• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Pola Reproduksi pada Kancil (Tragulus javanicus) dalam Mendukung Pelestariannya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Pola Reproduksi pada Kancil (Tragulus javanicus) dalam Mendukung Pelestariannya"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN POLA REPRODUKSI PADA KANCIL

(Tragulus javanicus) DALAM MENDUKUNG

PELESTARIANNYA

NAJAMUDIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Kajian Pola Reproduksi pada Kancil (Tragulus javanicus) Dalam Mendukung Pelestariannya adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2010

(3)

ABSTRACT

NAJAMUDIN. Study of Mouse Deer Reproduction Pattern (Tragulus javanicus) in Supporting Sustainability. Under the supervision of TUTY L. YUSUF as chairman,

SRIHADI AGUNGPRIYONO and AMROZI as members of the supervisory Committee.

This research aimed to study the reproductive pattern of mouse deer in order to support their conservation. In general, the male and female mouse deer reproductive organs are similar with those of other domestic animals. The duration of standing time of female mouse deer during estrous was significantly longer than the standing time during non-estrous. The vulva of an estrous female was reddened, swollen and loose; in contrast, the vulva of a non-estrous female appeared pale and tight. Another way to detect estrous was by holding the back of the mouse deer; estrous animals elevated their hindquarters, displaying a lordosis reflex. Male mouse deer also displayed flehmen reaction and appeared more active during the female estrous phase.

Behaviours of male when they approached a female in heat included increased activities, flirtation, licking the mammae as well as the back, marking, and mating. Male mouse deer mounted the female by raising both front feet off the ground to be placed on the top of the female hips in order to have a safe mating position. When mounted, non-estrous female mouse deer displayed a slightly lower position to avoid copulation, and ran. Average of first mounting time was 3 minutes (in the range of 1-5 minutes); second mounting attempt had a similar duration. In this study, the average frequency of the male mouse deer mounted the female was 23 times/day (in the range of 11-34 times/day). In this study, it was observed that mouse deer were not monogamous.

The duration of estrous was determined 2-3 days (48-72 hours), based on the vaginal cytology. The estimated length of the estrous cycle was 11.6 days (9-14 days range); this was determined by calculating the duration of time to have a repeated highest percentage of superficial cells on the vaginal cytology. The interluteal phase progesterone concentration was 804.46±165.09-948.76±116.37 ng/g, while the luteal phase concentration was 1887.61±44833-2093.56±513.68 ng/g in female mouse deer. Based on the progesterone profile, the average length of estrous cycle was 12 days (9-15 days range), the length of luteal phase was 7-8 days, the length of interluteal phase was 4-5 days, and the duration of estorus was 2-3 days.

Macroscopic evaluation on semen in this study demonstrated the average volume was 35±12.91 µ l, pH 7.5, and yellow-creamy white in color. Microscopically, the average percentage of sperm motility was 40.0±8.165 %, the average sperm concentration was 366.66±148.08x106 ml-1, the average percentage of alive sperm was 65.00±5.77% and the percentage of sperm with abnormal morphology was 29.18%.

Key words: mouse deer, behaviour, vaginal cytology, estrous cycle, progesterone

(4)

RINGKASAN

NAJAMUDIN. Kajian Pola Reproduksi pada Kancil (Tragulus javanicus) dalam Mendukung Pelestariannya. Di bawah bimbingan TUTY L. YUSUF sebagai ketua, SRIHADI AGUNGPRIYONO dan AMROZI masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing.

Kancil (Tragulus javanicus) merupakan salah satu satwa langka. Satwa ini hanya ditemukan di hutan tropis bagian selatan Asia, termasuk di pulau pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Populasi hewan ini diduga cenderung menurun karena perusakan dan konversi habitatnya menjadi lahan olahan manusia serta aktivitas-aktivitas perburuan. Untuk mendukung usaha pelestarian kancil diperlukan kemampuan dan keberhasilan dalam perkembangbiakan. Akan tetapi hingga saat ini pengetahuan tentang pola fisiologi reproduksi kancil belum banyak diketahui. Mengingat status reproduksi betina merupakan faktor penting dalam keberhasilan penerapan teknologi reproduksi, maka sebagai langkah awal seperti tingkah laku reproduksi betina dan perubahan sitologis vagina serta pola hormonalnya selama siklus estrus perlu diteliti. Demikian juga pada jantan sangat diperlukan informasi lebih lanjut tentang karakteristik kualitas semen.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap pola reproduksi kancil (Tragulus javanicus) dalam rangka mendukung pelestariannya. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut di atas penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu; (1) mengamati pola adaptasi kancil pada kondisi penangkaran, (2) anatomi dan morfometri organ reproduksi jantan dan betina, (3) mengamati pola dan tingkah laku seksual kancil jantan dan betina, (4) mengamati panjang siklus estrus dan lama periode estrus kancil melalui pengamatan perubahan sitologis sel-sel epitel vagina dan profil metabolit hormon steroid (estrogen dan progesteron) dan (5) mengamati karakteristik dan kualitas semen kancil yang dikoleksi dengan metode elektroejakulator.

(5)

Secara umum bagian-bagian dari organ reproduksi kancil jantan hampir sama dengan organ reproduksi ternak domestik lainnya, yaitu terdiri dari organ kelamin primer (gonad jantan atau testis), kelenjar-kelenjar kelamin pelengkap (ampula, kelenjar vesikularis, prostat dan bulbourethralis) dan saluran-saluran yang terdiri dari epididimis, vas deferens dan urethra, serta organ kelamin bagian luar atau organ kopulatoris yang disebut dengan penis. Penis kancil mempunyai fleksura sigmoidea dan termasuk fibroelastis. Panjang testis kancil adalah 12.33±2.89 mm, diameter 8.20±1.92 mm dengan berat 0.81±0.17 gr, panjang vas deferens adalah 113±3.60 mm, ampula kancil 17.33±2.87 mm dengan diameter mm, panjang kelenjar vesikularis pada kancil 18.00±3.46 mm dan tebal 5.7±1.10 mm, panjang kelenjar prostat 17.33±2.52 mm dengan tebal 6.53±0.06 mm, sepasang kelenjar bulbourethralis dengan panjang 8.26±1.02 mm dan tebal 5.47±0.85 mm dengan berat (0.86±0.04 gr). Panjang penis bebas preputium pada kancil (58.33±10.41 mm).

Organ reproduksi kancil betina terdiri dari sepasang ovarium, oviduct, uterus, cervix dan vagina. Ovarium kanan kancil berukuran lebih panjang 4.8±2.61 mm dan lebar 3.03±1.70 mm di bandidngkan dengan ovarium kiri panjang 4.4±0.61 mm dan lebar 2.83±0.67 mm. Tuba Fallopii kanan memiliki panjang (30.67±2.08 mm) dan yang kiri 29.67±3.21 mm. Cornua uteri kanan juga lebih panjang (32.67±3.05 mm) dibanding Cornua kiri dengan panjang 21.00±1.73 mm. Corpus uteri memiliki panjang 32.67±2.08 mm. Cervix kancil mempunyai panjang 24.33±2.52 mm dengan diameter 5.33±0.58 mm. Pada kancil terlihat cervix relatif lebih panjang dari vagina, dimana berbeda dengan pada ternak mamalia lainnya. Vagina memiliki panjang 20.33±5.57 mm.

(6)

Pola tingkah laku kawin ditandai dengan perubahan sifat pejantan yaitu menjadi lebih aktif, percumbuan (courtship), menjilati dada dan punggung, menggosok-gosokkan intermandibular scent glandnya ke betina dan kopulasi. Pada saat mounting kancil jantan akan menaikkan kaki depannya ke atas pinggul dengan sejajar atau menyilangkan kaki diatas pinggul betina hingga posisinya aman untuk terjadinya kopulasi. Ereksi terjadi saat kaki sudah terfiksir di atas pinggul dan saat tersebut terjadi intromisi. Lama mounting rata-rata 3 menit (berkisar antara 1-5 menit). Demikian juga waktu yang dibutuhkan dari mounting pertama kali dan waktu mounting yang kedua rata-rata 3 menit (berkisar antara 1-5 menit). Kancil yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai libido yang tinggi dari pengamatan diketahui juga bahwa kancil tidak bersifat monogamus.

Siklus estrus kancil dapat ditentukan dengan melihat perubahan sel-sel epitel vagina. Berdasarkan sitologis vagina, lama estrus adalah 2-3 hari (48-72 jam) dan lama siklus estrus berdasarkan jarak antara titik tertinggi sel-sel superfisial, yaitu 11.6 hari dengan kisaran (9-14 hari). Dari profil progesteron, panjang siklus berdasarkan antara dua titik dimulainya peningkatan konsentrasi progesteron sampai peningkatan konsentrasi progesteron berikutnya (di atas garis

threshold ) pada kancil no 1 adalah 12 hari (9-15 hari) dan pada kancil no 2 adalah 12 hari (12-13 hari). Lama fase luteal pada kancil no 1 adalah adalah 8 hari dan kancil no 2 adalah 7 hari serta lama fese interluteal baik pada kancil no 1 dan no 2 adalah 4-5 hari dengan lama estrus 2-3 hari.

