal dari keluarga Zingiberaceae. Rimpang dari kedua tanaman ini sama-sama

memproduksi senyawa fenolik kurkuminoid sebagai hasil metabolit sekunder. Kandungan utama dari kurkuminoid tersebut adalah kurkumin berwarna kuning yang telah lama dimanfaatkan dalam industri farmasi, parfum, dan lain-lain. Literatur dan data penelitian selama ini menyebutkan bahwa kurkumin memiliki aktifitas farmakologi yaitu efek antiinflamasi, antiimunodefisiensi, antivirus (virus flu burung), antibakteri, antijamur, antioksidan, antikarsinogenik dan antiinfeksi (Araujo dan Leon 2001). Selain mengandung zat kuning kurkumin, rimpang temulawak juga mengandung minyak atsiri, pati, protein, lemak, selulosa, dan mineral (Ketaren 1988). Rimpang kering temulawak dengan kadar air 10% memiliki komposisi yang terdiri dari pati, lemak, kurkumin, serat kasar, protein, mineral, dan minyak atsiri.

Kurkumin (C2H20O6) atau diferu-loyl methane pertama kali diisolasi pada

tahun 1815. Kemudian tahun 1910, kurkumin didapatkan berbentuk kristal dan diketahui dapat dilarutkan dalam aseton dan etanol pada tahun 1913. Kurkumin merupakan struktur kimia yang tidak dapat larut dalam air. (Araujo dan Leon 2001).

Menurut Nidom (2005), kurkumin yang terdapat pada temulawak dan temuireng dapat berfungsi sebagai antisitokin. Seperti diketahui, bila terjadi infeksi virus Avian Influenza maka kadar sitokin dalam tubuh akan naik. Kenaikan sitokin dalam tubuh ini berbahaya karena dapat menyebabkan perubahan oksigen (O2) menjadi peroksida (H2O2) yang meracuni sel-sel paru-paru. Peningkatan

sitokin pada paru-paru dalam jumlah besar menyebabkan terjadinya reaksi badai atau banjir sitokin (cytokine storm) yang mengakibatkan kerusakan sel yang parah pada sel paru-paru sehingga menyebabkan pneumoni yang akut. Pneumoni akut inilah yang sering menyebabkan kematian pada unggas atau manusia yang terinfeksi Avian Influenza karena terjadinya kegagalan fungsi pernapasan.

Replikasi virus Avian Influenza memicu produksi besar–besaran sitokin proinflamasi (badai sitokin) seperti interleukin 1 (IL-1), interleukin 6 (IL-6) dan

tumor necrosis factor (TNF-α). Sitokin inilah yang masuk ke sirkulasi sistemik

dan paru–paru sehingga menyebabkan pneumonia. Berdasarkan penelitian Liza (2010), kurkumin diketahui dapat menghambat perlekatan pada replikasi virus sehingga produksi sitokin akibat terjadinya replikasi dapat dicegah.

Pemanfaatan temulawak dan temuireng untuk mengatasi infeksi Avian Influenza telah banyak diaplikasikan oleh masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia. Penggunaan kurkumin dalam temu-temuan sebagai jamu untuk unggas telah lama dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di daerah sekitar Gunung Kidul - Jawa Tengah. Masyarakat memberikan ramuan jamu yang terdiri dari temulawak, kunyit putih, temuireng, laos, jahe, daun sereh, secang, daun salam, cengkeh, arang batok kelapa dan ginseng pada unggas dan ayam yang disekitarnya telah terserang flu burung (Nidom 2005).

Pada penelitian ini, selain digunakan temulawak dan temuireng sebagai variabel, juga digunakan tanaman meniran dan sambiloto. Pada data hasil penelitian terlihat bahwa pemberian meniran dan sambiloto tidak begitu mempengaruhi ketahanan hidup ayam yang terinfeksi virus Avian Influenza. Dapat dilihat dengan membandingkan data perlakuan kelompok F1 dan F3, walaupun sama-sama terdapat 1 ekor ayam pada hari terakhir, tetapi pada hari ke- 4 telah terjadi lebih banyak jumlah kematian sebanyak 4 ekor pada kelompok perlakuan F1.

Berdasarkan data kematian diketahui bahwa bahan aktif dalam ekstrak meniran dan sambiloto tidak mampu menginaktifkan virus AI, tetapi hanya mampu menghambat virus untuk menginfeksi sel. Zat aktif kemungkinan bekerja dalam meningkatkan kekebalan tubuh sehingga virus dapat dikendalikan dan tidak menyebar ke sel lain (Madav et al. 1995). Terlihat pada kelompok perlakuan F2 (temulawak, meniran, dan temuireng) dan F4 (meniran dan sambiloto), terdapat 100% kematian pada hari ke-6 untuk kelompok F2 dan hari ke-7 untuk kelompok perlakuan F4.

Perlakuan pada kelompok F2 (temulawak, meniran, dan temuireng) bila dibandingkan dengan perlakuan F3 (temulawak, temuireng) dimana terdapat penambahan meniran malah menghasilkan kematian 100% pada hari ke 6. Hal ini terkait dengan potensi toksisitas kombinasi temulawak dan meniran. Berdasarkan penelitian Hutabarat (2010), kombinasi ekstrak temulawak dan meniran memiliki nilai LC50 (nilai toksisitas) sebesar 246,0993 ppm lebih besar daripada nilai

toksisitas temulawak yaitu 17,9456 ppm. Disebutkan bahwa penggunaan ekstrak kombinasi temulawak dan meniran berpotensi toksik. Selain itu penggunaan

meniran dalam kombinasi kurang begitu efektif dalam memperkuat daya hidup ayam dikarenakan meniran hanya berpotensi sebagai imunomodulator. Senyawa turunan flavonoid dalam tanaman meniran dilaporkan memiliki potensi untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh, dan mampu menangkal serangan virus, bakteri, atau mikroba lainnya, namun tidak bersifat menginaktivasi virus tersebut (Suhirman dan Winarti 2010).

Selain itu menurut Tjandrawinata (2005), uji praklinis pada mencit dan tikus didapatkan hasil bahwa pemberian ekstrak meniran malah akan merangsang sekresi sitokin spesifik (interferon-gamma, tumor necrosis factor, dan interleukin) dimana sudah diketahui bahwa penyebab kematian utama pada kasus infeksi

Avian Influenza pada ayam adalah badai sitokin.

Aktifitas pada sambiloto berbeda dengan meniran. Menurut Puri et al. (1993), sambiloto diduga memiliki fungsi ganda baik sebagai imunostimulan maupun sebagai imunomodulator. Sambiloto dapat merangsang sistem imun tubuh (imunostimulan), baik berupa respon imun spesifik yang akan memproduksi limfosit, maupun respon imun non spesifik yang kemudian akan menghasilkan sel fagosit. Respon imun spesifik terutama akan menghasilkan limfosit B. Limfosit B akan menghasilkan antibodi yang merupakan plasma glikoprotein dan akan mengikat antigen, serta merangsang proses fagositosis (Decker 2000).

Mardisiswojo dan Harsono (1975) menyatakan bahwa zat aktif pada sambiloto yang berfungsi sebagai obat adalah andrografolid dan neoandragrafolid yang rasanya sangat pahit. Andrografolide yang terkandung di dalam sambiloto

Dokumen terkait