• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Tanaman Kemangi (Ocimum americanum L.)

Ocimum americanum L. merupakan nama latin dari tanaman kemangi (Siemonsma, J.S & Piluek, K., 1994; Pitojo, 1996; Hadipoentyanti dan Wahyuni, 2008). Ocimum americanum L. tumbuh liar dan menyebar di seluruh wilayah tropis Asia dan Afrika (Siemonsma, J.S & Piluek, K., 1994; Shadia, Aziz, Omer, & Sabra, 2007).

Ocimum americanum termasuk kedalam genus ocimum famili lamiaceae

(Labiatae) telah digunakan sejak lama sebagai obat dan tumbuhan aromatik di banyak negara, antara lain Mesir, India, Yunani, Itali, Marocco dan negara lainnya (Shadia, Aziz, Omer, & Sabra, 2007; Hadipoentyanti dan Wahyuni, 2008). Lamiaceae adalah famili yang menghasilkan sejumlah besar taksa tanaman obat, terutama karena kaya akan kandungan minyak atsirinya (Heinrich, Barnes, Gibbons, & Wiliamson, 2010). Umumnya minyak atsiri terdapat di dalam kelenjar epidermis. Sebagian besar kelompok famili lamiaceae ini berupa herba atau semak pendek dengan batang muda sering bersudut empat (Heinrich, Barnes, Gibbons, & Wiliamson, 2010).

2.1.1 Taksonomi

Menurut ilmu tumbuh-tumbuhan tanaman kemangi termasuk dalam sistematika sebagai berikut:

a. Divisi : Spermatophyta

b. Sub-divisi : Angiospermae

c. Kelas : Dicotyledonae

d. Ordo : Amaranthaceae

e. Family : Lamiaceae atau Labiatae

f. Genus : Ocimum

g. Species : Ocimum americanum L.

Gambar 2.1. Tanaman Kemangi (Ocimum americanum L.)

Sumber : Koleksi pribadi

2.1.2 Sinonim

Ocimum americanum L. memiliki sinonim yaitu : Ocimum canum Sims,

Ocimum affricanum Lour, Ocimum brachiatum Blume (Siemonsma, J.S & Piluek, K., 1994; Hadipoentyanti dan Wahyuni, 2008).

2.1.3 Nama Daerah

Ocimum americanum di kenal dengan hoary basil, wild basil, dan lemon basil. Indonesia: kemangi, serawung, selasih putih. Malaysia: selaseh, kemangi, ruku-ruku. Thailand: Maenglak. Vietnam: rau h[us]ng (Siemonsma, J.S & Piluek, K., 1994; Pitojo, 1996).

2.1.4 Ekologi dan Penyebaran

Ocimum americanum L. tumbuh liar dan menyebar di seluruh wilayah tropis Asia dan Afrika. Tanaman asal dari Ocimum americanum L. belum diketahui. Tanaman ini tersebar di wilayah Asia Tenggara di belahan benua, di Indonesia dan Papua Nugini. Tanaman ini juga terkenal di wilayah tropis Amerika dan beberapa pulau diwilayah Hindia Barat. Tumbuh kurang dari 300 m di atas permukaan laut (Siemonsma, J.S & Piluek, K., 1994; Pitojo, 1996; Shadia, Aziz, Omer, & Sabra, 2007).

2.1.5 Morfologi

Ocimum americanum L. merupakan tanaman berbatang tegak, tinggi tanaman antara 0,3-0,6 m. Batang muda berwarna hijau dan setelah tua berwarna kecokelatan; tangkai daun berwarna hijau dan panjangnya antara 0,5-2 cm (Pitojo, 1996), bentuk batang mudanya persegi (Simoemonsma, J.S & Piluek, K., 1994). Pada batang terdapat bulu terutama pada tanaman muda (Hadipoentyanti & Wahyuni, 2008).