Karakteristik semen yang didapatkan pada penelitian ini secara makroskopis yakni sebesar 35.00±12,91 μl, pH 7.5, berwarna kuning dan konsistensi kental. Secara mikroskopis tidak menunjukkan gerakan massa, konsentrasi spermatozoa (366.66±148.08x106 ml-1), persentase motilitas (40.0±8.165), persentase hidup 65.00±5,77 dan persentase abnormalitas 29.18.

Abnormalitas pada kepala yang ditemukan pada kancil, antara lain adalah

pear shape (0.56%), narrow at the base (kepala mengecil ke bawah) (1.12%),

narrow (tappered head) (1.12%), undeveloped (3.37%), round head ((1.68%),

double heads (1.12%), detached head (2.81%), abaxial (1.12%), microcephalus

(1.12%) dan macrocephalus (1.12%). Sedangkan abnormalitas pada ekor antara lain adalah ekor tanpa kepala (1.12%), coiled under the head (1.13%), simple bent

(7)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

KAJIAN POLA REPRODUKSI PADA KANCIL

(Tragulus javanicus) DALAM MENDUKUNG

PELESTARIANNYA

NAJAMUDIN

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Biologi Reproduksi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1 Dr. Drh. M. Agus Setiadi

(Dosen pada Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Bogor)

2 Dr. Drh. M. Agil, M.Sc.

(Dosen pada Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Bogor)

Penguji pada Ujian Terbuka : 1 Dr. Ir. Tonny R. Soehartono, M.Sc.

(Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam, Departemen Kehutanan RI)

2 Dr. R. Iis Arifiantini, M.S.

(10)

Judul Disertasi : Kajian Pola Reproduksi pada Kancil (Tragulus javanicus) dalam Mendukung Pelestariannya.

Nama : Najamudin

NRP : B361060011

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. drh. Tuty L. Yusuf, M.S. Ketua

Dr. drh. Srihadi Agungpriyono, PAVet(K) Dr. drh. Amrozi Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi/ Dekan Sekolah Pascasarjana Mayor Biologi Reproduksi

Prof. Dr. drh. Iman Supriatna Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian : 20 Januari 2010

(11)

PRAKATA

Alhamdu Lillahi Rabbil Alamin atas segala rahmat dan karunianya yang engkau berikan ya Allah, sehingga Karya Ilmiah “DISERTASI” ini berhasil diselesaikan. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi

Muhammad SAW atas suri tauladan-Nya. Disertasi ini memuat hasil penelitian

tentang pola adaptasi kancil pada kondisi penagkaran, tingkah laku reproduksi

jantan dan betina, penentuan siklus estrus melalui gambaran sitologis vagina dan

profil hormon metabolit dari feses serta karakteristik spermatozoa kancil. Pada

kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang

setinggi-tingginya kepada: Ibu Prof. Dr. drh. Tuty L. Yusuf, MS. sebagai ketua

komisi pembimbing, Bapak Dr. drh. Srihadi Agungpriyono, PAVet(K) dan Bapak

Dr. drh. Amrozi, masing-masing sebagai anggota pembimbing, atas arahan dan

bimbingannya dimulai dari pembuatan proposal dan pelaksanaan peneltian sampai

pada penulisan disertasi sehingga dapat menambah wawasan penulis dalam

berbagai hal yang tertuang dalam disertasi ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula pada pimpinan Universitas

Tadulako, Institut Pertanian Bogor, Sekolah Pascasarjana IPB, Program Studi

Biologi Reproduksi SPs-IPB, serta Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi,

Laboratorium Rehabilitasi Reproduksi, Laboratorium Riset Anatomi AFF

FKH-IPB beserta seluruh staf, atas kesempatan dan segala fasilitas yang diberikan

selama penulis menenpuh pendidikan sehingga penelitian ini dapat berlangsung

dengan baik.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. drh. M. Agus Setiadi dan

Bapak Dr. drh. M. Agil, M.Sc, yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi

pada ujian tertutup dan Ibu Dr. Nastiti Kusumorini, sebagai pimpinan sidang pada

ujian tertutup. Terima kasih juga kepada Bapak Dr. Ir. Tonny R. Soehartono M.Sc

dan Ibu Dr. R. Iis Arifiantini, M.S, atas kesediaanya menjadi penguji luar komisi

pada ujian terbuka dan Bapak Dr. drh. H. Hasim, DEA (Dekan Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB), sebagai pimpinan sidang pada

(12)

Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan pada Bapak

Prof. Dr. drh. Iman Supriatna, Bapak Prof. Ir. Muhammad Salim Saleh, MP,

Bapak Dr. Ir. Muh. Nasir Nanne, MS, Bapak drh. R. Kurnia Achyadi, MS, Bapak

Dr. drh. Adi Winarto, Ibu Dr. drh. Hera Maheswari, yang senantiasa memberikan

dukungan dan semangat.

Penulis juga menyampaikan terima kasih dan perhargaan pada rekan-rekan

mahasiswa yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Pascasarjana Biologi

Reproduksi, Dr. Ir. Tomas Mattahine, M.Si, Bayu Rosadi, SP, M.Si, Drs. Hurip

M.Si, Dr. drh. Enny T, M.Si, drh. Yudi, M.Si, Hary, S.Si, drh. Riadi, Ir. Golib dan

teman-teman seangkatan SVT (2006/2007) Dr. drh. I Nyoman Suarsana, M.Si

(UDAYANA), Dr. Muharram Saifuloh, MSc, drh. Sutiastuti W. M.Si (BALIVET),

drh. Mustafa Sabri (UNSYIAH), Dr. drh. Ketut Karuni N. Natih, M.Si (BPMSOH)

dan Dr. drh. Sophia Setiawati, MP (Karantina-Jakarta), dan Ibu Endang, Drh Dedy

R. Setiadi, Bondan Ahmadi, SE, AMd atas bantuaan dan kerjasamanya selama

penulis menenpuh studi S-3.

Terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman Wacana Sulawesi

Tengah: Ir. Abd. Kadir Paloloang, MP, Ir. Muh. Nur Sangaji, DEA, Ir. Ivon

Iskandar, M.Si, Dr. Nurdin, MP, Ir. Abd. Syakur, M.Si, Ir. Abd. Rosyid, M.Si,

Alimudin Laapo, SP, M.Si dan Ir. Nova Rugayah, MES.

Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada

Ayahanda Atong Hi. Saing (Alm) dan Ibunda Jubaere dan kakak dan adik-adikku

yang senantiasa memberikan doa dan dukungan moril.

Terima kasih dan perhargaan kepada Ulfah, S.Pd (istri) dan Maghfirah

Pratiwi Ramadina, Khalisah Rahmah Dinitya dan Syafina Aulia Rahmah

(anak-anak) atas doa tulus, pengorbanan, pengertian, ketabahan dan dorongan semangat

yang tiada pernah putus, Mohon maaf selama tiga tahun terakhir tidak dapat

memberikan kasih sayang yang utuh kepada kalian semua. Semoga apa yang Bapak

lakukan ini menjadi teladan bagi kalian.

Akhir kata penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi

masyarakat luas dan bernilai ibadah kepada Allah SWT, amin.

Bogor, 20 Januari 2010

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Baturube, 19 Oktober 1969. Penulis merupakan anak

kedua dari 8 bersaudara dari pasangan Atong Hi Saing (Alm) dan Jubaere. Penulis

menikah dengan Ulfah, S.Pd pada tanggal 12 April 1999, dan dikaruniai tiga putri

yaitu Maghfirah Pratiwi Ramadinah, lahir 02 Januari 2000 (10 tahun), Khalishah

Rahmah Dinitya, lahir 14 Juli 2001 (8 tahun) dan Syafina Aulia Rahmah, lahir 02

Juli 2003 (6 tahun).

Penulis menempuh pendidikan di SD Negeri Tirongan Bawah tamat tahun

1981, SMP Negeri Baturube tamat 1984, SMA Muhammadiyah Luwuk pada tamat

tahun 1987. Pada tahun 1987, penulis melanjutkan pendidikan di Jurusan

Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, lulus tahun 1992. Tahun

1996 penulis menempuh pendidikan pascasarjana pada Program Studi Biologi

Reproduksi IPB dan lulus tahun 1998. Sejak tahun 2006, penulis terdaftar sebagai

mahasiswa program doktor (S3) pada Program Studi Biologi Reproduksi SPs-IPB

dengan beasiswa pendidikan dari BPPS DIKTI, Departemen Pendidikan Nasional

Republik Indonensia. Sejak tahu 1994 sampai sekarang, penulis bekerja sebagai

dosen tetap di Fakultas Pertanian Universitas Tadulako.

