• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klasifikasi dan Sebaran Kancil

Klasifikasi kancil adalah sebagai berikut:

kelas ordo subbordo infra ordo famili genus spesies : : : : : : : : : Mamalia Artiodactyla Ruminantia Tragulina (chevrotain) Tragulidae (mouse deer) Tragulus

T. javanicus (osbeck 1965) T. meminna (Erxleben 1777) T. napu (Cuvier 1822)

Meijaard dan Goves (2004) membagi Tragulus menjadi enam spesies dan 24 subspesies berdasarkan morfometri dan daerah sebaran dimana kancil ditemukan. Enam spesies ini, yakni : Tragulus napu (ada 8 subspesies), Tragulus nigican, Tragulus versicolor, Tragulus javanicus, Tragulus kanchil (ada 16 subspesies) dan Tragulus williamsoni. Smit-van Dort (1969) diacu dalam Meijaard dan Goves (2004) membedakan dua spesies Tragulus dengan menggunakan karakter dari skeleton, yaitu Tragulus napu (selain lebih besar juga memiliki kaki yang lebar dan kuat) dan Tragulus javanicus.

Osbec adalah orang yang pertama kali memproklamirkan nama ilmiah

Tragulus javanicus untuk kancil pada abad ke 18 (Hoogerwerf 1970). Dari nama tersebut diketahui bahwa hewan kancil pada mulanya ditemukan di Pulau Jawa, karena contoh yang dipakai sebagai dasar penamaan ditemukan di kampung Jungkulan yang terletak di muara Cikuja, Jawa Barat (Suyanto 1983). Hal ini bukan berarti kancil hanya terdapat di Pulau Jawa karena pada kenyataannya kancil menyebar di beberapa tempat baik di dalam maupun di luar negeri.

Kancil dapat dijumpai di Thailand, Myanmar, Kamboja, beberapa pulau di wilayah Indonesia seperti: Pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Di Pulau Melayu tersebar luas di dataran rendah dan kaki gunung dengan hutan primer dan

9 sekunder, juga Pulau Langkawi, Penang, Singapura dan Redang (Medway 1978) (Gambar 2).

Gambar 2 Peta penyebaran kancil (Tragulus javanicus) di beberapa pulau dan negara (warna hijau) (Robin 1990, diacu dalam Huffman 2004)

Lekagul dan McNeely (1977) menyatakan bahwa Tragulus javanicus

populasinya banyak terdapat di Pulau Jawa dan berasal dari Pulau Jawa, sedangkan Tragulus napu banyak terdapat di Pulau Sumatera dan Tragulus meminna hanya terdapat di India (Walker 1968).

Karakteristik Umum Kancil

Kancil bentuknya menyerupai kijang tetapi badannya kecil dan tidak bertanduk. Kancil secara eksterior mempunyai kemiripan dengan rusa, karena itu hewan ini dikenal dengan nama mouse deer. Menurut Dubost (1986) ada dua jenis

mouse deer, yaitu Tragulus napu dan Tragulus javanicus. Perbedaan yang menyolok dari kedua jenis ini adalah bahwa Tragulus napu mempunyai bobot badan antara 4-6 kg, sedangkan Tragulus javanicus mempunyai bobot badan 1.3-1.8 kg (Gambar 3). Karena bobot badannya yang rendah, beberapa peneliti menyarankan bahwa kancil memiliki potensi untuk digunakan sebagai ternak model untuk mempelajari ruminansia (Fukuta et al. 1991).

10 Kancil tergolong dalam ruminansia terkecil di dunia (Medway 1978; Nowak 1991), dan merupakan hewan ungulata yang paling primitif yang masih ada (Whittow et al. 1977). Kancil dapat bertahan hidup di penangkaran lebih dari 16 tahun (Jones 1993). Kancil jantan mempunyai badan yang lebih besar dibandingkan betina.

Gambar 3 Perbandingan besar tumbuh kancil jantan dewasa, Tragulus napu lebih besar dibandingkan Tragulus javanicus (Lekagul & McNeely 1977).

