• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Taksonomi

Katak dengan warna kulitnya, cara hidup, hingga bentuknya yang beranekaragam menjadi daya tarik tersendiri. Hampir semua orang mengenal katak atau kodok, terutama karena ekologinya yang khas yaitu mengalami metamorfosis. Akan tetapi, tidak banyak orang yang mengetahui bahwa katak (anura) bukan satu-satunya amfibi. Selain katak (anura) masih ada bangsa Caudata atau salamander yang tidak dijumpai di Indonesia dan bangsa Gymnophiona atau sesilia yang berbentuk menyerupai cacing (Kusrini 2009). Amfibi merupakan vertebrata pertama yang beralih dari darat ke air. Diketahui bahwa jenis amfibi pertama yang beralih dari darat ke air adalah Ichthyostega dan Acanthostega

(Cogger & Zweifel 2003). Amfibi menghuni habitat yang sangat bervariasi, dari tergenang di bawah permukaan air sampai yang hidup di puncak pohon yang tinggi (Iskandar 1998). Menurut Cogger (1999) amfibi terbagi menjadi tiga bangsa atau kelompok besar yaitu salamander (Caudata), sesilia (Gymnophiona), dan katak (Anura).

Bangsa Caudata atau salamander merupakan satu-satunya bangsa yang tidak terdapat di hampir seluruh Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Daerah terdekat yang dihuni salamander adalah Vietnam Utara dan Thailand Utara. Ordo Gymnophiona atau yang lebih dikenal dengan sebutan sesilia merupakan satwa yang dianggap langka dan sulit diketahui keberadaannya di alam. Jumlah jenis dari ordo ini adalah sebanyak 170 jenis dari seluruh jenis amfibi. Ichthyophiidae merupakan salah satu famili yang terdapat di Asia Tenggara. Tidak semua ordo dalam kelas amfibi terdapat di Indonesia (Iskandar 1998). Caudata merupakan satu-satunya ordo dari Amfibi yang tidak terdapat di Indonesia. Ordo Anura terdiri dari katak dan kodok. Menurut laporan IUCN (2008) saat ini terdapat lebih dari 6.260 jenis Anura di dunia dan di Indonesia memiliki sekitar 363 jenis.

Di Indonesia terdapat sepuluh famili dari Ordo Anura yang ada di dunia. Famili-famili tersebut adalah Bombinatoridae (Discoglossidae), Megophryidae (Pelobatidae), Bufonidae, Lymnodynastidae, Myobatrachidae, Microhylidae, Pelodryadidae, Ranidae, Rhacophoridae dan Pipidae (Iskandar 1998).

2.2 Ekologi

Amfibi hidup selalu berasosiasi dengan air karena air dapat menjaga perubahan temperatur pada tubuhnya sehingga amfibi selalu berada dekat dengan air (Iskandar 1998). Menurut Hofrichter (2000) jumlah air dalam tubuh kira – kira 70 – 80% dari berat tubuh amfibi. Ada beberapa jenis amfibi yang tinggal tidak dekat dengan air, sehingga mereka menggunakan berbagai strategi untuk mempertahankan air di dalam tubuhnya.

Amfibi bernafas dengan meggunakan paru-paru, sedangkan pada berudu (amfibi muda) umumnya bernafas dengan menggunakan insang. Pada saat metamorfosis, terjadi perubahan morfologis dimana berudu yang berbentuk ikan dan bernapas dengan meggunakan insang berubah menjadi vertebrata bertungkai dan bernafas dengan paru-paru. Menurut Mistar (2003) air merupakan keharusan dalam fase berudu dan fase berudu merupakan bagian dari proses evolusi pada amfibi yang paling komplek, dan apabila gagal dalam fase ini maka selamanya tidak akan pernah menjadi katak atau kodok.

Pada umumnya amfibi tinggal di daerah berhutan yang lembab dan beberapa spesies seluruh hidupnya tidak bisa lepas dari air (Iskandar 1998). Sekitar 70 sampai 80% dari berat tubuhya adalah air (Kminiak 2000). Amfibi membutuhkan kelembaban yang cukup untuk melindungi diri dari kekeringan pada kulitnya (Iskandar 1998). Hal ini karena kulit pada amfibi digunakan untuk pernapasan selain paru-paru (Lametschwandtner & Tiedemann 2000). Amfibi merupakan spesies yang menghabiskan siklus hidupnya dalam habitat riparian dan memanfaatkan sungai untuk berkembangbiak dan perkembangan larva (Inger & Vorris 1993).

Amfibi merupakan satwa poikilotherm atau ektotermik yang berarti amfibi tidak dapat menggunakan proses metabolisme di dalam tubuhnya untuk dijadikan sebagai sumber panas, tetapi amfibi memperoleh sumber panas dari lingkungan untuk mendapatkan energi. Oleh karena itu amfibi mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap kondisi lingkungan (Mistar 2003).