Selama mengikuti program S3, penulis menghasilkan karya ilmiah berjudul:

Penentuan Siklus Estrus pada Kancil (Tragulus javanicus) Berdasarkan Perubahan

Sitologis Vagina pada Jurnal Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Udayana

(14)
(15)
(16)

xv

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Parameter pengamatan estrus ………. 41

2 Kriteria penentuan siklus estrus berdasarkan gambaran perubahan sitologis epitel vagina ... 43

3 Morfometri organ reproduksi pada kancil jantan ... 54

4 Morfometri organ reproduksi pada kancil betina ... 59

5 Karakteristik tingkah laku estrus kancil betina ... 61

6 Karakteristik tingkah laku seksual jantan ... 65

7 Karakteristik sel epitel vagina kancil pada siklus estrus ……… 70

8 Panjang siklus estrus berdasarkan titik puncak sel-sel superfisial dan parabasal pada kancil ... 75

9 Rataan konsentrasi metabolit progesteron di feses selama 2 siklus estrus ... 77

10 Karakteristik semen kancil ………. 86

(17)

xvi

3 Perbandingan ukuran antara Tragulus napu dan Tragulus javanicus ... 10

4 Kancil dewasa mempunyai gigi taring ..………... 10

5 Metabolisme estrogen ... 30

6 Metabolisme progesteron ... ... 31

7 Skema jalur ekskresi hormon steroid ... 32

8 Bagan alur penelitian anatomi dan morfometri kancil jantan dan betina ... 38

9 Model kandang penelitian ... 49

10 Kancil yang mengalami luka pada muka, dada dan lutut ………... 49

11 Luka yang sudah mengering ……….. 49

12 Kancil yang sudah beradaptasi (keadaan relaks dalam kandang) …………... 50

13 Kancil yang sudah jinak ………. 51

14 Pakan kancil: wortel, kacang panjang dan kangkung dalam potongan kecil 52 15 Anatomi organ reproduksi jantan ………... 53

16 Perbandingan morfologi kelenjar asesoris pada ternak ………... 56

17 Perbandingan morfologi glans penis ……….. 57

18 Organ reproduksi kancil betina ………... 58

19 Keadaan vulva pada kancil ………... 62

20 Respon kancil pada saat dipegang daerah belakang ……… 64

21 Tingkah laku kancil menjelang perkawinana .………... 66

22 Jantan mencium menjilat urin kancil betina ………... 66

23 Tngkah laku menandai pada kancil betina oleh kancil jantan .………... 67

24 Posisi kancil saat kawin ……….. 68

25 Sikap kancil betina saat tidak estrus ………... 69

26 Morfologi sel epitel vagina kancil pada fase proestrus ………... 71

27 Morfologi sel epitel vagina kancil pada fase estrus ……… 71

28 Morfologi sel epitel vagina kancil pada fase diestrus ……… 73

29 Uji paralisme contoh feses untuk hormon progesteron ………... 77

(18)

xvii

Halaman

31 Perubahan sel-sel epitel vagina pada betina no 1 ……… 81

32 Perubahan sel-sel epitel vagina pada betina no 2 ……… 82

33 Proses elektroejakulasi diawali dengan pemasukkan probe ke dalam rektum ... 84

34 Semen hasil ejakulat ... 85

35 Spermatozoa kancil dengan pewarnaan eosin 2% ... 88

36 Morfologi spematozoa abnormal pada kepala ... 91

(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sumber kekayaan

alam hayati beraneka ragam flora maupun fauna, sebagian besar dari fauna yang

ada belum dimanfaatkan secara optimal dan hidup liar di hutan. Secara ekologis,

satwa liar memberikan keseimbangan dalam menjaga rantai makanan. Namun

demikian, keberadaan mereka terancam karena menjadi sasaran perburuan baik

untuk kepentingan hobi, hewan model atau hewan kesayangan. Salah satu satwa

liar tersebut adalah kancil (Tragulus javanicus). Penyebarannya di Indonesia

terbatas pada daerah-daerah tertentu, yaitu: Jawa, Sumatera dan Kalimantan

dengan jumlah populasi yang belum diketahui secara tepat.

Kancil merupakan satwa liar yang statusnya termasuk dilindungi (Dephut

1978). Populasi satwa ini diduga cenderung menurun akibat perburuan dan

konversi habitatnya menjadi lahan olahan manusia. Ancaman lain adalah predator

yang bisa memangsanya, seperti harimau, kucing hutan dan garangan, burung

besar dan reptil besar. Mengingat kancil bukan hanya merupakan kekayaan

keanekaragaman fauna Indonesia tetapi juga dunia, maka perlu dilakukan usaha

konservasi spesies ini, baik dari sisi perlindungan habitat maupun dari sisi satwa

itu sendiri.

Telah diketahui bahwa kancil memiliki komposisi protein tinggi (21.42%),

lemak (0.51%) dan kolesterol rendah (50%) (Rosyidi 2005). Dengan demikian

kancil dapat dijadikan satwa harapan. Namun demikian, pembiakan kancil secara

alami di penangkaran belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Ada

kemungkinan faktor penyebab kurang berhasilnya pembiakan kancil di

penangkaran disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan tentang biologi

reproduksinya. Strawder (2004) melaporkan di habitatnya kancil hidup secara

soliter dan monogami. Saat ditangkarkan kancil tidak stabil dan agresif, libidonya

rendah dan tidak mampu untuk mounting (Kudo et al. 1995 dalam Haron et al.

2000). Faktor tersebut menyebabkan upaya perkembangbiakan kancil mengalami

(20)

2 Sistem reproduksi jantan dan betina merupakan faktor penting dalam

menunjang keberhasilan teknologi reproduksi pembiakan satwa, maka sebagai

langkah awal dalam penelitian ini akan melihat anatomi organ reproduksi, tingkah

laku seksual dan siklus estrus. Pengetahuan siklus estrus pada kancil betina,

terutama lama periode estrus dan waktu ovulasi merupakan informasi yang sangat

penting dalam menentukan tingkat keberhasilan perkawinan. Pada hewan betina,

penentuan siklus estrus dapat dilakukan melalui pengamatan tingkah laku seksual.

Namun belum memberikan informasi yang tepat dalam menentukan waktu

perkawinan. Metode lain dalam pengamatan siklus estrus diantaranya dengan

mempelajari gambaran perubahan sel epitel vagina dan melihat profil hormon,

baik yang diperoleh secara invasif dalam plasma darah maupun non invasif dalam

urin dan feses.

Pengaturan siklus estrus dipengaruhi oleh hormon estrogen dan

progesteron melalui aktifitas ovarium. Hormon estrogen disekresikan oleh sel-sel

granulosa dari folikel ovarium karena pengaruh Follicle Stimulating Hormone

(FSH). Pada saat progesteron rendah, peningkatan konsentrasi estrogen akan

menyebabkan umpan balik positif dengan meningkatnya sekresi Luteinizing

Hormone (LH) dari hipofisa anterior ke dalam peredaran darah dan menyebabkan

ovulasi folikel. Setelah ovulasi terbentuk corpus luteum (CL) yang mensekresikan

progesteron. Pada akhir fase luteal jika tidak terjadi kebuntingan, CL akan

mengalami regresi atas pengaruh prostaglandin F2α (PGF2α). Dengan menurunnya

progesteron maka terjadi umpan balik negatif terhadap hipotalamus dan hipofisa

sehingga terjadilah pembentukan folikel baru untuk memasuki siklus estrus yang

baru.

Perubahan fisiologis yang menyertai siklus estrus tersebut juga

berpengaruh terhadap gambaran sitologi sel epitel vagina. Pada fase luteal dimana

hewan tidak estrus sebagian besar sel epitel vagina merupakan sel parabasal,

sedangkan ketika memasuki fase estrus sel epitel berubah menjadi sel intermediet,

superfisial dan sel tanduk (kornifikasi) yang menandakan hewan dalam keadaan

(21)

3 digunakan untuk menentukan waktu optimum melakukan inseminasi buatan (IB)

atau kawin alam.

Di dalam proses metabolismenya, hormon steroid akan dikonjugasikan

dengan glukuronida atau sulfat. Metabolit hormon yang telah terkonjugasi tersebut

selanjutnya akan kembali ke sirkulasi sistemik dan diekskresikan melalui urin atau

melewati membran kanakuli hati ke empedu, selanjutnya akan memasuki sirkulasi

enterohepatik dan diekskresikan melalui feses (O‟Maley & Strott 1999). Adanya

hormon yang diekskresikan tersebut dapat digunakan untuk melakukan

pengukuran konsentrasi hormon reproduksi satwa liar termasuk kancil. Metode

pengamatan hormon yang non invasive ini sangat bermanfaat karena dapat

meniadakan pengaruh cekaman.

Analisis profil metabolit hormon dari urin dan feses telah digunakan

beberapa peneliti terdahulu dan hasilnya dapat merefleksikan kondisi reproduksi

satwa (Brown & Wildt 1997; Kusuda et al. 2007a). Kusuda et al. (2007a)

melaporkan bahwa siklus estrus pada okapi dapat diamati berdasarkan pada

perubahan konsentrasi pregnanediol glukoronide (PdG) dalam urin dan feses.

Deteksi kebuntingan dengan menganalisa konsentrasi estrogen dari feses sudah

dilakukan pada berbagai ungulata, seperti kerbau, zebra dan bison

(Schwarzenberger et al. 1996). Namun sampai saat ini, penelitian serupa pada

kancil betina belum pernah dilaporkan.

