• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daging

Daging adalah semua jaringan hewan yang dapat dimakan oleh manusia serta semua produk hasil olahan yang dibuat dari jaringan tersebut (Aberle et al., 2001). Daging merupakan salah satu hasil ternak yang hampir tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, karena daging merupakan bahan pangan yang memiliki nilai gizi yang cukup tinggi terutama dalam pemenuhan protein dengan kandungan asam amino esensial yang cukup dan seimbang sehingga daging dapat memenuhi kecukupan gizi bagi yang mengkonsumsinya (Soeparno, 1994).

Daging merupakan sumber protein yang berkualitas tinggi, mengandung vitamin B dan mineral. Komposisi kimia daging dapat berbeda variasi tergantung pada spesies ternak, umur, jenis kelamin dan aktivitas ternak selama hidup. Secara umum komposisi kimia daging terdiri dari air dan bahan-bahan padat. Bahan padat daging terdiri dari nitrogen, mineral, garam dan abu, kurang lebih 20% dari semua bahan padat dalam daging adalah protein (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Menurut Aberle et al. (2001), komposisi kimia daging terdiri dari 75% air dengan kisaran 68-80%, protein 19% (16-22%), substansi non protein yang terlarut 3,5% serta lemak sekitar 2,5% (1,5-13,0%). Anderson (1988) menambahkan kandungan kalori daging sapi 147 kkal per 100 gram serta komposisi nutrisi daging sapi terdiri dari 71,60 g air, 20,94 g protein, 6,33 lemak, sedikit karbohidrat, vitamin dan mineral.

Protein merupakan komponen bahan kering yang terbesar dari daging (Soeparno, 1994). Protein dalam daging berdasarkan kelarutannya dibagi menjadi tiga bagian yaitu protein sarkoplasma yang larut dalam air, protein miofibril yang larut dalam garam dan protein yang tidak dapat larut dalam air maupun garam (Aberle et al., 2001). Kandungan lemak dalam daging dapat dipengaruhi oleh jenis ternak, umur, pakan, jenis kelamin dan aktivitas yang dilakukan oleh ternak sebelum dipotong (Lawrie, 1995). Air dalam daging dapat dibagi menjadi air bebas dan air terikat. Air bebas merupakan air yang terdapat pada permukaan sel yang mudah keluar dari jaringan dan biasanya membawa protein terlarut, sedangkan air terikat merupakan jenis air dalam makanan yang berubah menjadi air bebas pada saat titik isoelektrik tercapai (Winarno, 1997). Mineral atau abu dalam daging umumnya

terdiri dari kalsium, fosfor, zat besi magnesium, natrium, sulfur, klorin dan kalium. Sedangkan kandungan karbohidrat dalam daging umumnya rendah yaitu kurang dari 1% dari berat daging dan biasanya dalam bentuk glikogen (Aberle et al., 2001).

Lidah Sapi

Lidah terdiri atas suatu massa otot yang tertutup oleh membran mukosa. Otot

hioglosus melekat pada simfisis mandibel dan otot stiloglosus melekat sepanjang bagian dalam dari tulang tiohioid. Lidah tertutup oleh epitel squamous terstatra yang membentuk papila dalam jumlah banyak, khususnya bagian permukaan dorsalnya. Papila yang terdapat pada semua jenis ternak ialah yang disebut filliform, fungiform

dan circum valat (Frandson, 1992).

Lidah sapi adalah salah satu organ disamping beberapa organ ternak lain yang dapat dimakan (edible offals) yang dihasilkan dari proses pemotongan hewan. Sejak dahulu lidah sapi sangat disukai oleh masyarakat karena kelezatannya dengan cara dimasak, dibuat sate ataupun diolah lebih lanjut (Razali, 1999). Lidah sapi umumnya digunakan di daerah belahan Timur dan Barat. Lidah sapi dapat dinilai dari warna dan tingkat cacatnya, yaitu kerusakan potongan terhadap membran lidah dan bentuk fisik yang tidak normal (Campbell dan Kenney, 1994).