Daun Ocimum americanum berwarna hijau terang (Hadipoentyanti & Wahyuni, 2008), helaian daun berbentuk bulat telur, ujungnya meruncing, tampak menggelombang; pada sebelah menyebelah ibu tulang daun terdapat 3-6 tulang cabang; tepi daun sedikit bergerigi (Pitojo, 1994); terdapat bintik-bintik serupa kelenjar (Pitojo, 1996; Hadipoentyanti & Wahyuni, 2008).

Ocimum americanum berbunga semu terdiri dari 1-6 karangan bunga, berkumpul menjadi tandan; terletak di bagian ujung batang, cabang, atau ranting tanaman; panjang karangan bunga mencapai 25 cm dengan 20 kelompok bunga. Daun pelindung elips atau bulat telur, panjang antara 0,5-1 cm. Kelopak bunga hijau, berambut, di sebelah dalam lebih rapat dan bergigi tak beraturan. Daun mahkota berwarna putih, berbibir dua. Bibir atas bertaju 4, bibir bawah utuh (Pitojo, 1994). Tangkai kepala putik berwarna ungu, sedangkan tangkai kepala sari dan tepung sari berwarna putih (Pitojo, 1996), jumlah putik 1, sedangkan jumlah benang sari 4 (2 pendek, 2 panjang) (Martono, Hadipoentyanti, & Udamo, 2004; Hadipoentyanti & Wahyuni, 2008). Tangakai dan kelopak buah letaknya tegak, melekat pada sumbu dari karangan bunga. Biji buah Ocimum americanum

kecil, keras, berwarna kehitaman. Secara keseluruhan tandan bunga dan buah, tanpak hijau keputihan dan tidak mencolok (Pitojo, 1996).

2.1.6 Kandungan Kimia

Kandungan kimia pada Ocimum americanum L. antara lain, minyak atsiri, karbohidrat, alkaloid, senyawa fenolik, tanin, fitosterol, lignin, pati, saponin, flavonoid, terpenoid dan antrakuinon (Dhale., et al, 2010; Sarma dan Babu, 2011). Minyak atsiri pada Ocimum americanum L. mengandung komponen campor, limonene, methyl cinnamate dan linalool (Martono, hadipoentyanti, & Udarmo,

2004; Hadipoentyanti dan Wahyuni, 2008). Senyawa minyak atsiri yang paling utama pada O. americanum adalah kamfor, metil sinamat, dan sitral (Siemonsma, J.S & Piluek, K., 1994, Verma & Kotyal, 2012).

Menurut buku “Glossaary of indian medicinal Plants” kandungan kimia

utama dalam Ocimum americanum adalah minyak atsiri, flavonoid, dan polisakarida. Senyawa penyusun minyak atsiri yaitu metil sinamat, metilheptenon, metilnonilketon, d-camphor, citral, ocimin, metilchavicol, linalool, nevadensin, slavigenin, beta-sitosterol, betulinat, ursolat, asam oleonolat. Sedangkan flavonoids tersusun atas pectolinarigenin-7-metileter dan nevadensin. Polisakarida tersusun atas xylosa, arabinosa, rhamnosa, dan asam galakturonat (Sarma dan Babu, 2011).

2.1.7 Khasiat dan Kegunaan

Didalam pengobatan tradisional, O. americanum digunakan untuk pengobatan penyakit ringan dimasyarakat. Jamu-jamuan O. americanum yang direbus digunakan untuk obat batuk, daun yang dimemarkan kemudian di tempel diatas dahi dapat meringankan radang selaput lendir di hidung dan tenggorokan, sedangkan di tempel diatas dada dapat meringankan masalah pernapasan. Tanaman keseluruhan (herba) dapat digunakan pada saat mandi yang berkhasiat untuk pengobatan rematik, selain itu herba juga berhasiat untuk pengobatan batu ginjal (Siemonsma, J.S & Piluek, K., 1994).