Dengan demikian biologi reproduksi kacil perlu dikaji untuk meningkatkan

populasinya. Hal tersebut dapat didekati dengan pengkajian tingkah laku berahi,

gambaran sitologi epitel vagina dan pola hormon pada betina. Sehingga diketahui

siklus estrus, panjang masa estrus dan perkiraan waktu ovulasi yang menentukan

ketepatan waktu kawin. Kajian tersebut harus juga melibatkan pemeriksaan

karakteristik dan kualitas semen. Pengetahuan tentang karakteristik semen

tersebut dapat digunakan dalam menentukan kesuburan atau kemungkinan

(22)

4

Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap pola

reproduksi kancil dalam rangka peningkatan populasi untuk mendukung

pelestariaannya.

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1 Mempelajari pola adaptasi kancil pada kondisi penangkaran

2 Mempelajari anatomi dan morfometri organ reproduksi kancil jantan dan

betina

3 Mengamati pola dan tingkah laku seksual kancil jantan dan betina

4 Mengetahui panjang siklus estrus dan lama periode estrus kancil melalui

pengamatan perubahan sitologi sel-sel epitel vagina dan profil metabolit

hormon steroid (progesteron)

5 Mengetahui karakteristik dan kualitas semen kancil yang dikoleksi dengan

metode elekroejakulator.

Manfaat Penelitian

1. Data yang diperoleh dapat digunakan sebagai data dasar dalam upaya

pelestarian dan konservasi satwa kancil baik secara in-situ maupun ex-situ.

2. Dalam aplikasi reproduksi, hasil penelitian dapat menentukan waktu optimal

kawin pada betina dan pada jantan sebagai dasar pengembangan pengolahan

(23)

5

Kerangka Pemikiran

Pengaturan estrus dipengaruhi oleh hormon gonadotropin, yaitu FSH dan

LH dimana akan menyebabkan perkembangan folikel dan pembentukan CL.

Folikel yang matang akan mensekresikan estrogen yang bertangungjawab untuk

proliferasi endometrium, meningkatkan ukuran dan cairan dinding uterus melalui

hiperplasia dan hipertrofi sel-sel mukosa, meningkatkan volume dan ukuran

pembuluh darah ke uterus sehingga darah mengalir ke dan dari uterus dengan

bebas serta berpengaruh pada otak yang ada hubungannya dengan tingkah laku

estrus atau berahi. Estrogen juga mengontrol perubahan pada alat kelamin betina,

produksi mucus, pada uterus merubah aktivitas metabolismenya, kesemuanya itu

dimaksudkan guna mempersiapkan uterus untuk menerima ovum dan

spermatozoa.

Gejala estrus yang diperlihatkan karena efek estrogen pada poros

hipotalamus-hipofisa meningkatkan sekresi LH ke dalam peredaran darah,

sehingga menyebabkan ovulasi. Hormon progesteron yang dihasilkan CL mulai

meningkat setelah ovulasi, dimana hal tersebut menandakan bahwa hewan berada

dalam fase luteal. Hormon progesteron akan bertahan beberapa waktu, dimana hal

tersebut menandakan bahwa hewan berada dalam fase luteal. Pada akhir fase luteal

jika tidak terjadi kebuntingan, CL akan mengalami regresi atas pengaruh PGF2α.

Dengan menurunnya progesteron maka terjadi pelepasan gonadotropin oleh

adenohipofisa, sehingga terjadilah pembentukan folikel baru untuk memasuki

siklus estrus yang baru.

Fluktuasi hormon estrogen dan progesteron tersebut, akan berpengaruh

terhadap gambaran sel epitel vagina. Proses perubahan sel-sel parabasal menuju

sel intermediet kemudian sel-sel superfisial dan sel-sel anucleate sebagai berikut:

(1) bentuk bundar atau oval perlahan-perlahan akan berubah menjadi bentuk

poligonal atau bentuk tidak beraturan, (2) ukuran inti yang besar secara

perlahan-lahan akan mengecil, pada beberapa kasus inti mengalami kematian atau rusak

secara bersamaan, (3) ukuran sitoplasma akan lebih tipis daripada semula. Proses

(24)

6 dimana hewan tidak estrus terdapat sel parabasal, sedangkan memasuki fase estrus

sel epitel berubah menjadi sel superfisial dan sel tanduk yang menandakan hewan

dalam keadaan puncak estrus.

Setelah disekresikan dari organ endokrin, sebagian besar hormon akan

berada di dalam aliran darah dalam keadaan terikat dengan protein dan sisanya

merupakan hormon yang bebas. Di dalam proses metabolismenya, hormon akan

dikonjugasikan dengan glukuronida atau sulfat. Metabolit hormon yang telah

terkonjugasi tersebut selanjutnya akan kembali ke sirkulasi sistemik dan

diekskresikan via urin atau akan melewati membran kanakuli hati ke empedu,

Hormon yang disekresikan ke dalam empedu akan diserap kembali ke dalam

sirkulasi enterohepatik dan selanjutnya diekskresikan melalui feses.

Mengingat profil hormon reproduksi yang diperoleh dari analisa darah,

sulit diterapkan bagi satwa liar terutama yang mudah tercekam, sehingga

pendekatan non invasif yaitu melalui urin dan feses merupakan suatu alternatif.

Kancil merupakan salah satu satwa yang sangat rentan terhadap stres, sehingga

pengambilan sampel non invasif tidak mengalami stres akibat penanganan

sehingga hasil yang diperoleh benar-benar mencerminkan kondisi yang

sebenarnya.

Informasi tentang karakteristik semen sebagai penentu fertilitas jantan

dilakukan koleksi semen dengan teknik elektroejakulator. Pemeriksaan

konsentrasi, motilitas dan abnormalitas merupakan faktor penting yang dapat

(25)
(26)

8

24 subspesies berdasarkan morfometri dan daerah sebaran dimana kancil

ditemukan. Enam spesies ini, yakni : Tragulus napu (ada 8 subspesies), Tragulus

nigican, Tragulus versicolor, Tragulus javanicus, Tragulus kanchil (ada 16

subspesies) dan Tragulus williamsoni. Smit-van Dort (1969) diacu dalam Meijaard

dan Goves (2004) membedakan dua spesies Tragulus dengan menggunakan

karakter dari skeleton, yaitu Tragulus napu (selain lebih besar juga memiliki kaki

yang lebar dan kuat) dan Tragulus javanicus.

Osbec adalah orang yang pertama kali memproklamirkan nama ilmiah

Tragulus javanicus untuk kancil pada abad ke 18 (Hoogerwerf 1970). Dari nama

tersebut diketahui bahwa hewan kancil pada mulanya ditemukan di Pulau Jawa,

karena contoh yang dipakai sebagai dasar penamaan ditemukan di kampung

Jungkulan yang terletak di muara Cikuja, Jawa Barat (Suyanto 1983). Hal ini

bukan berarti kancil hanya terdapat di Pulau Jawa karena pada kenyataannya

kancil menyebar di beberapa tempat baik di dalam maupun di luar negeri.

Kancil dapat dijumpai di Thailand, Myanmar, Kamboja, beberapa pulau di

wilayah Indonesia seperti: Pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Di Pulau

(27)

9 sekunder, juga Pulau Langkawi, Penang, Singapura dan Redang (Medway 1978)

(Gambar 2).

Gambar 2 Peta penyebaran kancil (Tragulus javanicus) di beberapa pulau dan negara (warna hijau) (Robin 1990, diacu dalam Huffman 2004)

Lekagul dan McNeely (1977) menyatakan bahwa Tragulus javanicus

populasinya banyak terdapat di Pulau Jawa dan berasal dari Pulau Jawa,

sedangkan Tragulus napu banyak terdapat di Pulau Sumatera dan Tragulus

meminna hanya terdapat di India (Walker 1968).

Karakteristik Umum Kancil

Kancil bentuknya menyerupai kijang tetapi badannya kecil dan tidak

bertanduk. Kancil secara eksterior mempunyai kemiripan dengan rusa, karena itu

hewan ini dikenal dengan nama mouse deer. Menurut Dubost (1986) ada dua jenis

mouse deer, yaitu Tragulus napu dan Tragulus javanicus. Perbedaan yang

menyolok dari kedua jenis ini adalah bahwa Tragulus napu mempunyai bobot

badan antara 4-6 kg, sedangkan Tragulus javanicus mempunyai bobot badan

1.3-1.8 kg (Gambar 3). Karena bobot badannya yang rendah, beberapa peneliti

menyarankan bahwa kancil memiliki potensi untuk digunakan sebagai ternak

(28)

10 Kancil tergolong dalam ruminansia terkecil di dunia (Medway 1978;

Nowak 1991), dan merupakan hewan ungulata yang paling primitif yang masih

ada (Whittow et al. 1977). Kancil dapat bertahan hidup di penangkaran lebih dari

16 tahun (Jones 1993). Kancil jantan mempunyai badan yang lebih besar

dibandingkan betina.

