• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1. Syarat tumbuh tanaman kelapa sawit

Kelapa sawit adalah tanaman hutan yang dibudidayakan. Tanaman ini memiliki respon yang baik sekali terhadap kondisi lingkungan hidup dan perlakuan yang diberikan. Seperti tanaman budidaya lainnya, kelapa sawit juga membutuhkan kondisi tumbuh yang baik agar dapat berproduksi secara maksimal. Kondisi iklim dan tanah merupakan faktor utama di samping faktor lainya seperti faktor genetik, dan perlakuan yang diberikan (Pahan, 2007).

Kelapa Sawit dapat tumbuh dengan baik pada daerah tropika basah di sekitar lintang utara-selatan 12 derajat pada ketinggian 0-500 meter di atas permukaan laut. Jumlah curah hujan yang baik adalah 2000-2500 mm/tahun, tidak memiliki defisit air, dan hujan merata sepanjang tahun. Masalah jalan (transport), pembakaran, pemeliharaan, pemupukan dan pencegahan erosi menjadi lebih penting pada daerah yang curah hujannnya tinggi. Di Indonesia daerah seperti ini pada umumnya berada pada ketiggian lebih dari 500 meter di atas permukaan laut, kecuali di beberapa lokasi, seperti halnya di daerah pantai Barat Sumatera. Data iklim sangat perlu sekali diketahui dan dipelajari sebaik-baiknya, karena keberhasilan beberapa pekerjaan tergantung dari iklim. Pekerjaan tersebut misalnya pembakaran pada pembukaan hutan, penggunaan herbisida, pemeliharaan parit dan jalan, pemanenan dan lainnya. Defisit air yang tinggi menyebabkan produksi turun drastis dan normal pada tahun ketiga dan keempat karena merusak perkembangan bunga sebelum anthesis dan pada bunga yang telah anthesis mengalami kegagalan matang tandan. Hal ini sering terjadi di daerah Lampung, Jawa Barat, Kalimantan Timur dan beberapa lokasi lainnya dimana hampir setiap 5-6 tahun sekali timbul musim kering yang panjang (Pahan, 2007).

Temperatur yang optimal untuk pertumbuhan kelapa sawit adalah pada suhu 24-28 derajat Celcius, suhu terendah 18 derajat Celcius dan suhu tertinggi adalah 32 derajat Celcius. Di beberapa daerah seperti daerah Riau, Jambi, dan Suamatera Selatan pada bulan tertentu lama penyinaran matahari kurang dari 5 jam. Hal ini dapat menyebabkan berkurangnya asimilasi, gangguan penyakit,

gagalnya pembakaran dan rusaknya jalan karena lambat kering. Kelembaban rata-rata yang tinggi akan merangsang perkembangan penyakit. Ketinggian yang optimal adalah 0-400 meter diatas permukaan laut. Pada ketinggian yang lebih akan menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi terhambat dan produksi jauh lebih rendah. Kecepatan angin 5-6 km/jam sangat baik untuk membantu proses penyerbukan (Pahan, 2007).

Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah seperti Podsolik, Latosol, Hidromorfik Kelabu, Regosol, Andosol, Organosol dan Alluvial. Sifat fisik tanah yang baik untuk tanaman kelapa sawit adalah :

a. Solum tebal 80 cm. Solum yang tebal merupakan media yang baik bagi perkembangan akar sehingga efesiensi penyerapan unsur hara tanaman akan lebih baik.

b. Tekstur ringan, memiliki kandungan /komposisi pasir 20-60%, debu 10-40%, dan liat 20-50%.

c. Kelapa sawit dapat tumbuh pada pH 4,0-6,0, namun pH yang terbaik untuk pertumbuah tanaman kelapa sawit adalah 5-5,5. Tanah yang memiliki pH yang rendah dapat dinaikkan dengan melakukan pengapuran, namun kendala yang dihadapi pada umumnya pengapuran memerlukan biaya yang cukup tinggi. Tanah dengan pH ini biasanya dijumpai pada daerah pasang surut terutama tanah gambut.

d. Kandungan unsur hara tinggi seperti : Ratio C/N mendekati 10 dimana C 1 % dan N 0,1 %, Daya tukar unsur Mg =0,4-1,0 me/100 gram, daya tukar K =0,15-0,20 me/100 gram serta perbandingan daya tukar Mg dan K berada pada batas normal (Pahan, 2007).