Secara tradisional, biji kemangi dapat dimanfaatkan untuk membuat ramuan minuman penyegar dapat dimanfaatkan untuk menekan dahaga dan pendingin rasa perut, selain itu juga dapat digunakan untuk mengobati sembelit (Pitojo, 1996). Daun kemangi digunakan untuk mengobati demam, peluruh air susu kurang lancar, dan rasa mual. Biji kemangi di gunakan untuk mengobati sembelit (Pitojo, 1996).

Penelitian tentang aktivitas biologi herba kemangi (Ocimum

americanum/canum) juga banyak di laporkan. Pada ekstrak Ocimum americanum

memiliki aktivitas sebagai analgesik dan anti-inflamasi (Behera, Baidya, Satish, Bilal, & Panda, 2011), antioksidan yang dapat mencegah ischemia (Behera,

Panigrahi, Babu, & Ramani, 2012), dan dapat melawan bakteri gram negatif dan gram positif (Dhale, Birari, & Dhulgande, 2010).

Pada minyak atsiri Ocimum americanum, di teliti memiliki memiliki aktivitas dapat melawan mikroorganisme oral (S. Thaweboon & B. Thaweboon), Agrotis ipsilon (Lepidoptera : Noctuide) (Shadia, El-Aziz, Omer, & Sabra, 2007), dapat digunakan sebagai insektisida nabati yang dapat melawan hama padi, dan dapat digunakan sebagai alat antifungi yang aman yang dapat berfungsi sebagai parameter indikasi percobaan fungi yang bersifat patogen (Verma & Kothiyal, 2012).

2.2 Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).

Menurut “Materia Medika Indonesia” simplisia dibedakan menjadi tiga, yaitu; simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia pelican (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan ialah isi sel yang secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya, atau senyawa nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tumbuhannya dan belum berupa senyawa kimia murni (Depkes RI, 1995 dalam Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011).

2.3 Karakterisasi Simplisia

Simplisia sebagai produk hasil pertanian atau pengumpulan dari tumbuhan liar (wild crop) memiliki kandungan kimia yang tidak terjamin selalu konstan karena adanya variabel bibit, tempat tumbuh, iklim, kondisi (umur dan cara) panen, serta proses pasca panen dan preparasi akhir. Variasi kandungan senyawa dalam produk hasil panen tumbuhan obat disebabkan oleh beberapa aspek sebagai berikut (Depkes RI, 2000) :

1) Genetik (bibit)

3) Rekayasa agronomi (fertilizer, perlakuan selama masa tumbuh) 4) Panen (waktu dan pasca panen)

Besarnya variasi senyawa kandungan meliputi baik jenis ataupun kadarnya, sehingga timbul jenis (species) lain yang disebut kultivar (Depkes RI, 2000). Proses pemanenan dan preparasi simplisia merupakan proses yang dapat menentukan mutu simplisia dalam artian, yaitu komposisi senyawa kandungan, kontaminasi dan stabilitas bahan (Depkes RI, 2000).

Karakterisasi suatu simplisia mempunyai pengertian bahwa simplisia yang akan digunakan untuk obat sebagai bahan baku harus memenuhi persyaratan yang tercantum dalam monografi terbitan resmi Departemen Kesehatan (Materia Media Indonesia). Sedangkan sebagai produk yang langsung dikonsumsi (serbuk jamu dsb.) masih harus memenuhi persyaratan produk kefarmasian sesuai dengan peraturan yang berlaku (Depkes RI, 2000). Karakterisasi simplisia meliputi uji makroskopik, uji mikroskopik dan identifikasi simplisia (Depkes RI, 1995).

2.4 Ekstraksi

Ekstraksi suatu tanaman obat adalah pemisahan secara kimia atau fisika suatu bahan padat atau bahan cair dari suatu padatan, yaitu tanaman obat (Depkes RI, 2000). Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dibedakan menjadi dua cara yaitu ; cara dingin dan cara panas. Cara dingin terbagi menjadi dua yaitu; maserasi dan perkolasi, sedangkan cara panas terbagi menjadi empat jenis yaitu; refluks, soxhlet, digesti, infus, dan dekok (Depkes RI, 2000).