Gambar 3 Perbandingan besar tumbuh kancil jantan dewasa, Tragulus napu lebih besar dibandingkan Tragulus javanicus (Lekagul & McNeely 1977).

Kancil memiliki kaki depan lebih pendek dari kaki belakang dan langsing

(Hoogerweff 1970). Beberapa ciri menunjukkan kemiripan dengan babi, yaitu

tidak mempunyai tanduk tetapi yang jantan mempunyai gigi taring atas yang subur

sampai mencuat keluar sepanjang 3 cm, sedangkan gigi taring bawah kurang

berkembang (Gambar 4).

Gambar 4 Kancil jantan dewasa mempunyai gigi taring

(29)

11 Kancil mempunyai kepala segitiga dan badannya mengalami peninggian

pada bagian belakang serta mempunyai kaki yang kecil dan langsing dengan

diameter kira-kira sebesar pensil (Strawder 2004). Bulunya berwarna coklat

kemerah-merahan dengan warna putih pada bagian dagu sampai bagian ventral

tubuh (Anderson & Jones 1967; Baker 2004). Pada Tragulus javanicus rambut

putih tersebut membentuk tiga garis yang jelas (Smit-van Dort 1989, diacu dalam

Meijaard & Goves 2004).

Kancil merupakan hewan malam yang memiliki sifat hidup soliter dan

berpasangan pada musim kawin (Young 1981), penakut, senang bersembunyi dari

pada melarikan diri, larinya cepat tapi mudah capek, mudah gugup dengan

lingkungan baru (Kudo et al. 1997). Oleh karena itu sebaiknya dalam tahapan

penangkaran perlu terlebih dahulu ditutupi dengan kain yang gelap dan

membiarkannya dalam keadaan gelap, tetapi apabila terlampau gelap hewan ini

akan menjadi gugup. Apabila tahapan proses penangkaran dilakukan dengan baik

hewan kancil bisa menjadi jinak seperti halnya hewan peliharaan lainnya, tetapi

kancil betina cenderung lebih cepat jinak dibandingkan kancil jantan.

Kancil mempunyai mata yang besar, daun telinga yang relatif kecil dan

lidah yang relatif panjang serta kaki yang ramping dan kuku yang tajam (Gzimek

1975; Anonim 1978). Mempunyai 34 buah gigi, dimana gigi taring bagian atas

akan tumbuh terutama pada jantan. Susunan gigi seri dan geraham pada kancil

sama dengan sapi (Slijper 1954).

Kancil bersifat ”pemalu” dan selalu berusaha untuk tidak terlihat. Dalam kedaan ketakutan dan tidak nyaman, kancil akan ”menangis” dengan mengeluarkan suara melengking (Medway 1969; Strawder 2004). Kancil hidup

dalam kelompok, beberapa soliter dan bersifat monogami, kancil berpasangan

ditemui pada saat musim kawin. Jantan bersifat teritorial yang akan menandai

daerah teritorialnya dengan sekresi dari kelenjar intermandibular dan disertai

dengan urinasi dan defekasi (Strawder 2004).

Kancil tidak mempunyai tanduk namun pada jantan dewasa terdapat gigi

taring yang memanjang keluar (Anderson & Jones 1967). Kancil jantan akan

(30)

12 menyayat/melukai musuhnya dengan menggunakan gigi taringnya ini (Strawder

2004).

Kancil diketahui bersifat nokturnal, namun penelitian yang dilakukan oleh

Matsubayashi et al. (2002) yang dipasang radiotracking pada habitatnya di hutan

Kabili-Sepilok, Sabah (Malaysia), menunjukkan bahwa individu akan aktif makan

dan bergerak sepanjang hari dan inaktif/istirahat pada malam hari.

Ukuran tubuh kancil kecil dan eritrosit dengan ukuran yang kecil dan

dalam jumlah yang tinggi. Hal ini berhubungan dengan tingkat metabolisme yang

tinggi (Snyder & Weathers 1977), dimana hemoglobin yang tinggi diperlukan

karena kancil merupakan hewan yang gesit degan aktifitas otot yang banyak

(Vidyadaran et al. 1979). Kancil tidak mempunyai lambung yang kompleks

seperti pada artiodactyla pada umumnya dimana kancil hanya memiliki retikulum,

rumen dan abomasum, namun tidak memiliki omasum (Richardson et al. 1988;

Agungpriyono et al. 1992).

Pakan Kancil

Pakan merupakan salah satu faktor penting dalam pemeliharaan kancil.

Oleh karena itu suatu hal yang perlu diperhatikan bahwa walaupun secara alamiah

kancil tergolong hewan ruminansia, tetapi perlu diingat bahwa kancil termasuk

hewan yang memiliki alat pencernaan sederhana (hanya memiliki rumen,

retikulum dan abomasum tidak memiliki omasum), tidak mampu mencerna bahan

makanan yang serat kasarnya tinggi, maka perlu diberikan makanan yang serat

kasarnya rendah dan kandungan energi cukup tinggi. Hoogerwerf (1970)

menyatakan bahwa di alam, kancil menyukai makan buah-buahan hutan yang

sudah jatuh ke tanah seperti kayu besi (Eusideroxylojn zwarger) dan buah-buahan

ceplukan (Physalis maxima). Kancil di tempat pemeliharaan sangat menyukai:1)

bahan makanan yang banyak mengandung karbohidrat tinggi sebagai sumber

energi misalnya ubi rambat (Ipomea batatas), 2) bahan makanan sebagai sumber

protein, misalnya kangkung (Ipomea aquatica), 3) sedikit rumput (Suyanto, 1983).

Medway (1978) melaporkan bahwa di kebun binatang New York, pasangan kancil

(31)

13 mentah serta ditambahkan pakan pellet berupa mixed gain, crushed monkey pellet,

rollet oats dan alfalfa hay.

Darlis et al. (1999) melaporkan bahwa kancil di Malaysia menyukai

kangkung, kacang panjang, kacang perancis (bean french) sebagai roughages dan

sumber protein; ubi (sweet potato), wortel (carrot) sebagai sumber karbohidrat dan

pellet kelinci komersial sebagai pakan komplit.

Waktu pemberian pakan sebaiknya dilakukan tiga kali sehari semalam

dengan waktu pagi sekitar pukul 06.00-07.00 WIB, siang pada pukul 13.00-14.00

WIB dan malam pukul 18.00-19.00 WIB. Cara pemberian pakan sebaiknnya

diberikan dalam wadah dan dalam kondisi segar, karena bila pakan sudah dalam

keadaan layu dan kotor, maka kancil enggan memakannya. Kancil menyukai

pakan yang segar dan kandungan air tinggi dan memiliki daya cerna tinggi serta

kandungan serat kasarnya rendah (Rosyidi 2005).

Habitat

Habitat adalah tempat dimana suatu mahluk hidup melangsungkan

kehidupannya. Alikodra (1979) manyatakan bahwa habitat adalah kompleksitas

berbagai komponen antara lain iklim, fisiogafi, vegetasi dengan kualitasnya dan

merupakan tempat hidup organisme. Sedangkan Djuwantoko (1986) menyatakan

bahwa habitat merupakan suatu daerah yang sangat penting bagi populasi satwa

agar dapat berkembang secara optimal untuk mendapatkan makanan, air dan

naugan (shelter). Menurut Moen (1972) habitat satwa sangat dipengaruhi oleh

lingkungan biotik maupun non-biotik.

Habitat satwa sering secara sederhana ditafsirkan sebagai tipe vegetasi

karena umumnya syarat hidup suatu jenis satwa selalu melibatkan aspek vegetasi

(Dashman 1981). Krebs dan Davies (1981) menyatakan habitat mencerminkan

tipe vegetasi yang tidak terbatas luasnya. Vegetasi diartikan sebagai kumpulan

tumbuhan, biasanya terdiri atas beberapa jenis yang hidup bersama-sama pada

suatu tempat dan didalamnya terdapat interaksi yang erat baik antara individu itu

sendiri maupun dengan binatang yang hidup bersamanya sehingga merupakan

(32)

14 syarat bagi kelangsungan hidup satwa harus memiliki empat komponen dasar

yaitu: pakan, pelindung, air dan ruang.

Kancil menyukai tinggal di hutan primer dan sekunder, di tanah kering

yang tidak jauh dengan sungai-sungai dengan vegetasi rapat, baik didataran rendah

maupun tinggi (1.200 m dpl), kaki-kaki bukit. Tempat persembunyiannya di

rongga-rongga pohon, celah-celah batu, gua-gua maupun di semak-semak. Usia

yang dapat dicapai pada habitat aslinya adalah 12-14 tahun (Strawder 2004).

Faktor-Faktor Lingkungan yang Berpengaruh pada Ternak

Peningkatan produksi dan produktifitas ternak, di mana saja, dipengaruhi

oleh beberapa faktor. Secara garis besar faktor tersebut dapat ditinjau dari aspek

pakan, aspek ternak sendri dan aspek manusia dalam menempatkan, menilai dan

memanfaatkan ternak tersebut. Hewan tidak dapat memisahkan diri dengan

lingkungannya, karena antara duanya telah terbentuk suatu sistem yang saling

berinteraksi antara satu sama lain. Kemampuan hewan untuk beradaptasi dalam

lingkungan dapat dilihat dari beberapa parameter, seperti tingkat harapan hidup

dan kemampuan berkembang biak atau prestasi reproduksi (Krimbas 1984).