Kancil memiliki kaki depan lebih pendek dari kaki belakang dan langsing (Hoogerweff 1970). Beberapa ciri menunjukkan kemiripan dengan babi, yaitu tidak mempunyai tanduk tetapi yang jantan mempunyai gigi taring atas yang subur sampai mencuat keluar sepanjang 3 cm, sedangkan gigi taring bawah kurang berkembang (Gambar 4).

Gambar 4 Kancil jantan dewasa mempunyai gigi taring

11 Kancil mempunyai kepala segitiga dan badannya mengalami peninggian pada bagian belakang serta mempunyai kaki yang kecil dan langsing dengan diameter kira-kira sebesar pensil (Strawder 2004). Bulunya berwarna coklat kemerah-merahan dengan warna putih pada bagian dagu sampai bagian ventral tubuh (Anderson & Jones 1967; Baker 2004). Pada Tragulus javanicus rambut putih tersebut membentuk tiga garis yang jelas (Smit-van Dort 1989, diacu dalam Meijaard & Goves 2004).

Kancil merupakan hewan malam yang memiliki sifat hidup soliter dan berpasangan pada musim kawin (Young 1981), penakut, senang bersembunyi dari pada melarikan diri, larinya cepat tapi mudah capek, mudah gugup dengan lingkungan baru (Kudo et al. 1997). Oleh karena itu sebaiknya dalam tahapan penangkaran perlu terlebih dahulu ditutupi dengan kain yang gelap dan membiarkannya dalam keadaan gelap, tetapi apabila terlampau gelap hewan ini akan menjadi gugup. Apabila tahapan proses penangkaran dilakukan dengan baik hewan kancil bisa menjadi jinak seperti halnya hewan peliharaan lainnya, tetapi kancil betina cenderung lebih cepat jinak dibandingkan kancil jantan.

Kancil mempunyai mata yang besar, daun telinga yang relatif kecil dan lidah yang relatif panjang serta kaki yang ramping dan kuku yang tajam (Gzimek 1975; Anonim 1978). Mempunyai 34 buah gigi, dimana gigi taring bagian atas akan tumbuh terutama pada jantan. Susunan gigi seri dan geraham pada kancil sama dengan sapi (Slijper 1954).

Kancil bersifat ”pemalu” dan selalu berusaha untuk tidak terlihat. Dalam kedaan ketakutan dan tidak nyaman, kancil akan ”menangis” dengan mengeluarkan suara melengking (Medway 1969; Strawder 2004). Kancil hidup dalam kelompok, beberapa soliter dan bersifat monogami, kancil berpasangan ditemui pada saat musim kawin. Jantan bersifat teritorial yang akan menandai daerah teritorialnya dengan sekresi dari kelenjar intermandibular dan disertai dengan urinasi dan defekasi (Strawder 2004).

Kancil tidak mempunyai tanduk namun pada jantan dewasa terdapat gigi taring yang memanjang keluar (Anderson & Jones 1967). Kancil jantan akan melindungi dirinya serta pasangannya dengan mengejar/menghalau serta

12 menyayat/melukai musuhnya dengan menggunakan gigi taringnya ini (Strawder 2004).

Kancil diketahui bersifat nokturnal, namun penelitian yang dilakukan oleh Matsubayashi et al. (2002) yang dipasang radiotracking pada habitatnya di hutan Kabili-Sepilok, Sabah (Malaysia), menunjukkan bahwa individu akan aktif makan dan bergerak sepanjang hari dan inaktif/istirahat pada malam hari.

Ukuran tubuh kancil kecil dan eritrosit dengan ukuran yang kecil dan dalam jumlah yang tinggi. Hal ini berhubungan dengan tingkat metabolisme yang tinggi (Snyder & Weathers 1977), dimana hemoglobin yang tinggi diperlukan karena kancil merupakan hewan yang gesit degan aktifitas otot yang banyak (Vidyadaran et al. 1979). Kancil tidak mempunyai lambung yang kompleks seperti pada artiodactyla pada umumnya dimana kancil hanya memiliki retikulum, rumen dan abomasum, namun tidak memiliki omasum (Richardson et al. 1988; Agungpriyono et al. 1992).

