• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Karakter Beberapa Varietas Jagung Hibrida (Zea mays L.) Di Lahan Pasang Surut Pada Perlakuan Pupuk Hayati

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Uji Karakter Beberapa Varietas Jagung Hibrida (Zea mays L.) Di Lahan Pasang Surut Pada Perlakuan Pupuk Hayati"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

UJI KARAKTER BEBERAPA VARIETAS JAGUNG HIBRIDA (Zea mays L.) DI LAHAN PASANG SURUT PADA PERLAKUAN PUPUK HAYATI

SKRIPSI

Oleh:

DEWI JULITA SITANGGANG 050307012/ BDP- PEMULIAAN TANAMAN

PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Judul : Uji Karakter Beberapa Varietas Jagung Hibrida (Zea mays L.) di Lahan Pasang Surut pada Perlakuan Pupuk Hayati

Nama : Dewi Julita Sitanggang

NIM : 050307012

Departemen : Budidaya Pertanian Program Studi : Pemuliaan Tanaman

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

( Ir. Yusuf Husni )

2010

(Ir. Hot Setiado, MS)

NIP: 131 639 807 NIP: 131 570 477

PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

ABSTRAK

Dewi Julita sitanggang: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakter

beberapa varietas jagung hibrida (Zea mays L.) yang ditanam di lahan pasang surut pada

perlakuan pupuk hayati. Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Bagan Deli Belawan

dengan ketinggian tempat + 1 m diatas permukaan laut mulai dari bulan Agustus

samapai November 2009. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan dua faktor. Faktor 1 adalah varietas

(Pioneer-12, Bisi-2 dan Jaya 1) dan faktor 2 adalah pupuk (pupuk dasar, 50 % pupuk

dasar + pupuk hayati dan pupuk hayati).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas berpengaruh nyata terhadap tinggi

tanaman pada 2 MST, 3 MST, jumlah daun pada 2 MST dan 4 MST, jumlah daun di

atas tongkol, umur berbunga betina, umur panen, jumlah biji pertongkol dan berat biji

pertongkol.. Pupuk berpengaruh nyata terhadap jumlah daun 5 MST, umur panen, dan

berat biji pertongkol. Interaksi antara varietas dan pupuk berpengaruh nyata terhadap

umur berbunga betina, jumlah biji pertongkol dan berat biji pertongkol.

(4)

ABSTRACT

Dewi Julita Sitangga ng: The objective of the research was to know the character

of maize varieties grown on the marine land applied with the biofertilizer. The research

was conducted in Bagan Deli Belawan area with 1 meter altitude from Agust 2009 to

November 2009. The completely randomized design was used with two factors (variety

dan fertilizer).

The result showed that the variety significantly affected the plant height

(2 weeks planted, 3 weeks planted), the number of leaves (2 weeks planted, 4

weeks planted), the number of leaves above the ear, the time of pistilate flower

bloomed, the time of harvesting, the number of seeds per ear. The fertilizer significantly

affected the number of leave (5 weeks planted), the time of harvesting and the weight of

seeds per ear. Interaction beetwen variety and fertilizer significantly affected the time of

pistilate flower bloomed, the number of seeds per ear and the weight of seeds per ear.

(5)

RIWAYAT HIDUP

Dewi Julita Sitanggang, dilahirkan pada tanggal 10 Juli 1987 di Helvetia,

Kelurahan Medan Helvetia, Sumatera Utara. Penulis merupakan anak kedua dari tiga

bersaudara, putri dari ayahanda alm. B. Sitanggang dan ibunda R. Gultom.

Pendidikan dasar penulis dimulai pada tahun 1993 di SD HKBP Teladan Gabion,

Kelurahan Bagan Deli, Belawan dan lulus pada tahun 1999. Penulis melanjutkan ke

SLTP Negeri 5 Medan, kotamadya Medan dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang

sama menulis melanjutkan pendidikan menengah atas di SMU Negeri 9 Medan,

kotamadya Medan dan lulus pada tahun 2005.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera

Utara, Medan tahun 2005 melalui jalur PMP (Penerimaan Mahasiswa Prestasi) pada

program studi Pemuliaan Tanaman, Departemen Budidaya Pertanian.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis mengikuti kegiatan organisasi Himpunan

Jurusan Budidaya Pertanian (HIMADITA) pada tahun 2005/2006 sampai 2009/2010.

Pengalaman di bidang kemasyarakatan, penulis dapatkan saat mengikuti Praktek

Kerja Lapangan (PKL) di Balai Penelitian Karet Sungei Putih pada bulan Juli sampai

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat

dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Judul skripsi ini adalah ”Uji Karakter Beberapa Verietas Jagung Hibrida (Zea

mays L.) di Lahan Pasang Surut pada Perlakuan Pupuk Hayati” yang merupakan

syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana pertanian di Fakultas Pertanian Sumatera

Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada bapak Ir. Yusuf Husni dan Ir. Hot Setiado, MS selaku dosen pembimbing yang

telah banyak mengarahkan, memberi saran, bimbingan dan masukan kepada penulis

sejak persiapan penelitian sampai menyelesaikan skripsi ini.

Ungkapan terima kasih yang tak terhingga kepada alm. Ayahanda B. Sitanggang

dan Ibunda tercinta R. Gultom, serta adikku Eva dan kakakku Sarina, terima kasih atas

segala dukungan, doa dan semangat. Khususnya kepada ibunda R. Gultom, penulis

mengucapkan terima kasih atas semua dana yang telah diberikan selama penulis

menjalani perkuliahan. Terima kasih juga kepada semua keluarga besar penulis, sanak

saudara untuk dukungan, dana dan doanya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga besar KUD yang telah

membantu, mendukung penelitian penulis. Terima kasih kepada Desni, Rosdiana, Seri,

Sri Wardani, Wilda, Syaril, Naim, Okta, Swonary dan kawan-kawan BDP’05 untuk

semua dukungan, bantuan dan suka-duka yang dibagi bersama dan terima kasih kepada

semua pihak yang telah ikut membantu penulis dalam penelitian dan penyusunan skripsi

(7)

Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi

kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan

kemajuan dalam pertanian.

Medan, April 2010

(8)
(9)

Aplikasi Pupuk Hayati ... 21

Pemeliharaan Tanaman Penjarangan ... 21

Penyiraman ... 21

Penyiangan dan Pembumbunan ... 21

Panen ... 22

Pengeringan dan Pemipilan ... 22

Pengamatan Parameter Tinggi Tanaman (cm) ... 22

Jumlah Daun (helai) ... 22

Kelengkungan Daun ... 22

Jumlah Daun di Atas Tongkol (helai) ... 23

Umur Berbunga Jantan (hari) ... 23

Umur Berbunga Betina (Hari) ... 23

Umur Panen (hari) ... 23

Laju Pengisian Biji (gram/hari) ... 23

Jumlah Biji Pertongkol (biji) ... 23

Berat Biji Pertongkol (gram) ... 23

Heritabilitas ... 24

Laju Pengisian Biji (gram/hari) ... 32

(10)

DAFTAR TABEL

1. Rataan Tinggi Tanaman (cm) pada 2 MST-7 MST ... 26

2. Rataan Jumlah Daun (helai) pada 2 MST-7 MST ... 27

3. Rataan Kelengkungan Daun ... 28

4. Rataan Jumlah Daun di Atas Tongkol (helai) ... 28

5. Rataan Umur Berbunga Jantan (hari) ... 29

6. Rataan Umur Berbunga Betina (hari) ... 30

7. Rataan Umur Panen (hari) ... 32

8. Rataan Laju Pengisian Biji (gr/hari) ... 32

9. Rataan Jumlah Baris Pertongkol (baris) ... 33

10. Rataan Jumlah Biji Pertongkol (biji) ... 34

11. Rataan Berat Biji Pertongkol (gram) ... 35

(11)

DAFTAR GAMBAR

1. Diagram Umur Berbunga Betina dari varietas dan Pupuk ... 31

2. Diagram Jumlah Biji Pertongkol dari Varietas dan Pupuk ... 35

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Jadwal Kegiatan ... 49

2. Bagan Penelitian ... 50

3. Deskripsi Jagung Varietas Pioneer-12... 51

4. Deskripsi Jagung Varietas Bisi-2 ... 52

5. Deskripsi Jagung Varietas Jaya-1 ... 53

6. Tabel Pengamatan Tinggi Tanaman 2 MST ... 54

7. Tabel Dwi-kasta Tinggi Tanaman 2 MST ... 54

8. Daftar Sidik Ragam Tinggi Tanaman 2 MST ... 54

9. Tabel Pengamatan Tinggi Tanaman 3 MST ... 55

10.Tabel Dwi-kasta Tinggi Tanaman 3 MST ... 55

11.Daftar Sidik Ragam Tinggi Tanaman 3 MST ... 55

12.Tabel Pengamatan Tinggi Tanaman 4 MST ... 56

13.Tabel Dwi-kasta Tinggi Tanaman 4 MST ... 56

14.Daftar Sidik Ragam Tinggi Tanaman 4 MST ... 56

15.Tabel Pengamatan Tinggi Tanaman 5 MST ... 57

16.Tabel Dwi-kasta Tinggi Tanaman 5 MST ... 57

17.Daftar Sidik Ragam Tinggi Tanaman 5 MST ... 57

18.Tabel Pengamatan Tinggi Tanaman 6 MST ... 58

19.Tabel Dwi-kasta Tinggi Tanaman 6 MST ... 58

20.Daftar Sidik Ragam Tinggi Tanaman 6 MST ... 58

(13)