Kendala dalam memelihara kancil adalah karena hewan ini termasuk satwa

liar dan memilki sifat berbeda dengan hewan domestikasi. Salah satu fenomena

yang unik pada satwa liar termasuk kancil adalah cekaman (stres) yang mudah

muncul. Sajuthi dan Lelana (2000) menyatakan penyebab cekaman (stressor)

pada satwa liar setidaknya ada empat faktor, yaitu:

1 Somatic stressor, seperti suara, bau, perubahan temperatur, zat kimia dan

obat-obatan, sentuhan-sentuhan yang tidak diduga maupun peregangan

otot dan tendon yang tidak normal.

2 Psychological stressor, seperti beberapa aspek yang berkaitan dengan

pola adaptasi dan praktek restrain.

3 Behavior stressor, seperti lingkungan yang asing, terlalu padat, ruangan

terlalu sempit, perubahan ritme biologis, kehilangan teritorial, hirarki

(33)

15 4 Miscellaneus stressor, seperti malnutrisi, zat-zat toksik, agen penyakit,

parasit, kebakaran, serta perlakuan medis yang kurang legeartis.

Apabila ternak dipindahkan ke lingkungan yang tidak dikenal, ternak

tersebut dapat menjadi gelisah, lelah kepanasan atau kedinginan. Semua kondisi

tersebut akibat dari respon dalam tubuh ternak yang disebabkan oleh berbagai

faktor dalam lingkungan baru. Bila ternak dalam kondisi seperti itu, sering

dinyatakan bahwa ternak tersebut mengalami cekaman (stres). Istilah stres itu

sendiri adalah suatu gambaran umum yang merujuk pada penyesuaian fisiologis,

seperti perubahan detak jantung, laju pernafasan, temperatur tubuh dan tekanan

darah yang terjadi selama ternak dibiarkan terhadap kondisi yang merugikan. Hal

ini terjadi selama lingkungan menjadi tidak nyaman atau berbahaya bagi ternak.

Gejala stres terlihat sebagai gangguan psikologis, emosional maupun kegelisahan

(Smith & French 1997). Berdasarkan waktunya, stres terbagi menjadi:1) stres

jangka pendek yang ditandai dengan peningkatan denyut jantung, ketegangan otot

dan laju pernapasan yang dangkal; 2) stres jangka panjang dengan gejala

kurangnya nafsu makan, gangguan pencernaan dan kulit serta penurunan libido;

dan 3) stres internal dengan gejala ketakutan, ketidakmampuan untuk

berkonsentrasi, murung atau justru emosi yang meledak-ledak. Menurut Fowler

(1999), stres yang berlangsung secara terus-menerus dan berlangsung lama

berimplikasi pada penurunan imun, reproduksi, sistem syaraf dan sistem endokrin

dalam tubuh. Respon endokrin terhadap stres muncul ketika impuls syaraf

simpatik menstimulir kelenjar medula adrenal. Kelenjar endokrin segera

melepasakan katekolamin (epineprin/adrenalin dan noradrenalin) ke dalam aliran

darah. Selanjutnya, hipotalamus menstimulir hipofisa anterior untuk melepaskan

Adrenocorticotropic Hormone (ACTH) sampai terjadi peningkatan glukocortikoid

untuk membantu peningkatan suplai energi terutama ketika dalam keadaan bahaya

(Ackerman 1996; Guytom & Hall, 1996).

Banyak unsur-unsur lingkungan yang dapat membuat stres bagi ternak di

bawah kondisi tertentu, seperti perbedaan besar dalam temperatur, kelembaban,

cahaya, suara dan ruang. Unsur-unsur ini efektif dalam menghasilkan

(34)

16 pengaruhnya, karena respons yang akan dihasilkan dari kondisi lingkungan

bergantung pada spesies, bobot, umur, jenis kelamin, daya tahan stres bawaan dan

status emosional dari ternak.

Temperatur. Lingkungan merupakan faktor utama penyebab stres. Apabila faktor lingkungan menjadi lebih dingin dari pada temperatur tempat asal

ternak, maka ternak tersebut mulai memanfaatkan proses-proses tambahan untuk

menghasilkan dan mempertahankan panas tubuh. Keadaan menggigil dapat

menyebabkan suatu pengurangan dalam tingkat glikogen otot, karena tipe

kontraksi ini diiringi dengan suatu peningkatan aliran darah dalam otot dan tidak

menghasilkan asam laktat. Dilain pihak, temperatur tinggi yang tidak wajar

meningkatkan permintaan terhadap mekanisme pendinginan terhadap ternak.

Sering kali temperatur otot akan meningkat karena tubuh ternak tidak mampu

membuang panasnya dengan cukup cepat. Ternak yang berkemampuan jelek

dalam menghilangkan panas dari tubuhnya dapat mengembangkan temperatur otot

sampai 42-43oC. Temperatur tinggi seperti ini dapat mempercepat reaksi

metabolisme seperti pemutusan adenosin triphosphat (ATP) dan glikolisis, yang

berlangsung ketika stres dan pada akhirnya dapat menyebabkan kematian ternak.

Kelembaban. Jumlah air dalam udara (kelembaban) dapat mempengaruhi kedahsyatan pengaruh temperatur yang baru saja dijelaskan. Kenyataannya,

terdapat interaksi dari kedua unsur lingkungan ini sebagian besar menentukan pada

kenyamanan ternak. Umumnya kelembaban tinggi meningkatkan ketidak

nyamanan ternak yang dibiarkan terhadap temperatur dingin atau panas dalam

periode pendek. Apabila ternak memerlukan pendinginan, uap air dan udara lebih

menyulitkan dalam menghilangkan panas melalui pernapasan. Pada lingkungan

dingin, kadar air udara meningkatkan kecepatan menghilangkan panas lingkungan

dari tubuh.

Cahaya, Suara dan Ruang. Perilaku ternak seringkali dipengaruhi oleh unsur-unsur lingkungan seperti cahaya, suara dan ruang. Apabila dikandangkan

dalam lingkungan gelap, ternak cenderung bergerak menuju sumber cahaya.

(35)

17 ternak yang nokturnal. Sebagian ternak merasa tak nyaman apabila diikat atau

dibatasi dalam ruang yang tidak memungkinkan pergerakan bebas.

Suara-suara yang tak dikenal juga menimbulkan penuh cekaman bagi

banyak ternak. Sebagian ternak menjadi ketakutan pada lingkungan tidak

dikenalnya, sementara ternak lainnya menjadi bermusuhan. Perbedaan dalam

bersikap ini mungkin berkaitan dengan banyak faktor dalam ternak, seperti:

keseimbangan hormon, kelembaban atau pengalaman sebelumnya. Oleh karena

itu muncul respon-respon emosional yang tidak dapat diduga (Forrest et al. 1975).

Karakteristik Reproduksi Kancil

Anatomi Organ Reproduksi Jantan

Sebagaimana hewan mamalia pada umumnya, organ reproduksi jantan

mempunyai fungsi utama dalam menghasilkan sel-sel kelamin jantan (spermatozoa)

dan hormon kelamin jantan (testoteron). Anatomi organ reproduksi jantan terbagi

menjadi tiga bagian utama, yaitu: (1) organ reproduksi primer berupa gonad jantan

yang disebut testis, orchyd atau didymous, (2) organ kelamin pelengkap meliputi

saluran-saluran kelamin yang terdiri dari epididimis, vas deferens, ampula vas

deferens dan urethra; kelenjar kelamin pelengkap (asesoris) meliputi; kelenjar

prostat, kelenjar vesikularis dan kelenjar bulbouretralis (cowper) dan (3) organ

kelamin luar sebagai alat kopulasi, yaitu penis dan skrotum sebagai pelindung testes

(Toelihere 1993).

Organ reproduksi kancil jantan terdiri atas sepasang gonad (testis), penis

dan kelenjar asesori. Haron et al. (2000) menyatakan bahwa kelenjar asesori kancil

jantan relatif kecil dibandingkan dengan hewan lain. Sekresi kelenjar-kelenjar ini

sebagian besar menjadi plasma semen. Dilaporkan oleh Boever (1986) organ

reproduksi kancil hampir sama dengan babi. Perbedaan ukuran organ reproduksi

terutama pada testisnya, biasanya berhubungan erat dengan produksi spermatozoa.

(36)

18 Penis terdiri atas radix, corpus dan glans penis. Pada corpus penis ruminansia

umumnya ditemukan lengkungan berbentuk huruf S sebagai ciri khas dari tipe penis

fibroelastis (Hafez 2000).

Anatomi Organ Reproduksi Betina

Secara umum anatomi organ reproduksi kancil betina memiliki susunan

yang sama dengan hewan ruminansia lainnya, terdiri atas satu pasang gonad

(ovarium), satu pasang tuba Fallopii, satu pasang cornua uteri dan satu buah corpus

uteri, cervix, vagina dan vulva (Hamny 2006).

