KAJIAN POLA REPRODUKSI PADA KANCIL
(Tragulus javanicus) DALAM MENDUKUNG
PELESTARIANNYA
NAJAMUDIN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Kajian Pola Reproduksi pada Kancil (Tragulus javanicus) Dalam Mendukung Pelestariannya adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2010
ABSTRACT
NAJAMUDIN. Study of Mouse Deer Reproduction Pattern (Tragulus javanicus) in Supporting Sustainability. Under the supervision of TUTY L. YUSUF as chairman,
SRIHADI AGUNGPRIYONO and AMROZI as members of the supervisory Committee.
This research aimed to study the reproductive pattern of mouse deer in order to support their conservation. In general, the male and female mouse deer reproductive organs are similar with those of other domestic animals. The duration of standing time of female mouse deer during estrous was significantly longer than the standing time during non-estrous. The vulva of an estrous female was reddened, swollen and loose; in contrast, the vulva of a non-estrous female appeared pale and tight. Another way to detect estrous was by holding the back of the mouse deer; estrous animals elevated their hindquarters, displaying a lordosis reflex. Male mouse deer also displayed flehmen reaction and appeared more active during the female estrous phase.
Behaviours of male when they approached a female in heat included increased activities, flirtation, licking the mammae as well as the back, marking, and mating. Male mouse deer mounted the female by raising both front feet off the ground to be placed on the top of the female hips in order to have a safe mating position. When mounted, non-estrous female mouse deer displayed a slightly lower position to avoid copulation, and ran. Average of first mounting time was 3 minutes (in the range of 1-5 minutes); second mounting attempt had a similar duration. In this study, the average frequency of the male mouse deer mounted the female was 23 times/day (in the range of 11-34 times/day). In this study, it was observed that mouse deer were not monogamous.
The duration of estrous was determined 2-3 days (48-72 hours), based on the vaginal cytology. The estimated length of the estrous cycle was 11.6 days (9-14 days range); this was determined by calculating the duration of time to have a repeated highest percentage of superficial cells on the vaginal cytology. The interluteal phase progesterone concentration was 804.46±165.09-948.76±116.37 ng/g, while the luteal phase concentration was 1887.61±44833-2093.56±513.68 ng/g in female mouse deer. Based on the progesterone profile, the average length of estrous cycle was 12 days (9-15 days range), the length of luteal phase was 7-8 days, the length of interluteal phase was 4-5 days, and the duration of estorus was 2-3 days.
Macroscopic evaluation on semen in this study demonstrated the average volume was 35±12.91 µ l, pH 7.5, and yellow-creamy white in color. Microscopically, the average percentage of sperm motility was 40.0±8.165 %, the average sperm concentration was 366.66±148.08x106 ml-1, the average percentage of alive sperm was 65.00±5.77% and the percentage of sperm with abnormal morphology was 29.18%.
Key words: mouse deer, behaviour, vaginal cytology, estrous cycle, progesterone
RINGKASAN
NAJAMUDIN. Kajian Pola Reproduksi pada Kancil (Tragulus javanicus) dalam Mendukung Pelestariannya. Di bawah bimbingan TUTY L. YUSUF sebagai ketua, SRIHADI AGUNGPRIYONO dan AMROZI masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing.
Kancil (Tragulus javanicus) merupakan salah satu satwa langka. Satwa ini hanya ditemukan di hutan tropis bagian selatan Asia, termasuk di pulau pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Populasi hewan ini diduga cenderung menurun karena perusakan dan konversi habitatnya menjadi lahan olahan manusia serta aktivitas-aktivitas perburuan. Untuk mendukung usaha pelestarian kancil diperlukan kemampuan dan keberhasilan dalam perkembangbiakan. Akan tetapi hingga saat ini pengetahuan tentang pola fisiologi reproduksi kancil belum banyak diketahui. Mengingat status reproduksi betina merupakan faktor penting dalam keberhasilan penerapan teknologi reproduksi, maka sebagai langkah awal seperti tingkah laku reproduksi betina dan perubahan sitologis vagina serta pola hormonalnya selama siklus estrus perlu diteliti. Demikian juga pada jantan sangat diperlukan informasi lebih lanjut tentang karakteristik kualitas semen.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap pola reproduksi kancil (Tragulus javanicus) dalam rangka mendukung pelestariannya. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut di atas penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu; (1) mengamati pola adaptasi kancil pada kondisi penangkaran, (2) anatomi dan morfometri organ reproduksi jantan dan betina, (3) mengamati pola dan tingkah laku seksual kancil jantan dan betina, (4) mengamati panjang siklus estrus dan lama periode estrus kancil melalui pengamatan perubahan sitologis sel-sel epitel vagina dan profil metabolit hormon steroid (estrogen dan progesteron) dan (5) mengamati karakteristik dan kualitas semen kancil yang dikoleksi dengan metode elektroejakulator.
Secara umum bagian-bagian dari organ reproduksi kancil jantan hampir sama dengan organ reproduksi ternak domestik lainnya, yaitu terdiri dari organ kelamin primer (gonad jantan atau testis), kelenjar-kelenjar kelamin pelengkap (ampula, kelenjar vesikularis, prostat dan bulbourethralis) dan saluran-saluran yang terdiri dari epididimis, vas deferens dan urethra, serta organ kelamin bagian luar atau organ kopulatoris yang disebut dengan penis. Penis kancil mempunyai fleksura sigmoidea dan termasuk fibroelastis. Panjang testis kancil adalah 12.33±2.89 mm, diameter 8.20±1.92 mm dengan berat 0.81±0.17 gr, panjang vas deferens adalah 113±3.60 mm, ampula kancil 17.33±2.87 mm dengan diameter mm, panjang kelenjar vesikularis pada kancil 18.00±3.46 mm dan tebal 5.7±1.10 mm, panjang kelenjar prostat 17.33±2.52 mm dengan tebal 6.53±0.06 mm, sepasang kelenjar bulbourethralis dengan panjang 8.26±1.02 mm dan tebal 5.47±0.85 mm dengan berat (0.86±0.04 gr). Panjang penis bebas preputium pada kancil (58.33±10.41 mm).
Organ reproduksi kancil betina terdiri dari sepasang ovarium, oviduct, uterus, cervix dan vagina. Ovarium kanan kancil berukuran lebih panjang 4.8±2.61 mm dan lebar 3.03±1.70 mm di bandidngkan dengan ovarium kiri panjang 4.4±0.61 mm dan lebar 2.83±0.67 mm. Tuba Fallopii kanan memiliki panjang (30.67±2.08 mm) dan yang kiri 29.67±3.21 mm. Cornua uteri kanan juga lebih panjang (32.67±3.05 mm) dibanding Cornua kiri dengan panjang 21.00±1.73 mm. Corpus uteri memiliki panjang 32.67±2.08 mm. Cervix kancil mempunyai panjang 24.33±2.52 mm dengan diameter 5.33±0.58 mm. Pada kancil terlihat cervix relatif lebih panjang dari vagina, dimana berbeda dengan pada ternak mamalia lainnya. Vagina memiliki panjang 20.33±5.57 mm.
Pola tingkah laku kawin ditandai dengan perubahan sifat pejantan yaitu menjadi lebih aktif, percumbuan (courtship), menjilati dada dan punggung, menggosok-gosokkan intermandibular scent glandnya ke betina dan kopulasi. Pada saat mounting kancil jantan akan menaikkan kaki depannya ke atas pinggul dengan sejajar atau menyilangkan kaki diatas pinggul betina hingga posisinya aman untuk terjadinya kopulasi. Ereksi terjadi saat kaki sudah terfiksir di atas pinggul dan saat tersebut terjadi intromisi. Lama mounting rata-rata 3 menit (berkisar antara 1-5 menit). Demikian juga waktu yang dibutuhkan dari mounting pertama kali dan waktu mounting yang kedua rata-rata 3 menit (berkisar antara 1-5 menit). Kancil yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai libido yang tinggi dari pengamatan diketahui juga bahwa kancil tidak bersifat monogamus.
Siklus estrus kancil dapat ditentukan dengan melihat perubahan sel-sel epitel vagina. Berdasarkan sitologis vagina, lama estrus adalah 2-3 hari (48-72 jam) dan lama siklus estrus berdasarkan jarak antara titik tertinggi sel-sel superfisial, yaitu 11.6 hari dengan kisaran (9-14 hari). Dari profil progesteron, panjang siklus berdasarkan antara dua titik dimulainya peningkatan konsentrasi progesteron sampai peningkatan konsentrasi progesteron berikutnya (di atas garis
threshold ) pada kancil no 1 adalah 12 hari (9-15 hari) dan pada kancil no 2 adalah 12 hari (12-13 hari). Lama fase luteal pada kancil no 1 adalah adalah 8 hari dan kancil no 2 adalah 7 hari serta lama fese interluteal baik pada kancil no 1 dan no 2 adalah 4-5 hari dengan lama estrus 2-3 hari.