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar) (Depkes RI, 2000). Maserasi berasal dari bahasa latin macerase

berarti mengairi dan melunakkan. Maserasi merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana. Dasar dari maserasi adalah melarutnya bahan kandungan simplisia dari sel yang rusak, yang terbentuk pada saat penghalusan, ekstraksi (difusi) bahan kandungan dari sel yang masih utuh. Setelah selesai waktu maserasi, artinya keseimbangan antara bahan yang diekstraksi pada bagian dalam sel dengan yang masuk kedalam cairan, telah tercapai maka proses difusi segera berakhir (Voigt, 1994).

Selama maserasi atau proses perendaman dilakukan pengocokan berulang-ulang, upaya pengocokan ini dapat menjamin keseimbangan konsentrasi bahan ekstraksi yang lebih cepat didalam cairan. Sedangkan keadaan diam selama maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif. Secara teoritis pada suatu maserasi tidak memungkinkan terjadinya ekstraksi absolut. Semakin besar perbandingan simplisia terhadap cairan pengekstraksi, akan semakin banyak hasil yang diperoleh (Voigt, 1994).

Secara teknologi maserasi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya (Depkes RI, 2000).

2.5 Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 1995). Ada beberapa jenis ekstrak yakni: ekstrak cair, ekstrak kental dan ekstrak kering. Ekstrak cair jika hasil ekstraksi masih bisa dituang, biasanya kadar air lebih dari 30%. Ekstrak kental jika memiliki kadar air antara 5-30%. Ekstrak kering jika mengandung kadar air kurang dari 5% (Voigt, 1994).

Faktor yang mempengaruhi ekstrak yaitu faktor biologi dan faktor kimia. Faktor biologi meliputi: spesies tumbuhan, lokasi tumbuh, waktu pemanenan, penyimpanan bahan tumbuhan, umur tumbuhan dan bagian yang digunakan. Sedangkan faktor kimia yaitu: faktor internal (Jenis senyawa aktif dalam bahan, komposisi kualitatif senyawa aktif, komposisi kuantitatif senyawa aktif, kadar total rata-rata senyawa aktif) dan faktor eksternal (metode ekstraksi, perbandingan ukuran alat ekstraksi, ukuran, kekerasan dan kekeringan bahan, pelarut yang digunakan dalam ekstraksi, kandungan logam berat, kandungan pestisida) (Depkes RI, 2000).

Selain faktor yang mempengaruhi ekstrak, ada faktor penentu mutu ekstrak yang terdiri dari beberapa aspek, yaitu; kesahihan tanaman, genetik, lingkungan tempat tumbuh, penambahan bahan pendukung pertumbuhan, waktu panen, penangan pasca panen, teknologi ekstraksi, teknologi pengentalan dan pengeringan ekstrak, dan penyimpanan ekstrak (Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011).

2.6 Standardisasi

Standardisasi adalah rangkaian proses yang melibatkan berbagai metode analisis kimiawi berdasarkan data farmakologis, melibatkan analisis fisik dan mikrobiologi berdasarkan kriteria umum keamanan (toksikologi) terhadap suatu ekstrak alam (Saefudin et al., 2011).

Standardisasi secara normatif ditujukan untuk memberikan efikasi yang terukur secara farmakologis dan menjamin keamanan konsumen. Standardisasi obat herbal meliputi dua aspek :

1. Aspek parameter spesifik: berfokus pada senyawa atau golongan senyawa yang bertanggung jawab terhadap aktivitas farmakologis. Analisis kimia yang dilibatkan ditujukan untuk analisa kualitatif dan kuantitatif terhadap senyawa aktif.

2. Aspek parameter non spesifik: berfokus pada aspek kimia, mikrobiologi dan fisis yang akan mempengaruhi keamanan konsumen dan stabilitas missal kadar logam berat, aflatoksin, kadar air dan lain-lain.