Komposisi kimia dari lidah sapi terdiri dari protein 16,4%; lemak 15,0%; air 68,0%; abu 0,9%; karbohidrat 0,4% dan energi 207,0 kalori per 100 gram (Schweigert, 1987). Menurut Campbell dan Kenney (1994), komposisi kimia lidah sapi terdiri dari air 65,5%; lemak 17,0%; protein 16,0% dan kandungan kalorinya 225 kal per 100 gram. Sepotong lidah sapi mengandung beberapa vitamin seperti tiamin, riboflavin, niasin, asam pantotenat, B6 dan asam askorbat. Lidah sapi juga mengandung beberapa mineral seperti kalsium, zat besi, mangan, fosfor, potasium, sulfur, seng dan tembaga (Anderson, 1988).

Lidah sapi memiliki kandungan kalori, lemak dan karbohidrat yang lebih tinggi dibandingkan daging sapi, sedangkan kandungan air dan proteinnya lebih rendah (Anderson, 1988). Komposisi nutrisi daging dan lidah sapi dalam 100 gram secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Nutrisi Daging dan Lidah Sapi dalam 100 gram Kandungan Daging Sapi Lidah Sapi

Kalori (kkal) 147 224 Air (g) 71,60 64,33 Protein (g) 20,94 14,90 Lemak (g) 6,33 16,09 Karbohidrat (g) 0,0 3,68 Vitamin Tiamin (mg) 0,11 0,125 Riboflavin (mg) 0,189 0,34 Niasin (mg) 3,60 4,24 Asam pantotenat (mg) 0,364 0,63 Vitamin B6 (mg) 0,43 0,31 Asam askorbat (mg) 0,0 3,1 Mineral Kalsium (mg) 6 6 Besi (mg) 2,27 2,95 Magnesium (mg) 23 16 Fosfor (mg) 201 133 Kalium (mg) 358 315 Natrium (mg) 63 69 seng (mg) 4,36 2,87 Tembaga (mg) 0,083 0,17 Mangan (mg) 0,014 0,026 Sumber : Anderson (1988) Definisi Sosis

Menurut Standar Nasional Indonesia 01-3020-1995, sosis adalah produk makanan yang diperoleh dari campuran daging halus (mengandung daging tidak kurang dari 75%) dengan penambahan tepung atau pati dengan atau tanpa penambahan bumbu dan dengan bahan tambahan makanan lainnya yang diizinkan dan dimasukkan ke dalam selongsong (Badan Standardisasi Nasional, 1995). Salah

terdiri dari kadar air, protein, lemak, abu dan karbohidrat (Badan Standardisasi Nasional, 1995). Syarat mutu sosis daging selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Syarat Mutu Sosis Daging Menurut SNI 01-3820-1995

Parameter Satuan Jumlah Air %bb Maks. 67,0

Protein %bb Min. 13,0 Abu %bb Maks. 3,0 Lemak %bb Maks. 25,0 Karbohidrat %bb Maks. 8,0

Sumber : Badan Standardisasi Nasional (1995)

Berdasarkan sistem United State Department of Agriculture (USDA), sosis dapat dikategorikan menjadi sosis mentah, sosis asap belum masak, sosis asap masak, sosis masak, sosis fermentasi dan meat loaf. Sosis mentah dibuat dari daging segar atau beku yang belum mengalami pemasakan, contohnya adalah bratwurst dan

breakfast sausage. Sosis asap belum dimasak pada dasarnya sama seperti sosis mentah tetapi dalam pembuatannya diaplikasikan pengasapan untuk mengembangkan warna dan cita rasa, contohnya kielbasa dan metwurst. Sosis asap masak contohnya frankfurters, bologna dan cotto salami. Sosis fermentasi dibuat dari daging segar yang difermentasi dengan penambahan starter bakteri, contohnya

cervelat, salami dan summer sausage. Meat loaf dibuat dari daging giling dan dibentuk ke dalam wadah untuk diproses dengan oven (Claus et al., 1994).

Sosis yang telah dikenal oleh masyarakat secara umum adalah produk daging giling yang dimasukkan ke dalam selongsong sehingga berbentuk bulat panjang dengan berbagai macam ukuran. Nama sosis di pasaran sering dikaitkan dengan nama tempat asal sosis itu dibuat (Rust, 1987). Sosis pada umumnya merupakan produk daging olahan yang berbentuk emulsi dimana lemak bertindak sebagai komponen atau zat yang teremulsi serta protein dan air sebagai komponen atau zat pengemulsi (Wilson et al., 1981).

