• Tidak ada hasil yang ditemukan

Botani Tanaman

Menurut Sharma (2002) dalam taksonomi tumbuhan, tanaman jagung termasuk dalam kelas monocotyledoneae, ordo poales, famili graminae, genus zea dan spesies

Zea mays L.

Sistem perakaran pada tanaman jagung terdiri atas akar-akar seminal, koronal dan akar udara. Akar seminal merupakan akar-akar radikal atau akar primer ditambah dengan sejumlah akar lateral yang muncul sebagai akar adventif pada dasar buku pertama di atas pangkal batang. Akar-akar ini tumbuh ke atas dari jaringan batang setelah plumula muncul. Akar udara merupakan akar yang tumbuh dari buku-buku di atas permukaan tanah, tetapi dapat masuk ke dalam tanah. Akar udara berfungsi sebagai pendukung untuk memperkokoh batang terhadap perubahan dan juga berperan dalam proses asimilasi (Rukmana, 1997).

Pola distribusi daun yang mengekspresikan bentuk kanopi, selanjutnya akan menentukan banyaknya intersepsi cahaya yang terkait dengan laju fotosintesis tanaman. Pola distribusi daun dapat berupa sudut daun, kelengkungan daun dan jumlah daun terutama jumlah daun di atas tongkol (Muhadjir, 1988).

Menurut Rubatzky and Yamaguchi (1995) batang tanaman jagung memiliki ruas-ruas dengan jumlah 8-21 ruas.

Daun jagung memanjang dan keluar dari buku-buku batang. Jumlah daun terdiri dari 8-40 helai, tergantung pada varietasnya. Daun terdiri dari tiga bagian, yaitu kelopak

daun, lidah daun dan helaian daun. Kelopak daun umumnya membungkus batang.

Antara kelopak daun dan helaian terdapat lidah daun yang disebut ligula (Warisno, 1998).

Karateristik jumlah daun untuk kebanyakan kultivar jagung berjumlah antara 14-21 helai, tinggi dan kedewasaan jagung sangat erat hubungannya dengan jumlah daun (Najiyati dan Danarti, 1999).

Pada setiap tanaman jagung terdapat bunga jantan dan bunga betina yang letaknya terpisah. Bunga jantan terdapat pada malai bunga di ujung tanaman, sedangkan bunga betina terdapat pada tongkol jagung. Bunga betina ini biasanya disebut tongkol, selalu dibungkus kelopak-kelopak yang jumlahnya sekitar 6-14 helai. Tangkai kepala putik merupakan rambut atau benang yang terurai di ujung tongkol sehingga kepala putiknya menggantung di luar tongkol. Bunga jantan yang terdapat di ujung tanaman masak lebih dahulu daripada bunga betina (Warisno, 1998).

Syarat Tumbuh Iklim

Daerah yang dikehendaki oleh sebagian besar tanaman jagung yaitu daerah beriklim sedang hingga daerah beriklim subtropis/tropis basah. Jagung dapat tumbuh baik di daerah yang terletak antara 500

LU - 400LS. Pada lahan yang tidak beririgasi, memerlukan curah hujan ideal sekitar 85-200 mm/bulan selama masa pertumbuhan. Suhu yang dikehendaki tanaman jagung untuk pertumbuhan terbaiknya antara 27-320C.

Pada proses perkecambahan benih, jagung memerlukan suhu sekitar 300C (Purwono dan Hartono, 2005).

Secara umum tanaman jagung dapat tumbuh di dataran tinggi ±1300 m dpl. Panen pada musim kemarau berpengaruh terhadap semakin cepatnya kemasakan biji dan proses pengeringan biji di bawah sinar matahari (Rukmana, 1997).

Tanaman jagung menghendaki penyinaran matahari penuh. Di tempat- tempat yang teduh, pertumbuhan tanaman jagung akan merana dan tidak mampu membentuk buah (Najiyati dan Danarti, 1999).

Tanah

Tanah andosol banyak mengandung humus, tanaman jagung dapat tumbuh dengan baik asalkan pH-nya memenuhi syarat. Demikian juga tanah latosol yang mengandung bahan organik yang cukup banyak. Pada tanah berpasir pun tanaman jagung bisa tumbuh dengan baik asalkan kandungan unsur hara yang ada di dalamnya tersedia dan mencukupi. Pada tanah berat atau sangat berat, misalnya tanah grumosol, jagung masih dapat tumbuh dengan baik asalkan drainase dan aerase diperhatikan. Adapun tanah yang paling baik untuk ditanami jagung hibrida adalah tanah lempung berpasir, lempung berdebu dan lempung (Warisno, 1998).