Karakteristik semen yang didapatkan pada penelitian ini secara makroskopis yakni sebesar 35.00±12,91 μl, pH 7.5, berwarna kuning dan konsistensi kental. Secara mikroskopis tidak menunjukkan gerakan massa, konsentrasi spermatozoa (366.66±148.08x106 ml-1), persentase motilitas (40.0±8.165), persentase hidup 65.00±5,77 dan persentase abnormalitas 29.18.
Abnormalitas pada kepala yang ditemukan pada kancil, antara lain adalah
pear shape (0.56%), narrow at the base (kepala mengecil ke bawah) (1.12%),
narrow (tappered head) (1.12%), undeveloped (3.37%), round head ((1.68%),
double heads (1.12%), detached head (2.81%), abaxial (1.12%), microcephalus
(1.12%) dan macrocephalus (1.12%). Sedangkan abnormalitas pada ekor antara lain adalah ekor tanpa kepala (1.12%), coiled under the head (1.13%), simple bent
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
KAJIAN POLA REPRODUKSI PADA KANCIL
(Tragulus javanicus) DALAM MENDUKUNG
PELESTARIANNYA
NAJAMUDIN
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Biologi Reproduksi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup : 1 Dr. Drh. M. Agus Setiadi
(Dosen pada Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Bogor)
2 Dr. Drh. M. Agil, M.Sc.
(Dosen pada Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Bogor)
Penguji pada Ujian Terbuka : 1 Dr. Ir. Tonny R. Soehartono, M.Sc.
(Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam, Departemen Kehutanan RI)
2 Dr. R. Iis Arifiantini, M.S.
Judul Disertasi : Kajian Pola Reproduksi pada Kancil (Tragulus javanicus) dalam Mendukung Pelestariannya.
Nama : Najamudin
NRP : B361060011
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. drh. Tuty L. Yusuf, M.S. Ketua
Dr. drh. Srihadi Agungpriyono, PAVet(K) Dr. drh. Amrozi Anggota Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi/ Dekan Sekolah Pascasarjana Mayor Biologi Reproduksi
Prof. Dr. drh. Iman Supriatna Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 20 Januari 2010
PRAKATA
Alhamdu Lillahi Rabbil Alamin atas segala rahmat dan karunianya yang engkau berikan ya Allah, sehingga Karya Ilmiah “DISERTASI” ini berhasil diselesaikan. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW atas suri tauladan-Nya. Disertasi ini memuat hasil penelitian
tentang pola adaptasi kancil pada kondisi penagkaran, tingkah laku reproduksi
jantan dan betina, penentuan siklus estrus melalui gambaran sitologis vagina dan
profil hormon metabolit dari feses serta karakteristik spermatozoa kancil. Pada
kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang
setinggi-tingginya kepada: Ibu Prof. Dr. drh. Tuty L. Yusuf, MS. sebagai ketua
komisi pembimbing, Bapak Dr. drh. Srihadi Agungpriyono, PAVet(K) dan Bapak
Dr. drh. Amrozi, masing-masing sebagai anggota pembimbing, atas arahan dan
bimbingannya dimulai dari pembuatan proposal dan pelaksanaan peneltian sampai
pada penulisan disertasi sehingga dapat menambah wawasan penulis dalam
berbagai hal yang tertuang dalam disertasi ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula pada pimpinan Universitas
Tadulako, Institut Pertanian Bogor, Sekolah Pascasarjana IPB, Program Studi
Biologi Reproduksi SPs-IPB, serta Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi,
Laboratorium Rehabilitasi Reproduksi, Laboratorium Riset Anatomi AFF
FKH-IPB beserta seluruh staf, atas kesempatan dan segala fasilitas yang diberikan
selama penulis menenpuh pendidikan sehingga penelitian ini dapat berlangsung
dengan baik.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. drh. M. Agus Setiadi dan
Bapak Dr. drh. M. Agil, M.Sc, yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi
pada ujian tertutup dan Ibu Dr. Nastiti Kusumorini, sebagai pimpinan sidang pada
ujian tertutup. Terima kasih juga kepada Bapak Dr. Ir. Tonny R. Soehartono M.Sc
dan Ibu Dr. R. Iis Arifiantini, M.S, atas kesediaanya menjadi penguji luar komisi
pada ujian terbuka dan Bapak Dr. drh. H. Hasim, DEA (Dekan Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB), sebagai pimpinan sidang pada
Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan pada Bapak
Prof. Dr. drh. Iman Supriatna, Bapak Prof. Ir. Muhammad Salim Saleh, MP,
Bapak Dr. Ir. Muh. Nasir Nanne, MS, Bapak drh. R. Kurnia Achyadi, MS, Bapak
Dr. drh. Adi Winarto, Ibu Dr. drh. Hera Maheswari, yang senantiasa memberikan
dukungan dan semangat.
Penulis juga menyampaikan terima kasih dan perhargaan pada rekan-rekan
mahasiswa yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Pascasarjana Biologi
Reproduksi, Dr. Ir. Tomas Mattahine, M.Si, Bayu Rosadi, SP, M.Si, Drs. Hurip
M.Si, Dr. drh. Enny T, M.Si, drh. Yudi, M.Si, Hary, S.Si, drh. Riadi, Ir. Golib dan
teman-teman seangkatan SVT (2006/2007) Dr. drh. I Nyoman Suarsana, M.Si
(UDAYANA), Dr. Muharram Saifuloh, MSc, drh. Sutiastuti W. M.Si (BALIVET),
drh. Mustafa Sabri (UNSYIAH), Dr. drh. Ketut Karuni N. Natih, M.Si (BPMSOH)
dan Dr. drh. Sophia Setiawati, MP (Karantina-Jakarta), dan Ibu Endang, Drh Dedy
R. Setiadi, Bondan Ahmadi, SE, AMd atas bantuaan dan kerjasamanya selama
penulis menenpuh studi S-3.
Terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman Wacana Sulawesi
Tengah: Ir. Abd. Kadir Paloloang, MP, Ir. Muh. Nur Sangaji, DEA, Ir. Ivon
Iskandar, M.Si, Dr. Nurdin, MP, Ir. Abd. Syakur, M.Si, Ir. Abd. Rosyid, M.Si,
Alimudin Laapo, SP, M.Si dan Ir. Nova Rugayah, MES.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada
Ayahanda Atong Hi. Saing (Alm) dan Ibunda Jubaere dan kakak dan adik-adikku
yang senantiasa memberikan doa dan dukungan moril.
Terima kasih dan perhargaan kepada Ulfah, S.Pd (istri) dan Maghfirah
Pratiwi Ramadina, Khalisah Rahmah Dinitya dan Syafina Aulia Rahmah
(anak-anak) atas doa tulus, pengorbanan, pengertian, ketabahan dan dorongan semangat
yang tiada pernah putus, Mohon maaf selama tiga tahun terakhir tidak dapat
memberikan kasih sayang yang utuh kepada kalian semua. Semoga apa yang Bapak
lakukan ini menjadi teladan bagi kalian.
Akhir kata penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi
masyarakat luas dan bernilai ibadah kepada Allah SWT, amin.
Bogor, 20 Januari 2010
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Baturube, 19 Oktober 1969. Penulis merupakan anak
kedua dari 8 bersaudara dari pasangan Atong Hi Saing (Alm) dan Jubaere. Penulis
menikah dengan Ulfah, S.Pd pada tanggal 12 April 1999, dan dikaruniai tiga putri
yaitu Maghfirah Pratiwi Ramadinah, lahir 02 Januari 2000 (10 tahun), Khalishah
Rahmah Dinitya, lahir 14 Juli 2001 (8 tahun) dan Syafina Aulia Rahmah, lahir 02
Juli 2003 (6 tahun).
Penulis menempuh pendidikan di SD Negeri Tirongan Bawah tamat tahun
1981, SMP Negeri Baturube tamat 1984, SMA Muhammadiyah Luwuk pada tamat
tahun 1987. Pada tahun 1987, penulis melanjutkan pendidikan di Jurusan
Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, lulus tahun 1992. Tahun
1996 penulis menempuh pendidikan pascasarjana pada Program Studi Biologi
Reproduksi IPB dan lulus tahun 1998. Sejak tahun 2006, penulis terdaftar sebagai
mahasiswa program doktor (S3) pada Program Studi Biologi Reproduksi SPs-IPB
dengan beasiswa pendidikan dari BPPS DIKTI, Departemen Pendidikan Nasional
Republik Indonensia. Sejak tahu 1994 sampai sekarang, penulis bekerja sebagai
dosen tetap di Fakultas Pertanian Universitas Tadulako.
