• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman Jenis Amfibi di Kawasan Lindung Sungai Lesan, Kalimantan Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keanekaragaman Jenis Amfibi di Kawasan Lindung Sungai Lesan, Kalimantan Timur"

Copied!
175
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Amfibi merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang menghuni habitat perairan, daratan hingga arboreal. Menurut Kusrini (2009) amfibi merupakan salah satu biota yang kurang mendapat perhatian dalam penelitian di Indonesia meskipun keberadaannya memiliki peranan penting sebagai bagian dari rantai makanan dan juga memiliki berbagi kegunaan bagi manusia. Amfibi merupakan indikator yang baik untuk menilai kondisi hutan karena amfibi sangat sensitif terhadap ekologi dan perubahan iklim (Iskandar 2001).

Pulau Kalimantan merupakan pulau terbesar kedua di Indonesia setelah Irian Jaya dan sebagai pulau dengan beragam ekosistem dari pantai sampai pegunungan, belum banyak dilakukan penelitian mengenai amfibi sehingga informasi mengenai amfibi di pulau Kalimantan masih terbatas, baik komposisi jenis maupun penyebarannya, kecuali di Sabah dan Sarawak yang telah diteliti dan disurvei secara intensif oleh para ahli sejak dahulu (Zainuddin et al. 2002), antara lain di Nanga Terkalit Sarawak (Voris & Inger 1996) dan di bagian Sabah dan Sarawak (Inger & Stuebing 1991). Catatan mengenai keanekaragaman amfibi antara lain bisa ditemukan dari hasil survei yang tidak dipublikasikan dalam jurnal seperti penelitian di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (HIMAKOVA 2008), Hutan Lindung Beratus (Mistar 2008), Taman Nasional Gunung Palung (Mediyansyah 2008), Taman Nasional Betung Kerihun (Iskandar et al. 1998) dan HPH PT Intracawood Manufacturing Kalimantan Timur (Utama 2003). Di pulau Kalimantan kini tercatat sebanyak 141 jenis katak yang termasuk kedalam enam famili, 88 jenis diantaranya (62,41%) merupakan jenis endemik (Inger dan Voris 2001).

(2)

berfungsi sebagai pengawet keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya baik di dalam maupun di luar habitatnya agar tidak punah. Kawasan Lindung Sungai Lesan merupakan kawasan yang memiliki luas kawasan 11.342,61 ha yang memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi. Tingkat keanekaragaman mamalia dan burung sudah diketahui di kawasan ini, tetapi keberadaan amfibi di kawasan ini belum diketahui tingkat keanekaragaman jenisnya dikarenakan di kawasan ini belum pernah dilakukan penelitian amfibi. Penelitian tentang keanekaragaman amfibi di kawasan lindung Sungai Lesan perlu dilakukan agar dapat mengetahui tingkat keanekaragaman yang dapat digunakan sebagai data informasi bagi pengelola Kawasan Lindung Sungai Lesan.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menentukan tingkat keanekaragaman jenis amfibi di Kawasan Lindung Sungai Lesan.

2. Membandingkan komposisi jenis di setiap plot pengamatan di Kawasan Lindung Sungai Lesan.

1.3 Manfaat

(3)

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taksonomi

Katak dengan warna kulitnya, cara hidup, hingga bentuknya yang beranekaragam menjadi daya tarik tersendiri. Hampir semua orang mengenal katak atau kodok, terutama karena ekologinya yang khas yaitu mengalami metamorfosis. Akan tetapi, tidak banyak orang yang mengetahui bahwa katak (anura) bukan satu-satunya amfibi. Selain katak (anura) masih ada bangsa Caudata atau salamander yang tidak dijumpai di Indonesia dan bangsa Gymnophiona atau sesilia yang berbentuk menyerupai cacing (Kusrini 2009). Amfibi merupakan vertebrata pertama yang beralih dari darat ke air. Diketahui bahwa jenis amfibi pertama yang beralih dari darat ke air adalah Ichthyostega dan Acanthostega

(Cogger & Zweifel 2003). Amfibi menghuni habitat yang sangat bervariasi, dari tergenang di bawah permukaan air sampai yang hidup di puncak pohon yang tinggi (Iskandar 1998). Menurut Cogger (1999) amfibi terbagi menjadi tiga bangsa atau kelompok besar yaitu salamander (Caudata), sesilia (Gymnophiona), dan katak (Anura).