Tanaman jagung toleran terhadap reaksi keasaman tanah pada kisaran pH 5,5-7,0. Tingkat keasaman tanah yang paling baik untuk tanaman jagung adalah pada pH 6,8. Pada tanah yang memiliki keadaan pH 7,5 dan 5,7 produksi jagung cenderung turun (Rukmana,1997).

Produksi jagung dapat berbeda antar daerah, terutama disebabkan oleh perbedaan kesuburan tanah dan ketersediaan air , dan varietas yang ditanam. Variasi lingkungan tumbuh akan mengakibatkan adanya interaksi genotIpe dengan lingkungan

yang berarti arkeologi spesifik memerlukan varietas yang spesifik untuk dapat memperoleh produktivitas optimal (Iriany et all, 2008).

Adanya bentuk-bentuk yang berbeda dari suatu jenis tanaman terjadi akibat

tanggapan tanaman tersebut terhadap lingkungan tempat tumbuhnya (Djafar et all ,1990).

Varietas

Varietas adalah individu tanaman yang memiliki sifat yang dapat dipertahankan setelah melewati berbagai proses pengujian keturunan. Varietas berdasarkan teknik pembentukannya dibedakan atas: varietas hibrida, varietas sintetik dan varietas komposit (Mangoendidjojo, 2003).

Keragaman tanaman jagung pada tingkat umur yang berbeda akan memperlihatkan pertumbuhan yang berbeda karena selain faktor genetik juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Sutoro, 1988).

Apabila keragaman tanaman masih tetap timbul sekalipun bahan tanam dianggap mempunyai susunan genetik yang sama (berasal dari jenis tanaman yang sama) dan ditanam pada tempat yang sama, ini berarti cara yang diterapkan tidak mampu menghilangkan perbedaan sifat dalam tanaman atau keadaan lingkungan atau kedua-duanya, perbedaan susunan genetik merupakan salah satu faktor penyebab keragaman penampilan tanaman. Hal ini menyatakan keragaman penampilan tanaman akibat susunan genetik selalu mungkin terjadi sekalipun bahan tanam yang digunakan berasal dari jenis yang sama (Sitompul dan Guritno, 1995).

Hibrida dibuat dengan mempersilangkan dua inbrida yang unggul. Karena itu pembuatan inbrida unggul merupakan langkah pertama dalam pembuatan hibrida. Varietas hibrida memberikan hasil yang lebih tinggi dari pada varietas bersari bebas karena hibrida menggabungkan gen-gen dominan karakter yang diinginkan dari galur penyusunnya, dan hibrida mampu memanfaatkan gen aditif dan non aditif. Varietas hibrida memberikan keuntungan yang lebih tinggi bila di tanam pada lahan yang produktivitasnya tinggi (Kartasapoetra, 1988).

Ada dua macam perbedaan antara individu organisme : (I) Perbedaan yang ditentukan oleh keadaan luar, yaitu yang dapat ditelusuri dari lingkungan dan (II) Perbedaan yang dibawa sejak lahir, yaitu yang dapat ditelusuri dari kebakaan. Suatu fenotip (penampilan dan cara berfungsinya) individu merupakan hasil interaksi antara genotip (warisan alami) dan lingkungannya. Walaupun sifat khas suatu fenotip tertentu tidak dapat selamanya ditentukan oleh perbedaan fenotip atau oleh lingkungan, ada kemungkinan perbedaan fenotip antara individu yang terpisahkan itu disebabkan oleh perbedaan lingkungan atau perbedaan keduanya (Lovelles, 1989).

Karakter nilai duga heritabilitas tinggi menunjukkan bahwa faktor genetik lebih berperan dalam menunjukkan variasi fenotip antar genotip dibandingkan dengan faktor lingkungan. Seleksi untuk karakter yang demikian akan memiliki kemajuan genetik yang lebih tinggi, karena sifat yang dikendalikan secara kuat dikendalikan oleh faktor genetik (Moedjiono dan Mejaya, 1994)

Hasil maksimum dapat dicapai bila kultivar unggul menerima respons terhadap kombinasi optimum dari air, pupuk dan praktek budidaya lainnya. Semua kombinasi in

Perbedaan susunan genetik merupakan salah satu faktor penyebab keragaman penampilan tanaman. Program genetik yang akan diekspresikan pada suatu fase pertumbuhan yang berbeda dapat diekspresikan pada berbagai sifat tanaman yang mencakup bentuk dan fungsi tanaman yang menghasilkan keragaman pertumbuhan tanaman. Keragaman penampilan tanaman akibat perbedaan susunan genetik selalu mungkin terjadi sekalipun tanaman yang digunakan berasal dari jenis yang sama (Sitompul dan Guritno, 1995).