2.7 Standardisasi Obat Herbal

Standardisasi obat herbal merupakan rangkaian proses melibatkan berbagai metode analisis kimiawi berdasarkan data farmakologis, melibatkan analisis fisik dan mikrobiologi bersadarkan kriteria umum keamanan (toksikologi) terhadap suatu ekstrak alam atau tumbuhan obat herbal (Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011).

Standardisasi dalam kefarmasian tidak lain adalah serangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait paradigma mutu kefarmasian, mutu dalam artian memenuhi syarat standar (kimia,

biologi dan farmasi), termasuk jaminan (batas-batas) stabilitas sebagai produk kefarmasian umumnya. Dengan kata lain, pengertian standardisasi juga berarti proses menjamin bahwa produk akhir obat (obat, ekstrak atau produk ekstrak) mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan dan ditetapkan terlebih dahulu. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi mutu ekstrak yaitu faktor biologi dari bahan asal tumbuhan obat dan faktor kandungan kimia bahan obat tersebut. Standardisasi ekstrak terdiri dari parameter standar spesifik dan parameter standar non spesifik (Depkes RI, 2000).

2.8 Parameter-parameter Standar Ekstrak

Parameter- parameter standar ekstrak terdiri dari parameter spesifik dan parameter non spesifik

2.8.1 Parameter Spesifik Ekstrak (Depkes RI, 2000)

Penentuan parameter spesifik adalah aspek kandungan kimia kualitatif dan aspek kuantitatif kadar senyawa kima yang bertanggung jawab langsung terhadap aktivitas farmakologis tertentu. Parameter spesifik ekstrak meliputi :

1. Identitas (parameter identitas ekstrak) meliputi : deskripsi tata nama, nama ekstrak (generik, dagang, paten), nama lain tumbuhan (sistematika botani), bagian tumbuhan yang digunakan (rimpang, daun dsb) dan nama Indonesia tumbuhan.

2. Organoleptis : Parameter organoleptik ekstrak meliputi penggunaan panca indera mendeskripsikan bentuk, warna, bau, rasa guna pengenalan awal yang sederhana se-objektif mungkin

3. Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu : melarutkan ekstrak dengan pelarut (alkohol/air) untuk ditentukan jumlah larutan yang identik dengan jumlah senyawa kandungan secara gravimetrik. Dalam hal tertentu dapat diukur senyawa terlarut dalam pelarut lain misalnya heksana, diklorometan, metanol. Tujuannya untuk memberikan gambaran awal jumlah senyawa kandungan

4. Uji kandungan kimia ekstrak : a. Pola kromatogram

Pola kromatogram dilakukan sebagai analisis kromatografi sehingga memberikan pola kromatogram yang khas. Bertujuan untuk memberikan gambaran awal komposisi kandungan kimia berdasarkan pola kromatogram (KLT, KCKT). (Depkes, 2000)

b. Kadar kandungan kimia tertentu

Suatu kandungan kimia yang berupa senyawa identitas atau senyawa kimia utama ataupun kandungan kimia lainnya, maka secara kromatografi instrumental dapat dilakukan penetapan kadar kandungan kimia tersebut. Instrumen yang dapat digunakan adalah densitometri, kromatografi gas, KCKT atau instrumen yang sesuai. Tujuannya memberikan data kadar kandungan kimia tertentu sebagai senyawa identitas atau senyawa yang diduga bertanggung jawab pada efek farmakologi. (Depkes, 2000)

2.8.2 Parameter Non Spesifik Ekstrak (DEPKES RI,2000)

Penentuan parameter non spesifik ekstrak yaitu penentuan aspek kimia, mikrobiologi dan fisis yang akan mempengaruhi keamanan konsumen dan stabilitas (Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011).

Parameter non spesifik ekstrak menurut buku “Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat” (Depkes RI, 2000), meliputi :

1. Bobot jenis

Parameter bobot jenis adalah masa per satuan volume yang diukur pada suhu kamar tertentu (250C) yang menggunakan alat khusus piknometer atau alat lainnya. Tujuannya adalah memberikan batasan tentang besarnya masa persatuan volume yang merupakan parameter khusus ekstrak cair sampai ekstrak pekat (kental) yang masih dapat dituang, bobot jenis juga terkait dengan kemurnian dari ekstrak dan kontaminasi (Depkes RI, 2000).