Bangsa Caudata atau salamander merupakan satu-satunya bangsa yang tidak terdapat di hampir seluruh Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Daerah terdekat yang dihuni salamander adalah Vietnam Utara dan Thailand Utara. Ordo Gymnophiona atau yang lebih dikenal dengan sebutan sesilia merupakan satwa yang dianggap langka dan sulit diketahui keberadaannya di alam. Jumlah jenis dari ordo ini adalah sebanyak 170 jenis dari seluruh jenis amfibi. Ichthyophiidae merupakan salah satu famili yang terdapat di Asia Tenggara. Tidak semua ordo dalam kelas amfibi terdapat di Indonesia (Iskandar 1998). Caudata merupakan satu-satunya ordo dari Amfibi yang tidak terdapat di Indonesia. Ordo Anura terdiri dari katak dan kodok. Menurut laporan IUCN (2008) saat ini terdapat lebih dari 6.260 jenis Anura di dunia dan di Indonesia memiliki sekitar 363 jenis.

(4)

2.2 Ekologi

Amfibi hidup selalu berasosiasi dengan air karena air dapat menjaga perubahan temperatur pada tubuhnya sehingga amfibi selalu berada dekat dengan air (Iskandar 1998). Menurut Hofrichter (2000) jumlah air dalam tubuh kira – kira 70 – 80% dari berat tubuh amfibi. Ada beberapa jenis amfibi yang tinggal tidak dekat dengan air, sehingga mereka menggunakan berbagai strategi untuk mempertahankan air di dalam tubuhnya.

Amfibi bernafas dengan meggunakan paru-paru, sedangkan pada berudu (amfibi muda) umumnya bernafas dengan menggunakan insang. Pada saat metamorfosis, terjadi perubahan morfologis dimana berudu yang berbentuk ikan dan bernapas dengan meggunakan insang berubah menjadi vertebrata bertungkai dan bernafas dengan paru-paru. Menurut Mistar (2003) air merupakan keharusan dalam fase berudu dan fase berudu merupakan bagian dari proses evolusi pada amfibi yang paling komplek, dan apabila gagal dalam fase ini maka selamanya tidak akan pernah menjadi katak atau kodok.

Pada umumnya amfibi tinggal di daerah berhutan yang lembab dan beberapa spesies seluruh hidupnya tidak bisa lepas dari air (Iskandar 1998). Sekitar 70 sampai 80% dari berat tubuhya adalah air (Kminiak 2000). Amfibi membutuhkan kelembaban yang cukup untuk melindungi diri dari kekeringan pada kulitnya (Iskandar 1998). Hal ini karena kulit pada amfibi digunakan untuk pernapasan selain paru-paru (Lametschwandtner & Tiedemann 2000). Amfibi merupakan spesies yang menghabiskan siklus hidupnya dalam habitat riparian dan memanfaatkan sungai untuk berkembangbiak dan perkembangan larva (Inger & Vorris 1993).

Amfibi merupakan satwa poikilotherm atau ektotermik yang berarti amfibi tidak dapat menggunakan proses metabolisme di dalam tubuhnya untuk dijadikan sebagai sumber panas, tetapi amfibi memperoleh sumber panas dari lingkungan untuk mendapatkan energi. Oleh karena itu amfibi mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap kondisi lingkungan (Mistar 2003).

(5)

5

1. Mengandalkan kaki belakang untuk melompat dan menghindar 2. Berkamuflase dengan lingkungan untuk menghindari predator 3. Mengeluarkan racun dari kulitnya.