Pakan Kancil

Pakan merupakan salah satu faktor penting dalam pemeliharaan kancil. Oleh karena itu suatu hal yang perlu diperhatikan bahwa walaupun secara alamiah kancil tergolong hewan ruminansia, tetapi perlu diingat bahwa kancil termasuk hewan yang memiliki alat pencernaan sederhana (hanya memiliki rumen, retikulum dan abomasum tidak memiliki omasum), tidak mampu mencerna bahan makanan yang serat kasarnya tinggi, maka perlu diberikan makanan yang serat kasarnya rendah dan kandungan energi cukup tinggi. Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa di alam, kancil menyukai makan buah-buahan hutan yang sudah jatuh ke tanah seperti kayu besi (Eusideroxylojn zwarger) dan buah-buahan ceplukan (Physalis maxima). Kancil di tempat pemeliharaan sangat menyukai:1) bahan makanan yang banyak mengandung karbohidrat tinggi sebagai sumber energi misalnya ubi rambat (Ipomea batatas), 2) bahan makanan sebagai sumber protein, misalnya kangkung (Ipomea aquatica), 3) sedikit rumput (Suyanto, 1983). Medway (1978) melaporkan bahwa di kebun binatang New York, pasangan kancil berkembang biak dengan pakan berupa potongan apel, pisang, wortel dan ubi

13 mentah serta ditambahkan pakan pellet berupa mixed gain, crushed monkey pellet, rollet oats dan alfalfa hay.

Darlis et al. (1999) melaporkan bahwa kancil di Malaysia menyukai kangkung, kacang panjang, kacang perancis (bean french) sebagai roughages dan sumber protein; ubi (sweet potato), wortel (carrot) sebagai sumber karbohidrat dan pellet kelinci komersial sebagai pakan komplit.

Waktu pemberian pakan sebaiknya dilakukan tiga kali sehari semalam dengan waktu pagi sekitar pukul 06.00-07.00 WIB, siang pada pukul 13.00-14.00 WIB dan malam pukul 18.00-19.00 WIB. Cara pemberian pakan sebaiknnya diberikan dalam wadah dan dalam kondisi segar, karena bila pakan sudah dalam keadaan layu dan kotor, maka kancil enggan memakannya. Kancil menyukai pakan yang segar dan kandungan air tinggi dan memiliki daya cerna tinggi serta kandungan serat kasarnya rendah (Rosyidi 2005).

Habitat

Habitat adalah tempat dimana suatu mahluk hidup melangsungkan kehidupannya. Alikodra (1979) manyatakan bahwa habitat adalah kompleksitas berbagai komponen antara lain iklim, fisiogafi, vegetasi dengan kualitasnya dan merupakan tempat hidup organisme. Sedangkan Djuwantoko (1986) menyatakan bahwa habitat merupakan suatu daerah yang sangat penting bagi populasi satwa agar dapat berkembang secara optimal untuk mendapatkan makanan, air dan naugan (shelter). Menurut Moen (1972) habitat satwa sangat dipengaruhi oleh lingkungan biotik maupun non-biotik.

Habitat satwa sering secara sederhana ditafsirkan sebagai tipe vegetasi karena umumnya syarat hidup suatu jenis satwa selalu melibatkan aspek vegetasi (Dashman 1981). Krebs dan Davies (1981) menyatakan habitat mencerminkan tipe vegetasi yang tidak terbatas luasnya. Vegetasi diartikan sebagai kumpulan tumbuhan, biasanya terdiri atas beberapa jenis yang hidup bersama-sama pada suatu tempat dan didalamnya terdapat interaksi yang erat baik antara individu itu sendiri maupun dengan binatang yang hidup bersamanya sehingga merupakan suatu ekosistem yang hidup dan dinamis (Marsono 1977). Habitat yang memenuhi

14 syarat bagi kelangsungan hidup satwa harus memiliki empat komponen dasar yaitu: pakan, pelindung, air dan ruang.

Kancil menyukai tinggal di hutan primer dan sekunder, di tanah kering yang tidak jauh dengan sungai-sungai dengan vegetasi rapat, baik didataran rendah maupun tinggi (1.200 m dpl), kaki-kaki bukit. Tempat persembunyiannya di rongga-rongga pohon, celah-celah batu, gua-gua maupun di semak-semak. Usia yang dapat dicapai pada habitat aslinya adalah 12-14 tahun (Strawder 2004).