22.Tabel Dwi-kasta Tinggi Tanaman 7 MST ... 59

23.Daftar Sidik Ragam Tinggi Tanaman 7 MST ... 59

24.Tabel Pengamatan Jumlah Daun 2 MST ... 60

25.Tabel Dwi-kasta Jumlah Daun 2 MST ... 60

26.Daftar Sidik Ragam Jumlah Daun 2 MST ... 60

27.Tabel Pengamatan Jumlah Daun 3 MST ... 61

28.Tabel Dwi-kasta Jumlah Daun 3 MST ... 61

29.Daftar Sidik Ragam Jumlah Daun 3 MST ... 61

30.Tabel Pengamatan Jumlah Daun 4 MST ... 62

31.Tabel Dwi-kasta Jumlah Daun 4 MST ... 62

32.Daftar Sidik Ragam Jumlah Daun 4 MST ... 62

33.Tabel Pengamatan Jumlah Daun 5 MST ... 63

34.Tabel Dwi-kasta Jumlah Daun 5 MST ... 63

35.Daftar Sidik Ragam Jumlah Daun 5 MST ... 63

36.Tabel Pengamatan Jumlah Daun 6 MST ... 64

37.Tabel Dwi-kasta Jumlah Daun 6 MST ... 64

38.Daftar Sidik Ragam Jumlah Daun 6 MST ... 64

39.Tabel Pengamatan Jumlah Daun 7 MST ... 65

40.Tabel Dwi-kasta Jumlah Daun 7 MST ... 65

41.Daftar Sidik Ragam Jumlah Daun 7 MST ... 65

42.Tabel Pengamatan Jumlah Daun di Atas Tongkol ... 66

43.Tabel Dwi-Kasta Jumlah Daun di Atas Tongkol ... 66

(14)

45.Tabel Pengamatan Kelengkungan Daun ... 67

46.Tabel Dwi-Kasta Kelengkungan Daun ... 67

47.Daftar Sidik Ragam Kelengkungan Daun ... 67

48.Tabel Pengamatan Umur Berbunga Jantan ... 68

49.Tabel Dwi-Kasta Umur Berbunga Jantan ... 68

50.Daftar Sidik Ragam Umur Berbunga Jantan ... 68

51.Tabel Pengamatan Umur Berbunga Betina ... 69

52.Tabel Dwi-Kasta Umur Berbunga Betina... 69

53.Daftar Sidik Ragam Umur Berbunga Betina ... 69

54.Tabel Pengamatan Umur Panen ... 70

55.Tabel Dwi-Kasta Umur Panen ... 70

56.Daftar Sdik Ragam Umur Panen ... 70

57.Tabel Dwi- Kasta Laju Pengisiam Biji ... 71

58.Daftar Sidik Ragam Laju Pengisian Biji ... 71

59.Tabel Pengamatan Jumlah Baris Pertongkol ... 71

60.Tabel Dwi-Kasta Jumlah Baris Pertongkol ... 72

61.Daftar Sidik Ragam Jumlah Baris Pertongkol ... 72

62.Tabel Pengamatan Jumlah Biji Pertongkol ... 72

63.Tabel Dwi-Kasta Jumlah Biji Pertongkol ... 73

64.Daftar Sidik Ragam Jumlah Biji Pertongkol ... 73

65.Tabel Pengamatan Berat Biji Pertongkol ... 73

66.Tabel Dwi-Kasta Berat Biji Pertongkol... 74

(15)

68.Gambar 1. Foto Lahan Penelitian Tanaman Jagung ... 75

69.Gambar 2. Foto Tongkol Jagung Setiap Kombinasi Perlakuan ... 77

70.Gambar 3. Foto Biji Jagung Setiap Kombinasi Perlakuan ... 78

(16)

ABSTRAK

Dewi Julita sitanggang: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakter

beberapa varietas jagung hibrida (Zea mays L.) yang ditanam di lahan pasang surut pada

perlakuan pupuk hayati. Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Bagan Deli Belawan

dengan ketinggian tempat + 1 m diatas permukaan laut mulai dari bulan Agustus

samapai November 2009. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan dua faktor. Faktor 1 adalah varietas

(Pioneer-12, Bisi-2 dan Jaya 1) dan faktor 2 adalah pupuk (pupuk dasar, 50 % pupuk

dasar + pupuk hayati dan pupuk hayati).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas berpengaruh nyata terhadap tinggi

tanaman pada 2 MST, 3 MST, jumlah daun pada 2 MST dan 4 MST, jumlah daun di

atas tongkol, umur berbunga betina, umur panen, jumlah biji pertongkol dan berat biji

pertongkol.. Pupuk berpengaruh nyata terhadap jumlah daun 5 MST, umur panen, dan

berat biji pertongkol. Interaksi antara varietas dan pupuk berpengaruh nyata terhadap

umur berbunga betina, jumlah biji pertongkol dan berat biji pertongkol.

(17)

ABSTRACT

Dewi Julita Sitangga ng: The objective of the research was to know the character

of maize varieties grown on the marine land applied with the biofertilizer. The research

was conducted in Bagan Deli Belawan area with 1 meter altitude from Agust 2009 to

November 2009. The completely randomized design was used with two factors (variety

dan fertilizer).

The result showed that the variety significantly affected the plant height

(2 weeks planted, 3 weeks planted), the number of leaves (2 weeks planted, 4

weeks planted), the number of leaves above the ear, the time of pistilate flower

bloomed, the time of harvesting, the number of seeds per ear. The fertilizer significantly

affected the number of leave (5 weeks planted), the time of harvesting and the weight of

seeds per ear. Interaction beetwen variety and fertilizer significantly affected the time of

pistilate flower bloomed, the number of seeds per ear and the weight of seeds per ear.

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman jagung diduga berasal dari tanaman Teosinte (Zea mexicana) yang

dianggap sebagai kerabat terdekatnya. Teosinte merupakan tanaman asli di Mexico dan

Guatemala yang telah ada sejak 7000 tahun lalu. Mengenai daerah asal jagung terdapat

beberapa pendapat. Ada yang mengatakan berasal dari Asia dan adapula yang

mengatakan dari Afrika, tetapi yang paling kuat adalah pendapat yang mengatakan dari

Amerika Tengah sekitar Mexico (Rukmana, 1997).

Kebutuhan jagung terus meningkat, baik pangan maupun pakan ternak dan

bahan baku industri. Pada saat ini produksi tidak memadai terpaksa impor dilakukan

untuk memenuhi kebutuhan. Pada tahun 2005, Indonesia mengimpor jagung 1,80 ton

dan pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 2,20 juta ton kalau produksi dipacu.

Peluang meningkatkan produksi jagung sebenarnya masih terbuka lebar baik melalui

perluasan areal tanam maupun peningkatan produktivitas

(baliseral litbang.deptan.go.id, 2008).

Salah satu usaha untuk meningkatkan produksi jagung adalah penggunaan

varietas unggul. Varietas sangat perlu diperhatikan untuk menunjang peningkatan

produksi jagung. Selain varietas upaya lain yang dapat diterapkan meningkatkan

produksi jagung diantaranya memperluas aral pertanaman. Bila berhasil menambah

areal baru sampai ratusan ribu hektar maka akan terjadi lonjakan produksi jagung secara

(19)

Namun saat ini areal pertanian di Indonesia sudah semakin sempit karena

semakin bertambahnya jumlah penduduk Indonesia. Areal pertanian saat ini telah

berganti menjadi areal pemukiman sedangkan kebutuhan jagung terus meningkat. Lahan

pasang surut merupakan salah satu lahan yang dapat dipergunakan sebagai lahan

pertanaman bagi jagung karena lahan pasang surut merupakan salah satu jenis lahan

yang potensial untuk pertanaman jagung. Di Indonesia lahan pasang surut masih cukup

luas dan belum banyak dimanfaatkan secara optimal. Masalah utama yang dihadapi

untuk membudidayakan tanaman pangan di lahan pasang surut adalah tingkat kesuburan

tanah yang rendah, keadaan tanah masam (pH 3-5) dan tingkat kelarutan mineral

aluminium (Al) dan besi (Fe) masih tinggi sehingga mempengaruhi ketersediaan fosfat

dalam tanah. Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan

pemberian kapur dan fosfat pada lahan pasang surut. Selain itu, dibutuhkan pengolahan

lahan secara khusus sesuai dengan tipe lahan pasang surut

(Adisarwanto dan Widyastuti, 2002).

Indonesia memiliki daerah pasang surut sekitar 39,4 juta ha. Dari luasan tersebut

sekitar 6,7 juta ha memiliki potensi untuk pengembangan pertanian. Pemerintah

Indonesia telah mengembangkan areal pasang surut ini untuk pemukiman transmigrasi

dan program utamanya adalah pengembangan padi dan tanaman pangan lainnya.

Banyak kendala dalam melaksanakan program ini, terutama areal yang tak tergenangi

oleh air pasang yaitu pada tipe luapan C dan D dimana kedalaman air tanahnya 50 cm

dari permukaan tanah. Kendala lainnya adalah di bawah permukaan tanah daerah

pasang surut terdapat lapisan pirit (FeS2). Pada saat musim kemarau, permukaan lahan

(20)

So4+ . Dibawah kondisi ini semua tanaman semusim seperti padi, jagung, kacang kedelai

dan tanaman lainnya tidak bisa tumbuh dan pendapatan petani hilang

(Buurman and Balsem, 1990).

Upaya memperbaiki lahan pasang surut agar pertanaman jagung dapat tumbuh

dengan normal akibat tingkat kesuburan tanah rendah, keadaan tanah masam (pH 3-5)

dan tingkat kelarutan mineral aluminium (Al) dan besi (Fe) masih tinggi maka

diperlukan pemupukan yang tepat dibarengi dengan pemberian pupuk hayati.