Di Indonesia tanah Podsolik Merah Kuning mendominasi areal perkebunan kelapa sawit. Tanah ini terbentuk pada zaman tersier dengan bahan induk batuan liat dan berpasir, solum cukup dalam dengan tekstur yang berpasir. Kondisi ini cukup baik bagi perkembangan akar dan mekanisme air, namun tingkat kesuburan kimianya tergolong rendah. Tanah Gambut atau Organosol mengandung lapisan yang terdiri atas bahan organik yang belum terhuminifikasi lebih lanjut dan memiliki pH rendah (Pahan, 2007).

Masalah drainase dan permukaan air tanah merupakan masalah utama. Tanah Gambut atau Organosol menjadi sangat penting pada akhir-akhir ini, mengingat areal yang baik sudah berkurang dan banyak perkebunan memperoleh jenis tanah ini terutama di daerah Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Kalimantan. Jenis tanah gambut potensi produksinya cukup baik dan digolongkan kedalam kelas 2 dan 3, namun masalah biaya pembangunan saluran air/ drainase yang mahal serta kemiringan tanaman masih belum bisa teratasi dengan baik terutama pada tanah gambut yang tebalnya lebih dari 2 meter (Pahan, 2007).

Analisis tanaman didasarkan pada premis bahwa jumlah hara dalam tanaman menunjukkan jumlah hara yang diserap dan secara langsung berkaitan dengan jumlah hara dalam tanah (Tisdale, et al.1985).

Kebutuhan hara dan kemampuan tanah menyediakan hara merupakan dasar pemilihan dosis pupuk yang tepat. Rekomendasi pemupukan yang baik diperoleh dengan evaluasi hara tanaman, salah satunya dengan melakukan analisis tanaman. Analisis tidak hanya saja menetapkan konsentrasi unsur hara dalam bagian tanaman, tetapi juga tentang keterkaitan antara kandungan hara tanaman dan pertumbuhannya. Dalam studi ini konsentrasi hara-hara dalam bagian tertentu pada tanaman ditetapkan dan digunakan sebagai petunjuk untuk menilai penyerapan hara oleh tanaman sampai saat pengambilan contoh (Ulrich dan Hills, 1973 dalam Leiwakabessy dan Sutandi, 1988).

2.2 Karakteristik hara dalam tanah dan tanaman 2.2.1. Nitrogen dalam tanah dan tanaman

Nitrogen sangat diperlukan oleh tanaman untuk pertumbuhannya. Pemberian pupuk nitrogen akan memberikan pengaruh yang mencolok dan cepat, terutama dalam merangsang pertumbuhan dan memberikan warna hijau pada daun. Hampir pada seluruh tanaman, fungsi nitrogen merupakan pengatur dari penggunaan unsur kalium, fosfor dan lainnya (Soepardi, 1983).

Setiap tahunnya nitrogen diangkut oleh tanaman dalam jumlah sangat banyak, tetapi keberadaan N di dalam tanah sangat sedikit. Hal ini disebabkan nitrogen bersifat mudah larut dan hilang bersama air drainase, mudah menguap (volatil), sehingga pada saat tertentu ketersediaanya sama sekali tidak ada bagi tanaman (Soepardi, 1983).

Nitrogen tanah dibagi dalam dua bentuk, yaitu bentuk anorganik dan organik. Bentuk organik merupakan bagian terbesar, sedangkan anorganik dapat ditemukan dalam bentuk NH4+, NO2-, NO3-, N2O, NO dan gas N2 yang hanya dapat dimanfaatkan oleh Rhizobium (Leiwakabessy, 1988).

Tanaman mengambil nitrogen terutama dalam bentuk NH4+ dan NO3-. Ion-ion ini didalam tanah pertanian berasal dari pupuk N yang diberikan kedalam tanah dan bahan organik tanah. Jumlah ion tersebut tergantung dari dosis pemupukan yang diberikan serta kecepatan perombakan bahan organik tanah. Jumlah nitrogen yang dibebaskan dari bahan organik tanah ditentukan oleh keseimbangan antara faktor yang mempengaruhi mineralisasi dan imobilisasi unsur nitrogen, serta kehilangannya dari lapisan tanah (Leiwakabessy, 1988).