Bahan-Bahan Pembuatan Sosis

Bahan baku pembuatan sosis umumnya terdiri dari bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama terdiri dari daging, lemak atau minyak, es dan garam. Bahan tambahan terdiri dari bahan pengisi, bahan pengikat, bumbu-bumbu dan bahan makanan lain yang diizinkan (Ridwanto, 2003).

Daging

Daging yang umumnya digunakan dalam pembuatan sosis adalah daging yang kurang nilai ekonomisnya, namun harus daging yang masih segar dan tidak banyak mengandung mikroba misalnya daging skeletal, daging leher, daging rusuk, daging dada serta daging tetelan (Soeparno, 1994). Daging yang digunakan untuk pembuatan sosis sebaiknya daging pre rigor, yaitu daging dengan pH sekitar 6,2-6,8 karena pH tersebut protein daging masih belum terlalu banyak yang terdenaturasi sehingga daya mengikatnya airnya masih bagus (Xiong dan Mikel, 2001).

Lemak atau Minyak

Lemak atau minyak dalam pembuatan sosis berfungsi untuk memberikan rasa lezat, mempengaruhi keempukan dan juiceness daging dari produk yang dihasilkan (Pearson dan Tauber, 1973). Penggunaan lemak cair akan menghasilkan emulsi yang kurang stabil bila dibandingkan dengan lemak hewan. Hal ini karena lemak cair mudah membentuk coalescence yaitu bergabungnya butiran-butiran lemak kecil menjadi butiran besar atau globula. Bentuk globula akan lebih sulit terselubungi dalam pembentukan emulsi sehingga emulsi yang terbentuk mudah pecah yang berakibat pada keluarnya minyak selama proses pemasakan sosis (Smith, 2001).

Es

Es atau air es merupakan salah satu bahan yang sangat diperlukan pada pembuatan sosis. Jumlah air yang umumnya ditambahkan dalam pembuatan sosis adalah 20-30% dari berat daging dan umumnya air yang ditambahkan dalam bentuk es (Aberle et al., 2001). Menurut Kramlich (1971), penambahan air dalam bentuk es bertujuan untuk dapat melarutkan garam serta mendistribusikannya secara merata ke seluruh bagian massa daging, memudahkan ekstraksi protein daging, membantu pembentukan emulsi dan mempertahankan suhu daging agar tetap rendah selama

Garam

Garam merupakan bahan tambahan bukan daging yang paling penting dalam proses pembuatan sosis, garam mempunyai peranan sebagai pemberi rasa, pengawet dan melarutkan protein myofibril, garam akan menyelimuti lemak dan mengikat air sehingga akan terbentuk emulsi yang stabil. Konsentrasi garam yang digunakan dalam berbagai produk sosis bervariasi tergantung asal pembuatan sosis tersebut, biasanya untuk sosis segar 1,5-2% (Rust, 1987). Menurut Savic (1985), jumlah garam yang ditambahkan tergantung pada jenis sosis terutama kadar lemaknya, biasanya berkisar antara 1,8-2,2% dari campuran sosis.

Bumbu-Bumbu

Bumbu adalah suatu substansi tumbuhan organik yang telah dikeringkan dan biasanya sudah dalam bentuk serbuk (Rust, 1987). Bumbu merupakan senyawa nabati yang dapat dimakan. Penambahan bumbu pada pembuatan sosis terutama ditujukan untuk menambah atau meningkatkan cita rasa (Soeparno, 1994). Menurut Aberle et al. (2001), fungsi bumbu yaitu sebagai pemberi cita rasa, penambah karakteristik warna atau pola tekstur serta sebagai agen antioksidan. Savic (1985) menambahkan jumlah bumbu yang ditambahkan dalam campuran sosis bervariasi dari 0,7-2% atau lebih.

Bawang putih. Bawang putih (Allium sativum) merupakan bahan alami yang biasa ditambahkan ke dalam bahan makanan sehingga diperoleh aroma yang khas guna meningkatkan selera. Bawang putih dapat dipakai sebagai pengawet karena bersifat bakteriostatik yang disebabkan oleh adanya zat aktif allicin yang sangat efektif terhadap bakteri. Minyak atsiri bawang putih bersifat antibakteri dan antiseptik. Selain itu, dalam bawang putih terdapat scordinin, yaitu senyawa komplek

thioglisidin yang bersifat antioksidan (Palungkun dan Budhiarti, 1995). Komposisi kimia bawang putih bubuk per 100 gram terdiri dari 6,5 g air, protein 16,8 g, lemak 0,4 g, abu 3,3 g, dan karbohidrat 77,6 g (Farrell, 1990).