Peningkatan produktivitas tanaman dengan pupuk hayati merupakan langkah yang

bijaksana mengingat akhir-akhir ini terjadi peningkatan tekanan konsumen yang

menghendaki produk pertanaman yang bebas residu pestisida agar produk tersebut aman

dikonsumsi dan terciptanya lingkungan yang sehat (Sutanto, 2002). Oleh sebab itu perlu

dicari teknologi alternatif yang selain dapat mengatasi kendala tanah masan namun juga

mampu menghasilkan produk yang diterima konsumen dan ramah lingkungan.

Salah satu teknologi alternatif yang perlu dikembangkan adalah pupuk hayati

inokolum jasad renik tanah (bakteri pelarut fosfat, bakteri penyelamat nitrogen,

mikoriza dan sebagainya). Pupuk hayati Tiens Goldens Harvest adalah terobosan

teknologi pemupukan yang dapat dikembangkan dengan teknologi Agricultural Growth

Promoting Innoculants (AGPI) yaitu inokolum, campuran yang berbentuk cair yang

mengandung beberapa mikroba asli Indonesia. Mikroba-mikroba tersebut sangat

dibutuhkan dalam proses penyuburan tanah secara biologi antara lain: Azospirilium sp,

Azotobacter sp, mikroba pelarut fosfat, Lactobacillus sp, dan mikroba pendegradasi

(21)

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk melihat karakter beberapa

varietas jagung hibrida (Zea mays L.) di lahan pasang surut pada perlakuan pupuk

hayati.

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui karakter beberapa varietas jagung hibrida (Zea mays L.) di

lahan pasang surut pada perlakuan pupuk hayati.

Hipotesis Penelitian

- Diduga ada pengaruh varietas terhadap karakter jagung hibrida (Zea mays L.)

yang ditanam di lahan pasang surut.

- Diduga ada pengaruh pemberian pupuk hayati terhadap karakter jagung hibrida

(Zea mays L.) yang ditanam di lahan pasang surut.

- Diduga ada interaksi antar varietas dan pemberian pupuk hayati terhadap karakter

jagung hibrida (Zea mays L.) yang ditanam di lahan pasang surut.

Kegunaan Penelitian

- Penelitian ini berguna dalam penyusunan skripsi yang merupakan salah

satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara, Medan.

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman

Menurut Sharma (2002) dalam taksonomi tumbuhan, tanaman jagung termasuk

dalam kelas monocotyledoneae, ordo poales, famili graminae, genus zea dan spesies

Zea mays L.

Sistem perakaran pada tanaman jagung terdiri atas akar-akar seminal, koronal

dan akar udara. Akar seminal merupakan akar-akar radikal atau akar primer ditambah

dengan sejumlah akar lateral yang muncul sebagai akar adventif pada dasar buku

pertama di atas pangkal batang. Akar-akar ini tumbuh ke atas dari jaringan batang

setelah plumula muncul. Akar udara merupakan akar yang tumbuh dari buku-buku di

atas permukaan tanah, tetapi dapat masuk ke dalam tanah. Akar udara berfungsi sebagai

pendukung untuk memperkokoh batang terhadap perubahan dan juga berperan dalam

proses asimilasi (Rukmana, 1997).

Pola distribusi daun yang mengekspresikan bentuk kanopi, selanjutnya akan

menentukan banyaknya intersepsi cahaya yang terkait dengan laju fotosintesis tanaman.

Pola distribusi daun dapat berupa sudut daun, kelengkungan daun dan jumlah daun

terutama jumlah daun di atas tongkol (Muhadjir, 1988).

Menurut Rubatzky and Yamaguchi (1995) batang tanaman jagung memiliki

ruas-ruas dengan jumlah 8-21 ruas.

Daun jagung memanjang dan keluar dari buku-buku batang. Jumlah daun terdiri

(23)

daun, lidah daun dan helaian daun. Kelopak daun umumnya membungkus batang.

Antara kelopak daun dan helaian terdapat lidah daun yang disebut ligula

(Warisno, 1998).

Karateristik jumlah daun untuk kebanyakan kultivar jagung berjumlah antara

14-21 helai, tinggi dan kedewasaan jagung sangat erat hubungannya dengan jumlah daun

(Najiyati dan Danarti, 1999).

Pada setiap tanaman jagung terdapat bunga jantan dan bunga betina yang

letaknya terpisah. Bunga jantan terdapat pada malai bunga di ujung tanaman,

sedangkan bunga betina terdapat pada tongkol jagung. Bunga betina ini biasanya

disebut tongkol, selalu dibungkus kelopak-kelopak yang jumlahnya sekitar 6-14 helai.

Tangkai kepala putik merupakan rambut atau benang yang terurai di ujung tongkol

sehingga kepala putiknya menggantung di luar tongkol. Bunga jantan yang terdapat di

ujung tanaman masak lebih dahulu daripada bunga betina (Warisno, 1998).

Syarat Tumbuh Iklim

Daerah yang dikehendaki oleh sebagian besar tanaman jagung yaitu daerah

beriklim sedang hingga daerah beriklim subtropis/tropis basah. Jagung dapat tumbuh

baik di daerah yang terletak antara 500

LU - 400LS. Pada lahan yang tidak beririgasi,

memerlukan curah hujan ideal sekitar 85-200 mm/bulan selama masa pertumbuhan.

Suhu yang dikehendaki tanaman jagung untuk pertumbuhan terbaiknya antara 27-320C.

Pada proses perkecambahan benih, jagung memerlukan suhu sekitar 300C

(24)

Secara umum tanaman jagung dapat tumbuh di dataran tinggi ±1300 m dpl.

Panen pada musim kemarau berpengaruh terhadap semakin cepatnya kemasakan biji

dan proses pengeringan biji di bawah sinar matahari (Rukmana, 1997).

Tanaman jagung menghendaki penyinaran matahari penuh. Di tempat- tempat

yang teduh, pertumbuhan tanaman jagung akan merana dan tidak mampu membentuk

buah (Najiyati dan Danarti, 1999).

Tanah

Tanah andosol banyak mengandung humus, tanaman jagung dapat tumbuh

dengan baik asalkan pH-nya memenuhi syarat. Demikian juga tanah latosol yang

mengandung bahan organik yang cukup banyak. Pada tanah berpasir pun tanaman

jagung bisa tumbuh dengan baik asalkan kandungan unsur hara yang ada di dalamnya

tersedia dan mencukupi. Pada tanah berat atau sangat berat, misalnya tanah grumosol,

jagung masih dapat tumbuh dengan baik asalkan drainase dan aerase diperhatikan.

Adapun tanah yang paling baik untuk ditanami jagung hibrida adalah tanah lempung

berpasir, lempung berdebu dan lempung (Warisno, 1998).

Tanaman jagung toleran terhadap reaksi keasaman tanah pada kisaran pH

5,5-7,0. Tingkat keasaman tanah yang paling baik untuk tanaman jagung adalah pada pH

6,8. Pada tanah yang memiliki keadaan pH 7,5 dan 5,7 produksi jagung cenderung turun

(Rukmana,1997).

Produksi jagung dapat berbeda antar daerah, terutama disebabkan oleh

perbedaan kesuburan tanah dan ketersediaan air , dan varietas yang ditanam. Variasi

(25)

yang berarti arkeologi spesifik memerlukan varietas yang spesifik untuk dapat

memperoleh produktivitas optimal (Iriany et all, 2008).

Adanya bentuk-bentuk yang berbeda dari suatu jenis tanaman terjadi akibat

tanggapan tanaman tersebut terhadap lingkungan tempat tumbuhnya

(Djafar et all ,1990).

Varietas

Varietas adalah individu tanaman yang memiliki sifat yang dapat dipertahankan

setelah melewati berbagai proses pengujian keturunan. Varietas berdasarkan teknik

pembentukannya dibedakan atas: varietas hibrida, varietas sintetik dan varietas

komposit (Mangoendidjojo, 2003).

Keragaman tanaman jagung pada tingkat umur yang berbeda akan

memperlihatkan pertumbuhan yang berbeda karena selain faktor genetik juga

dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Sutoro, 1988).

Apabila keragaman tanaman masih tetap timbul sekalipun bahan tanam

dianggap mempunyai susunan genetik yang sama (berasal dari jenis tanaman yang

sama) dan ditanam pada tempat yang sama, ini berarti cara yang diterapkan tidak

mampu menghilangkan perbedaan sifat dalam tanaman atau keadaan lingkungan atau

kedua-duanya, perbedaan susunan genetik merupakan salah satu faktor penyebab

keragaman penampilan tanaman. Hal ini menyatakan keragaman penampilan tanaman

akibat susunan genetik selalu mungkin terjadi sekalipun bahan tanam yang digunakan

(26)

Hibrida dibuat dengan mempersilangkan dua inbrida yang unggul. Karena itu

pembuatan inbrida unggul merupakan langkah pertama dalam pembuatan hibrida.

Varietas hibrida memberikan hasil yang lebih tinggi dari pada varietas bersari bebas

karena hibrida menggabungkan gen-gen dominan karakter yang diinginkan dari galur

penyusunnya, dan hibrida mampu memanfaatkan gen aditif dan non aditif. Varietas

hibrida memberikan keuntungan yang lebih tinggi bila di tanam pada lahan yang

produktivitasnya tinggi (Kartasapoetra, 1988).

Ada dua macam perbedaan antara individu organisme : (I) Perbedaan yang

ditentukan oleh keadaan luar, yaitu yang dapat ditelusuri dari lingkungan dan (II)

Perbedaan yang dibawa sejak lahir, yaitu yang dapat ditelusuri dari kebakaan. Suatu

fenotip (penampilan dan cara berfungsinya) individu merupakan hasil interaksi antara

genotip (warisan alami) dan lingkungannya. Walaupun sifat khas suatu fenotip tertentu

tidak dapat selamanya ditentukan oleh perbedaan fenotip atau oleh lingkungan, ada

kemungkinan perbedaan fenotip antara individu yang terpisahkan itu disebabkan oleh

perbedaan lingkungan atau perbedaan keduanya (Lovelles, 1989).