2. Kadar air

Parameter kadar air adalah pengukuran kandungan air yang berada didalam bahan, yang bertujuan untuk memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air dalam bahan (Depkes Ri, 2000).

3. Kadar abu

Parameter kadar abu adalah bahan dipanaskan pada temperatur dimana senyawa organik dan turunanya terdestruksi dan menguap. Sehingga tingga unsur mineral dan anorganik, yang memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak. Parameter kadar abu ini terkait dengan kemurnian dan kontaminasi suatu ekstrak (Depkes RI, 2000).

4. Sisa pelarut

Parameter sisa pelarut adalah penentuan kandungan sisa pelarut tertentu yang mungkin terdapat dalam ekstrak. Tujuannya adalah memberikan jaminan bahwa selama proses tidak meninggalkan sisa pelarut yang memang seharusnya tidak boleh ada (Depkes RI, 2000). Pengujian sisa pelarut berguna dalam penyimpanan ekstrak dan kelayakan ekstrak untuk formulasi (Putri, E., anggraeni, & Khairina, 2012).

5. Cemaran mikroba

Parameter cemaran mikroba adalah penentuan adanya mikroba yang patogen secara secara analisis mikrobiologis. Tujuannya adalah memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak boleh mengandung mikroba patogen dan tidak mengandung mikroba non patogen melebihi batas yang ditetapkan karena berpengaruh pada stabilitas ekstrak dan berbahaya (toksik) bagi kesehatan (Depkes RI, 2000).

6. Cemaran aflatoksin

Aflatoksin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh jamur. Aflatoksik sangat berbahaya karena dapat menyebabkan toksigenik (menimbulkan keracunan), mutagenik (mutasi gen), tertogenik (penghambatan pada pertumbuhan janin) dan karsinogenik (menimbulkan kanker pada jaringan) (Rustian, 1993 dalam Arifini, H., Anggraini, Handayani, & Rasyid). Jika ekstrak positif mengandung aflatoksin maka pada media pertumbuhan akan menghasilkan koloni berwarna hijau kekuningan sangat cerah (Saifudin, A., Rahayu, & Teruna, 2011).

7. Cemaran logam berat

Parameter cemaran logam berat adalah penetuan kandungan logam berat dalam suatu ekstrak, sehingga dapat memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung logam berat tertentu (Hg, Pb, Cd, dll) melebihi batas yang telah ditetapkan karena berbahaya bagi kesehatan (Depkes RI, 2000).

2.9 Uraian Instrumen

2.9.1 Spektroskopi Serapan Atom

Spektrometri merupakan suatu metode analisis kuantitatif yang pengukurannya berdasarkan banyaknya radiasi yang dihasilkan atau yang diserap oleh spesi atom atau molekul analit. Salah satu bagian dari spektrometri ialah Spektrometri Serapan Atom (SSA), merupakan metode analisis unsur secara kuantitatif yang pengukurannya berdasarkan penyerapan cahaya dengan panjang gelombang tertentu oleh atom logam dalam keadaan bebas (Skoog et al., 2004 dalam Arifiani, 2012).

Apabila cahaya dengan panjang gelombang tertentu dilewatkan pada suatu sel yang mengandung atom-atom bebas yang bersangkutan maka sebagian cahaya tersebut akan diserap dan intensitas penyerapan akan berbanding lurus dengan banyaknya atom bebas logam yang berada dalam sel (Underwood & Day, 2002).

Pada alat SSA terdapat dua bagian utama yaitu suatu sel atom yang menghasilkan atom-atom gas bebas dalam keadaaan dasarnya dan suatu sistem optik untuk pengukuran sinyal (Willard, Merritt, Dean, & Settle, 1988).