Faktor-Faktor Lingkungan yang Berpengaruh pada Ternak

Peningkatan produksi dan produktifitas ternak, di mana saja, dipengaruhi oleh beberapa faktor. Secara garis besar faktor tersebut dapat ditinjau dari aspek pakan, aspek ternak sendri dan aspek manusia dalam menempatkan, menilai dan memanfaatkan ternak tersebut. Hewan tidak dapat memisahkan diri dengan lingkungannya, karena antara duanya telah terbentuk suatu sistem yang saling berinteraksi antara satu sama lain. Kemampuan hewan untuk beradaptasi dalam lingkungan dapat dilihat dari beberapa parameter, seperti tingkat harapan hidup dan kemampuan berkembang biak atau prestasi reproduksi (Krimbas 1984).

Kendala dalam memelihara kancil adalah karena hewan ini termasuk satwa liar dan memilki sifat berbeda dengan hewan domestikasi. Salah satu fenomena yang unik pada satwa liar termasuk kancil adalah cekaman (stres) yang mudah muncul. Sajuthi dan Lelana (2000) menyatakan penyebab cekaman (stressor) pada satwa liar setidaknya ada empat faktor, yaitu:

1 Somatic stressor, seperti suara, bau, perubahan temperatur, zat kimia dan obat-obatan, sentuhan-sentuhan yang tidak diduga maupun peregangan otot dan tendon yang tidak normal.

2 Psychological stressor, seperti beberapa aspek yang berkaitan dengan pola adaptasi dan praktek restrain.

3 Behavior stressor, seperti lingkungan yang asing, terlalu padat, ruangan terlalu sempit, perubahan ritme biologis, kehilangan teritorial, hirarki sosial, kontak sosial maupun makanan yang biasa dikonsumsi

15 4 Miscellaneus stressor, seperti malnutrisi, zat-zat toksik, agen penyakit,

parasit, kebakaran, serta perlakuan medis yang kurang legeartis.

Apabila ternak dipindahkan ke lingkungan yang tidak dikenal, ternak tersebut dapat menjadi gelisah, lelah kepanasan atau kedinginan. Semua kondisi tersebut akibat dari respon dalam tubuh ternak yang disebabkan oleh berbagai faktor dalam lingkungan baru. Bila ternak dalam kondisi seperti itu, sering dinyatakan bahwa ternak tersebut mengalami cekaman (stres). Istilah stres itu sendiri adalah suatu gambaran umum yang merujuk pada penyesuaian fisiologis, seperti perubahan detak jantung, laju pernafasan, temperatur tubuh dan tekanan darah yang terjadi selama ternak dibiarkan terhadap kondisi yang merugikan. Hal ini terjadi selama lingkungan menjadi tidak nyaman atau berbahaya bagi ternak. Gejala stres terlihat sebagai gangguan psikologis, emosional maupun kegelisahan (Smith & French 1997). Berdasarkan waktunya, stres terbagi menjadi:1) stres jangka pendek yang ditandai dengan peningkatan denyut jantung, ketegangan otot dan laju pernapasan yang dangkal; 2) stres jangka panjang dengan gejala kurangnya nafsu makan, gangguan pencernaan dan kulit serta penurunan libido; dan 3) stres internal dengan gejala ketakutan, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, murung atau justru emosi yang meledak-ledak. Menurut Fowler (1999), stres yang berlangsung secara terus-menerus dan berlangsung lama berimplikasi pada penurunan imun, reproduksi, sistem syaraf dan sistem endokrin dalam tubuh. Respon endokrin terhadap stres muncul ketika impuls syaraf simpatik menstimulir kelenjar medula adrenal. Kelenjar endokrin segera melepasakan katekolamin (epineprin/adrenalin dan noradrenalin) ke dalam aliran darah. Selanjutnya, hipotalamus menstimulir hipofisa anterior untuk melepaskan

Adrenocorticotropic Hormone (ACTH) sampai terjadi peningkatan glukocortikoid untuk membantu peningkatan suplai energi terutama ketika dalam keadaan bahaya (Ackerman 1996; Guytom & Hall, 1996).