Karakter nilai duga heritabilitas tinggi menunjukkan bahwa faktor genetik lebih

berperan dalam menunjukkan variasi fenotip antar genotip dibandingkan dengan faktor

lingkungan. Seleksi untuk karakter yang demikian akan memiliki kemajuan genetik

yang lebih tinggi, karena sifat yang dikendalikan secara kuat dikendalikan oleh faktor

genetik (Moedjiono dan Mejaya, 1994)

Hasil maksimum dapat dicapai bila kultivar unggul menerima respons terhadap

kombinasi optimum dari air, pupuk dan praktek budidaya lainnya. Semua kombinasi in

(27)

Perbedaan susunan genetik merupakan salah satu faktor penyebab keragaman

penampilan tanaman. Program genetik yang akan diekspresikan pada suatu fase

pertumbuhan yang berbeda dapat diekspresikan pada berbagai sifat tanaman yang

mencakup bentuk dan fungsi tanaman yang menghasilkan keragaman pertumbuhan

tanaman. Keragaman penampilan tanaman akibat perbedaan susunan genetik selalu

mungkin terjadi sekalipun tanaman yang digunakan berasal dari jenis yang sama

(Sitompul dan Guritno, 1995).

Heritabilitas

Fenotip merupakan interaksi antara genotip dengan lingkungan. Ini berarti

bahwa besaran fenotip sebagian ditentukan oleh pengaruh genotip dan sebagian

pengaruh lingkungan. Untuk dapat menaksir peran genotip dan lingkungan dapat

dihitung melalui keragaman fenotip pada suatu populasi (Poespodarsono, 1988).

Heritabilitas didefinisikan sebagai proporsi keragaman yang disebabkan oleh

faktor genetis terhadap keragaman fenotip dari suatu populasi. Keragaman variasi dari

suatu populasi disebabkan oleh faktor genetis (V2g) dan faktor lingkungan (V2e)

(Hasyim, 1999).

Sesuai dengan komponen varian genetiknya, kemudian dibedakan adanya

heritabilitas dalam arti luas (broad sense heritability) dan heritabilitas dalam arti sempit

(narrow sense heritability). Heritabilitas dalam arti luas, merupakan perbandingan

antara varian genetik total dengan varian fenotip. Heritabilitas dalam arti sempit

merupakan perbandingan antara varian aditif dengan varian fenotip

(28)

Heritabilitas dapat diketahui apakah keragaman yang timbul oleh suatu karakter

didominasi oleh faktor genetik atau faktor lingkungan. Dengan demikian pemulia

tanaman dapat memperkirakan karakter yang akan memberikan respon terhadap usaha

perbaikan yang dilakukan yaitu karakter yang memiliki nilai heritabilitas tinggi

(Sjamsudin, 1990).

Nilai heritabilitas secara teoritis berkisar 0 sampai 1. Nilai 0 ialah bila seluruh

variasi yang terjadi disebabkan oleh faktor lingkungan, sedangkan nilai 1 ialah bila

seluruh variasi disebabkan oleh faktor genetik. Dengan demikian nilai heritabilitas

terletak pada kedua nilai ekstrim tersebut. seleksi akan sangat efektif pada tanaman

yang heritabilitasnya tinggi (Welsh, 1991).

Heritabilitas dinyatakan dengan persentase dan merupakan bagian pengaruh

genetik dari penampakan fenotip yang dapat diwariskan dari tetua kepada turunannya.

Heritabilitas tinggi menunjukkan varian genetik besar dan varian lingkungan kecil

(Crowder, 1997).Heritabilitas dapat diperbesar atau varian genotipe diperkecil

(Wahdan et al, 1996).

Keragaman sebagai akibat faktor lingkungan dan keragaman genetik umumnya

berinteraksi satu dengan yang lainnya dalam mempengaruhui penampilan fenotip

tanaman (Makmur 1992).

Pupuk Hayati

Pupuk hayati adalah pupuk berisi mikrobia yang diberikan ke dalam tanah untuk

meningkatkan pengambilan hara oleh tanaman dari dalam tanah dan udara. Umumnya

(29)

Keuntungan diperoleh oleh kedua pihak, tanaman inang mendapatkan tambahan unsur

hara yang diperlukan, sedangkan mikrobia mendapatkan bahan organik untuk aktivitas

dan pertumbuhannya. Mikrobia yang digunakan sebagai pupuk hayati (biofertilizer)

dapat diberikan langsung kedalam tanah disertakan dalam pupuk organik atau

disalutkan pada benih yang akan ditanam. Penggunaan yang menonjol dewasa ini

adalah mikrobia penambat Nitrogen (N) dan mikrobia untuk meningkatkan ketersediaan

Posfor (P) dalam tanah (Warta, 2007).

Pupuk hayati merupakan suatu bahan yang mengandung mikroorganisme

bermanfaat untuk meningkatkan kesuburan tanah dan kualitas hasil tanaman melalui

peningkatan aktivitas biologi yang akhirnya dapat berinteraksi dengan sifat-sifat fisik

dan kimia media tumbuh (tanah). Mikroorganisme yang umum digunakan ialah

mikrobia penambat N, pelarut Fosfat dan pemantap agregat (Subba Rao, 1982).

Pupuk hayati mempunyai perbedaan yang besar dibandingkan dengan pupuk

kimia yaitu respon tanaman yang lambat terhadap pemberian serta ketersediaan hara

yang tidak secara langsung. Penyediaan hara maupun dampak terhadap lingkungan.

Pupuk hayati memiliki ciri yaitu respon tanaman terhadap pemberian pupuk lambat,

tanaman target nya luas, penyediaan hara secara tidak langsung karena harus

bersimbiosis dengan tanaman inang dan proses dengan tanaman secara biologi

(Damanik dkk, 2009).

Tiens Golden Harvest adalah pupuk dengan bahan aktif Mikrobia Indegenous

asli Indonesia ramah lingkungan (tidak mengandung logam berat As, Pb, Cd dan

mikroba patogen, Salmonella SP) keuntungan dari Tiens Golden Harvest: biaya

(30)

menghemat sebesar 40-50 %, mengurangi timbulnya gulma pada tanaman, dapat

memecah pestisida dengan residu 0 %, penampilan tanaman lebih sehat dan segar,

kesuburan lahan terjaga

Azotobakter dapat mengasilkan hormon tumbuh dalam kompos mikrobial dan

melalui proses imbibisi masuk kedalam biji yang berkecambah. Hormon ini adalah

auksin dan IAA. IAA ini dapat diproduksi sebanyak 0,05-1,0 mikrogram/cairan kultur.

Selain IAA juga ditemukan adanya 20 mikrogram atau lebih ZPT /ml asam giberelat

ditambahkan kedalam sejumlah biji atau akar diperlukan dosis 5 mikrogram untuk

mendapatkan pengaruh kultur azotobakter. Dalam kaitannya dengan ZPT tanaman yang

berasosiasi dengan azospirilium diperoleh banyak keuntungan antara lain : karena

adanya suplai : hormon tumbuh seperti auksin, IAA dan giberelin yang diproduksi dalan

kondisi tertentu, auksin ini berfungsi memacu pembentukan akar, sehingga serapan akar

terhadap hara seperti N.P.K dan air diperluas.

Lahan Pasang Surut

Secara umun lahan pasang surut merupakan lingkungan pengendapan bahan

baru yang terbagi menjadi kelompok alluvial, kelompok marin dan kelompok kubah

gambut (Ananto et al., 2000). Sedangkan Widjaj-adhi dan Alihamsah (1998)

mengemukakan bahwa pada kelompok marin biasanya terdapat tanah yang menyerupai

pirit. Menurut Dent (1989) lingkungan yang tergenang oleh air salin atau air payau kaya

akan bahan organik yang berasal dari tumbuhan pantai seperti api-api, bakau, mangrove

dan nipah. Hal ini merupakan kondisi yang sesuai dengan nama pirit (cubic pyrite:

FeS2) dan merupakan sumber permasalahan pada lahan pasang usaha pertanian.

(31)

tinggi, terutama berpangkal pada terdapatnya lapisan pirit atau bahan sulfidik tersebut,

dan bila mengalami oksidasi akan menimbilkan proses pemasaman. Berdasarkan

jangkauan pasang surut payau/salin, zona pasang surut air tawar dan zona non pasang

surut atau rawa lebak (Widjaja Addi, 1992).

Selain dikelompokkan berdasarkan tipologi lahan maka lahan pasang surut

dikelompokkan berdasarkan jangkauan air pasang atau ketinggian muka air/genangan

yang dikenal dengan tipe luapan. Tipe luapan lahan pasang surut dibagi berdasarkan

siklus pasang bulanan menjadi tipe luapan A,B,C dan D (Ananto et al., 2000). Lahan

bertipe A selalu terluapi air pasang besar maupun kecil, baik pada musim kemarau,

sedangkan lahan bertipe B hanya terluapi air pasang pada saat musim hujan saja. Lahan

bertipe C tidak terluapi air pasang tetapi kedalaman muka air tanahnya kurang dari 50

cm, sedangkan lahan bertipe D seperti halnya tipe luapan C namun kedalaman airnya

lebih dari 50 cm.

Areal lahan dengan tipe lahan C dan D ini mencakup sekitar 60 % dari total

lahan yang sudah dibuka. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan

tanaman pangan pada areal lahan dengan tipe luapan C dan D adalah:

1. Munculnya racun dari oksidasi pirit (FeS2) dimana pada saat kering/musim

kemarau/persiapan lahan dengan cara pembakaran akan menyebabkan kondisi

tanah menjadi pecah dan O2 dari udara masuk kedalam lapisan pirit. Apabila

udara masuk ke lapisan ini maka akan terjadi oksidasi yang menghasilkan Fe+2

dan So4+ yang dapat meracuni tanaman dan kondisi tanah menjadi sangat

(32)

pangan seperti padi, jagung dan tanaman musim lainnya tidak bisa tumbuh

dengan baik dan akan terjadi kegagalan panen.