Selama mengikuti program S3, penulis menghasilkan karya ilmiah berjudul:
Penentuan Siklus Estrus pada Kancil (Tragulus javanicus) Berdasarkan Perubahan
Sitologis Vagina pada Jurnal Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Udayana
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Parameter pengamatan estrus ………. 41
2 Kriteria penentuan siklus estrus berdasarkan gambaran perubahan sitologis epitel vagina ... 43
3 Morfometri organ reproduksi pada kancil jantan ... 54
4 Morfometri organ reproduksi pada kancil betina ... 59
5 Karakteristik tingkah laku estrus kancil betina ... 61
6 Karakteristik tingkah laku seksual jantan ... 65
7 Karakteristik sel epitel vagina kancil pada siklus estrus ……… 70
8 Panjang siklus estrus berdasarkan titik puncak sel-sel superfisial dan parabasal pada kancil ... 75
9 Rataan konsentrasi metabolit progesteron di feses selama 2 siklus estrus ... 77
10 Karakteristik semen kancil ………. 86
xvi
3 Perbandingan ukuran antara Tragulus napu dan Tragulus javanicus ... 10
4 Kancil dewasa mempunyai gigi taring ..………... 10
5 Metabolisme estrogen ... 30
6 Metabolisme progesteron ... ... 31
7 Skema jalur ekskresi hormon steroid ... 32
8 Bagan alur penelitian anatomi dan morfometri kancil jantan dan betina ... 38
9 Model kandang penelitian ... 49
10 Kancil yang mengalami luka pada muka, dada dan lutut ………... 49
11 Luka yang sudah mengering ……….. 49
12 Kancil yang sudah beradaptasi (keadaan relaks dalam kandang) …………... 50
13 Kancil yang sudah jinak ………. 51
14 Pakan kancil: wortel, kacang panjang dan kangkung dalam potongan kecil 52 15 Anatomi organ reproduksi jantan ………... 53
16 Perbandingan morfologi kelenjar asesoris pada ternak ………... 56
17 Perbandingan morfologi glans penis ……….. 57
18 Organ reproduksi kancil betina ………... 58
19 Keadaan vulva pada kancil ………... 62
20 Respon kancil pada saat dipegang daerah belakang ……… 64
21 Tingkah laku kancil menjelang perkawinana .………... 66
22 Jantan mencium menjilat urin kancil betina ………... 66
23 Tngkah laku menandai pada kancil betina oleh kancil jantan .………... 67
24 Posisi kancil saat kawin ……….. 68
25 Sikap kancil betina saat tidak estrus ………... 69
26 Morfologi sel epitel vagina kancil pada fase proestrus ………... 71
27 Morfologi sel epitel vagina kancil pada fase estrus ……… 71
28 Morfologi sel epitel vagina kancil pada fase diestrus ……… 73
29 Uji paralisme contoh feses untuk hormon progesteron ………... 77
xvii
Halaman
31 Perubahan sel-sel epitel vagina pada betina no 1 ……… 81
32 Perubahan sel-sel epitel vagina pada betina no 2 ……… 82
33 Proses elektroejakulasi diawali dengan pemasukkan probe ke dalam rektum ... 84
34 Semen hasil ejakulat ... 85
35 Spermatozoa kancil dengan pewarnaan eosin 2% ... 88
36 Morfologi spematozoa abnormal pada kepala ... 91
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sumber kekayaan
alam hayati beraneka ragam flora maupun fauna, sebagian besar dari fauna yang
ada belum dimanfaatkan secara optimal dan hidup liar di hutan. Secara ekologis,
satwa liar memberikan keseimbangan dalam menjaga rantai makanan. Namun
demikian, keberadaan mereka terancam karena menjadi sasaran perburuan baik
untuk kepentingan hobi, hewan model atau hewan kesayangan. Salah satu satwa
liar tersebut adalah kancil (Tragulus javanicus). Penyebarannya di Indonesia
terbatas pada daerah-daerah tertentu, yaitu: Jawa, Sumatera dan Kalimantan
dengan jumlah populasi yang belum diketahui secara tepat.
Kancil merupakan satwa liar yang statusnya termasuk dilindungi (Dephut
1978). Populasi satwa ini diduga cenderung menurun akibat perburuan dan
konversi habitatnya menjadi lahan olahan manusia. Ancaman lain adalah predator
yang bisa memangsanya, seperti harimau, kucing hutan dan garangan, burung
besar dan reptil besar. Mengingat kancil bukan hanya merupakan kekayaan
keanekaragaman fauna Indonesia tetapi juga dunia, maka perlu dilakukan usaha
konservasi spesies ini, baik dari sisi perlindungan habitat maupun dari sisi satwa
itu sendiri.
Telah diketahui bahwa kancil memiliki komposisi protein tinggi (21.42%),
lemak (0.51%) dan kolesterol rendah (50%) (Rosyidi 2005). Dengan demikian
kancil dapat dijadikan satwa harapan. Namun demikian, pembiakan kancil secara
alami di penangkaran belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Ada
kemungkinan faktor penyebab kurang berhasilnya pembiakan kancil di
penangkaran disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan tentang biologi
reproduksinya. Strawder (2004) melaporkan di habitatnya kancil hidup secara
soliter dan monogami. Saat ditangkarkan kancil tidak stabil dan agresif, libidonya
rendah dan tidak mampu untuk mounting (Kudo et al. 1995 dalam Haron et al.
2000). Faktor tersebut menyebabkan upaya perkembangbiakan kancil mengalami
2 Sistem reproduksi jantan dan betina merupakan faktor penting dalam
menunjang keberhasilan teknologi reproduksi pembiakan satwa, maka sebagai
langkah awal dalam penelitian ini akan melihat anatomi organ reproduksi, tingkah
laku seksual dan siklus estrus. Pengetahuan siklus estrus pada kancil betina,
terutama lama periode estrus dan waktu ovulasi merupakan informasi yang sangat
penting dalam menentukan tingkat keberhasilan perkawinan. Pada hewan betina,
penentuan siklus estrus dapat dilakukan melalui pengamatan tingkah laku seksual.
Namun belum memberikan informasi yang tepat dalam menentukan waktu
perkawinan. Metode lain dalam pengamatan siklus estrus diantaranya dengan
mempelajari gambaran perubahan sel epitel vagina dan melihat profil hormon,
baik yang diperoleh secara invasif dalam plasma darah maupun non invasif dalam
urin dan feses.
Pengaturan siklus estrus dipengaruhi oleh hormon estrogen dan
progesteron melalui aktifitas ovarium. Hormon estrogen disekresikan oleh sel-sel
granulosa dari folikel ovarium karena pengaruh Follicle Stimulating Hormone
(FSH). Pada saat progesteron rendah, peningkatan konsentrasi estrogen akan
menyebabkan umpan balik positif dengan meningkatnya sekresi Luteinizing
Hormone (LH) dari hipofisa anterior ke dalam peredaran darah dan menyebabkan
ovulasi folikel. Setelah ovulasi terbentuk corpus luteum (CL) yang mensekresikan
progesteron. Pada akhir fase luteal jika tidak terjadi kebuntingan, CL akan
mengalami regresi atas pengaruh prostaglandin F2α (PGF2α). Dengan menurunnya
progesteron maka terjadi umpan balik negatif terhadap hipotalamus dan hipofisa
sehingga terjadilah pembentukan folikel baru untuk memasuki siklus estrus yang
baru.
Perubahan fisiologis yang menyertai siklus estrus tersebut juga
berpengaruh terhadap gambaran sitologi sel epitel vagina. Pada fase luteal dimana
hewan tidak estrus sebagian besar sel epitel vagina merupakan sel parabasal,
sedangkan ketika memasuki fase estrus sel epitel berubah menjadi sel intermediet,
superfisial dan sel tanduk (kornifikasi) yang menandakan hewan dalam keadaan
3 digunakan untuk menentukan waktu optimum melakukan inseminasi buatan (IB)
atau kawin alam.
Di dalam proses metabolismenya, hormon steroid akan dikonjugasikan
dengan glukuronida atau sulfat. Metabolit hormon yang telah terkonjugasi tersebut
selanjutnya akan kembali ke sirkulasi sistemik dan diekskresikan melalui urin atau
melewati membran kanakuli hati ke empedu, selanjutnya akan memasuki sirkulasi
enterohepatik dan diekskresikan melalui feses (O‟Maley & Strott 1999). Adanya
hormon yang diekskresikan tersebut dapat digunakan untuk melakukan
pengukuran konsentrasi hormon reproduksi satwa liar termasuk kancil. Metode
pengamatan hormon yang non invasive ini sangat bermanfaat karena dapat
meniadakan pengaruh cekaman.