Pemberian pupuk nitrogen yang berlebihan juga sangat merugikan. Hal ini dapat memperlambat kematangan atau fase generatif dengan tetap membantu pertumbuhan vegatatif walaupun masa masak sudah waktunya. Selain itu dapat juga menyebabkan tanaman mudah rebah karena jeraminya melunak. Namun demikian kekurangan nitrogen juga dapat merugikan karena tanaman akan tumbuh kerdil dan sistim perakarannya terbatas. Kerugian lain yang disebabkan oleh kekurangan N yaitu daun tanaman menjadi kuning atau hijau kekuningan dan cenderung cepat rontok (Soepardi, 1983).

Kekurangan nitrogen akan mengakibatkan kandungan protein pada tanaman menjadi sangat sedikit, sehingga karbohidrat yang diendapkan menjadi semakin banyak dan menyebabkan sel-sel vegetatif tanaman menebal. (Tisdale, et al. 1985).

2.2.2. Fosfor dalam tanah dan tanaman

Fosfor merupakan unsur makro yang sangat penting bagi pertumbuhan tanaman, tetapi kadarnya dalam tanaman lebih rendah dari nitrogen, kalium dan kalsium. Fosfor dinilai lebih penting dari hara kalsium, bahkan mungkin juga hara kalium (Leiwakabessy, 1988).

Sumber fosfor utama yang dapat memenuhi kebutuhan tanaman yaitu : 1. Pupuk buatan ; 2. Pupuk kandang ; 3. Sisa tanaman dan pupuk hijau dan 4. Senyawa alami baik organik maupun anorganik dari kedua bahan tersebut yang sudah ada dalam tanah (Soepardi 1983).

Lebih jauh Soepardi (1983) mengatakan bahwa sebagian besar fosfor di dalam tanah dijumpai dalam bentuk organik dan anorganik. Senyawa fosfor anorganik yang ada didalam tanah terdiri dari senyawa kalsium dan senyawa Fe dan Al, sedangkan fosfor organik dijumpai dalam bentuk fitin dan turunannya, asam nukleat dan fosfolipida. Fitin sebagai sumber fosfat organik dapat langsung diserap oleh tanaman, sedangkan asam nukleat harus mengalami dekomposisi terlebih dahulu pada permukaan akar sebelum fosfor dapat diserap tanaman baik dalam bentuk organik maupun anorganik.

Tanaman umumnya menyerap unsur fosfor dalam bentuk ion-ion monofosfat atau ortofosfat primer H2PO4--. Mobilitas ion-ion fosfat dalam tanah sangat rendah retensinya sangat tinggi. Oleh sebab itu recovery rate dari pupuk fosfor sangat rendah, yaitu antara 10 – 30 %, sedangkan sisanya 70 -90 % tertinggal dalam bentuk immobil, apabila tidak hilang karena erosi. Fungsi fosfor dalam tanaman secara mendetail sukar untuk diutarakan. Tetapi fungsi utama dari fosfor adalah : 1. Sebagai penyusun metabolit dan senyawa kompleks serta 2. Sebagai aktivator, kofaktor, atau mempengaruhi kerja enzim dengan mengatur banyak proses enzimatik yang berfungsi sebagai aktivator berbagai enzim. Disamping itu fosfor sering disebut sebagai kunci untuk kehidupan, karena fungsinya yang sangat sentral dalam proses kehidupan. Unsur ini berperan dalam pemecahan karbohidrat untuk energi, penyimpanan dan peredarannya di selurh tanaman dalam bentuk ADP dan ATP (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004).

2.2.3. Kalium dalam tanah dan tanaman

Kalium merupakan unsur hara yang paling banyak dibutuhkan oleh tanaman setelah N. Jumlah kalium yang diambil tanaman berkisar antara 50 sampai lebih dari 200 kg K/ha, tergantung dari jenis tanaman dan besarnya produksi. Kadar K dalam tanah biasanya berkisar antara 0.5 – 2.5 % dengan rata-rata 1.2%, tergantung keadaan mineral cadangan dan tingkat pelapukan tanah (Leiwakabessy, 1988).