Amfibi tidak memiliki alat fisik untuk mempertahankan diri. Sebagian besar anura melompat untuk melarikan diri dari predator. Jenis-jenis yang memiliki kaki yang relatif pendek memiliki strategi dengan cara menyamarkan warnanya menyerupai lingkungannya untuk bersembunyi dari predator. Beberapa jenis anura memiliki kelenjar racun pada kulitnya, seperti pada famili Bufonidae (Iskandar 1998).

2.3 Habitat

Berdasarkan habitatnya, katak hidup pada daerah pemukiman manusia, pepohonan, habitat yang terganggu, daerah sepanjang aliran sungai atau air yang mengalir, hutan primer dan sekunder (Iskandar 1998). Menurut Mistar (2003) habitat utama amfibi adalah hutan primer, hutan rawa, sungai besar, sungai sedang, anak sungai, serta kolam dan danau. Amfibi mempunyai habitat yang sangat bervariasi, dari genangan di bawah permukaan air sampai yang hidup di puncak pohon yang tinggi. Kebanyakan jenis hidup di kawasan berhutan dan ada juga hidup di sekitar sungai dan tidak pernah meninggalkan sungai. Tidak ada jenis katak yang tahan terhadap air asin atau air payau, kecuali pada dua jenis katak, salah satunya adalah Fejervarya cancrivora atau katak sawah, jenis katak yang sangat dekat hubungannnya dengan kegiatan manusia (Iskandar 1998).

Mistar (2003) mengelompokkan amfibi menjadi empat menurut tipe habitat dan kebiasaan hidupnya, yaitu:

1. Terestrial-hidup di atas permukaan tanah, diantaranya Megophrys nasuta, M. montana, M. aceras, Bufo quadriporcatus, B. parvus, Pedostibes hosii,

Kalophrynus pleurostigma, K. punctatus, Rhacophorus sp, Philautus.

(6)

3. Akuatik-kelompok amfibi yang sepanjang hidupnya selalu terdapat di sekitar sungai atau air diantaranya Bufo asper, B. juxtasper, Occidozyga sumatrana, Rana kampeni, R. sigana; Limnonectes spp.

4. Fossorial-kelompok yang hidup di dalam lubang-lubang tanah yamg diwakili oleh family Microhylidae.

2.4 Penyebaran dan Keanekaragaman Amfibi di Kalimantan

Amfibi dapat hidup di berbagai tipe habitat mulai dari hutan pantai, hutan dataran rendah hingga hutan pegunungan yang esktrim, kecuali daerah kutub dan gurun (Mistar 2003). Ordo Gymnophiona terdapat di wilayah tropis dan subtropis (Nussbaum 1998). Di Indonesia Ordo Gymnophiona dapat ditemukan di Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Ordo Caudata tidak ditemukan di Indonesia, tetapi daerah terdekat yang dapat ditemukan ordo ini adalah Vietnam Utara dan Thailand Utara (Iskandar 1998).

Borneo adalah nama Kalimantan secara keseluruhan yang merupakan pelabuhan keanekaragaman hayati endemik termasuk didalamnya amfibi dan reptil. Menurut Mistar (2008) terdapat 100 jenis amfibi endemik yang terdapat di Kalimantan. Salah satu jenis endemik Kalimantan yaitu Borbourula kalimantanensis yang merupakan katak yang tidak mempunyai paru-paru (Bickford et al. 2008).

Ordo anura terdapat diseluruh Indonesia dari Sumatera sampai Papua (Iskandar 1998). Amfibi yang ditemukan di Kalimantan terdiri atas Ichtyophidae, Bufonidae, Megophryidae, Microhylidae, Ranidae, Rhacophoridae. Menurut Inger & Voris (2001) tingkat kesamaan jenis katak di Jawa dengan Kalimantan lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kesamaan jenis katak di Jawa dengan Sumatera. Katak yang terdapat di Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan dan Jawa berasal dari wilayah gugusan Sunda Besar.