Analisis profil metabolit hormon dari urin dan feses telah digunakan
beberapa peneliti terdahulu dan hasilnya dapat merefleksikan kondisi reproduksi
satwa (Brown & Wildt 1997; Kusuda et al. 2007a). Kusuda et al. (2007a)
melaporkan bahwa siklus estrus pada okapi dapat diamati berdasarkan pada
perubahan konsentrasi pregnanediol glukoronide (PdG) dalam urin dan feses.
Deteksi kebuntingan dengan menganalisa konsentrasi estrogen dari feses sudah
dilakukan pada berbagai ungulata, seperti kerbau, zebra dan bison
(Schwarzenberger et al. 1996). Namun sampai saat ini, penelitian serupa pada
kancil betina belum pernah dilaporkan.
Dengan demikian biologi reproduksi kacil perlu dikaji untuk meningkatkan
populasinya. Hal tersebut dapat didekati dengan pengkajian tingkah laku berahi,
gambaran sitologi epitel vagina dan pola hormon pada betina. Sehingga diketahui
siklus estrus, panjang masa estrus dan perkiraan waktu ovulasi yang menentukan
ketepatan waktu kawin. Kajian tersebut harus juga melibatkan pemeriksaan
karakteristik dan kualitas semen. Pengetahuan tentang karakteristik semen
tersebut dapat digunakan dalam menentukan kesuburan atau kemungkinan
4
Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap pola
reproduksi kancil dalam rangka peningkatan populasi untuk mendukung
pelestariaannya.
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
1 Mempelajari pola adaptasi kancil pada kondisi penangkaran
2 Mempelajari anatomi dan morfometri organ reproduksi kancil jantan dan
betina
3 Mengamati pola dan tingkah laku seksual kancil jantan dan betina
4 Mengetahui panjang siklus estrus dan lama periode estrus kancil melalui
pengamatan perubahan sitologi sel-sel epitel vagina dan profil metabolit
hormon steroid (progesteron)
5 Mengetahui karakteristik dan kualitas semen kancil yang dikoleksi dengan
metode elekroejakulator.
Manfaat Penelitian
1. Data yang diperoleh dapat digunakan sebagai data dasar dalam upaya
pelestarian dan konservasi satwa kancil baik secara in-situ maupun ex-situ.
2. Dalam aplikasi reproduksi, hasil penelitian dapat menentukan waktu optimal
kawin pada betina dan pada jantan sebagai dasar pengembangan pengolahan
5
Kerangka Pemikiran
Pengaturan estrus dipengaruhi oleh hormon gonadotropin, yaitu FSH dan
LH dimana akan menyebabkan perkembangan folikel dan pembentukan CL.
Folikel yang matang akan mensekresikan estrogen yang bertangungjawab untuk
proliferasi endometrium, meningkatkan ukuran dan cairan dinding uterus melalui
hiperplasia dan hipertrofi sel-sel mukosa, meningkatkan volume dan ukuran
pembuluh darah ke uterus sehingga darah mengalir ke dan dari uterus dengan
bebas serta berpengaruh pada otak yang ada hubungannya dengan tingkah laku
estrus atau berahi. Estrogen juga mengontrol perubahan pada alat kelamin betina,
produksi mucus, pada uterus merubah aktivitas metabolismenya, kesemuanya itu
dimaksudkan guna mempersiapkan uterus untuk menerima ovum dan
spermatozoa.
Gejala estrus yang diperlihatkan karena efek estrogen pada poros
hipotalamus-hipofisa meningkatkan sekresi LH ke dalam peredaran darah,
sehingga menyebabkan ovulasi. Hormon progesteron yang dihasilkan CL mulai
meningkat setelah ovulasi, dimana hal tersebut menandakan bahwa hewan berada
dalam fase luteal. Hormon progesteron akan bertahan beberapa waktu, dimana hal
tersebut menandakan bahwa hewan berada dalam fase luteal. Pada akhir fase luteal
jika tidak terjadi kebuntingan, CL akan mengalami regresi atas pengaruh PGF2α.
Dengan menurunnya progesteron maka terjadi pelepasan gonadotropin oleh
adenohipofisa, sehingga terjadilah pembentukan folikel baru untuk memasuki
siklus estrus yang baru.
Fluktuasi hormon estrogen dan progesteron tersebut, akan berpengaruh
terhadap gambaran sel epitel vagina. Proses perubahan sel-sel parabasal menuju
sel intermediet kemudian sel-sel superfisial dan sel-sel anucleate sebagai berikut:
(1) bentuk bundar atau oval perlahan-perlahan akan berubah menjadi bentuk
poligonal atau bentuk tidak beraturan, (2) ukuran inti yang besar secara
perlahan-lahan akan mengecil, pada beberapa kasus inti mengalami kematian atau rusak
secara bersamaan, (3) ukuran sitoplasma akan lebih tipis daripada semula. Proses
6 dimana hewan tidak estrus terdapat sel parabasal, sedangkan memasuki fase estrus
sel epitel berubah menjadi sel superfisial dan sel tanduk yang menandakan hewan
dalam keadaan puncak estrus.
Setelah disekresikan dari organ endokrin, sebagian besar hormon akan
berada di dalam aliran darah dalam keadaan terikat dengan protein dan sisanya
merupakan hormon yang bebas. Di dalam proses metabolismenya, hormon akan
dikonjugasikan dengan glukuronida atau sulfat. Metabolit hormon yang telah
terkonjugasi tersebut selanjutnya akan kembali ke sirkulasi sistemik dan
diekskresikan via urin atau akan melewati membran kanakuli hati ke empedu,
Hormon yang disekresikan ke dalam empedu akan diserap kembali ke dalam
sirkulasi enterohepatik dan selanjutnya diekskresikan melalui feses.
Mengingat profil hormon reproduksi yang diperoleh dari analisa darah,
sulit diterapkan bagi satwa liar terutama yang mudah tercekam, sehingga
pendekatan non invasif yaitu melalui urin dan feses merupakan suatu alternatif.
Kancil merupakan salah satu satwa yang sangat rentan terhadap stres, sehingga
pengambilan sampel non invasif tidak mengalami stres akibat penanganan
sehingga hasil yang diperoleh benar-benar mencerminkan kondisi yang
sebenarnya.
Informasi tentang karakteristik semen sebagai penentu fertilitas jantan
dilakukan koleksi semen dengan teknik elektroejakulator. Pemeriksaan
konsentrasi, motilitas dan abnormalitas merupakan faktor penting yang dapat
8
24 subspesies berdasarkan morfometri dan daerah sebaran dimana kancil
ditemukan. Enam spesies ini, yakni : Tragulus napu (ada 8 subspesies), Tragulus
nigican, Tragulus versicolor, Tragulus javanicus, Tragulus kanchil (ada 16
subspesies) dan Tragulus williamsoni. Smit-van Dort (1969) diacu dalam Meijaard
dan Goves (2004) membedakan dua spesies Tragulus dengan menggunakan
karakter dari skeleton, yaitu Tragulus napu (selain lebih besar juga memiliki kaki
yang lebar dan kuat) dan Tragulus javanicus.
Osbec adalah orang yang pertama kali memproklamirkan nama ilmiah
Tragulus javanicus untuk kancil pada abad ke 18 (Hoogerwerf 1970). Dari nama
tersebut diketahui bahwa hewan kancil pada mulanya ditemukan di Pulau Jawa,
karena contoh yang dipakai sebagai dasar penamaan ditemukan di kampung
Jungkulan yang terletak di muara Cikuja, Jawa Barat (Suyanto 1983). Hal ini
bukan berarti kancil hanya terdapat di Pulau Jawa karena pada kenyataannya
kancil menyebar di beberapa tempat baik di dalam maupun di luar negeri.
Kancil dapat dijumpai di Thailand, Myanmar, Kamboja, beberapa pulau di
wilayah Indonesia seperti: Pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Di Pulau
9 sekunder, juga Pulau Langkawi, Penang, Singapura dan Redang (Medway 1978)
(Gambar 2).
Gambar 2 Peta penyebaran kancil (Tragulus javanicus) di beberapa pulau dan negara (warna hijau) (Robin 1990, diacu dalam Huffman 2004)
Lekagul dan McNeely (1977) menyatakan bahwa Tragulus javanicus
populasinya banyak terdapat di Pulau Jawa dan berasal dari Pulau Jawa,
sedangkan Tragulus napu banyak terdapat di Pulau Sumatera dan Tragulus
meminna hanya terdapat di India (Walker 1968).