Kalium merupakan satu-satunya kation monovalen yang esensial bagi tanaman. Peranan utama dari kalium adalah sebagai aktivator berbagai enzim (Soepardi, 1983).

Kalium sering disebut sebagai katalisator dalam proses kehidupan karena menjamin berlangsungnya reaksi-reaksi dalam tanaman relatif tidak tersedia, yang menempati bagian struktur mineral mika primer dan sekunder, serta mineral-mineral feldsfatik; (2) kalium lambat tersedia yaitu kalium yang terserap di dalam kisi mineral liat seperti vermi kulit atau tipe 2:1 lainnya; dan (3) kalium cepat tersedia yang berada dalam kompleks jerapan (K-dd) dan kalium dalam larutan tanah (Brady, 1974).

Leiwakabessy (1988) menyatakan bahwa kalium yang terikat pada permukaan kaloid anorganik tidak dapat dilepaskan dengan kecepatan yang sama karena memiliki tiga tapak pertukaran dengan sekat pengikatan yang berbeda juga.

Secara singkat masalah kalium dapat dikelompokan menjadi: (1) pada saat tertentu sebagian besar dari unsur ini tidak tersedia bagi tanaman; (2) karena sifat mudah larut maka peka terhadap pengaruh pencucian; (3) kalium diserap dalam jumlah banyak, terutama apabila unsur ini diberikan secara berlebihan (Soepardi, 1983).

Beberapa peranan kalium yang diketahui antara lain dalam; (1) pembelahan sel ; (2) fotosintesis (pembentukan karbohidrat); (3) translokasi gula; (4) reduksi nitrat dan selanjutnya sintesis protein ; dan (5) dalam aktivitas enzim. Kalium juga merupakan unsur logam yang paling banyak terdapat dalam cairan sel, yang mengatur keseimbangan antara garam dan air (tekanan osmotik) dalam sel tanaman sehingga memungkinkan pergerakan air di dalam akar tanaman (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004).

Selanjutnya kekurangan hara kalium akan menyebabkan tanaman menjadi kurang tahan terhadap kekeringan dibandingkan dengan tanaman yang cukup kalium. Selain itu, tanaman yang kekurangan kalium juga lebih peka terhadap penyakit dan kualitas produksinya lebih jelek baik kualitas daun, buah maupun biji (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004).

2.2.4. Kalsium dalam tanah dan tanaman

Kalsium merupakan bagian dari setiap sel tanaman. Sebagian besar unsur ini terdapat dalam bentuk kalsium pekat, baik didalam maupun disepanjang

dinding sel tanaman. Penyebarannya didalam tanaman tidak merata. Bagian produktif yaitu bunga dan biji mengandung sedikit kalsium, sedangkan kadarnya yang tinggi terdapat dalam daun (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004).

Kalsium diserap dalam bentuk Ca2+ terutama melalui mass flow dan

intersepsi (permukaan kontak). Kadar Ca2+dalam larutan tanah sangat bervariasi

didaerah dengan curah hujan tinggi, kadar Ca2+umumnya berkisar antara 8 – 45 ppm dengan rata-rata 33 ppm. Sedangkan kadar Ca2+ dalam tanaman umumnya berkisar antara 0,2 – 4,0 % (Leiwakabessy, 1988).

Sumber kalsium dalam tanah dijumpai dalam berbagai mineral dan endapan seperta plagiokas, anortit, augit, hornblende, biotit, epidote, apatit, kalsit, dolomit, dan gipsum atau Ca-sulfat. Proses kehilangan Ca2+ dalam larutan tanah dapat melalui : 1. diserap tanaman; 2. diambil jasad renik; 3. terkait oleh komplek adsorpsi tanah; 4, mengendap kembali sebagai endapan-endapan sekunder (terutama didaerah kering); dan 5. tercuci (terutama di daerah basah). Sedangkan faktor-faktor tanah yang sangat berpengaruh terhadap ketersediaan kalsium bagi tanaman adalah : 1.Ca total; 2. pH tanah; 3. KTK; 4. kejenuhan Ca pada komplek jerapan; 5. jenis liat; dan 6. nisbah Ca terhadap kation lain (K dan Mg dalam larutan tanah) (Leiwakabessy 1988).