Banyak unsur-unsur lingkungan yang dapat membuat stres bagi ternak di bawah kondisi tertentu, seperti perbedaan besar dalam temperatur, kelembaban, cahaya, suara dan ruang. Unsur-unsur ini efektif dalam menghasilkan perubahan-perubahan kondisi pada ternak. Akan tetapi unsur-unsur tersebut berbeda dalam

16 pengaruhnya, karena respons yang akan dihasilkan dari kondisi lingkungan bergantung pada spesies, bobot, umur, jenis kelamin, daya tahan stres bawaan dan status emosional dari ternak.

Temperatur. Lingkungan merupakan faktor utama penyebab stres. Apabila faktor lingkungan menjadi lebih dingin dari pada temperatur tempat asal ternak, maka ternak tersebut mulai memanfaatkan proses-proses tambahan untuk menghasilkan dan mempertahankan panas tubuh. Keadaan menggigil dapat menyebabkan suatu pengurangan dalam tingkat glikogen otot, karena tipe kontraksi ini diiringi dengan suatu peningkatan aliran darah dalam otot dan tidak menghasilkan asam laktat. Dilain pihak, temperatur tinggi yang tidak wajar meningkatkan permintaan terhadap mekanisme pendinginan terhadap ternak. Sering kali temperatur otot akan meningkat karena tubuh ternak tidak mampu membuang panasnya dengan cukup cepat. Ternak yang berkemampuan jelek dalam menghilangkan panas dari tubuhnya dapat mengembangkan temperatur otot sampai 42-43oC. Temperatur tinggi seperti ini dapat mempercepat reaksi metabolisme seperti pemutusan adenosin triphosphat (ATP) dan glikolisis, yang berlangsung ketika stres dan pada akhirnya dapat menyebabkan kematian ternak.

Kelembaban. Jumlah air dalam udara (kelembaban) dapat mempengaruhi kedahsyatan pengaruh temperatur yang baru saja dijelaskan. Kenyataannya, terdapat interaksi dari kedua unsur lingkungan ini sebagian besar menentukan pada kenyamanan ternak. Umumnya kelembaban tinggi meningkatkan ketidak nyamanan ternak yang dibiarkan terhadap temperatur dingin atau panas dalam periode pendek. Apabila ternak memerlukan pendinginan, uap air dan udara lebih menyulitkan dalam menghilangkan panas melalui pernapasan. Pada lingkungan dingin, kadar air udara meningkatkan kecepatan menghilangkan panas lingkungan dari tubuh.

Cahaya, Suara dan Ruang. Perilaku ternak seringkali dipengaruhi oleh unsur-unsur lingkungan seperti cahaya, suara dan ruang. Apabila dikandangkan dalam lingkungan gelap, ternak cenderung bergerak menuju sumber cahaya. Kancil menyenangi lingkungan yang kurang cahaya karena ternak ini merupakan

17 ternak yang nokturnal. Sebagian ternak merasa tak nyaman apabila diikat atau dibatasi dalam ruang yang tidak memungkinkan pergerakan bebas.

Suara-suara yang tak dikenal juga menimbulkan penuh cekaman bagi banyak ternak. Sebagian ternak menjadi ketakutan pada lingkungan tidak dikenalnya, sementara ternak lainnya menjadi bermusuhan. Perbedaan dalam bersikap ini mungkin berkaitan dengan banyak faktor dalam ternak, seperti: keseimbangan hormon, kelembaban atau pengalaman sebelumnya. Oleh karena itu muncul respon-respon emosional yang tidak dapat diduga (Forrest et al. 1975).

Karakteristik Reproduksi Kancil

Anatomi Organ Reproduksi Jantan

Sebagaimana hewan mamalia pada umumnya, organ reproduksi jantan mempunyai fungsi utama dalam menghasilkan sel-sel kelamin jantan (spermatozoa) dan hormon kelamin jantan (testoteron). Anatomi organ reproduksi jantan terbagi menjadi tiga bagian utama, yaitu: (1) organ reproduksi primer berupa gonad jantan yang disebut testis, orchyd atau didymous, (2) organ kelamin pelengkap meliputi saluran-saluran kelamin yang terdiri dari epididimis, vas deferens, ampula vas deferens dan urethra; kelenjar kelamin pelengkap (asesoris) meliputi; kelenjar prostat, kelenjar vesikularis dan kelenjar bulbouretralis (cowper) dan (3) organ kelamin luar sebagai alat kopulasi, yaitu penis dan skrotum sebagai pelindung testes (Toelihere 1993).