Karakteristik Umum Kancil
Kancil bentuknya menyerupai kijang tetapi badannya kecil dan tidak
bertanduk. Kancil secara eksterior mempunyai kemiripan dengan rusa, karena itu
hewan ini dikenal dengan nama mouse deer. Menurut Dubost (1986) ada dua jenis
mouse deer, yaitu Tragulus napu dan Tragulus javanicus. Perbedaan yang
menyolok dari kedua jenis ini adalah bahwa Tragulus napu mempunyai bobot
badan antara 4-6 kg, sedangkan Tragulus javanicus mempunyai bobot badan
1.3-1.8 kg (Gambar 3). Karena bobot badannya yang rendah, beberapa peneliti
menyarankan bahwa kancil memiliki potensi untuk digunakan sebagai ternak
10 Kancil tergolong dalam ruminansia terkecil di dunia (Medway 1978;
Nowak 1991), dan merupakan hewan ungulata yang paling primitif yang masih
ada (Whittow et al. 1977). Kancil dapat bertahan hidup di penangkaran lebih dari
16 tahun (Jones 1993). Kancil jantan mempunyai badan yang lebih besar
dibandingkan betina.
Gambar 3 Perbandingan besar tumbuh kancil jantan dewasa, Tragulus napu lebih besar dibandingkan Tragulus javanicus (Lekagul & McNeely 1977).
Kancil memiliki kaki depan lebih pendek dari kaki belakang dan langsing
(Hoogerweff 1970). Beberapa ciri menunjukkan kemiripan dengan babi, yaitu
tidak mempunyai tanduk tetapi yang jantan mempunyai gigi taring atas yang subur
sampai mencuat keluar sepanjang 3 cm, sedangkan gigi taring bawah kurang
berkembang (Gambar 4).
Gambar 4 Kancil jantan dewasa mempunyai gigi taring
11 Kancil mempunyai kepala segitiga dan badannya mengalami peninggian
pada bagian belakang serta mempunyai kaki yang kecil dan langsing dengan
diameter kira-kira sebesar pensil (Strawder 2004). Bulunya berwarna coklat
kemerah-merahan dengan warna putih pada bagian dagu sampai bagian ventral
tubuh (Anderson & Jones 1967; Baker 2004). Pada Tragulus javanicus rambut
putih tersebut membentuk tiga garis yang jelas (Smit-van Dort 1989, diacu dalam
Meijaard & Goves 2004).
Kancil merupakan hewan malam yang memiliki sifat hidup soliter dan
berpasangan pada musim kawin (Young 1981), penakut, senang bersembunyi dari
pada melarikan diri, larinya cepat tapi mudah capek, mudah gugup dengan
lingkungan baru (Kudo et al. 1997). Oleh karena itu sebaiknya dalam tahapan
penangkaran perlu terlebih dahulu ditutupi dengan kain yang gelap dan
membiarkannya dalam keadaan gelap, tetapi apabila terlampau gelap hewan ini
akan menjadi gugup. Apabila tahapan proses penangkaran dilakukan dengan baik
hewan kancil bisa menjadi jinak seperti halnya hewan peliharaan lainnya, tetapi
kancil betina cenderung lebih cepat jinak dibandingkan kancil jantan.
Kancil mempunyai mata yang besar, daun telinga yang relatif kecil dan
lidah yang relatif panjang serta kaki yang ramping dan kuku yang tajam (Gzimek
1975; Anonim 1978). Mempunyai 34 buah gigi, dimana gigi taring bagian atas
akan tumbuh terutama pada jantan. Susunan gigi seri dan geraham pada kancil
sama dengan sapi (Slijper 1954).
Kancil bersifat ”pemalu” dan selalu berusaha untuk tidak terlihat. Dalam kedaan ketakutan dan tidak nyaman, kancil akan ”menangis” dengan mengeluarkan suara melengking (Medway 1969; Strawder 2004). Kancil hidup
dalam kelompok, beberapa soliter dan bersifat monogami, kancil berpasangan
ditemui pada saat musim kawin. Jantan bersifat teritorial yang akan menandai
daerah teritorialnya dengan sekresi dari kelenjar intermandibular dan disertai
dengan urinasi dan defekasi (Strawder 2004).
Kancil tidak mempunyai tanduk namun pada jantan dewasa terdapat gigi
taring yang memanjang keluar (Anderson & Jones 1967). Kancil jantan akan
12 menyayat/melukai musuhnya dengan menggunakan gigi taringnya ini (Strawder
2004).
Kancil diketahui bersifat nokturnal, namun penelitian yang dilakukan oleh
Matsubayashi et al. (2002) yang dipasang radiotracking pada habitatnya di hutan
Kabili-Sepilok, Sabah (Malaysia), menunjukkan bahwa individu akan aktif makan
dan bergerak sepanjang hari dan inaktif/istirahat pada malam hari.
Ukuran tubuh kancil kecil dan eritrosit dengan ukuran yang kecil dan
dalam jumlah yang tinggi. Hal ini berhubungan dengan tingkat metabolisme yang
tinggi (Snyder & Weathers 1977), dimana hemoglobin yang tinggi diperlukan
karena kancil merupakan hewan yang gesit degan aktifitas otot yang banyak
(Vidyadaran et al. 1979). Kancil tidak mempunyai lambung yang kompleks
seperti pada artiodactyla pada umumnya dimana kancil hanya memiliki retikulum,
rumen dan abomasum, namun tidak memiliki omasum (Richardson et al. 1988;
Agungpriyono et al. 1992).
Pakan Kancil
Pakan merupakan salah satu faktor penting dalam pemeliharaan kancil.
Oleh karena itu suatu hal yang perlu diperhatikan bahwa walaupun secara alamiah
kancil tergolong hewan ruminansia, tetapi perlu diingat bahwa kancil termasuk
hewan yang memiliki alat pencernaan sederhana (hanya memiliki rumen,
retikulum dan abomasum tidak memiliki omasum), tidak mampu mencerna bahan
makanan yang serat kasarnya tinggi, maka perlu diberikan makanan yang serat
kasarnya rendah dan kandungan energi cukup tinggi. Hoogerwerf (1970)
menyatakan bahwa di alam, kancil menyukai makan buah-buahan hutan yang
sudah jatuh ke tanah seperti kayu besi (Eusideroxylojn zwarger) dan buah-buahan
ceplukan (Physalis maxima). Kancil di tempat pemeliharaan sangat menyukai:1)
bahan makanan yang banyak mengandung karbohidrat tinggi sebagai sumber
energi misalnya ubi rambat (Ipomea batatas), 2) bahan makanan sebagai sumber
protein, misalnya kangkung (Ipomea aquatica), 3) sedikit rumput (Suyanto, 1983).
Medway (1978) melaporkan bahwa di kebun binatang New York, pasangan kancil
13 mentah serta ditambahkan pakan pellet berupa mixed gain, crushed monkey pellet,
rollet oats dan alfalfa hay.
Darlis et al. (1999) melaporkan bahwa kancil di Malaysia menyukai
kangkung, kacang panjang, kacang perancis (bean french) sebagai roughages dan
sumber protein; ubi (sweet potato), wortel (carrot) sebagai sumber karbohidrat dan
pellet kelinci komersial sebagai pakan komplit.
Waktu pemberian pakan sebaiknya dilakukan tiga kali sehari semalam
dengan waktu pagi sekitar pukul 06.00-07.00 WIB, siang pada pukul 13.00-14.00
WIB dan malam pukul 18.00-19.00 WIB. Cara pemberian pakan sebaiknnya
diberikan dalam wadah dan dalam kondisi segar, karena bila pakan sudah dalam
keadaan layu dan kotor, maka kancil enggan memakannya. Kancil menyukai
pakan yang segar dan kandungan air tinggi dan memiliki daya cerna tinggi serta
kandungan serat kasarnya rendah (Rosyidi 2005).
Habitat
Habitat adalah tempat dimana suatu mahluk hidup melangsungkan
kehidupannya. Alikodra (1979) manyatakan bahwa habitat adalah kompleksitas
berbagai komponen antara lain iklim, fisiogafi, vegetasi dengan kualitasnya dan
merupakan tempat hidup organisme. Sedangkan Djuwantoko (1986) menyatakan
bahwa habitat merupakan suatu daerah yang sangat penting bagi populasi satwa
agar dapat berkembang secara optimal untuk mendapatkan makanan, air dan
naugan (shelter). Menurut Moen (1972) habitat satwa sangat dipengaruhi oleh
lingkungan biotik maupun non-biotik.
Habitat satwa sering secara sederhana ditafsirkan sebagai tipe vegetasi
karena umumnya syarat hidup suatu jenis satwa selalu melibatkan aspek vegetasi
(Dashman 1981). Krebs dan Davies (1981) menyatakan habitat mencerminkan
tipe vegetasi yang tidak terbatas luasnya. Vegetasi diartikan sebagai kumpulan
tumbuhan, biasanya terdiri atas beberapa jenis yang hidup bersama-sama pada
suatu tempat dan didalamnya terdapat interaksi yang erat baik antara individu itu
sendiri maupun dengan binatang yang hidup bersamanya sehingga merupakan
14 syarat bagi kelangsungan hidup satwa harus memiliki empat komponen dasar
yaitu: pakan, pelindung, air dan ruang.