Untuk mempertahakan diri dari pemangsa dan penyakit, amfibi mempunyai berbagai bentuk mekanisme pertahanan diri. Menurut Iskandar (1998) cara amfibi untuk mempertahankan diri dari bahaya antara lain:

5

1. Mengandalkan kaki belakang untuk melompat dan menghindar 2. Berkamuflase dengan lingkungan untuk menghindari predator 3. Mengeluarkan racun dari kulitnya.

Amfibi tidak memiliki alat fisik untuk mempertahankan diri. Sebagian besar anura melompat untuk melarikan diri dari predator. Jenis-jenis yang memiliki kaki yang relatif pendek memiliki strategi dengan cara menyamarkan warnanya menyerupai lingkungannya untuk bersembunyi dari predator. Beberapa jenis anura memiliki kelenjar racun pada kulitnya, seperti pada famili Bufonidae (Iskandar 1998).

2.3 Habitat

Berdasarkan habitatnya, katak hidup pada daerah pemukiman manusia, pepohonan, habitat yang terganggu, daerah sepanjang aliran sungai atau air yang mengalir, hutan primer dan sekunder (Iskandar 1998). Menurut Mistar (2003) habitat utama amfibi adalah hutan primer, hutan rawa, sungai besar, sungai sedang, anak sungai, serta kolam dan danau. Amfibi mempunyai habitat yang sangat bervariasi, dari genangan di bawah permukaan air sampai yang hidup di puncak pohon yang tinggi. Kebanyakan jenis hidup di kawasan berhutan dan ada juga hidup di sekitar sungai dan tidak pernah meninggalkan sungai. Tidak ada jenis katak yang tahan terhadap air asin atau air payau, kecuali pada dua jenis katak, salah satunya adalah Fejervarya cancrivora atau katak sawah, jenis katak yang sangat dekat hubungannnya dengan kegiatan manusia (Iskandar 1998).

Mistar (2003) mengelompokkan amfibi menjadi empat menurut tipe habitat dan kebiasaan hidupnya, yaitu:

1. Terestrial-hidup di atas permukaan tanah, diantaranya Megophrys nasuta, M. montana, M. aceras, Bufo quadriporcatus, B. parvus, Pedostibes hosii, Kalophrynus pleurostigma, K. punctatus, Rhacophorus sp, Philautus.

2. Arboreal-kelompok yang hidup di atas pohon yang diwakili oleh famili: Rhacophoridae, dua spesies family Microhylidae dan satu spesies katak puru pohon Pedostibes hosii.

3. Akuatik-kelompok amfibi yang sepanjang hidupnya selalu terdapat di sekitar sungai atau air diantaranya Bufo asper, B. juxtasper, Occidozyga sumatrana, Rana kampeni, R. sigana; Limnonectes spp.

4. Fossorial-kelompok yang hidup di dalam lubang-lubang tanah yamg diwakili oleh family Microhylidae.

2.4 Penyebaran dan Keanekaragaman Amfibi di Kalimantan

Amfibi dapat hidup di berbagai tipe habitat mulai dari hutan pantai, hutan dataran rendah hingga hutan pegunungan yang esktrim, kecuali daerah kutub dan gurun (Mistar 2003). Ordo Gymnophiona terdapat di wilayah tropis dan subtropis (Nussbaum 1998). Di Indonesia Ordo Gymnophiona dapat ditemukan di Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Ordo Caudata tidak ditemukan di Indonesia, tetapi daerah terdekat yang dapat ditemukan ordo ini adalah Vietnam Utara dan Thailand Utara (Iskandar 1998).

Borneo adalah nama Kalimantan secara keseluruhan yang merupakan pelabuhan keanekaragaman hayati endemik termasuk didalamnya amfibi dan reptil. Menurut Mistar (2008) terdapat 100 jenis amfibi endemik yang terdapat di Kalimantan. Salah satu jenis endemik Kalimantan yaitu Borbourula kalimantanensis yang merupakan katak yang tidak mempunyai paru-paru (Bickford et al. 2008).

Ordo anura terdapat diseluruh Indonesia dari Sumatera sampai Papua (Iskandar 1998). Amfibi yang ditemukan di Kalimantan terdiri atas Ichtyophidae, Bufonidae, Megophryidae, Microhylidae, Ranidae, Rhacophoridae. Menurut Inger & Voris (2001) tingkat kesamaan jenis katak di Jawa dengan Kalimantan lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kesamaan jenis katak di Jawa dengan Sumatera. Katak yang terdapat di Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan dan Jawa berasal dari wilayah gugusan Sunda Besar.