Heritabilitas

Fenotip merupakan interaksi antara genotip dengan lingkungan. Ini berarti bahwa besaran fenotip sebagian ditentukan oleh pengaruh genotip dan sebagian pengaruh lingkungan. Untuk dapat menaksir peran genotip dan lingkungan dapat dihitung melalui keragaman fenotip pada suatu populasi (Poespodarsono, 1988).

Heritabilitas didefinisikan sebagai proporsi keragaman yang disebabkan oleh faktor genetis terhadap keragaman fenotip dari suatu populasi. Keragaman variasi dari suatu populasi disebabkan oleh faktor genetis (V2g) dan faktor lingkungan (V2e) (Hasyim, 1999).

Sesuai dengan komponen varian genetiknya, kemudian dibedakan adanya heritabilitas dalam arti luas (broad sense heritability) dan heritabilitas dalam arti sempit (narrow sense heritability). Heritabilitas dalam arti luas, merupakan perbandingan antara varian genetik total dengan varian fenotip. Heritabilitas dalam arti sempit

merupakan perbandingan antara varian aditif dengan varian fenotip (Mangoendidjojo, 2003).

Heritabilitas dapat diketahui apakah keragaman yang timbul oleh suatu karakter didominasi oleh faktor genetik atau faktor lingkungan. Dengan demikian pemulia tanaman dapat memperkirakan karakter yang akan memberikan respon terhadap usaha perbaikan yang dilakukan yaitu karakter yang memiliki nilai heritabilitas tinggi (Sjamsudin, 1990).

Nilai heritabilitas secara teoritis berkisar 0 sampai 1. Nilai 0 ialah bila seluruh variasi yang terjadi disebabkan oleh faktor lingkungan, sedangkan nilai 1 ialah bila seluruh variasi disebabkan oleh faktor genetik. Dengan demikian nilai heritabilitas terletak pada kedua nilai ekstrim tersebut. seleksi akan sangat efektif pada tanaman yang heritabilitasnya tinggi (Welsh, 1991).

Heritabilitas dinyatakan dengan persentase dan merupakan bagian pengaruh genetik dari penampakan fenotip yang dapat diwariskan dari tetua kepada turunannya. Heritabilitas tinggi menunjukkan varian genetik besar dan varian lingkungan kecil (Crowder, 1997).Heritabilitas dapat diperbesar atau varian genotipe diperkecil (Wahdan et al, 1996).

Keragaman sebagai akibat faktor lingkungan dan keragaman genetik umumnya berinteraksi satu dengan yang lainnya dalam mempengaruhui penampilan fenotip tanaman (Makmur 1992).

Pupuk Hayati

Pupuk hayati adalah pupuk berisi mikrobia yang diberikan ke dalam tanah untuk meningkatkan pengambilan hara oleh tanaman dari dalam tanah dan udara. Umumnya digunakan mikrobia yang mampu hidup bersama (simbiosis) dengan tanaman inangnya.

Keuntungan diperoleh oleh kedua pihak, tanaman inang mendapatkan tambahan unsur hara yang diperlukan, sedangkan mikrobia mendapatkan bahan organik untuk aktivitas dan pertumbuhannya. Mikrobia yang digunakan sebagai pupuk hayati (biofertilizer) dapat diberikan langsung kedalam tanah disertakan dalam pupuk organik atau disalutkan pada benih yang akan ditanam. Penggunaan yang menonjol dewasa ini adalah mikrobia penambat Nitrogen (N) dan mikrobia untuk meningkatkan ketersediaan Posfor (P) dalam tanah (Warta, 2007).

Pupuk hayati merupakan suatu bahan yang mengandung mikroorganisme bermanfaat untuk meningkatkan kesuburan tanah dan kualitas hasil tanaman melalui peningkatan aktivitas biologi yang akhirnya dapat berinteraksi dengan sifat-sifat fisik dan kimia media tumbuh (tanah). Mikroorganisme yang umum digunakan ialah mikrobia penambat N, pelarut Fosfat dan pemantap agregat (Subba Rao, 1982).

Pupuk hayati mempunyai perbedaan yang besar dibandingkan dengan pupuk kimia yaitu respon tanaman yang lambat terhadap pemberian serta ketersediaan hara yang tidak secara langsung. Penyediaan hara maupun dampak terhadap lingkungan. Pupuk hayati memiliki ciri yaitu respon tanaman terhadap pemberian pupuk lambat, tanaman target nya luas, penyediaan hara secara tidak langsung karena harus bersimbiosis dengan tanaman inang dan proses dengan tanaman secara biologi (Damanik dkk, 2009).