Kancil menyukai tinggal di hutan primer dan sekunder, di tanah kering
yang tidak jauh dengan sungai-sungai dengan vegetasi rapat, baik didataran rendah
maupun tinggi (1.200 m dpl), kaki-kaki bukit. Tempat persembunyiannya di
rongga-rongga pohon, celah-celah batu, gua-gua maupun di semak-semak. Usia
yang dapat dicapai pada habitat aslinya adalah 12-14 tahun (Strawder 2004).
Faktor-Faktor Lingkungan yang Berpengaruh pada Ternak
Peningkatan produksi dan produktifitas ternak, di mana saja, dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Secara garis besar faktor tersebut dapat ditinjau dari aspek
pakan, aspek ternak sendri dan aspek manusia dalam menempatkan, menilai dan
memanfaatkan ternak tersebut. Hewan tidak dapat memisahkan diri dengan
lingkungannya, karena antara duanya telah terbentuk suatu sistem yang saling
berinteraksi antara satu sama lain. Kemampuan hewan untuk beradaptasi dalam
lingkungan dapat dilihat dari beberapa parameter, seperti tingkat harapan hidup
dan kemampuan berkembang biak atau prestasi reproduksi (Krimbas 1984).
Kendala dalam memelihara kancil adalah karena hewan ini termasuk satwa
liar dan memilki sifat berbeda dengan hewan domestikasi. Salah satu fenomena
yang unik pada satwa liar termasuk kancil adalah cekaman (stres) yang mudah
muncul. Sajuthi dan Lelana (2000) menyatakan penyebab cekaman (stressor)
pada satwa liar setidaknya ada empat faktor, yaitu:
1 Somatic stressor, seperti suara, bau, perubahan temperatur, zat kimia dan
obat-obatan, sentuhan-sentuhan yang tidak diduga maupun peregangan
otot dan tendon yang tidak normal.
2 Psychological stressor, seperti beberapa aspek yang berkaitan dengan
pola adaptasi dan praktek restrain.
3 Behavior stressor, seperti lingkungan yang asing, terlalu padat, ruangan
terlalu sempit, perubahan ritme biologis, kehilangan teritorial, hirarki
15 4 Miscellaneus stressor, seperti malnutrisi, zat-zat toksik, agen penyakit,
parasit, kebakaran, serta perlakuan medis yang kurang legeartis.
Apabila ternak dipindahkan ke lingkungan yang tidak dikenal, ternak
tersebut dapat menjadi gelisah, lelah kepanasan atau kedinginan. Semua kondisi
tersebut akibat dari respon dalam tubuh ternak yang disebabkan oleh berbagai
faktor dalam lingkungan baru. Bila ternak dalam kondisi seperti itu, sering
dinyatakan bahwa ternak tersebut mengalami cekaman (stres). Istilah stres itu
sendiri adalah suatu gambaran umum yang merujuk pada penyesuaian fisiologis,
seperti perubahan detak jantung, laju pernafasan, temperatur tubuh dan tekanan
darah yang terjadi selama ternak dibiarkan terhadap kondisi yang merugikan. Hal
ini terjadi selama lingkungan menjadi tidak nyaman atau berbahaya bagi ternak.
Gejala stres terlihat sebagai gangguan psikologis, emosional maupun kegelisahan
(Smith & French 1997). Berdasarkan waktunya, stres terbagi menjadi:1) stres
jangka pendek yang ditandai dengan peningkatan denyut jantung, ketegangan otot
dan laju pernapasan yang dangkal; 2) stres jangka panjang dengan gejala
kurangnya nafsu makan, gangguan pencernaan dan kulit serta penurunan libido;
dan 3) stres internal dengan gejala ketakutan, ketidakmampuan untuk
berkonsentrasi, murung atau justru emosi yang meledak-ledak. Menurut Fowler
(1999), stres yang berlangsung secara terus-menerus dan berlangsung lama
berimplikasi pada penurunan imun, reproduksi, sistem syaraf dan sistem endokrin
dalam tubuh. Respon endokrin terhadap stres muncul ketika impuls syaraf
simpatik menstimulir kelenjar medula adrenal. Kelenjar endokrin segera
melepasakan katekolamin (epineprin/adrenalin dan noradrenalin) ke dalam aliran
darah. Selanjutnya, hipotalamus menstimulir hipofisa anterior untuk melepaskan
Adrenocorticotropic Hormone (ACTH) sampai terjadi peningkatan glukocortikoid
untuk membantu peningkatan suplai energi terutama ketika dalam keadaan bahaya
(Ackerman 1996; Guytom & Hall, 1996).
Banyak unsur-unsur lingkungan yang dapat membuat stres bagi ternak di
bawah kondisi tertentu, seperti perbedaan besar dalam temperatur, kelembaban,
cahaya, suara dan ruang. Unsur-unsur ini efektif dalam menghasilkan
16 pengaruhnya, karena respons yang akan dihasilkan dari kondisi lingkungan
bergantung pada spesies, bobot, umur, jenis kelamin, daya tahan stres bawaan dan
status emosional dari ternak.
Temperatur. Lingkungan merupakan faktor utama penyebab stres. Apabila faktor lingkungan menjadi lebih dingin dari pada temperatur tempat asal
ternak, maka ternak tersebut mulai memanfaatkan proses-proses tambahan untuk
menghasilkan dan mempertahankan panas tubuh. Keadaan menggigil dapat
menyebabkan suatu pengurangan dalam tingkat glikogen otot, karena tipe
kontraksi ini diiringi dengan suatu peningkatan aliran darah dalam otot dan tidak
menghasilkan asam laktat. Dilain pihak, temperatur tinggi yang tidak wajar
meningkatkan permintaan terhadap mekanisme pendinginan terhadap ternak.
Sering kali temperatur otot akan meningkat karena tubuh ternak tidak mampu
membuang panasnya dengan cukup cepat. Ternak yang berkemampuan jelek
dalam menghilangkan panas dari tubuhnya dapat mengembangkan temperatur otot
sampai 42-43oC. Temperatur tinggi seperti ini dapat mempercepat reaksi
metabolisme seperti pemutusan adenosin triphosphat (ATP) dan glikolisis, yang
berlangsung ketika stres dan pada akhirnya dapat menyebabkan kematian ternak.
Kelembaban. Jumlah air dalam udara (kelembaban) dapat mempengaruhi kedahsyatan pengaruh temperatur yang baru saja dijelaskan. Kenyataannya,
terdapat interaksi dari kedua unsur lingkungan ini sebagian besar menentukan pada
kenyamanan ternak. Umumnya kelembaban tinggi meningkatkan ketidak
nyamanan ternak yang dibiarkan terhadap temperatur dingin atau panas dalam
periode pendek. Apabila ternak memerlukan pendinginan, uap air dan udara lebih
menyulitkan dalam menghilangkan panas melalui pernapasan. Pada lingkungan
dingin, kadar air udara meningkatkan kecepatan menghilangkan panas lingkungan
dari tubuh.
Cahaya, Suara dan Ruang. Perilaku ternak seringkali dipengaruhi oleh unsur-unsur lingkungan seperti cahaya, suara dan ruang. Apabila dikandangkan
dalam lingkungan gelap, ternak cenderung bergerak menuju sumber cahaya.
17 ternak yang nokturnal. Sebagian ternak merasa tak nyaman apabila diikat atau
dibatasi dalam ruang yang tidak memungkinkan pergerakan bebas.
Suara-suara yang tak dikenal juga menimbulkan penuh cekaman bagi
banyak ternak. Sebagian ternak menjadi ketakutan pada lingkungan tidak
dikenalnya, sementara ternak lainnya menjadi bermusuhan. Perbedaan dalam
bersikap ini mungkin berkaitan dengan banyak faktor dalam ternak, seperti:
keseimbangan hormon, kelembaban atau pengalaman sebelumnya. Oleh karena
itu muncul respon-respon emosional yang tidak dapat diduga (Forrest et al. 1975).
Karakteristik Reproduksi Kancil
Anatomi Organ Reproduksi Jantan
Sebagaimana hewan mamalia pada umumnya, organ reproduksi jantan
mempunyai fungsi utama dalam menghasilkan sel-sel kelamin jantan (spermatozoa)
dan hormon kelamin jantan (testoteron). Anatomi organ reproduksi jantan terbagi
menjadi tiga bagian utama, yaitu: (1) organ reproduksi primer berupa gonad jantan
yang disebut testis, orchyd atau didymous, (2) organ kelamin pelengkap meliputi
saluran-saluran kelamin yang terdiri dari epididimis, vas deferens, ampula vas
deferens dan urethra; kelenjar kelamin pelengkap (asesoris) meliputi; kelenjar
prostat, kelenjar vesikularis dan kelenjar bulbouretralis (cowper) dan (3) organ
kelamin luar sebagai alat kopulasi, yaitu penis dan skrotum sebagai pelindung testes
(Toelihere 1993).