Lada. Lada (Pipper nigum) memproduksi beberapa komponen antara lain terpen, hidrat α-felandren, dipenten dan β-kariofilin. Lada pada konsentrasi lebih dari 3% dapat menghambat pertumbuhan Listeria monocytogenes (Ting dan Diebel, 1992).

Komposisi kimia lada putih per 100 gram terdiri dari 11,4 g air, protein 10,4 g, lemak 2,1 g, abu 1,6 g, dan karbohidrat 68,6 g (Farrell, 1990).

Pala. Pala (Imyristica fragans houtt) sebagai bumbu dihasilkan dari biji pala yang mengandung fixed oil yang terdiri atas trimyristin, gliceril ester dari asam-asam palmitat, oleat, linoleat dari fraksi yang tidak tersaponifikasi seperti

myristicin. Komposisi kimia pala bubuk per 100 gram terdiri dari 8,2 g air, protein 6,7 g, lemak 32,4 g, abu 2,2 g, dan karbohidrat 50,5 g (Farrell, 1990).

Bahan Pengikat dan Pengisi

Tujuan penambahan dari bahan-bahan ini adalah untuk meningkatkan stabilitas emulsi, meningkatkan daya mengikat air produk daging, meningkatkan citarasa, mengurangi pengerutan produk selama pemasakan, meningkatkan karakteristik irisan produk dan mengurangi biaya formulasi bahan (Soeparno, 1994). Menurut Kramlich (1971), bahan pengikat dan bahan pengisi dapat dibedakan berdasarkan kandungan protein dan karbohidratnya. Bahan pengikat mengandung protein yang lebih tinggi sehingga dapat membantu meningkatkan emulsifikasi lemak, sedangkan bahan pengisi umumnya hanya terdiri dari karbohidrat dan hanya sedikit mempengaruhi emulsifikasi lemak.

Pemilihan bahan pengikat dan bahan pengisi yang akan digunakan harus memiliki daya serap air yang baik, memiliki rasa yang enak, memberikan warna yang menarik dan harganya murah. Susu skim dapat digunakan sebagai bahan pengikat dalam pembuatan sosis karena susu skim bersifat adhesive dan dapat menambah nilai gizi sosis (Wilson et al., 1981). Menurut Ockerman (1983), komposisi susu skim terdiri dari kadar air 3,0%, protein 38,0%, lemak 1,0%, abu 7,0% dan karbohidrat 51%.

Salah satu bahan pengisi yang sering digunakan dalam pengolahan daging adalah tepung tapioka. Tapioka merupakan sumber karbohidrat yang cukup tinggi dengan kandungan karbohidrat 86,9 g dalam 100 g bahan. Komposisi utama tapioka adalah kadar air 12,0% bahan basah, kadar protein 0,15% bahan kering, lemak 0,3% bahan kering dan abu 0,3% bahan kering (Direktorat Gizi, 1995).

Selongsong Sosis (Casing)

Selongsong atau casing untuk sosis ada dua tipe yaitu selongsong alami dan selongsong buatan. Selongsong alami terutama berasal dari saluran pencernaan ternak, misalnya sapi, babi, domba dan kambing. Selongsong sapi dapat berasal dari esofagus, usus kecil, usus besar bagian tengah, caecum dan kandung kecil (Pearson dan Tauber, 1973). Pada dasarnya selongsong alami adalah kolagen. Selama pengolahan sosis selongsong alami dalam keadaan basah mudah ditembus oleh asap dan cairan. Selongsong alami akan menjadi kurang permeabel karena pengeringan dan pemakaian asap, misalnya asidik. Cairan dan panas akan menyebabkan selongsong menjadi lebih lunak dan porus, sehingga proses pengasapan dan pemasakan harus dikendalikan sehubungan dengan kelembaban (Bacus, 1984).