Ovarium mempunyai fungsi utama sebagai penghasil sel-sel kelamin betina,

yaitu ovum dan sebagai penghasil hormon-hormon kelamin betina adalah estrogen

yang berfungsi menampakkan gejala estrus dan progesteron dengan fungsi utama

memelihara kebuntingan. Saluran reproduksi betina dimulai dari vulva, vagina (alat

kopulasi), cervix (tempat seleksi spermatozoa dan pelindung uterus dari pengaruh

luar), uterus (tempat berkembangnya fetus) dan tuba Fallopii (tempat terjadinya

fertilisasi).

Pola Reproduksi Kancil

Data tentang pola reproduksi kancil masih sangat terbatas. Belum

diperoleh informasi yang jelas terhadap pola reproduksi atau perkembangbiakan

kancil di kawasan in-situ maupun ex-situ. Strawder (2004) melaporkan bahwa

kancil mengalami kematangan seksual (sexual maturity) pada umur 5-6 bulan

(spesies yang ada di Asia) dan 10 bulan (spesies yang ada di Afrika).

Kudo et al. (1995) melaporkan bahwa baik umur dewasa kelamin maupun lama

kebuntingan sangat bervariasi bergantung pada lokasi dan pemeliharaan kancil,

terutama manajemen pemberian pakannya.

Siklus berahi pada kancil betina diperkirakan berlangsung 16 hari dengan

lama berahi selama 2 hari, kopulasi bisa terjadi beberapa kali (Kudo et al. 1995).

Kebuntingan berlangsung selama 4-5 bulan dengan menghasilkan satu anak yang

(37)

19 Anderson dan Jones (1967) menyatakan bahwa secara alami musim kawin

berlangsung pada Juni dan Juli, sedangkan lama kebuntingan berkisar antara

152-172 hari (Medway 1969). Bila mengacu kepada pernyataan tersebut dapat

diperkirakan bahwa anak yang dilahirkan kemungkinan besar akan terjadi pada

Nopember atau Desember. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Rosyidi (2005)

dalam penelitiannya diperoleh 5 ekor bunting dari 8 ekor pasang kancil yang

diamati, didapatkan 5 ekor anak yang dilahirkan pada akhir Januari (1 ekor), akhir

April (2 ekor), awal Mei (1 ekor), dan akhir Juli (1 ekor). Dari hasil tersebut

menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara musim kawin dengan

kejadian betina bunting dan waktu beranak. Data tersebut menunjukkan bahwa

pola perkembangbiakan kancil terjadi sepanjang tahun, sama dengan yang

dilaporkan oleh Nowak (1991). Hasil ini juga sama dengan hasil penelitian Arifin

(2004), pada Tragulus napu mampu beranak sepanjang tahun yang ditandai

dengan jumlah induk beranak pada bulan-bulan basah tidak berbeda dibandingkan

dengan bulan-bulan kering (P 0.05).

Berdasarkan data tersebut di atas terlihat bahwa, meskipun di lingkungan

terbatas, ternyata kancil mampu berkembang biak dan bahkan mampu beranak

lebih dari satu kali dalam setahun. Hal itu berarti kancil mampu beradaptasi

dengan baik meskipun berada pada lingkungan terbatas.

Pada betina kelenjar mamae mempunyai empat puting. Induk betina

mengasuh anaknya selama 2-3 minggu dengan masa sapih 8-12 minggu (OIA

1991). Kadang induk mengeluarkan suara mencicit (squaking) seperti jantan dan

anaknya akan menjawabnya dengan suara yang sama (Ralls et al. 1975).

Hoogerwerf (1970) melaporkan bahwa kancil beranak 2 kali setahun atau

setiap 5 bulan sekali dan kadang-kadang 2 ekor setiap kelahiran. Kudo et al.

(1997) melaporkan berat lahir anak mencapai 120-190 g atau 10% dari berat badan

induknya dan bentuk plasenta kancil adalah difusa dan villous (Anderson & Jones

1967), bentuk difusa, seperti halnya plasenta unta (Young 1981).

Kancil diketahui mengalami estrus pertama postpartus yang cepat. Davis

(1965) diacu dalam Ralls et al. (1975) melaporkan bahwa terjadi kopulasi 85 menit

(38)

20

al. 1975). Hal ini didukung oleh Kudo et al. (1997), yang mengamati bahwa

kancil betina dapat melakukan perkawinan 30 menit setelah beranak. Selanjutnya

Medway (1978) melaporkan kancil betina melakukan perkawinan 48 jam setelah

melahirkan dan anak sudah berkembang dengan dapat berdiri dalam waktu 30

menit setelah dilahirkan, induk menyusui anaknya sambil berdiri dengan tiga

kakinya.

Tingkah Laku Seksual

Tingkah laku seksual menurut Hafez (1993) adalah beberapa variasi pola

tingkah laku dari percumbuan, daya tarik dan aktivitas motorik yang bertujuan untuk

mendekatkan jantan dan betina sehingga terjadi perkawinan dan akhirnya

menghasilkan keturunan. Sedangkan Austine dan Short (1985) menyatakan bahwa

pengertian tingkah laku reproduksi sudah semakin meluas tidak hanya fisiologik dan

mekanisme endokrin, tetapi juga strategi dari ternak untuk melakukan perkawinan

pada kondisi alamnya. Tingkah laku seksual tidak hanya menyangkut pada saat

kopulasi dimana gamet jantan dideposisikan ke saluran reproduksi betina tetapi juga

bagaimana membawa hewan jantan dan betina tersebut untuk bertemu, melakukan

percumbuan serta menentukan perkawinan pada waktu yang optimal (Austine

&Short 1985).

Fenomena tingkah laku (behaviour) muncul akibat adanya rangsangan

(stimulus) yang dapat berasal dari dalam atau dari luar tubuh (Austine & Short

1985). Rangsangan dari dalam tubuh, berupa hormon yang dapat mempengaruhi

tingkah laku seksual, sedangkan rangsangan dari luar dapat berupa rangsangan

penciuman (olfactory), pendengaran (auditory), dan penglihatan (visual).

Rangsangan olfactory pada jantan sebagai contoh adanya pheromon yang

dilepaskan oleh betina yang estrus, akan menyebabkan hewan jantan untuk

mendekati hewan betina (Becker et al. 1992).

Betina estrus juga menunjukkan tanda punggung tegak, telinga berdiri,

kepala diangkat, mulut terbuka, vulva membengkak dan mengeluarkan cairan jernih

dari vagina yang berbau khas, kaki digerak-gerakkan ke depan dan ke belakang,

(39)

21 Betina estrus juga sering memperlihatkan perilaku berdiri di belakang betina lainnya

sambil mencium ekornya. Jika ada dua ekor betina yang estrus bersamaan,

kadang-kadang mereka saling menaiki. Becker et al. (1992) membagi tingkah laku seksual

pada betina menjadi tiga bagian, yaitu aktraktif, tingkah laku proreceptive

(menerima dicumbu) dan receptivity (menerima untuk koitus). Nalley (2006)

melaporkan pada rusa timor betina terdapat tujuh gejala estrus setelah pencabutan

implan CIDR-G, yaitu: (1) tidak menolak saat didekati oleh keeper, (2) sering

mengeluarkan suara, (3) gelisah, (4) vulva terlihat merah, agak bengkak dan basah,

(5) tidak menolak jika punggung dipegang, (6) nafsu makan berkurang dan (7)

tidak menolak pada saat vulva dipegang.

Selama masa estrus seekor rusa betina biasa dinaiki tiga sampai empat kali

selamakurang lebih dua jam oleh seekor pejantan sebelum terjadi ejakulasi, bahkan

kadang-kadang seekor rusa betina estrus bersedia menerima lebih dari satu pejantan.

Kelakuan ini biasa berlangsung selama 12 jam sebelum betina mencapai puncak

estrus. Sering terjadi perkelahian antar pejantan memperebutkan betina estrus

(Nalley 2006).

Penelitian mekanisme fisiologik yang berperan dalam tingkah laku seksual

pada betina lebih sering difokuskan pada refleks kopulasi, penerimaan seksual yang

disebut lordosis. Lordosis ditandai dengan tidak bergeraknya tubuh betina, posisi

membungkuk dengan kaki depan direndahkan, kemudian badan membentuk

lengkungan, pada spesies yang mempunyai ekor yang panjang; kopulasi biasanya

ditandai dengan diangkatnya ekor ke salah satu sisinya. Postur lordosis akan mucul

akibat adanya kontak dengan pejantan, pada spesies tertentu lordosis dapat juga

terjadi akibat stimulasi manual pada punggung betina.

Tingkah laku seksual pada jantan (libido) dapat dilihat dari keinginan

kawin. Pada jantan perubahan periferal (contoh: penis), lebih nyata terlihat.

Hormon dapat menyebabkan tingkah laku seksual melalui aktifitas struktur

periferal. Tingkah laku seksual pada jantan dipisahkan menjadi motivasi seksual

(libido) dan kemampuan koitus (Beaker et al. 1992). Sedangkan menurut Bearden

(40)

22 laku kawin yang terdiri atas (1) keinginan (libido) untuk mencari pasangan dan (2)

kemampuan untuk kawin atau kopulasi.