Organ reproduksi kancil jantan terdiri atas sepasang gonad (testis), penis
dan kelenjar asesori. Haron et al. (2000) menyatakan bahwa kelenjar asesori kancil
jantan relatif kecil dibandingkan dengan hewan lain. Sekresi kelenjar-kelenjar ini
sebagian besar menjadi plasma semen. Dilaporkan oleh Boever (1986) organ
reproduksi kancil hampir sama dengan babi. Perbedaan ukuran organ reproduksi
terutama pada testisnya, biasanya berhubungan erat dengan produksi spermatozoa.
18 Penis terdiri atas radix, corpus dan glans penis. Pada corpus penis ruminansia
umumnya ditemukan lengkungan berbentuk huruf S sebagai ciri khas dari tipe penis
fibroelastis (Hafez 2000).
Anatomi Organ Reproduksi Betina
Secara umum anatomi organ reproduksi kancil betina memiliki susunan
yang sama dengan hewan ruminansia lainnya, terdiri atas satu pasang gonad
(ovarium), satu pasang tuba Fallopii, satu pasang cornua uteri dan satu buah corpus
uteri, cervix, vagina dan vulva (Hamny 2006).
Ovarium mempunyai fungsi utama sebagai penghasil sel-sel kelamin betina,
yaitu ovum dan sebagai penghasil hormon-hormon kelamin betina adalah estrogen
yang berfungsi menampakkan gejala estrus dan progesteron dengan fungsi utama
memelihara kebuntingan. Saluran reproduksi betina dimulai dari vulva, vagina (alat
kopulasi), cervix (tempat seleksi spermatozoa dan pelindung uterus dari pengaruh
luar), uterus (tempat berkembangnya fetus) dan tuba Fallopii (tempat terjadinya
fertilisasi).
Pola Reproduksi Kancil
Data tentang pola reproduksi kancil masih sangat terbatas. Belum
diperoleh informasi yang jelas terhadap pola reproduksi atau perkembangbiakan
kancil di kawasan in-situ maupun ex-situ. Strawder (2004) melaporkan bahwa
kancil mengalami kematangan seksual (sexual maturity) pada umur 5-6 bulan
(spesies yang ada di Asia) dan 10 bulan (spesies yang ada di Afrika).
Kudo et al. (1995) melaporkan bahwa baik umur dewasa kelamin maupun lama
kebuntingan sangat bervariasi bergantung pada lokasi dan pemeliharaan kancil,
terutama manajemen pemberian pakannya.
Siklus berahi pada kancil betina diperkirakan berlangsung 16 hari dengan
lama berahi selama 2 hari, kopulasi bisa terjadi beberapa kali (Kudo et al. 1995).
Kebuntingan berlangsung selama 4-5 bulan dengan menghasilkan satu anak yang
19 Anderson dan Jones (1967) menyatakan bahwa secara alami musim kawin
berlangsung pada Juni dan Juli, sedangkan lama kebuntingan berkisar antara
152-172 hari (Medway 1969). Bila mengacu kepada pernyataan tersebut dapat
diperkirakan bahwa anak yang dilahirkan kemungkinan besar akan terjadi pada
Nopember atau Desember. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Rosyidi (2005)
dalam penelitiannya diperoleh 5 ekor bunting dari 8 ekor pasang kancil yang
diamati, didapatkan 5 ekor anak yang dilahirkan pada akhir Januari (1 ekor), akhir
April (2 ekor), awal Mei (1 ekor), dan akhir Juli (1 ekor). Dari hasil tersebut
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara musim kawin dengan
kejadian betina bunting dan waktu beranak. Data tersebut menunjukkan bahwa
pola perkembangbiakan kancil terjadi sepanjang tahun, sama dengan yang
dilaporkan oleh Nowak (1991). Hasil ini juga sama dengan hasil penelitian Arifin
(2004), pada Tragulus napu mampu beranak sepanjang tahun yang ditandai
dengan jumlah induk beranak pada bulan-bulan basah tidak berbeda dibandingkan
dengan bulan-bulan kering (P 0.05).
Berdasarkan data tersebut di atas terlihat bahwa, meskipun di lingkungan
terbatas, ternyata kancil mampu berkembang biak dan bahkan mampu beranak
lebih dari satu kali dalam setahun. Hal itu berarti kancil mampu beradaptasi
dengan baik meskipun berada pada lingkungan terbatas.
Pada betina kelenjar mamae mempunyai empat puting. Induk betina
mengasuh anaknya selama 2-3 minggu dengan masa sapih 8-12 minggu (OIA
1991). Kadang induk mengeluarkan suara mencicit (squaking) seperti jantan dan
anaknya akan menjawabnya dengan suara yang sama (Ralls et al. 1975).
Hoogerwerf (1970) melaporkan bahwa kancil beranak 2 kali setahun atau
setiap 5 bulan sekali dan kadang-kadang 2 ekor setiap kelahiran. Kudo et al.
(1997) melaporkan berat lahir anak mencapai 120-190 g atau 10% dari berat badan
induknya dan bentuk plasenta kancil adalah difusa dan villous (Anderson & Jones
1967), bentuk difusa, seperti halnya plasenta unta (Young 1981).
Kancil diketahui mengalami estrus pertama postpartus yang cepat. Davis
(1965) diacu dalam Ralls et al. (1975) melaporkan bahwa terjadi kopulasi 85 menit
20
al. 1975). Hal ini didukung oleh Kudo et al. (1997), yang mengamati bahwa
kancil betina dapat melakukan perkawinan 30 menit setelah beranak. Selanjutnya
Medway (1978) melaporkan kancil betina melakukan perkawinan 48 jam setelah
melahirkan dan anak sudah berkembang dengan dapat berdiri dalam waktu 30
menit setelah dilahirkan, induk menyusui anaknya sambil berdiri dengan tiga
kakinya.
Tingkah Laku Seksual
Tingkah laku seksual menurut Hafez (1993) adalah beberapa variasi pola
tingkah laku dari percumbuan, daya tarik dan aktivitas motorik yang bertujuan untuk
mendekatkan jantan dan betina sehingga terjadi perkawinan dan akhirnya
menghasilkan keturunan. Sedangkan Austine dan Short (1985) menyatakan bahwa
pengertian tingkah laku reproduksi sudah semakin meluas tidak hanya fisiologik dan
mekanisme endokrin, tetapi juga strategi dari ternak untuk melakukan perkawinan
pada kondisi alamnya. Tingkah laku seksual tidak hanya menyangkut pada saat
kopulasi dimana gamet jantan dideposisikan ke saluran reproduksi betina tetapi juga
bagaimana membawa hewan jantan dan betina tersebut untuk bertemu, melakukan
percumbuan serta menentukan perkawinan pada waktu yang optimal (Austine
&Short 1985).
Fenomena tingkah laku (behaviour) muncul akibat adanya rangsangan
(stimulus) yang dapat berasal dari dalam atau dari luar tubuh (Austine & Short
1985). Rangsangan dari dalam tubuh, berupa hormon yang dapat mempengaruhi
tingkah laku seksual, sedangkan rangsangan dari luar dapat berupa rangsangan
penciuman (olfactory), pendengaran (auditory), dan penglihatan (visual).
Rangsangan olfactory pada jantan sebagai contoh adanya pheromon yang
dilepaskan oleh betina yang estrus, akan menyebabkan hewan jantan untuk
mendekati hewan betina (Becker et al. 1992).
Betina estrus juga menunjukkan tanda punggung tegak, telinga berdiri,
kepala diangkat, mulut terbuka, vulva membengkak dan mengeluarkan cairan jernih
dari vagina yang berbau khas, kaki digerak-gerakkan ke depan dan ke belakang,
21 Betina estrus juga sering memperlihatkan perilaku berdiri di belakang betina lainnya
sambil mencium ekornya. Jika ada dua ekor betina yang estrus bersamaan,
kadang-kadang mereka saling menaiki. Becker et al. (1992) membagi tingkah laku seksual
pada betina menjadi tiga bagian, yaitu aktraktif, tingkah laku proreceptive
(menerima dicumbu) dan receptivity (menerima untuk koitus). Nalley (2006)
melaporkan pada rusa timor betina terdapat tujuh gejala estrus setelah pencabutan
implan CIDR-G, yaitu: (1) tidak menolak saat didekati oleh keeper, (2) sering
mengeluarkan suara, (3) gelisah, (4) vulva terlihat merah, agak bengkak dan basah,
(5) tidak menolak jika punggung dipegang, (6) nafsu makan berkurang dan (7)
tidak menolak pada saat vulva dipegang.