Peranan kalsium dalam tanaman cukup banyak. Disamping untuk penguat dinding sel, juga mendorong pada perkembangan akar, memperbaiki vigor tanaman dan kekuatan daun dalam proses pemanjangan sel. Sintesis protein dan mitosis (pembelahan sel). Kalsium ini juga penting untuk pembentukan dan berfungsinya bintil akar (Leiwakabessy, 1988).

Kalsium merupakan unsur yang tidak mobil dalam tanaman, sehingga gejala kekurangan kalsium pertama kali terlihat pada bagian yang muda yaitu daun-daun muda yang baru keluar pada bagian pucuk dan titik tumbuh. Gejala kekurangan kalsium mengakibatkan akar tanaman membengkak dan menyatu. Kekutangan Ca menyebabkan daun muda sukar membuka atau keluar (Leiwakabessy, 1988).

2.2.5. Magnesium dalam tanah dan tanaman

Magnesium diambil oleh tanaman dalam bentuk Mg +2. Kebutuhan akan unsur ini dipenuhi melelui aliran massa (mass flow) seperti halnya Ca+2 dan sedikit melalui intersepsi. Jumlah aliran yang diserap biasanya lebih rendah dari kalium dan kalsium. Magnesium dalam tanah berasal dari mineral-mineral primer (biotit, augit, hornblende, olivin, serpentin), mineral-mineral sekunder (klorit, ilit, monmorilonit, vermikulit) dan mineral-minneral endapan seperti dolomit dan epsonit (MgSO4, H2O) (Leiwakabessy, 1988).

Magnesium merupakan unsur yang mobil dalam tanaman dan akan selalu ditranslokasikan dari bagian yang lebih tua ke bagian yang lebih muda, sehingga gejala defesiensi Mg pertama terjadi kepada daun yang lebih tua. Pada beberapa spesies defisiensi mengakibatkan khlorosis diantara tulang daun, sedangkan tulang daun sendiri menjadi berwarna hijau. Pada tahap selanjutnya jaringan daun menjadi kuning kemudian coklat dan nekrotik (mati) (Tisdale dan Nelson, 1975).

Selanjutnya Leiwakabessy (1988) menyatakan bahwa ketersediaan meagnesium dalam tanah dipengaruhi oleh pH, kejenuhan Mg, perbandingn dengan kation yang lain terutama kalsium dan kalium, serta tipe liat.

2.2.6. Tembaga dalam tanah dan tanaman

Tembaga di alam umumnya terdapat dalam bentuk sulfida walaupun ada juga bentuk-bentuk yang kurang stabil seperti karbonat dan sulfat. Bentuk sulfida yang paling banyak adalah chalcopyrite atau (CuFeS2) dengan ikatan kovalen yang kuat antara Chalcosite (Cu2S dan bornite (CuFeS4). Gejala defisiensi mulai berkembang dari bagian yang muda dan menjalar ke bagian lain bila difesiensi makin berat pada tanaman jagung yang biasanya muncul pada tanaman muda yang berupa khlorosis pada daun yang paling muda dan pada tahap lebih lanjut ujung daun menjadi sangat kuning mati dan menggulung sedangkan daun-daun tua mengering dari ujung ke dasar daun melalui tepi seperti defisiensi kalium. Pada tingkat yang sangat parah tanaman tertekan dan tidak menjadi matang (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004).

2.2.7 Seng (Zn) dalam tanah dan tanaman

Tanaman dapat mengambil unsur hara Zn dalam bentuk molekuler garam kompleks organik seperti EDTA. Pemberian garam-garam Zn yang larut maupun Zn kompleks melalui daun merupakan cara yang sering ditempuh untuk kekurangan Zn (Leiwakabesy 1988).