Pada prinsipnya mekanisme kerja dari SSA ini adalah atom-atom suatu logam diuapkan dalam suatu nyala dan serapannya pada suatu pita radiasi sempit yang dihasilkan oleh suatu lampu katode rongga. Kemudian, dilapisi dengan logam tertentu yang sedang ditentukan, setelah itu diukur (Watson, DG., 2010).

Dalam metode SSA, sebagaimana dalam metode spektrometri atomik yang lain, contoh harus diubah ke dalam bentuk uap atom. Proses pengubahan ini dikenal dengan istilah atomisasi, pada proses ini sampel diuapkan dan didekomposisi untuk membentuk atom dalam bentuk uap. Secara umum pembentukan atom bebas dalam keadaan gas melalui tahapan-tahapan sebagai berikut (Basset et al. 1994):

a. Pengisatan pelarut, pada tahap ini pelarut akan teruapkan dan meninggalkan residu padat.

b. Penguapan zat padat, zat padat ini terdisosiasi menjadi atom- atom penyusunnya yang mula-mula akan berada dalam keadaan dasar.

Beberapa atom akan mengalami eksitasi ke tingkatan energi yang lebih tinggi dan akan mencapai kondisi dimana atom-atom tersebut mampu memancarkan energy (Basset et al. 1994).

Aplikasi dalam penetapan kadar dengan menggunakan SSA ini, terutama sering digunakan dalam uji batas untuk logam-logam didalam obat sebelum dimasukan kedalam formulasi. Sampel biasanya dilarutkan dalam asam nitrat 0,1 M untuk menghindari pembentukan hidroksida logam dari logam berat, yang relative non-volatil dan menekan hasil bacaan SSA (Watson, DG., 2010).

2.9.2 Gas Chromatography Mass Spectrophotometry (GCMS)

Gas Chromatopraphy Mass Spectrophotometry atau kromatografi gas spektroskopi masa merupakan suatu kesatuan instrumen kromatografi gas dan spektroskopi masa (Willard, Merritt, Dean, & Settle, 1988).

Kromatografi adalah suatu metode pemisahan fisik, dimana komponen-komponen yang dipisahkan didistribusikan diantara dua fasa, salah satu fasa tersebut adalah suatu lapisan stasioner dengan permukaan yang luas, yang mengalir lembut di sepanjang landasan stasioner (Underwood & Day, 2002).

Kromatografi gas adalah metode pemisahan dan deteksi yang dinamis pada senyawa volatil organik dan beberapa senyawa anorganik. Kromatografi gas dapat memisahkan senyawa volatil dan semi volatil dengan resolusi yang baik, tetapi tidak dapat mengidentifikasi. Sedangkan spektroskopi massa dapat memberikan informasi struktural yang rinci pada berbagai senyawa sehingga mampu diidentifikasi dengan tepat. Prinsip kerja kromatografi gas melibatkan partisi dari gas terlarut antara gas mulia sebagai fase gerak dan cairan atau padatan sebagai fase diam, sedangkan spektrometri massa diperoleh dengan mengukur puncak dan massa yang tepat dari ion yang membentuk spektrum massa (Arifiani, 2012).

Penggunaan secara umum kromatografi gas spektrometri massa adalah untuk mengidentifikasi senyawa volatil organik dan semivolatil dalam campuran

kompleks, penentuan berat molekul dan terkadang komposisi unsur senyawa organik yang belum diketahui dalam campuran yang kompleks, penentuan struktur senyawa organik yang belum diketahui dengan pemcocokan spektrum yang terdapat pada spektroskopi massa. Kromatografi gas spektrometri massa dapat digunakan untuk identifikasi secara kualitatif dan secara kuantitatif untuk memastikan komponen senyawa dalam campuran yang kompleks. Untuk pengukuran kuantitatif didasarkan pada luas puncak dari kromatografi massa atau dari ion target yang diinginkan (Settle, 1997 dalam Arifiani, 2012).

Dokumen terkait