Selongsong buatan terdiri dari empat kelompok yaitu (1) sellulosa, (2) kolagen dapat dimakan, (3) kolagen tidak layak dimakan dan, (4) plastik (Bacus, 1984). Selongsong dari plastik tidak dapat ditembus oleh asap dan cairan, dan dapat digunakan oleh sosis yang tidak diasap misalnya sosis segar dan sosis hati atau sosis yang diproses dengan air panas (Pearson dan Tauber,1973). Selongsong kolagen untuk produk asap berdiameter kecil dirancang menjadi empuk selama proses pemanasan. Selama proses pemanasan dan pengasapan, selongsong akan mengeras karena proses tersebut. Selanjutnya pemasakan dengan kelembaban yang tinggi akan melunakkan selongsong dan meningkatkan keempukan (Bacus, 1984).

Pengasapan

Pengasapan merupakan suatu cara pengolahan atau pengawetan yang memanfaatkan kombinasi perlakuan pengeringan dan pemakaian senyawa kimia alami dari hasil pembakaran bahan bakar alami (kayu) yang akan membentuk senyawa-senyawa asap dalam bentuk uap dan butiran-butiran tar serta dihasilkan panas. Senyawa dalam bentuk uap menempel pada produk dan terlarut dalam lapisan air yang ada di permukaan sehingga terbentuk aroma dan rasa yang khas pada produk dan warnanya menjadi kecoklatan (Wibowo, 1995).

Ada beberapa cara pengasapan yaitu pengasapan dingin pada suhu rendah, pengasapan panas pada suhu tinggi dan pengasapan dengan cara menyemprotkan larutan komponen asap yang dibuat secara sintesis atau dengan cara merendam bahan

ke dalam larutan tersebut. Pengasapan pada suhu tinggi akan menghasilkan produk matang dan waktu pengasapannya pun lebih singkat dibandingkan dengan pengasapan suhu rendah. Keadaan tersebut menyebabkan penetrasi asap pada pengasapan suhu rendah lebih sedikit sehingga produk pengasapan yang dihasilkan akan bersifat kurang awet. Pengasapan suhu tinggi lebih ditujukan untuk memperoleh aroma asap yang khas (Pearson dan Tauber, 1973).

Asap merupakan hasil pembakaran yang tidak sempurna yaitu pembakaran dengan oksigen terbatas. Pembakaran dengan oksigen cukup maka hasilnya berupa uap air, gas asam, arang dan abu, dalam kondisi ini tidak terbentuk asap. Sebaliknya, jika pembakaran dengan oksigen sedikit, maka asap yang dihasilkan terdiri gas asam arang, alkohol dan asam organik lainnya (Pearson dan Tauber, 1973).

Menurut Harris dan Karmas (1989), komponen asap dibagi menjadi 4 kelompok berdasarkan pengaruhnya terhadap nilai gizi produk yang diasap, antara lain :

1. Zat yang melindungi penyusutan nilai gizi produk yang diasap dengan menghambat perubahan kimiawi dan biologi yang merugikan

2. Komponen yang tidak menunjukkan aktivitas dari segi nilai gizi

3. Senyawa yang berinteraksi dengan komponen bahan pangan dan menunjukkan nilai gizi produk yang diasap, dan

4. Komponen beracun

Asap dapat berperan sebagai bahan pengawet apabila komponen-komponen asap mengendap atau meresap ke dalam bahan yang diasap. Komponen asap merupakan bahan yang bersifat bakteriostatik dan bakteriosidal serta dapat menghambat oksidasi lemak pada bahan pangan seperti fenol yang bersifat bakteriostatik, bakteriosidal dan antioksidan, serta formaldehid yang bersifat fungisidal. Kombinasi panas dan asap, dehidrasi permukaan, koagulasi protein dan deposisi resin dari hasil kondensasi formaldehid dan fenol merupakan penghalang kimiawi dan fisik yang efektif terhadap pertumbuhan dan penetrasi mikroorganisme ke dalam produk asap (Winarno et al., 1980).

Bahan pengasap yang biasanya digunakan dalam pengasapan adalah bahan yang lambat terbakar dan mengandung banyak zat yang mudah terbakar seperti selulosa, hemiselulosa, lignin dan senyawa lainnya (Zaitsev et al., 1972).