2. Akibat pembakaran pada daerah yang bergambut mengakibatkan terbentuknya

pasir semu yang tidak memiliki unsur hara sehingga tanaman semusim tidak

mampu tumbuh dengan baik dan tidak mampu berproduksi

3. Terjadinya serangan hama dan penyakit tikus angin dan penyakit Blast pada

tanaman pangan

4. Kondisi lahan yang tidak tergenangi dan lembab menyebabkan perkembangan

gulma Imperata cylindrica di areal itu menjadi cepat

(33)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan

Belawan dengan ketinggian tempat + 1 m di atas permukaan laut. Penelitian ini

dilaksanakan mulai Juli 2009 sampai dengan Oktober 2009.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih tanaman jagung

varietas hibrida yakni P12, Bisi 2 dan Jaya 1 sebagai objek pengamatan, pupuk dasar

(Urea, SP-36, KCl) dan pupuk hayati Golden Harvest sebagai perlakuan, insektisida

decis 2,5 EC untuk megendalikan hama, air untuk menyiram tanaman, tali plastik dan

bahan-bahan lain yang mendukung penelitian ini.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cangkul untuk membersihkan

lahan dari gulma dan sampah, timbangan analitik untuk menimbang kebutuhan pupuk

dasar dan untuk menimbang produksi tanaman, gelas ukur untuk aplikasi pupuk hayati,

gembor untuk menyiram tanaman, meteran untuk mengukur luas lahan dan tinggi

tanaman, alat tulis dan alat-alat lain yang mendukung pelaksanaan penelitian ini.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 2 faktor

perlakuan yaitu:

Faktor I : Varietas (V) yang terdiri dari 3 varietas hibrida, yaitu :

(34)

V2 = Bisi 2

V3 = Jaya 1

Faktor II : Pupuk (P) terdiri dari 3 kategori, yaitu:

P0 = kontrol (pupuk dasar)

P1 = 50 % pupuk dasar + pupuk hayati

P3 = Pupuk Hayati

Diperoleh kombinasi perlakuan sebanyak 9, yaitu :

V1P0 V2P0 V3P0

V1P1 V2P1 V3P1

V1P2 V2P2 V3P2

Jumlah ulangan (Blok) : 3 ulangan

Jumlah plot : 27 plot

Jarak tanam : 25 cm x 75 cm

Luas plot : 100 cm x 200 cm

Jumlah tanaman per plot : 12 tanaman

Jumlah sampel per plot : 2 tanaman

Jumlah tanaman sampel : 54 tanaman

Jumlah seluruh tanaman : 324 tanaman

Jarak antar blok : 50 cm

Jarak antar plot : 30 cm

Analisis Data

Data hasil penelitian dianalisis dengan sidik ragam dengan model linear aditif

(35)

Yijk = µ + ρi + αj + βk + (αβ)jk + εijk

i = 1,2,3 j = 1,2,3,4,5 k = 1,2,

Dimana:

Yijk : Hasil pengamatan pada blok ke-i akibat perlakuan varietas (V) ke-j dan

pengaruh pupuk (P) ke-k

µ : Nilai tengah

ρi : Efek dari blok ke-i

αj : Efek perlakuan varietas ke-j.

βk : Efek perlakuan pupuk ke-k.

(αβ)jk : Interaksi antara varietas ke-j dan pupuk ke-k.

εijk : Galat dari blok ke-i, varietas ke-j dan pupuk ke-k.

Jika dari hasil sidik ragam menunjukkan pengaruh yang nyata, maka dilanjutkan

dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf α = 5 %. Uji interaksi dilakukan dengan

uji simple effect.

Untuk menganalisis apakah hasil peubah amatan merupakan keragaman fenotip

disebabkan lingkungan atau genotip, maka digunakan heritabilitas

Dimana :

H2 : Nilai duga heritabilitas

σ2

(36)

σ2

: KT Error

Kriteria nilai heritabilitas menurut Standsfield (1991) adalah :

H tinggi > 0,5

H sedang = 0,2 – 0,5

(37)

PELAKSANAAN PENELITIAN

Persiapan Lahan

Lahan yang akan digunakan untuk penelitian terlebih dahulu dibersihkan dari

gulma dan sampah, lalu dilakukan pembuatan plot percobaan berukuran 100 cm x 200

cm, jarak antar ulangan 50 cm, jarak antar plot 30 cm dan jarak antar blok 50 cm

sebagai drainase. Tanah diolah dengan kedalaman 20 cm sampai tanah gembur.

Aplikasi Pupuk Dasar

Pupuk urea diberikan dua kali yaitu pada saat tanam dan pada saat tanaman

berumur 3 minggu setelah tanam dengan dosis pupuk urea 150 kg/ha, sedangkan pupuk

KCl dan pupuk TSP diberikan pada saat tanaman berumur 3 minggu dengan dosis

pupuk KCl 100 kg/ha dan pupuk TSP 100 kg/ha. Pemberian pupuk dilakukan secara

larikan.

Aplikasi 50 % Pupuk Dasar + Pupuk Hayati

Aplikasi 50 % pupuk dasar + pupuk hayati dilakukan sesuai dengan perlakuan

masing-masing. Pupuk urea diberikan 2 kali yaitu 1/3 pada saat tanam dan 2/3 pada saat

tanaman berumur 3 minggu dengan dosis 75 kg/ha, pupuk KCl 50 kg/ha dan pupuk TSP

100 kg/ha. Pemberian pupuk dilakukan secara larikan. Kemudian disusul pemberian

pupuk hayati 5 hari setelah pemberian pupuk dasar sebanyak 4 kali yaitu pada saat

tanaman berumur 10 HST (4 ml/tanaman), 20 HST (2 ml/tanaman), 30 HST (2

ml/tanaman) dan 40 HST (2 ml/tanaman). Aplikasi dilakukan dengan menggunakan

(38)

Aplikasi Pupuk Hayati

Aplikasi pupuk hayati diberikan sesuai dengan perlakuan

masing-masing. Pupuk hayati diberikan 4 kali yaitu pada saat tanaman berumur 10 HST (4

ml/tanaman), 20 HST (2 ml/tanaman), 30 HST (2 ml/tanaman) dan 40 HST (2

ml/tanaman). Aplikasi dilakukan dengan menggunakan gelas ukur.

Pemeliharaan Tanaman

Penjarangan

Penjarangan dilakukan saat tanaman berumur 1 mst. Penjarangan dilakukan

sehingga pada setiap lubang tanam hanya terdapat 1 tanaman.

Penyiraman

Penyiraman dilakukan pada pagi dan sore hari. Penyiraman dilakukan sesuai

dengan kondisi di lapangan.

Penyiangan dan Pembumbunan

Untuk menghindari persaingan antara gulma dan tanaman, maka dilakukan

penyiangan. Penyiangan gulma dilakukan secara manual untuk membersihkan gulma

atau dengan menggunakan cangkul untuk membersihkan gulma yang terdapat di areal

penelitian.

Pembumbunan dilakukan setelah tanaman berumur 2 mst. Pembubunan

(39)

Panen

Panen dilakukan dengan mengambil tongkol jagung dengan menggunakan

tangan. Kriteria panen adalah rambut tongkol telah berwarna hitam dan apabila biji

ditekan dengan kuku tidak meninggalkan bekas.

Pengeringan dan Pemipilan

Setelah panen, dilakukan pengeringan tongkol jagung selama ± 7 hari sehingga

biji kering dan dapat dipipil.

Pengamatan Parameter Tinggi Tanaman (cm)

Tinggi tanaman diukur mulai dari leher akar sampai dengan titik tumbuh

tertinggi tanaman dengan menggunakan meteran. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan

setiap minggu sejak tanaman berumur 2 MST hingga muncul bunga jantan.

Jumlah Daun (helai)

Jumlah daun dihitung dengan menghitung seluruh daun yang telah membuka

sempurna. Pengukuran jumlah daun dilakukan setiap minggu sejak tanaman berumur 2

MST hingga muncul bunga jantan.

Kelengkungan Daun

Kelengkungan daun diukur setelah muncul bunga jantan. Daun yang di ukur

kelengkungannya adalah daun yang ke-7. Kelengkungan daun dihitung dengan rumus:

(40)

Dimana : a = panjang daun

b =jarak antar pelepah daun dengan ujung daun dalam posisi melengkung

(Sutoro et al, 1988)

Jumlah Daun di Atas Tongkol (helai)

Jumlah daun dihitung setelah tongkol muncul. Jumlah daun yang dihitung

sampai daun yang telah membuka sempurna.

Umur Berbunga Jantan (hari)

Umur berbunga jantan dihitung pada saat bunga jantan setiap tanaman pertama

kali muncul.

Umur Berbunga Betina (hari)

Umur berbunga betina dihitung pada saat bunga betina setiap tanaman pertama

kali muncul.

Umur Panen (hari)

Umur panen dihitung pada saat dilakukannya pemanenan pada setiap tanaman.

Laju Pengisian Biji (hari)

Laju pengisian biji dihitung dengan rumus :

Jumlah Biji per Tongkol (biji)

Jumlah biji per tongkol dihitung pada semua tanaman sampel.