Gejala defisiensi Zn bervariasi dari tanaman yang satu ke tanaman lainnya. Gejala yang umum terjadi adalah ; a) timbulnya daerah-daerah berwarna hijau muda, kuning atau putih diantara tulang daun terutama dan yang tua dibagian bawah, b) jaringan tersebut diatas akan mati, c) ruas atau batang tanaman memendek sehingga daun-daunnya memberikan bentuk roset, d) daun menjadi kecil, sempit dan agak tebal. Bentuknya sering tidak sempurna, e) daun-daun lebih cepat gugur, f) pertumbuhan akan tertekan, g) bentuk buah sering tidak sempurna dan kecil atau tidak berubah sama sekali (Leiwakabesy 1988).

2.3. Analisis tanaman

Analisis tanaman adalah penetapan konsentrasi suatu unsur dalam contoh pada bagian tertentu atau bagian tanaman yang diambil contohnya pada waktu dan tingkat morfologi tertentu. Konsentrasi unsur ini biasanya dinyatakan dalam berat kering (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004). Prinsip dasar dari analisis tanaman adalah berdasrkan konsentrasi hara-hara dalam tanaman sebagai nilai dari seluruh faktor yang mempengaruhinya (Aldrich, 1973).

Dalam analisis tanaman terdapat beberapa hal yang saling berkaitan, misalnya hubungan antara : produksi dan konsentrasi hara, konsentrasi hara dan varietas, dan berbagai faktor yang saling berinteraksi. Beberapa tujuan dilakukan analisis tanaman antara lain: mendiagnosa atau memperkuat diagnosa gejala yang terlihat, mengetahui kekurangan unsur hara sedini mungkin, mengidentifikasi masalah yang terselubung, menunjukan hara yang dapat diserap tanaman, mengetahui interaksi atau antagonisme diantara unsur hara, sebagai alat pembantu untuk mengatasi masalah (Aldrich, 1973).

Analisis tanaman perananya semakin meningakat dalam perkembangan tekhnologi ekonomi produksi pertanian. Penggunaan konsep analisis tanaman sudah relatif tua. Tapi pembaharuan dan aktivitasnya meningkat cepat pada akhir-akhir ini. Hal ini merupakan bagian kemajuan yang nyata atau sejalan dengan

perkembangan penggunaan AAS, ICP, dan peralatan lainnya. Disamping itu sumbangan dari semakin banyakanya referensi standar dari para peneliti untuk interpretasi hasil analisis tanaman membantu dalam analisis tanaman, interpretasi dengan menggunakan metode yang lebih maju dengan DRIS juga menjadikan perkembangan analisis lebih menggairahkan. Ini sudah menjadi tuntutan tekhnologi yang lebih canggih dalam peningkatan produksi pertanian dalam era pertanian yang lebih efisien dan dikembangkan. (Aldrich, 1973).

2.4. Serapan hara tanaman

Serapan hara oleh tanaman sangat bervariasi tergantung pada jenis tanaman, varietas dan kondisi yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman, misalnya : kesuburan tanah, kelembaban tanah, aerasi, tekstur, struktur tanah, penempatan pupuk dan pengaruh penyakit akar (Nelson, 1976).

Selanjutnya Brady (1974) menambahkan bahwa serapan unsur hara tidak hanya tergantung pada ketersediaan unsur hara dalam tanah, tetapi ditentukan juga oleh kemampuan tanaman menyerap unsur hara dan kecepatan serapan hara oleh permukaan akar (Brady 1974).

Millar (1955) mengemukakan tujuh faktor yang berpengaruh tehadap serapan hara oleh tanaman. Ketujuh faktor tersebut diantaranya : 1) jenis tanaman, 2) pengaruh hara lain atau antagonis, 3) perbedaan konsenterasi garam dalam jaringan akar dengan lingkungan luar, 4) aerasi dan respirasi tanaman, 5) ketersediaan hara dalam tanah, 6) pemupukan dan 7) tingkat kejenuhan larutan tanah. Akar tanaman memperoleh unsur hara dari berbagai sumber antara lain dari larutan tanah, ion-ion yang dapat dipertukarkan, mineral dan bahan organik terlapuk (Tisdale, et al.1985).