Organ reproduksi kancil jantan terdiri atas sepasang gonad (testis), penis dan kelenjar asesori. Haron et al. (2000) menyatakan bahwa kelenjar asesori kancil jantan relatif kecil dibandingkan dengan hewan lain. Sekresi kelenjar-kelenjar ini sebagian besar menjadi plasma semen. Dilaporkan oleh Boever (1986) organ reproduksi kancil hampir sama dengan babi. Perbedaan ukuran organ reproduksi terutama pada testisnya, biasanya berhubungan erat dengan produksi spermatozoa. Semakin besar ukuran testes diharapkan produksi spermatozoa lebih tinggi.

18 Penis terdiri atas radix, corpus dan glans penis. Pada corpus penis ruminansia umumnya ditemukan lengkungan berbentuk huruf S sebagai ciri khas dari tipe penis

fibroelastis (Hafez 2000).

Anatomi Organ Reproduksi Betina

Secara umum anatomi organ reproduksi kancil betina memiliki susunan yang sama dengan hewan ruminansia lainnya, terdiri atas satu pasang gonad (ovarium), satu pasang tuba Fallopii, satu pasang cornua uteri dan satu buah corpus uteri, cervix, vagina dan vulva (Hamny 2006).

Ovarium mempunyai fungsi utama sebagai penghasil sel-sel kelamin betina, yaitu ovum dan sebagai penghasil hormon-hormon kelamin betina adalah estrogen yang berfungsi menampakkan gejala estrus dan progesteron dengan fungsi utama memelihara kebuntingan. Saluran reproduksi betina dimulai dari vulva, vagina (alat kopulasi), cervix (tempat seleksi spermatozoa dan pelindung uterus dari pengaruh luar), uterus (tempat berkembangnya fetus) dan tuba Fallopii (tempat terjadinya fertilisasi).

Pola Reproduksi Kancil

Data tentang pola reproduksi kancil masih sangat terbatas. Belum diperoleh informasi yang jelas terhadap pola reproduksi atau perkembangbiakan kancil di kawasan in-situ maupun ex-situ. Strawder (2004) melaporkan bahwa kancil mengalami kematangan seksual (sexual maturity) pada umur 5-6 bulan

(spesies yang ada di Asia) dan 10 bulan (spesies yang ada di Afrika). Kudo et al. (1995) melaporkan bahwa baik umur dewasa kelamin maupun lama

kebuntingan sangat bervariasi bergantung pada lokasi dan pemeliharaan kancil, terutama manajemen pemberian pakannya.

Siklus berahi pada kancil betina diperkirakan berlangsung 16 hari dengan lama berahi selama 2 hari, kopulasi bisa terjadi beberapa kali (Kudo et al. 1995). Kebuntingan berlangsung selama 4-5 bulan dengan menghasilkan satu anak yang diasuhnya selama 8-12 minggu.

19 Anderson dan Jones (1967) menyatakan bahwa secara alami musim kawin berlangsung pada Juni dan Juli, sedangkan lama kebuntingan berkisar antara 152-172 hari (Medway 1969). Bila mengacu kepada pernyataan tersebut dapat diperkirakan bahwa anak yang dilahirkan kemungkinan besar akan terjadi pada Nopember atau Desember. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Rosyidi (2005) dalam penelitiannya diperoleh 5 ekor bunting dari 8 ekor pasang kancil yang diamati, didapatkan 5 ekor anak yang dilahirkan pada akhir Januari (1 ekor), akhir April (2 ekor), awal Mei (1 ekor), dan akhir Juli (1 ekor). Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara musim kawin dengan kejadian betina bunting dan waktu beranak. Data tersebut menunjukkan bahwa pola perkembangbiakan kancil terjadi sepanjang tahun, sama dengan yang dilaporkan oleh Nowak (1991). Hasil ini juga sama dengan hasil penelitian Arifin (2004), pada Tragulus napu mampu beranak sepanjang tahun yang ditandai dengan jumlah induk beranak pada bulan-bulan basah tidak berbeda dibandingkan dengan bulan-bulan kering (P 0.05).