Berat Biji Pertongkol (gram)

(41)

Heritabilitas

Nilai heritabilitas dihitung pada setiap parameter yang diamati dan dilakukan

(42)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 6-68 diketahui bahwa varietas

berbeda nyata terhadap parameter tinggi tanaman pada 2 MST dan tinggi tanaman pada

3 MST, jumlah daun 2 MST, jumlah daun 4 MST, parameter jumlah daun diatas

tongkol, parameter umur berbunga betina, parameter umur panen, parameter jumlah biji

pertongkol dan berat biji pertongkol. Dan tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi

tanaman 4 MST, tinggi tanaman 5 MST, tinggi tanaman 6 MST, tinggi tanaman 7 MST,

parameter jumlah daun 3 MST, jumlah daun 5 MST, jumlah daun 6 MST dan jumlah

daun 7 MST, parameter kelengkungan daun, parameter laju pengisian biji, parameter

umur berbunga jantan dan jumlah baris pertongkol dan pupuk berbeda nyata hanya

terhadapjumlah daun 5 MST, parameter umur panen dan berat biji pertongkol

sedangkan interaksi antara varietas dan pupuk berpengaruh nyata terhadap parameter

umur berbunga betina, parameter jumlah biji pertongkol dan berat biji pertongkol.

Tinggi Tanaman (cm)

Hasil analisis sidik ragam tinggi tanaman pada Lampiran 6-23 dapat dilihat

bahwa varietas berbeda nyata pada 2 MST dan 3 MST sedangkan pupuk dan interaksi

antara varietas dan pupuk tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman.

Perbedaan tinggi tanaman dari varietas dan pupuk dari 2 MST sampai 7 MST

(43)

Tabel 1. Rataan tinggi tanaman (cm) dari varietas dan pupuk

Perlakuan Minggu Setelah Tanam

2 3 4 5 6 7

Keterangan : Angka yang diikuti oleh notasi huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur pada taraf 5 %

Dari Tabel 1 Dapat dilihat bahwa varietas menunjukkan perbedaan yang nyata

terhadap tinggi tanaman pada 2 MST dan 3 MST. Rataan tinggi tanaman tertinggi pada

varietas P-12 (228.64 cm) dan terendah pada varietas Bisi-2 (203.33 cm).

Rataan tinggi tanaman pada perlakuan pupuk adalah pada pupuk dasar

(225.38 cm) dan yang terendah adalah pada pupuk hayati (210.96 cm).

Jumlah Daun (helai)

Dari hasil sidik ragam jumlah daun pada Lampiran 24-41 dapat dilihat bahwa

varietas berbeda nyata terhadap jumlah daun pada 2 MST dan 4 MST sedangkan pupuk

berbeda nyata terhadap jumlah daun 5 MST dan interaksi antara varietas dan pupuk

tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun. Perbedaan jumlah daun dari varietas dan

(44)

Tabel 2. Rataan Jumlah Daun (helai) dari varietas dan Pupuk

Perlakuan Minggu Setelah Tanam

2 3 4 5 6 7

Keterangan : Angka yang diikuti oleh notasi huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur pada taraf 5 %

Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa varietas menunjukkan perbedaan yang nyata

terhadap jumlah daun pada 2 MST dan 4 MST. Rataan jumlah daun tertinggi terdapat

pada varietas Bisi-2 (14.28 helai) dan yang terendah terdapat pada varietas Jaya-1

(13.39 helai).

Rataan jumlah daun terbesar pada perlakuan pupuk adalah pada pemberian

pupuk dasar (13.89 helai) dan yang terkecil terdapat pada pemberian pupuk hayati

(13.44 helai).

Kelengkungan Daun

Dari analisis sidik ragam kelengkungan daun pada Lampiran 42-45 diketahui

bahwa varietas tidak berbeda nyata terhadap kelengkungan daun, pupuk tidak berbeda

nyata terhadap kelengkungan daun dan interaksi antara varietas dan pupuk tidak

berbeda nyata terhadap kelengkungan daun.

(45)

Tabel 3. Rataan Kelengkungan Daun dari Varietas dan Pupuk

Keterangan : Angka yang diikuti oleh notasi huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur pada taraf 5 %

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa rataan kelengkungan daun terbesar pada

varietas terdapat pada varietas Pioneer-12 (0.55) dan rataan kelengkungan daun

terendah terdapat pada varietas Jaya-1 (0.47).

Rataan kelengkungan daun terbesar pada perlakuan pupuk terdapat pada 50 %

pupuk dasar + pupuk hayati (0.54) sedangkan yang terkecil terdapat pada pemberian

pupuk hayati (0.47).

Jumlah Daun di Atas Tongkol (helai)

Dari hasil analisis sidik ragam jumlah daun di atas tongkol Lampiran 45-47

dapat diketahui bahwa varietas berbeda nyata terhadap jumlah daun di atas tongkol

sedangkan pupuk maupun interaksi antara varietas dengan pupuk tidak berbeda nyata

terhadap jumlah daun diatas tongkol.

Rataan jumlah daun di atas tongkol dari varietas dan pupuk dapat dilihat pada

Tabel 4

Tabel 4. Rataan Jumlah daun di Atas Tongkol (helai) dari varietas dan Pupuk

Perlakuan Pupuk Dasar 50 % P. Dasar +

(46)

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa rataan jumlah daun di atas tongkol tertinggi

terdapat pada varietas JAYA-1 (6,06) sedangkan yang terendah terdapat pada varietas

BISI-2 (5,50).

Rataan jumlah daun diatas tongkol yang terbesar terdapat pada pemberian

pupuk hayati (5.94 helai) dan yang terendah terdapat pada pemberian pupuk dasar

(5.67 helai).

Umur Berbunga Jantan (hari)

Hasil analisis sidik ragam umur berbunga jantan pada Lampiran 48-50 dapat

dilihat bahwa varietas tidak berbeda nyata terhadap umur berbunga jantan, pupuk tidak

berbeda nyata terhadap umur berbunga jantan dan interaksi antara varietas dan pupuk

juga tidak berbeda nyata terhadap umur berbunga jantan.

Rataan umur berbunga jantan dari varietas dan pupuk dapat dilihat pada

Tabel 5.

Tabel 5. Rataan Umur Berbunga Jantan (hari) dari Varietas dan Pupuk

Perlakuan Pupuk Dasar 50 % P. Dasar + P. Hayati P. Hayati Rata-rata

V1 (Pioneer-12) 56.33 56.50 56.17 56.33

V2 (Bisi-2) 56.33 56.67 55.83 56.28

V3 (Jaya-1) 56.33 56.17 56.67 56.39

Rata-rata 56.33 56.45 56.22

Keterangan : Angka yang diikuti oleh notasi huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur pada taraf 5 %

Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa rataan umur berbunga jantan tercepat terdapat

pada varietas Bisi-2 (56.28 hari) dan rataan umur berbunga jantan terlama terdapat pada

(47)

Rataan umur berbunga jantan tercepat pada perlakuan pupuk terdapat pada

pemberian pupuk hayati (56.22 hari) dan yang terlama pada pemberian 50 % pupuk

dasar + pupuk hayati (56.45 hari).

Umur Berbunga Betina (hari)

Dari hasil analisis sidik ragam umur berbunga betina pada Lampiran 51-53 dapat

dilihat bahwa varietas berbeda nyata terhadap umur berbunga betina, pupuk berbeda

nyata terhadap umur berbunga betina dan interaksi antara varietas dan pupuk tidak

berbeda nyata terhadap umur berbunga betina.

Rataan umur berbunga betina dari varietas dan pupuk dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Rataan Umur Berbunga Betina (hari) pada Varietas dan Pupuk

Perlakuan Pupuk Dasar 50 % P. Dasar +

Keterangan : Angka yang diikuti oleh notasi huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur pada taraf 5 %

Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa rataan umur berbunga betina yang tercepat

terdapat pada perlakuan varietas terdapat pada varietas Pioneer-12 (58.95 hari) dan yang

terlama terdapat pada varietas Bisi-2 (59.56 hari)

Rataan umur berbunga betina yang tercepat terdapat pada perlakuan pupuk

adalah pada pemberian pupuk hayati (59.00 hari) dan yang terlama pada pemberian

(48)

Untuk parameter umur berbunga betina yang paling responsif terhadap

pemberian pupuk dasar adalah varietas Bisi-2 (60.17 hari), varietas Bisi-2 pada

pemberian 50 % pupuk dasar + pupuk hayati (59.83) sedangkan varietas Jaya-1 (59.33)

pada pemberian pupuk hayati.

Diagram pengaruh interaksi antara varietas dan pupuk pada umur berbunga

betina dapat dilihat pada Gambar 1.

57,50

Gambar 1. Diagram Umur Berbunga Betina dari Varietas dan Pupuk

Umur Panen (hari)

Dari hasil analisis data sidik ragam umur panen pada Lampiran 54-56 dapat

diketahui bahwa varietas berbeda nyata terhadap umur panen, pupuk berbeda nyata

terhadap umur panen sedangkan interaksi antara varietas dan pupuk belum berbeda

(49)

Rataan umur panen dari varietas dan pupuk dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Rataan Umur Panen (hari) dari Varietas dan Pupuk

Perlakuan Pupuk Dasar 50 % P. Dasar

+ P. Hayati P. Hayati Rata-rata BNJ.05=1.05

V1 (Pioneer-12) 97.17 95.00 96.00 96.05a

V2 (Bisi-2) 97.17 96.17 97.17 96.84b

V3 (Jaya-1) 96.00 97.17 98.17 97.11c

Rata-rata 94.78a 96.11ab 97.17bc

BNJ.05=1.05

Keterangan : Angka yang diikuti oleh notasi huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur pada taraf 5 %

Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa rataan umur panen tercepat pada perlakuan

varietas adalah pada varietas Pioneer-12 (96.05 hari) dan yang terlama pada varietas

Bisi-2 (97.11 hari).

Rataan umur panen tercepat pada perlakuan pupuk adalah pada pemberian

pupuk dasar (94.78 hari) dan yang terlama pada pemberian pupuk hayati (97.17 hari).