Hemiselulosa terdiri dari pentosan dan heksosan yang akan terhidrolisis menghasilkan sakarosa, pentosan dan heksosan, sedangkan lignin menghasilkan

metil alkohol dimana pirolisis lignin menghasilkan ter, metil ester pirogalol dan homolognya serta dihidrofenol ester (Wibowo, 1996). Kandungan kimia asap kayu yang paling tinggi adalah komponen ter, diikuti oleh asam-asam organik dan aldehid (Zaitsev et al., 1972). Komposisi kimia asap kayu dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi Kimia Asap Kayu

Komposisi Kandungan % dari berat serbuk kayu mg/m3

Formaldehid 0,06 30-50 Aldehid 0,19 180-230 Keton 0,13 190-200 Asam format 0,43 115-160 Asam aseton 1,8 600 Metil alkohol 1,04 - Ter 5,28 1295 Fenol - 25-40 Air 103,8 -

Sumber : Zaitsev et al. (1972)

Senyawa Fenol

Senyawa fenol mencakup sejumlah senyawa yang memiliki sebuah cincin aromatik dengan satu atau lebih gugus hidroksil. Senyawa ini diindikasikan dengan formula Ar-OH, Ar adalah ‘aryl group’ yang merupakan grup aromatika turunan dari

benzena, nafhtalena dan lain sebagainya. Senyawa fenol bebas seperti hidrokuinon

(parahidroksi benzena), resorsinol (metadihidroksi benzena), pirokatekol (orto dihidroksi benzena) merupakan senyawa yang tidak stabil terhadap pengaruh oksidasi, cahaya dan perubahan kimia yang ditandai dengan terjadinya reaksi pencoklatan akibat penyinaran (Asikin et al., 1986).

Senyawa fenol ini bersifat lebih asam dari alkali (asam karbon) yang dapat menarik elektron sehingga banyak digunakan dalam industri farmasi, kosmetik dan makanan karena aktivitas biologi yang dimilikinya yaitu sebagai antioksidan,

antimikroba, antimelanogenesis dan antimutagenesis (Ahmad et al., 1980). Fenol selain bersifat bakteriosidal juga sebagai antioksidan. Sifat ini terutama pada senyawa fenol dengan titik didih tinggi, seperti 2,6-dimetoksifenol, 2,6-dimetoksi-4-metilfenol dan 2,6-dimetoksi-4-etilfenol. Senyawa fenol dengan titik didih rendah sifat antioksidannya agak rendah (Pearson dan Tauber, 1973).

Alkohol dan asam-asam dalam asap berasal dari dekomposisi selulosa dan hemiselulosa pada suhu yang rendah daripada lignin. Dekomposisi lignin terjadi pada suhu di atas 3100C dan menghasilkan substansi fenolik dan ter (Lawrie, 1995). Darmadji et al. (1997) menambahkan dekomposisi lignin dapat menghasilkan substansi fenolik di dalam asap yang berbentuk gas sebanyak 15,7%.

Pengemasan

Pengemasan merupakan suatu cara dalam memberikan kondisi sekeliling yang tepat bagi bahan pangan, dengan demikian membutuhkan pemikiran dan perhatian yang lebih besar daripada yang biasanya diketahui (Buckle et al., 1987). Tujuan utama dari pengemasan pangan adalah untuk melindungi produk dari lingkungan sekitarnya dalam rangka peningkatan mutu simpan (Syarief et al., 1989).

Pengemasan vakum adalah sistem pengemasan dengan gas hampa (tekanan kurang dari 1 atm) dengan mengeluarkan oksigen dari kemasan (Syarief et al., 1989). Kemasan vakum dibuat dengan memasukkan produk ke dalam plastik, diikuti dengan pemompaan udara keluar kemudian ditutup dan setelah itu direkatkan dengan panas (Jay, 2000). Sacharov dan Griffin (1980) menambahkan pengemasan vakum dilakukan untuk mencegah terjadinya oksidasi yang dapat mendukung aktivitas mikroorganisme terutama mikroorganisme aerobik, sehingga pengemasan vakum ini mempunyai umur simpan yang lebih baik dibandingkan pengemasan non vakum.