Di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya ditemukan 29 jenis yang termasuk dalam enam famili, yakni: Ichtyophidae, Bufonidae, Megophryidae, Microhylidae, Ranidae, dan Rhacophoridae (HIMAKOVA 2008). Mediyansyah (2008) menemukan 25 jenis amfibi di Gunung Palung Kabupaten Ketapang, sedangkan Mediyansyah dan Rachman (2010) menemukan 30 jenis amfibi dari 6

7

famili di Gunung Palung Kabupaten Ketapang. Mistar (2008) menemukan 37 jenis amfibi dari 6 famili di hutan lindung Beratus dan 20 jenis amfibi yang ditemukan di areal kerja PT. Sari Bumi Kusuma (Mistar 2008). Di areal HPH PT Intracawood Manufacturing ditemukan 27 jenis amfibi dari 5 famili (Utama 2003) dan Iskandar et al. (1998) menemukan 55 jenis amfibi (termasuk satu jenis yang tidak umum, Ichthyopis sp) yang termasuk kedalam 6 famili di Taman Nasional Betung Kerihun.

2.5 Konservasi Katak di Kalimantan

Pulau Kalimantan merupakan pulau yang sangat besar, kira-kira 1200 km dari Utara ke Selatan dan dari Timur ke Barat dengan variasi topografi yang besar dan elevasi maksimum 4100 m (Inger 2003), belum banyak dilakukan penelitian mengenai amfibi, padahal banyak jenis baru yang mungkin ditemukan. Konsumsi katak oleh manusia dalam beberapa kasus jarang menimbulkan masalah jika dibandingkan dengan perubahan habitat. Salah satu jenis asli penghuni hutan yang mungkin dapat terpengaruh oleh perubahan yaitu Limnonectes leporinus karena jenis ini lambat perkembangbiakannya (Inger & Stuebing 1997).

Menurut Veith et al. (2004) keanekaragaman amfibi yang tinggi di Kalimantan dijelaskan oleh beberapa faktor: (i) Borneo terletak di khatulistiwa yang memiliki daerah tropis yang lembab. (ii) Borneo berulang kali terhubung dan terputus dari daratan dan pulau-pulau lainnya. (iii) Tingkat endemik yang tinggi (misal, 25% ular, 45% kadal, dan 65% katak). Kesamaan jenis antara amfibi melayu dan amfibi sumatera jauh lebih besar daripada amfibi Borneo (Inger & Vorris 2001).

Ancaman utama keanekaragaman hayati saat ini adalah hilangnya habitat, fragmentasi habitat dan penangkapan atau perburuan terhadap keanekaragaman yang tidak sesuai dengan tingkat pengembaliannya (Primack et al. 1998). Dengan semakin meningkatnya kerusakan habitat amfibi dan perburuan amfibi untuk dibudidayakan dan di konsumsi manusia, dikhawatirkan jumlah spesies amfibi akan semakin menurun serta proses kepunahan akan berjalan cepat.

2.6 Status Amfibi di Dunia

Tahun 2008 IUCN melaporkan hasil analisis 650 pakar amfibi dari 60 negara terhadap status amfibi. Data dari hasil studi itu menjadi dasar untuk konservasi amfibi global dan digunakan untuk merancang menyelamatkan amfibi dari penurunan populasi. Hasil penelitian tersebut antara lain menyatakan:

1. Hampir sepertiga (32%) spesies amfibi di dunia terancam punah, 43% tidak terancam, dan 25% memiliki data yang cukup untuk menentukan status ancamannya.

2. Sebanyak 159 spesies amfibi mungkin sudah punah, setidaknya 38 spesies yang diketahui punah, salah satunya punah di alam, sedangkan 120 spesies lainnya belum ditemukan dalam beberapa tahun terakhir dan kemungkinan punah.

3. Setidaknya 42% dari semua spesies mengalami penurunan populasi dan kurang dari satu persen spesies menunjukkan peningkatan populasi.

4. Jumlah spesies terancam terbesar terjadi di negara Amerika Latin seperti Kolombia (214), Meksiko (211), dan Ekuador (171). Namun, tingkat ancaman tertinggi berada di Kribia dimana lebih dari 80% spesies amfibi terancam punah.

Jumlah jenis amfibi yang diketahui di dunia mengalami perubahan seiring dengan makin banyaknya penelitian. Laporan IUCN tahun 2008 menyatakan pada tahun 2004 terdapat 5.743 spesies amfibi di dunia dan pada tahun 2006 meningkat menjadi 5.918 serta tahun 2008 sampai sekarang terdapat 6.260 spesies amfibi. Tidak semua spesies tambahan merupakan spesies baru, tetapi beberapa spesies merupakan subspesies yang dijadikan spesies.

9

BAB III

Dokumen terkait