Mekanisme intersepsi akar sebenarnya merupakan pertukaran secara langsung antara hara dengan akar. Dengan demikian semakin banyak akar yang bersentuhan dengan hara, maka akan semakin banyak hara yang tersedia. Intersepsi akar dipengaruhi oleh sistem perakaran dan konsentrasi unsur hara pada daerah perakaran (Leiwakabessy, 1988).

Aliran masa terjadi apabila terjadi perbedaan potensial hidrostatik. Pergerakan unsur hara dalam aliran masa yaitu pergerakan dari larutan yang

berpotensial hidrostatik yang lebih tinggi ke potensial hidrostatik yang lebih rendah (Soepardi, 1983).

Hara masuk kedalam akar melalui pertukaran difusi dan pergerakan senyawa carrier (Tisdale, et al. 1985).

Akar tanaman mempunyai kompleks pertukaran ion seperti halnya pada tanah. Kemapuan tanaman mendapatkan hara dalam tanah tergantung pada pola perkembangan akar dan kedalaman akar (Leiwakabessy dan Sutandi, 1988).

2.5. Batas kritis dan kisaran kecukupan hara

Adanya sejumlah unsur hara tertentu yang penting dalam pertumbuhan tanaman telah dibuktikan oleh para ahli fisiologi tanaman. Penilaian hasil analisis atau nilai kritis, pendekatan regresi ganda, dan metode DRIS (Diagnosis and Rekomendation Integrated System) (Widjaya Adhi, 1993).

Pengertian dari batas kritis hara juga mencakup keadaan difisiensi hara pada pertumbuhan maksimum, konsentrasi dimana pertumbuhan tanaman menurun dan jumlah hara terkecil dalam tanaman untuk menghasilkan produksi tinggi (Tisdale et al. 1985).

Kurva produksi bersifat sigmoid dengan kenaikan pemberian hara, tetapi hubungan dengan konsentrasi hara perubahannya relatif kecil. Bila produksi dihubungkan dengan kadar hara terlihat bahwa perubahan kadar hara yang sedikit saja telah menyebabkan produksi naik lebih tinggi (Leiwakbessy dan Sutandi, 1988).

Metode yang dipakai adalah dengan membandingkan status hara tanaman yang diteliti dengan tabel referensi. Apabila konsentrasi hara lebih rendah dari tabel referensi yang dipakai maka hal tersebut dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan tanaman, penurunan produksi secara kualitas dan kuantitas. Pada dasarnya metode ini hanya dapat menunjukan jenis defisiensi dalam satu kali pengamatan (Ulrich dan Hills, 1973)

Ulrich dan Hills (1967) dalam Leiwakabessy dan Sutandi (2004) menetapkan batas kritis pada pusat daerah transisi atau titik sebelum terjadi penurunan produksi atau perumbuhan umumnya dipakai titik belok 5-10 % dari pertumbuhan atau produksi maksimum.

Gambar 1. Pengaruh Suplai Hara terhadap Produksi dan Kadar Hara (Leiwakabessy dan Sutandy, 2004)

Gambar 1. menunjukan bahwa kenaikan pemberian hara menghasilkan kurva produksi yang bersifat tidak linear, sedangkan pengaruhnya terhadap konsentrasi hara menghasilkan perubahan relatif kecil. Bila produksi dihubungkan dengan kadar hara terlihat jelas bahwa perubahan kadar hara sedikit saja akan menyebabkan produksi meningkat lebih tinggi (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004). Standar baku untuk batas kritis hara tanaman umumnya sudah banyak dibuat. Kelemahan metode ini terletak pada variasi kadar hara dengan umur, oleh karena itu, Summer (1979) dalam Leiwakabessy dan Sutandi (2004) menyarankan agar dilakukan : a) pembuatan batas kritis pada berbagai umur tanaman, atau b) koreksi terhadap kadar hara sejalan dengan peningkatan berat kering dan umur tanaman, atau c) pembuatan batas kritis menjadi suatu kisaran , misal kisaran kecukupan hara. Selanjutnya Muson dan Nelson (1973) serta Dow Robert (1982)

dalam Leiwakabessy dan Sutandi (2004) juga mengusulkan batas kritis berupa

Dokumen terkait