Bahan pengemas yang sedang berkembang dan banyak digunakan adalah plastik. Banyak ragam kemasan plastik untuk makanan dan minuman salah satunya adalah polietilen. Polietilen merupakan jenis plastik yang paling banyak digunakan dalam industri pangan. Berdasarkan densitasnya, polietilen dibagi menjadi tiga yaitu polietilen densitas rendah (LDPE/Low Density Polyethylene), polietilen densitas sedang (MDPE/Medium Density Polyethylene), dan polietilen densitas tinggi (HDPE/High Density Polyethylene) (Syarief et al., 1989).

Kemasan HDPE adalah salah satu jenis plastik polietilen yang dihasilkan pada suhu dan tekanan rendah (50-70oC, 10 atm) serta paling kaku diantara jenis polietilen yang lain (LDPE dan MDPE) dan tahan terhadap suhu tinggi (1200C) (Syarief et al., 1989). Plastik HDPE mampu memberikan perlindungan terbaik terhadap uap air, lemak serta asam dan basa (Buckle et al., 1987).

Penyimpanan Dingin

Proses pendinginan (refrigerasi) adalah produksi, pengusahaan dan pemeliharaan tingkat suhu dari suatu bahan atau ruangan pada tingkat yang lebih rendah daripada suhu lingkungan atau atmosfer sekitarnya dengan cara penarikan atau penyerapan panas dari bahan atau ruangan tersebut (Ilyas, 1993). Menurut Winarno (1997), pendinginan adalah penyimpanan bahan pangan di atas suhu pembekuan bahan yaitu sekitar 2-10oC. Fellows (1990) menambahkan pendinginan merupakan unit operasi dengan suhu penyimpanan suatu bahan pangan diturunkan. Proses ini bertujuan untuk mengurangi kerusakan biokimia, fisik dan mikrobiologi. Selain itu penggunaan suhu dingin untuk penyimpanan juga bertujuan untuk memperpanjang umur simpan produk segar maupun olahan.

Tujuan penyimpanan dingin atau pendinginan adalah mencegah kerusakan tanpa mengakibatkan perubahan yang tidak diinginkan. Penyimpanan dingin ini dapat mempertahankan komoditas dalam kondisi yang dapat diterima dan dikonsumsi selama mungkin oleh konsumen. Penyimpanan dingin dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme termofilik dan mesofilik. Beberapa jenis mikroorganisme psikrofilik dapat menyebabkan pembusukan, tetapi jenis ini tidak bersifat patogen (Fellows, 1990).

Penyimpanan sosis pada suhu -4,1oC sampai –1,1oC, masa simpannya 80 hari; pada suhu –1oC sampai 2oC masa simpannya 21 hari; pada suhu 2,1-5,1oC masa simpannya sekitar 36 hari; dan penyimpanan pada suhu 5,2-8,2oC masa simpan sosis sekitar 24 hari (James, 2000). Umur simpan produk olahan yang disimpan pada suhu dingin ditentukan oleh tipe makanan, tingkat kerusakan mikroba atau aktivitas enzim akibat proses pengolahan, kontrol sanitasi selama proses pengolahan dan pengemasan, barrier pada kemasan dan suhu selama distribusi dan penyimpanan (Fellows,1990).

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan serta Bagian Pusat Studi Ilmu Hayati, Pusat Antar Universitas (PAU), Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2005.

Materi

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging sapi dalam kondisi pre rigor bagian gandik dan lidah sapi yang diperoleh dari Pasar Bogor, minyak nabati, tepung tapioka, es atau air es, susu skim bubuk, garam dapur, bumbu-bumbu (bawang putih, merica dan pala bubuk), casing kolagen dan plastik polietilen HDPE. Bahan untuk analisis kimia yaitu aquades, H2SO4 pekat, NaOH 33%, NaOH 0,3 N, pelarut heksan, alkohol, NaOH 2 N, bromat bromida 0,2 N, HCl pekat dan larutan thio (Na2S2O3) 0,1 N.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat penggiling (food processor), alat pengisi casing (stuffer), timbangan, wadah plastik, panci, termometer, kompor, pisau, alat pengemas vakum, lemari es dan ruang pengasap. Peralatan untuk analisa kimia adalah labu Erlenmeyer, labu suling, peralatan Sokhlet, oven, desikator, kondensor, cawan porselen, blender, kertas saring, gelas piala,

Dokumen terkait