Selama masa estrus seekor rusa betina biasa dinaiki tiga sampai empat kali
selamakurang lebih dua jam oleh seekor pejantan sebelum terjadi ejakulasi, bahkan
kadang-kadang seekor rusa betina estrus bersedia menerima lebih dari satu pejantan.
Kelakuan ini biasa berlangsung selama 12 jam sebelum betina mencapai puncak
estrus. Sering terjadi perkelahian antar pejantan memperebutkan betina estrus
(Nalley 2006).
Penelitian mekanisme fisiologik yang berperan dalam tingkah laku seksual
pada betina lebih sering difokuskan pada refleks kopulasi, penerimaan seksual yang
disebut lordosis. Lordosis ditandai dengan tidak bergeraknya tubuh betina, posisi
membungkuk dengan kaki depan direndahkan, kemudian badan membentuk
lengkungan, pada spesies yang mempunyai ekor yang panjang; kopulasi biasanya
ditandai dengan diangkatnya ekor ke salah satu sisinya. Postur lordosis akan mucul
akibat adanya kontak dengan pejantan, pada spesies tertentu lordosis dapat juga
terjadi akibat stimulasi manual pada punggung betina.
Tingkah laku seksual pada jantan (libido) dapat dilihat dari keinginan
kawin. Pada jantan perubahan periferal (contoh: penis), lebih nyata terlihat.
Hormon dapat menyebabkan tingkah laku seksual melalui aktifitas struktur
periferal. Tingkah laku seksual pada jantan dipisahkan menjadi motivasi seksual
(libido) dan kemampuan koitus (Beaker et al. 1992). Sedangkan menurut Bearden
22 laku kawin yang terdiri atas (1) keinginan (libido) untuk mencari pasangan dan (2)
kemampuan untuk kawin atau kopulasi.
Pada jantan tahapan proses tingkah laku kawin terdiri atas daya tarik
seksual (sexual arousal), percumbuan (courtship), ereksi, menaiki (mounting),
intromisi, ejakulasi, dan turun (dismounting) kembali.
Kancil jantan sering menjilat sampai minum urin dari kancil betina, kadang
kancil betina juga menjilat urin kancil jantan. Kancil jantan sering
menggosok-gosokkan kelenjar intermandibularisnya pada betina untuk menandai kancil betina
(Ralls et al. 1975), kancil jantan akan mendekati betina dari belakang dan
menggosokkan kelenjarnya di bagian tengah atau belakang kancil betina dari
beberapa sisi dan menandai betina dimana saja seperti bagian dorsal, belakang atau
leher. Ekor kancil jantan terlihat lurus ”tail-flashes” ketika mengikuti betina (Ralls
et al. 1975).
Ketika menandai dan mendekati betina, kancil jantan mengeluarkan suara
mencicit. Pada saat kancil jantan menaiki betina, umumnya kancil betina menaikkan pantatnya hingga posisi ”lordosis” dan tidak bergerak sehingga
memudahkan kancil jantan untuk menaiki betina. Jantan akan menaikkan kaki
depan ke punggung betina sehingga posisinya aman untuk terjadinya kopulasi.
Mekanisme Kerja Hormonal dalam Siklus Estrus
Hormon Reproduksi
Hormon yang bekerja pada proses reproduksi pada jantan dan betina pada
dasarnya terdiri dari: hormon hipotalamus, hormon hipofisa, dan hormon gonad.
Hormon gonadotropin (FSH dan LH) merupakan hormon yang disekresikan oleh
hipofisa untuk mengontrol kelenjar gonad (Ovarium dan testis). Aktivitas ovarium
dan testis diperlukan kerjasama yang baik antara hipotalamus, hipofisa, dan testis.
Hormon hipotalamus mengeluarkan faktor-faktor pelepas yaitu Gonadotropin
Releasing Factor (GnRF) atau GnRH (Gonadotropin Releasing Hormone) untuk
23 Pada ternak betina estrogen mempunyai banyak fungsi, diantaranya: (1)
merubah sifat sekresi yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisa anterior, (2)
mempengaruhi pada otak yang ada hubungannya dengan tingkah laku estrus atau
berahi, (3) mengontrol perubahan pada alat kelamin betina, produksi mucus dan
(4) merubah aktivitas metabolisme pada uterus, kesemuanya itu dimaksudkan guna
mempersiapkan uterus untuk menerima ovum dan spermatozoa (Reeves 1987).
Estrogen yang diproduksi dari aktifitas gelombang folikel selama fase
siklus luteal, menginisiasi luteolisis. Hal ini dimediasi dari pembentukan reseptor
oksitosin di dalam endometrium ternak yang sudah dikondisikan dahulu oleh
progesteron. Efek estrogen pada poros hipotalamus dan hipofisadapat bersifat
positif dan negatif. Efek negatif dapat bervariasi bergantung pada musim, pubertas,
menyusui dan nutrisi. Kehadiran progesteron pada fase luteal siklus estrus,
meningkatkan efek negatif pada estrogen dalam pelepasan LH dan FSH sehingga
pematangan folikel dan ovulasi terhambat (InterAg 1996). Umpan balik positif
dengan peningkatan produksi estrogen dalam ketidak hadiran progesteron
meningkatkan sekresi LH ke dalam peredaran darah. Selanjutnya di bawah
pengaruh serta peran LH yang disekresikan dari hipofisa anterior terjadilah
ovulasi.
Progesteron merupakan hormon yang dihasilkan oleh CL, plasenta dan
kelenjar adrenal. Progesteron mempunyai peranan mempersiapkan lingkungan
uterus untuk implantasi dan memelihara kebuntingan melalui peningkatan sekresi
kelenjar endometrium dan menghambat motilitas miometrium (Toelihere 1993).
Selain itu progesteron menghambat sel-sel limfosit yang dapat menolak jaringan
dan merupakan immuno supresif alami yang mencegah penolakan maternal
terhadap fetus (Hansen & Liu 1996). Lebih lanjut Hansen (1997) melaporkan
bahwa progesteron memainkan peranan utama dalam pengaturan respons
kekebalan uterus dimana induksi progesteron menghasilkan uterine milk protein
(UTMP) atau protein susu uterus yang menghambat aktifitas limfosit di dalam
uterus. Dilaporkan juga oleh McDonald (1989) bahwa progesteron juga bekerja
secara sinergis dengan estrogen untuk merangsang sekresi alveoli dan
24 Menurut InterAg (1996) pada sapi level basal progesteron dalam
peredaran darah lebih <1 ng/ml. Setelah perkembangan CL pada awal fase luteal
siklus, konsentrasi progesteron plasma meningkat sampai 7 ng/ml dan selama
kebuntingan konsentrasi progesteron plasma dapat mencapai 20 ng/ml atau lebih.
Tingginya konsentrasi progesteron plasma pada fase luteal siklus, menekan
pelepasan LH yang berhubungan dengan pematangan folikel dominan.
Jika folikel dominan matang mencapai ukuran lebih besar dari sembilan
mm, sementara konsentrasi progesteron plasma >4 ng/ml, maka folikel dominan
berangsur-angsur hilang (atresia) dan terbentuk folikel baru. Ketika konsentrasi
progesteron plasma turun ke level sub-luteal (<2 ng/ml), LH meningkat dan cukup
untuk memelihara pertumbuhan folikel dominan. Jika konsentrasi progesteron
plasma di antara dua dan empat ng/ml, folikel dominan tetap bertahan tanpa
ovulasi dan mencegah inisiasi gelombang folikuler baru (InterAg, 1996).
Bila ovum tidak dibuahi dan hewan tidak bunting, proses perkembangan
folikel, ovulasi dan pembetukan CL akan terjadi secara teratur. Umur CL dibatasi
oleh uterus yang pada hari-hari terakhir siklus pada hewan tidak bunting
memproduksi PGF2 secara pulsasi ke dalam vena uterus, lalu ditransfer ke arteri
ovari melalui mekanisme arus berlawanan. Di bawah pengaruh PGF2 CL
mengalami regesi dan produksi progesteron terhenti. Selain itu PGF2 akan
mengalami perubahan kimiawi dan fisik yang akan berakibat langsung dalam
pengurangan sintesis steroid yang berakhir dengan terjadinya luteolisis dan akan
mulai siklus estrus baru.
Periode Siklus Estrus
Periode siklus estrus, yaitu estrus, metestrus, diestrus dan proestrus yang
berlangsung secara siklik dan berurutan. Kontrol reproduksi secara umum dan
aktivitas-aktivitas yang terjadi dalam satu siklus estrus khususnya pada ternak
betina melibatkan sistem hormonal. Periode estrus ditetapkan sebagai periode
waktu ternak betina mau menerima pejantan dan akan berdiri diam dinaiki.
Toelihere (1993) menyatakan periode ini pada ternak betina menghasilkan sel telur