Tiens Golden Harvest adalah pupuk dengan bahan aktif Mikrobia Indegenous asli Indonesia ramah lingkungan (tidak mengandung logam berat As, Pb, Cd dan mikroba patogen, Salmonella SP) keuntungan dari Tiens Golden Harvest: biaya produksi efisien, hasil panen optimal, jika dipadukan dengan pupuk kimia bisa

menghemat sebesar 40-50 %, mengurangi timbulnya gulma pada tanaman, dapat memecah pestisida dengan residu 0 %, penampilan tanaman lebih sehat dan segar, kesuburan lahan terjaga

Azotobakter dapat mengasilkan hormon tumbuh dalam kompos mikrobial dan melalui proses imbibisi masuk kedalam biji yang berkecambah. Hormon ini adalah auksin dan IAA. IAA ini dapat diproduksi sebanyak 0,05-1,0 mikrogram/cairan kultur. Selain IAA juga ditemukan adanya 20 mikrogram atau lebih ZPT /ml asam giberelat ditambahkan kedalam sejumlah biji atau akar diperlukan dosis 5 mikrogram untuk mendapatkan pengaruh kultur azotobakter. Dalam kaitannya dengan ZPT tanaman yang berasosiasi dengan azospirilium diperoleh banyak keuntungan antara lain : karena adanya suplai : hormon tumbuh seperti auksin, IAA dan giberelin yang diproduksi dalan kondisi tertentu, auksin ini berfungsi memacu pembentukan akar, sehingga serapan akar terhadap hara seperti N.P.K dan air diperluas.

Lahan Pasang Surut

Secara umun lahan pasang surut merupakan lingkungan pengendapan bahan baru yang terbagi menjadi kelompok alluvial, kelompok marin dan kelompok kubah gambut (Ananto et al., 2000). Sedangkan Widjaj-adhi dan Alihamsah (1998) mengemukakan bahwa pada kelompok marin biasanya terdapat tanah yang menyerupai pirit. Menurut Dent (1989) lingkungan yang tergenang oleh air salin atau air payau kaya akan bahan organik yang berasal dari tumbuhan pantai seperti api-api, bakau, mangrove dan nipah. Hal ini merupakan kondisi yang sesuai dengan nama pirit (cubic pyrite: FeS2) dan merupakan sumber permasalahan pada lahan pasang usaha pertanian. Permasalahan pada lahan pasang surut dengan keragamam kondisi fisiko-kimia yang

tinggi, terutama berpangkal pada terdapatnya lapisan pirit atau bahan sulfidik tersebut, dan bila mengalami oksidasi akan menimbilkan proses pemasaman. Berdasarkan jangkauan pasang surut payau/salin, zona pasang surut air tawar dan zona non pasang surut atau rawa lebak (Widjaja Addi, 1992).

Selain dikelompokkan berdasarkan tipologi lahan maka lahan pasang surut dikelompokkan berdasarkan jangkauan air pasang atau ketinggian muka air/genangan yang dikenal dengan tipe luapan. Tipe luapan lahan pasang surut dibagi berdasarkan siklus pasang bulanan menjadi tipe luapan A,B,C dan D (Ananto et al., 2000). Lahan bertipe A selalu terluapi air pasang besar maupun kecil, baik pada musim kemarau, sedangkan lahan bertipe B hanya terluapi air pasang pada saat musim hujan saja. Lahan bertipe C tidak terluapi air pasang tetapi kedalaman muka air tanahnya kurang dari 50 cm, sedangkan lahan bertipe D seperti halnya tipe luapan C namun kedalaman airnya lebih dari 50 cm.

Areal lahan dengan tipe lahan C dan D ini mencakup sekitar 60 % dari total lahan yang sudah dibuka. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan tanaman pangan pada areal lahan dengan tipe luapan C dan D adalah:

1. Munculnya racun dari oksidasi pirit (FeS2) dimana pada saat kering/musim kemarau/persiapan lahan dengan cara pembakaran akan menyebabkan kondisi tanah menjadi pecah dan O2 dari udara masuk kedalam lapisan pirit. Apabila udara masuk ke lapisan ini maka akan terjadi oksidasi yang menghasilkan Fe+2 dan So4+ yang dapat meracuni tanaman dan kondisi tanah menjadi sangat masam. Pada kondisi tanah keracunan oksidasi pirit pada umumnya tanaman

pangan seperti padi, jagung dan tanaman musim lainnya tidak bisa tumbuh dengan baik dan akan terjadi kegagalan panen.

2. Akibat pembakaran pada daerah yang bergambut mengakibatkan terbentuknya pasir semu yang tidak memiliki unsur hara sehingga tanaman semusim tidak mampu tumbuh dengan baik dan tidak mampu berproduksi

3. Terjadinya serangan hama dan penyakit tikus angin dan penyakit Blast pada tanaman pangan

4. Kondisi lahan yang tidak tergenangi dan lembab menyebabkan perkembangan

gulma Imperata cylindrica di areal itu menjadi cepat (Buurman and Balsem, 1990).

Dokumen terkait