Berdasarkan data tersebut di atas terlihat bahwa, meskipun di lingkungan terbatas, ternyata kancil mampu berkembang biak dan bahkan mampu beranak lebih dari satu kali dalam setahun. Hal itu berarti kancil mampu beradaptasi dengan baik meskipun berada pada lingkungan terbatas.

Pada betina kelenjar mamae mempunyai empat puting. Induk betina mengasuh anaknya selama 2-3 minggu dengan masa sapih 8-12 minggu (OIA 1991). Kadang induk mengeluarkan suara mencicit (squaking) seperti jantan dan anaknya akan menjawabnya dengan suara yang sama (Ralls et al. 1975).

Hoogerwerf (1970) melaporkan bahwa kancil beranak 2 kali setahun atau setiap 5 bulan sekali dan kadang-kadang 2 ekor setiap kelahiran. Kudo et al. (1997) melaporkan berat lahir anak mencapai 120-190 g atau 10% dari berat badan induknya dan bentuk plasenta kancil adalah difusa dan villous (Anderson & Jones 1967), bentuk difusa, seperti halnya plasenta unta (Young 1981).

Kancil diketahui mengalami estrus pertama postpartus yang cepat. Davis (1965) diacu dalam Ralls et al. (1975) melaporkan bahwa terjadi kopulasi 85 menit setelah partus. Kancil dapat bunting kembali setelah 14 hari melahirkan (Ralls et

20

al. 1975). Hal ini didukung oleh Kudo et al. (1997), yang mengamati bahwa kancil betina dapat melakukan perkawinan 30 menit setelah beranak. Selanjutnya Medway (1978) melaporkan kancil betina melakukan perkawinan 48 jam setelah melahirkan dan anak sudah berkembang dengan dapat berdiri dalam waktu 30 menit setelah dilahirkan, induk menyusui anaknya sambil berdiri dengan tiga kakinya.

Tingkah Laku Seksual

Tingkah laku seksual menurut Hafez (1993) adalah beberapa variasi pola tingkah laku dari percumbuan, daya tarik dan aktivitas motorik yang bertujuan untuk mendekatkan jantan dan betina sehingga terjadi perkawinan dan akhirnya menghasilkan keturunan. Sedangkan Austine dan Short (1985) menyatakan bahwa pengertian tingkah laku reproduksi sudah semakin meluas tidak hanya fisiologik dan mekanisme endokrin, tetapi juga strategi dari ternak untuk melakukan perkawinan pada kondisi alamnya. Tingkah laku seksual tidak hanya menyangkut pada saat kopulasi dimana gamet jantan dideposisikan ke saluran reproduksi betina tetapi juga bagaimana membawa hewan jantan dan betina tersebut untuk bertemu, melakukan percumbuan serta menentukan perkawinan pada waktu yang optimal (Austine &Short 1985).

Fenomena tingkah laku (behaviour) muncul akibat adanya rangsangan (stimulus) yang dapat berasal dari dalam atau dari luar tubuh (Austine & Short 1985). Rangsangan dari dalam tubuh, berupa hormon yang dapat mempengaruhi tingkah laku seksual, sedangkan rangsangan dari luar dapat berupa rangsangan penciuman (olfactory), pendengaran (auditory), dan penglihatan (visual).

Rangsangan olfactory pada jantan sebagai contoh adanya pheromon yang dilepaskan oleh betina yang estrus, akan menyebabkan hewan jantan untuk mendekati hewan betina (Becker et al. 1992).

Betina estrus juga menunjukkan tanda punggung tegak, telinga berdiri, kepala diangkat, mulut terbuka, vulva membengkak dan mengeluarkan cairan jernih dari vagina yang berbau khas, kaki digerak-gerakkan ke depan dan ke belakang, selalu diikuti oleh pejantan sambil menjilat ekor dan mencium urin betina tersebut.

Dokumen terkait