Pada jantan tahapan proses tingkah laku kawin terdiri atas daya tarik

seksual (sexual arousal), percumbuan (courtship), ereksi, menaiki (mounting),

intromisi, ejakulasi, dan turun (dismounting) kembali.

Kancil jantan sering menjilat sampai minum urin dari kancil betina, kadang

kancil betina juga menjilat urin kancil jantan. Kancil jantan sering

menggosok-gosokkan kelenjar intermandibularisnya pada betina untuk menandai kancil betina

(Ralls et al. 1975), kancil jantan akan mendekati betina dari belakang dan

menggosokkan kelenjarnya di bagian tengah atau belakang kancil betina dari

beberapa sisi dan menandai betina dimana saja seperti bagian dorsal, belakang atau

leher. Ekor kancil jantan terlihat lurus ”tail-flashes” ketika mengikuti betina (Ralls

et al. 1975).

Ketika menandai dan mendekati betina, kancil jantan mengeluarkan suara

mencicit. Pada saat kancil jantan menaiki betina, umumnya kancil betina menaikkan pantatnya hingga posisi ”lordosis” dan tidak bergerak sehingga

memudahkan kancil jantan untuk menaiki betina. Jantan akan menaikkan kaki

depan ke punggung betina sehingga posisinya aman untuk terjadinya kopulasi.

Mekanisme Kerja Hormonal dalam Siklus Estrus

Hormon Reproduksi

Hormon yang bekerja pada proses reproduksi pada jantan dan betina pada

dasarnya terdiri dari: hormon hipotalamus, hormon hipofisa, dan hormon gonad.

Hormon gonadotropin (FSH dan LH) merupakan hormon yang disekresikan oleh

hipofisa untuk mengontrol kelenjar gonad (Ovarium dan testis). Aktivitas ovarium

dan testis diperlukan kerjasama yang baik antara hipotalamus, hipofisa, dan testis.

Hormon hipotalamus mengeluarkan faktor-faktor pelepas yaitu Gonadotropin

Releasing Factor (GnRF) atau GnRH (Gonadotropin Releasing Hormone) untuk

(41)

23 Pada ternak betina estrogen mempunyai banyak fungsi, diantaranya: (1)

merubah sifat sekresi yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisa anterior, (2)

mempengaruhi pada otak yang ada hubungannya dengan tingkah laku estrus atau

berahi, (3) mengontrol perubahan pada alat kelamin betina, produksi mucus dan

(4) merubah aktivitas metabolisme pada uterus, kesemuanya itu dimaksudkan guna

mempersiapkan uterus untuk menerima ovum dan spermatozoa (Reeves 1987).

Estrogen yang diproduksi dari aktifitas gelombang folikel selama fase

siklus luteal, menginisiasi luteolisis. Hal ini dimediasi dari pembentukan reseptor

oksitosin di dalam endometrium ternak yang sudah dikondisikan dahulu oleh

progesteron. Efek estrogen pada poros hipotalamus dan hipofisadapat bersifat

positif dan negatif. Efek negatif dapat bervariasi bergantung pada musim, pubertas,

menyusui dan nutrisi. Kehadiran progesteron pada fase luteal siklus estrus,

meningkatkan efek negatif pada estrogen dalam pelepasan LH dan FSH sehingga

pematangan folikel dan ovulasi terhambat (InterAg 1996). Umpan balik positif

dengan peningkatan produksi estrogen dalam ketidak hadiran progesteron

meningkatkan sekresi LH ke dalam peredaran darah. Selanjutnya di bawah

pengaruh serta peran LH yang disekresikan dari hipofisa anterior terjadilah

ovulasi.

Progesteron merupakan hormon yang dihasilkan oleh CL, plasenta dan

kelenjar adrenal. Progesteron mempunyai peranan mempersiapkan lingkungan

uterus untuk implantasi dan memelihara kebuntingan melalui peningkatan sekresi

kelenjar endometrium dan menghambat motilitas miometrium (Toelihere 1993).

Selain itu progesteron menghambat sel-sel limfosit yang dapat menolak jaringan

dan merupakan immuno supresif alami yang mencegah penolakan maternal

terhadap fetus (Hansen & Liu 1996). Lebih lanjut Hansen (1997) melaporkan

bahwa progesteron memainkan peranan utama dalam pengaturan respons

kekebalan uterus dimana induksi progesteron menghasilkan uterine milk protein

(UTMP) atau protein susu uterus yang menghambat aktifitas limfosit di dalam

uterus. Dilaporkan juga oleh McDonald (1989) bahwa progesteron juga bekerja

secara sinergis dengan estrogen untuk merangsang sekresi alveoli dan

(42)

24 Menurut InterAg (1996) pada sapi level basal progesteron dalam

peredaran darah lebih <1 ng/ml. Setelah perkembangan CL pada awal fase luteal

siklus, konsentrasi progesteron plasma meningkat sampai 7 ng/ml dan selama

kebuntingan konsentrasi progesteron plasma dapat mencapai 20 ng/ml atau lebih.

Tingginya konsentrasi progesteron plasma pada fase luteal siklus, menekan

pelepasan LH yang berhubungan dengan pematangan folikel dominan.

Jika folikel dominan matang mencapai ukuran lebih besar dari sembilan

mm, sementara konsentrasi progesteron plasma >4 ng/ml, maka folikel dominan

berangsur-angsur hilang (atresia) dan terbentuk folikel baru. Ketika konsentrasi

progesteron plasma turun ke level sub-luteal (<2 ng/ml), LH meningkat dan cukup

untuk memelihara pertumbuhan folikel dominan. Jika konsentrasi progesteron

plasma di antara dua dan empat ng/ml, folikel dominan tetap bertahan tanpa

ovulasi dan mencegah inisiasi gelombang folikuler baru (InterAg, 1996).

Bila ovum tidak dibuahi dan hewan tidak bunting, proses perkembangan

folikel, ovulasi dan pembetukan CL akan terjadi secara teratur. Umur CL dibatasi

oleh uterus yang pada hari-hari terakhir siklus pada hewan tidak bunting

memproduksi PGF2 secara pulsasi ke dalam vena uterus, lalu ditransfer ke arteri

ovari melalui mekanisme arus berlawanan. Di bawah pengaruh PGF2 CL

mengalami regesi dan produksi progesteron terhenti. Selain itu PGF2 akan

mengalami perubahan kimiawi dan fisik yang akan berakibat langsung dalam

pengurangan sintesis steroid yang berakhir dengan terjadinya luteolisis dan akan

mulai siklus estrus baru.

Periode Siklus Estrus

Periode siklus estrus, yaitu estrus, metestrus, diestrus dan proestrus yang

berlangsung secara siklik dan berurutan. Kontrol reproduksi secara umum dan

aktivitas-aktivitas yang terjadi dalam satu siklus estrus khususnya pada ternak

betina melibatkan sistem hormonal. Periode estrus ditetapkan sebagai periode

waktu ternak betina mau menerima pejantan dan akan berdiri diam dinaiki.

Toelihere (1993) menyatakan periode ini pada ternak betina menghasilkan sel telur

Gambar

  Gambaran sitologis
Gambar 3 Perbandingan besar tumbuh kancil jantan dewasa, Tragulus napu lebih besar dibandingkan Tragulus javanicus (Lekagul & McNeely 1977)
Gambar 8   Bagan alur penelitian anatomi dan morfometri kancil jantan dan betina
Tabel 2  Kriteria penentuan siklus estrus berdasarkan gambaran perubahan             sitologis epitel vagina

Referensi

Dokumen terkait

yang ditawarkan oleh badan usaha.. 2) Attributes related to service , yaitu atribut yang berkaitan terhadap jasa, meliputi Guarantee or warranty, merupakan jaminan yang diberikan

Pelaksanaan kegiatan KK Dampingan KKN PPM UNUD ini dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi masalah yang sedang dihadapi oleh keluarga dampingan sehingga,

variabel- variabel penelitian yang dimaksud adalah Kelas Sosial (X1), Gaya Hidup (X2), Kelompok Referensi (X3), Motivasi (X4), dan Keputusan Pembelian Produk Starbucks coffee

Peserta didik mengumpulkan informasi sebanyakbanyaknya dari berbagai sumber, dan mengajukan pertanyaan pada peserta didik lain dalam kelompok untuk berpikir tentang jawaban

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU WANITA USIA SUBUR DALAM MELAKUKAN DETEKSI DINI.. KANKER PAYUDARA METODE SADARI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi product moment Pearson maka diperoleh hasil nilai koefisien korelasi (r) sebesar

Kesimpulan:Terdapat hubungan antara kualitas nyeri dengan kemampuan aktivitas fungsional penderita osteoartritis lutut, yaitu jika terjadi peningkatan nilai

Selama penulis mengajar dengan melalui media lagu anak ada beberapa kendala diantaranya tidak tersedianya sarana IT disekolah sehingga penulis yang menyiapkan