Laju Pengisian Biji (gram/hari)

Dari hasil analisis sidik ragam laju pengisian biji pada Lampiran 57-59 dapat

diketahui bahwa varietas berbeda nyata terhadap jumlah daun di atas tongkol sedangkan

pupuk maupun interaksi antara varietas dengan pupuk tidak berbeda nyata terhadap

jumlah daun diatas tongkol.

Rataan laju pengisian biji (gram/hari) pada varietas dan pupun dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Laju Pengisian Biji (gram/hari)

Perlakuan Pupuk Dasar 50 % P. Dasar + P. Hayati P. Hayati Rata-rata

V1 (Pioneer-12) 3.68 4.31 3.53 3.84

V2 (Bisi-2) 3.79 3.25 3.34 3.46

V3 (Jaya-1) 3.87 3.29 2.84 3.33

Rata-rata 3.78 3.62 3.24

(50)

Dari Tabel 8 dapat diketahui bahwa rataan laju pengisian biji terbesar pada

perlakuan varietas adalah terdapat pada varietas Pioneer-12 (3.84 gr/hari) dan yang

terkecil terdapat pada varietas Jaya-1 (3,33 gr/hari).

Rataan laju pengisian biji pada perlakuan pupuk yang terbesar adalah pada

pemberian pupuk dasar (3.78 gr/hari), dan yang terkecil terdapat pada pemberian pupuk

hayati (3.24 gr/hari).

Jumlah Baris Pertongkol (baris)

Dari hasil analisis sidik ragam jumlah baris pertongkol pada Lampiran 60-62

diketahui bahwa varietas tidak berbeda nyata terhadap jumlah baris pertongkol, pupuk

tidak berbeda nyata terhadap jumlah baris pertongkol dan interaksi antara varietas dan

pupuk tidak berbeda nyata terhadap jumlah baris pertongkol.

Rataan jumlah baris pertongkol pada varietas dan pupuk dapat dilihat pada

Tabel 9.

Tabel 9. Rataan Jumlah Baris Pertongkol (baris)

Perlakuan Pupuk Dasar 50 % P. Dasar + P. Hayati P. Hayati Rata-rata

V1 (Pioneer-12) 13.50 12.67 13.83 13.33

V2 (Bisi-2) 12.25 14.75 13.83 13.61

V3 (Jaya-1) 13.30 14.00 13.83 13.71

Rata-rata 13.02 13.81 13.83

Keterangan : Angka yang diikuti oleh notasi huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur pada taraf 5 %

Dari Tabel 9 dapat diketahui bahwa rataan jumlah baris pertongkol terbanyak

pada perlakuan varietas terdapat pada varietas Jaya-1 (13.71 baris) dan yang terendah

(51)

Rataan jumlah baris tertinggi pada perlakuan pupuk terdapat pada pemberian

pupuk hayati (13.83 hari) sedangkan yang terendah pada pemberian pupuk dasar (13.02

baris).

Jumlah Biji Pertongkol (biji)

Dari hasil analisis sidik ragam jumlah biji pertongkol pada Lampiran 63-65

dapat diketahui bahwa varietas berbeda nyata terhadap jumlah biji pertongkol, pupuk

berbeda tidak nyata terhadap jumlah biji pertongkol sedangkan interaksi antara varietas

dan pupuk berbeda nyata terhadap jumlah biji pertongkol.

Rataan jumlah biji pertongkol dari varietas dan pupuk dapat dilihat pada

Tabel 10.

Tabel 10. Rataan Jumlah Biji Pertongkol (biji) pada Varietas dan Pupuk

Perlakuan Pupuk Dasar 50 % P. Dasar

+ P. Hayati P. Hayati Rata-rata BNJ.05=18.51 V1 (Pioneer-12) 265.33a 271.50a 279.83b 272.22a

V2 (Bisi-2) 304.83c 303.83c 344.00c 317.55c

V3 (Jaya-1) 291.83b 290.67b 254.50a 279.00b

Rata-rata 287.33 288.67 208.78

BNJ.05=32.05

Keterangan : Angka yang diikuti oleh notasi huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur pada taraf 5 %

Pada Tabel 10 dapat diketahui bahwa rataan jumlah biji pertongkol pada

perlakuan varietas terdapat pada varietas Bisi-2 (317.55 biji) dan yang terendah terdapat

pada Pioneer-12 (288.67 biji).

Rataan jumlah biji pertongkol tertinggi pada perlakuan pupuk terdapat pada

pemberian pupuk 50 % pupuk dasar + pupuk hayati (288.67 biji) dan yang terendah

(52)

Diagram pengaruh interaksi antara varietas dan pupuk pada jumlah biji

pertongkol dapat dilihat pda Gambar 2.

0,00

Gambar 2. Diagram Jumlah Biji Pertongkol dari Varietas dan Pupuk Berat Biji Pertongkol (gram)

Dari hasil analisis sidik ragam berat biji pertongkol pada Lampiran 66-68 dapat

diketahui bahwa varietas berbeda nyata terhadap berat biji pertongkol, pupuk berbeda

nyata terhadap berat biji pertongkolan interaksi antara varietas dan pupuk juga berbeda

nyata terhadap berat biji pertongkol.

Rataan berat biji pertongkol dari varietas dan pupuk dapat dilihat pada

Tabel 11.

Tabel 11. Rataan Berat Biji Pertongkol dari Varietas dan Pupuk

Perlakuan Pupuk Dasar 50 % P. Dasar

(53)

Dari Tabel 11 dapat diketahui bahwa rataan terbesar berat biji pertongkol pada

perlakuan varietas adalah pada varietas Bisi-2 (91.73 gram) dan yang terkecil pada

varietas Pioneer-12 (61.49 gram).

Rataan berat biji pertongkol terbesar pada perlakuan pupuk adalah pada

pemberian pupuk dasar (82.50 gram) dan yang terkecil adalah pada pemberian 50 %

pupuk dasar + pupuk hayati (78.79 gram).

Untuk parameter berat biji pertongkol yang paling responsif pada pemberian

pupuk dasar adalah pada varietas Bisi-2 (91.12 gram), varietas Bisi-2 pada pemberian

50% pupuk dasar + pupuk hayati dan pada varietas Bisi-2 (87.03 gram) pada pemberian

pupuk hayati. Dari sembilan kombinasi perlakuan yang terbaik adalah pada V2P0

(97.03 gram) yaitu Bisi-2 pada pemberian pupuk dasar.

0,00

Gambar 3. Diagram Berat Biji Pertongkol dari Varietas dan Pupuk Heritabilitas

Nilai heritabilitas (h2) untuk masing-masing parameter yang diamati dapat

(54)

Tabel 12. Nilai heritabilitas pada masing-masing parameter

Parameter Nilai heritabilitas Kriteria

Tinggi Tanaman 0.02 Rendah

Jumlah Daun 0.28 Sedang

Kelengkungan daun 0.00 Rendah

Jumlah Daun di Atas Tongkol 0.33 Sedang

Umur Berbunga Jantan 0.14 Rendah

Umur Berbunga Betina 0.56 Tinggi

Umur Panen 0.69 Tinggi

Laju Pengisian Biji 0.14 Rendah

Jumlah Baris Pertongkol 0.18 Rendah

Jumlah Biji Pertongkol 0.85 Tinggi

Bobot Biji Pertongkol 0.31 Sedang

Pembahasan Karakter Vegetatif

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa faktor varietas berpengaruh nyata

terhadap tinggi tanaman pada 2 MST dan 3 MST, jumlah daun 2 MST dan 4 MST,

jumlah daun di atas tongkol tetapi tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap

tinggi tanaman pada 4 MST, 5 MST, 6 MST dan 7 MST, jumlah daum pada 3 MST, 5

MST, 6 MST dan 7 MS, jumlah daun pada 4 MST, 5MST, 6 MST dan 7 MST serta

kelengkungan daun, sedangkan interaksi antara varietas dan pupuk tidak menunjukkan

pengaruh yang nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, kelengkungan daun dan

(55)

Varietas berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada 2 MST dan 3 MST

sedangkan pada 4 MST s/d 7 MST tidak berpengaruh nyata dimana dilihat bahwa

terjadi keragaman tanaman jagung pada 2 MST dan 3 MST yaitu pertumbuhan yang

berbeda-beda setiap individu tanaman walaupun memiliki kesamaan akan varietas. Hal

ini terjadi karena adanya faktor lingkungan yang mempengaruhi fase-fase pertumbuhan.

Hal ini didukung oleh Sutoro dkk (1988) yang menyatakan bahwa keragaman tanaman

jagung pada tingkat umur yang berbeda akan memperlihatkan pertumbuhan yang

berbeda karena selain faktor genetik juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

Varietas menunjukan pengaruh yang nyata terhadap jumlah daun pada 2 MST

dana 4 MST sedangkan pada 3 MST, 5 MST s/d 7 MST varietas tidak menunjukan

pengaruh yang nyata terhadap jumlah daun. Hal ini dapat dipengaruhi oleh tinggi

tanaman dimana tinggi tanaman tertinggi adalah varietas Pioneer-12 (14.28 helai)

sedangkan yang terendah adalah varietas Bisi-2 (13.39 helai). Setiap varietas memiliki

bentuk, jumlah dan ukuran daun yang berbeda. Hal ini sesuai dengan Warisno (1998)

jumlah daun tiap tanaman bervariasi antara 8-40 helai. Menurut Najiyati dan Danarti

(1999) karateristik jumlah daun untuk kebanyakan kultivar jagung berjumlah antara

14-21 helai, tinggi dan kedewasaan jagung sangat erat hubungannya dengan jumlah daun.

Varietas menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap jumlah daun di atas

tongkol. Jumlah daun di atas tongkol tertinggi terdapat pada varietas Jaya-1 (6.06 helai)

dan tidak berbeda dengan varietas Bisi-2 (5.83 helai) yang berpengaruh nyata pada

bobot biji pertongkol yang tinggi. Hal ini berarti jumlah daun di atas tongkol

mempunyai peranan penting dalam peningkatan produksi yang dihubungkan dengan

(56)

mengekspresikan bentuk kanopi, selanjutnya akan menentukan banyaknya intersepsi

cahaya yang terkait dengan laju fotosintesis tanaman. Pola distribusi daun dapat berupa

sudut daun, kelengkungan daun dan jumlah daun terutama jumlah daun di atas tongkol.

Varietas menunjukan pengaruh yang tidak nyata pada kelengkungan daun.

Kelengkungan daun merupakan nisbah antara panjang daun dengan jarak antara pelepah

daun dan ujung daun dalam posisi melengkung. Diperoleh bahwa adanya keseragaman

pertumbuhan pada masing-masing tanaman, hal ini diduga karena karakter diduga

memiliki genetik yang seragam terhadap karakter tersebut sehingga yang menyebabkan

perbedaan adalah faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang paling berpengaruh yaitu

kesuburan tanah dan cahaya matahari. Hal ini didukung Iriany et al (2008) yang

menyatakan bahwa produksi jagung dapat berbeda antar daerah, terutama disebabkan

oleh perbedaan kesuburan tanah dan ketersediaan air.

Pupuk maupun interaksi antara varietas dan pupuk tidak memberikan pengaruh

yang nyata terhadap pertumbuhan vegetatif. Hal ini dapat disebabkan oleh pengaruh

lingkungan. Dimana lingkungan tumbuh jagung dalam penelitian ini berada pada lahan

pasang surut tipe C yaitu lahan yang tidak terluapi oleh air pasang, baik pasang besar

maupun pasang kecil dan kedalaman air tanahnya kurang dari 50 cm dari permukaan

tanah. Lahan pasang surut memiliki banyak kendala yaitu tingkat kesuburan yang

rendah dan tingkat kelarutan mineral Al dan Fe yang masih tinggi sehingga

mempengaruhi ketersediaan fosfat dalam tanah. Pemberian pupuk hayati Tiens Golden

Harvest belum dapat mengatasi masalah tersebut pada pertumbuhan vegetatif karena

karena pada dasarnya pemberian pupuk hayati memberikan respon yang lambat. Hal ini

(57)

perbedaan yang besar dibandingkan dengan pupuk kimia yaitu respon tanaman yang

lambat terhadap pemberian serta ketersediaan hara yang tidak secara langsung.

Pertumbuhan Generatif

Varietas menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap umur berbunga betina,

umur panen, jumlah biji pertongkol dan tidak berpengaruh nyata terhadap umur

berbunga jantan. Pupuk menujukan pengaruh yang nyata terhadap umur panen dan berat

biji pertongkol sedangkan interaksi antara varietas dan pupuk memberikan pengaruh

yang nyata terhadap umur berbunga betina, jumlah biji pertongkol, berat biji

pertongkol.

Varietas memberikan pengaruh yang nyata terhadap umur berbunga betina.

Umur berbunga betina tercepat terdapat pada varietas Pioneer-12 (58.95 hari)

sedangkan yang terlama terdapat pada varietas Bisi-2 (59.56 hari). Ini menunjukan

bahwa terjadinya keragaman padahal pada deskripsi tanaman varietas Pioneer-12

maupun varietas Bisi-2 memiliki umur berbunga betina yang tidak jauh berbeda namun

pada hasil penelitian memberikan perbedaan yang nyata hal ini dapat disebabkan oleh

perbedaan susunan genetik yang berada pada masing-masing varietas. Hal ini didukung

Sitompul dan Guritno (1995) yang menyatakan bahwa perbedaan susunan genetik

merupakan salah satu faktor penyebab keragaman penampilan tanaman.

Varietas memberikan pengaruh yang nyata terhadap umur panen. Panen tercepat

terdapat pada varietas Pioneer-12 (96 hari) sedangkan yang terlama terdapat pada

Jaya-1 (98.Jaya-17 hari). Pada deskripsi Pioneer-Jaya-12 memiliki umur panen + 92 hari sedangkan

(58)

diduga oleh adanya perbedaan susunan genetik pada setiap varietas walaupun dalam

satu varietas yang sama namun memberikan penampilan yang berbeda. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Sitompul dan Guritno (1995) bahwa keragaman penampilan

tanaman akibat susunan genetik selalu mungkin terjadi sekalipun bahan tanam yang

digunakan berasal dari jenis yang sama.

Varietas berpengaruh nyata terhadap jumlah biji pertongkol dan berat biji

pertongkol. Jumlah biji tertinggi terdapat pada varietas Bisi-2 (317.55 biji) sedangkan

yang terendah terdapat pada varietas Pioneer-12 (272.22 biji), sedangkan berat biji

terbesar terdapat pada varietas Bisi-2 (91.73 gram) dan yang terendah terdapat pada

varietas Pioneer-12 (61.49 gram). Hal ini menujukkan bahwa terdapat perbedaan yang

besar antara kedua varietas. Dari kedua pengamatan tersebut dapat dilihat adanya

perbedaan, perbedaan ini disebabkan oleh sifat genetic dan karateristik dari

masing-masing varietas yang ditanam. Perbedaan yang timbul juga dapat disebabkan oleh

kemampuan adaptasi dari masing-masing varietas berbeda terhadap lingkungannya.

Menurut Djafar at all (1990) yang menyatakan bahwa adanya bentuk-bentuk yang

berbeda dari suatu jenis tanaman terjadi akibat tanggapan tanaman tersebut terhadap

lingkungan tempat tumbuhnya.

Dari analisis statistik diperoleh bahwa perlakuan pupuk berbeda nyata terhadap

umur panen, berat biji pertongkol. Pada umur panen dapat dilihat bahwa pemberian

pupuk dasar (Po) lebih cepat panen dibandingkan dengan pemberian 50 %

pupuk dasar + pupuk hayati maupun hanya pemberian pupuk hayati saja yaitu pada

94.78 hari demikian juga dengan berat biji pertongkol yang paling besar yaitu pada

(59)

hayati belum optimal. Damanik dkk (2009) menyatakan bahwa pupuk hayati

mempunyai perbedaan yang besar dibandingkan dengan pupuk kimia baik ditinjau dari

respon terhadap tanaman, penyediaan hara maupun dampak terhadap lingkungan. Pupuk

hayati memiliki ciri yaitu respon tanaman terhadap pemberian pupuk lambat, tanaman

targetnya luas, penyediaan hara secara tidak langsung karena harus bersimbiosis dengan

tanaman inang dan proses dengan tanaman secara biologi. Sedangkan pemberian pupuk

dasar merupakan syarat utama dalam budidaya jagung yaitu pupuk Urea, TSP dan KCL

sesuai dengan dosis anjuran pemakaian pupuk untuk tanaman jagung.

Interaksi antara varietas dan pupuk memberikan pengaruh yang nyata adalah

pada parameter umur berbunga betina, jumlah biji pertongkol dan berat biji pertongkol.

Pada umur berbunga betina kombinasi yang paling baik antara varietas dan pupuk untuk

berbunga betina adalah pada kombinasi V3P2 (Jaya-1 dengan pemberian pupuk hayati),

pada parameter jumlah biji pertongkol kombinasi yang lebih baik adalah V2P2 (Bisi-2

dengan pemberian 50% pupuk dasar + pupuk hayati) sedangkan pada berat biji

pertongkol kombinasi perlakuan yang lebih baik adalah V2P0 (Bisi-2 dengan pemberian

pupuk dasar. Berdasarkan hal tersebut dapat ketahui bahwa tidak ada yang mendominasi

perlakuan mana yang terbaik untuk budidaya jagung hibrida di lahan pasang surut hal

ini dapat diakibatkan belum stabilnya sifat tanah pada lahan pasang surut karena

banyaknya kendala yang dihadapi untuk menanam jagung di lahan pasang surut

walaupun dengan pemberian pupuk hayati. Adisarwanto dan Widyastuti (2002)

menyatakan bahwa masalah utama yang dihadapi untuk budidaya tanaman pangan

Gambar

Tabel 1. Rataan tinggi tanaman (cm) dari varietas dan pupuk
Tabel 2. Rataan Jumlah Daun (helai) dari varietas dan Pupuk
Tabel 4 Tabel 4. Rataan Jumlah daun di Atas Tongkol (helai) dari varietas dan Pupuk
Tabel   5. Rataan Umur Berbunga Jantan  (hari) dari Varietas dan Pupuk
+7

Referensi

Dokumen terkait

Variabel penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data tentang penggunaan media audio midi sebagai upaya peningkatan teknik vokal dalam materi bernyanyi

Penelitian ini berjudul “ Pelaksanaan Kantor Pelayanan Pajak Dalam Melaksanakan Penagihan Pajak (Studi di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Candisari Semarang) yang

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan pengaruh tingkat pendidikan orang tua terhadap motivasi belajar siswa di SMK Unggulan NU Mojoagung Jombang. Jenis penelitian ini

talam tergantung kepada jenis lagu yang dibawakan atau diJajikan. pada lagu imbauan dulang atau talam belum dimainkan berarti belum ada pengiring dari lagu imbauan

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul pengaruh model

Setelah melihat hasil penelitian yang telah dipaparkan, dapat ditarik kesimpulan bahwa peran kepala sekolah sebagai pendidik dalam meningkatkan kompetensi pedagogik

Untuk dimasa yang akan datang dalam pengangkutan kayu rakyat akan diberlakukan dokumen angkutan lain selain SKSHH yang di cap KR, yaitu Surat Keterangan Asal Usul (SKAU)

Proses diagnosa penyakit diikuti dengan tersedianya lebih dari satu pilihan yang memenuhi kriteria tertentu adalah termasuk permasalahan fuzzy logic, fuzzy logic