(7)

7

famili di Gunung Palung Kabupaten Ketapang. Mistar (2008) menemukan 37 jenis amfibi dari 6 famili di hutan lindung Beratus dan 20 jenis amfibi yang ditemukan di areal kerja PT. Sari Bumi Kusuma (Mistar 2008). Di areal HPH PT Intracawood Manufacturing ditemukan 27 jenis amfibi dari 5 famili (Utama 2003) dan Iskandar et al. (1998) menemukan 55 jenis amfibi (termasuk satu jenis yang tidak umum, Ichthyopis sp) yang termasuk kedalam 6 famili di Taman Nasional Betung Kerihun.

2.5 Konservasi Katak di Kalimantan

Pulau Kalimantan merupakan pulau yang sangat besar, kira-kira 1200 km dari Utara ke Selatan dan dari Timur ke Barat dengan variasi topografi yang besar dan elevasi maksimum 4100 m (Inger 2003), belum banyak dilakukan penelitian mengenai amfibi, padahal banyak jenis baru yang mungkin ditemukan. Konsumsi katak oleh manusia dalam beberapa kasus jarang menimbulkan masalah jika dibandingkan dengan perubahan habitat. Salah satu jenis asli penghuni hutan yang mungkin dapat terpengaruh oleh perubahan yaitu Limnonectes leporinus karena jenis ini lambat perkembangbiakannya (Inger & Stuebing 1997).

Menurut Veith et al. (2004) keanekaragaman amfibi yang tinggi di Kalimantan dijelaskan oleh beberapa faktor: (i) Borneo terletak di khatulistiwa yang memiliki daerah tropis yang lembab. (ii) Borneo berulang kali terhubung dan terputus dari daratan dan pulau-pulau lainnya. (iii) Tingkat endemik yang tinggi (misal, 25% ular, 45% kadal, dan 65% katak). Kesamaan jenis antara amfibi melayu dan amfibi sumatera jauh lebih besar daripada amfibi Borneo (Inger & Vorris 2001).

(8)

2.6 Status Amfibi di Dunia

Tahun 2008 IUCN melaporkan hasil analisis 650 pakar amfibi dari 60 negara terhadap status amfibi. Data dari hasil studi itu menjadi dasar untuk konservasi amfibi global dan digunakan untuk merancang menyelamatkan amfibi dari penurunan populasi. Hasil penelitian tersebut antara lain menyatakan:

1. Hampir sepertiga (32%) spesies amfibi di dunia terancam punah, 43% tidak terancam, dan 25% memiliki data yang cukup untuk menentukan status ancamannya.

2. Sebanyak 159 spesies amfibi mungkin sudah punah, setidaknya 38 spesies yang diketahui punah, salah satunya punah di alam, sedangkan 120 spesies lainnya belum ditemukan dalam beberapa tahun terakhir dan kemungkinan punah.

3. Setidaknya 42% dari semua spesies mengalami penurunan populasi dan kurang dari satu persen spesies menunjukkan peningkatan populasi.

4. Jumlah spesies terancam terbesar terjadi di negara Amerika Latin seperti Kolombia (214), Meksiko (211), dan Ekuador (171). Namun, tingkat ancaman tertinggi berada di Kribia dimana lebih dari 80% spesies amfibi terancam punah.

(9)

9

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Kawasan Lindung Sungai Lesan. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 31 Juli sampai 19 Agustus 2010 di Kawasan Lindung Sungai Lesan, Kalimantan Timur (Gambar 1).

Gambar 1. Peta Kawasan lindung Sungai Lesan.

3.2 Alat dan Bahan

(10)

Tabel 1 Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian

No. Alat Penggunaan

A. Pembuatan transek pengamatan

1. Meteran (50m) Pengukuran panjang transek

2. Kompas Pengukuran arah transek

3. Alat GPS Pembuatan transek dan titik lokasi

4. Tali rafia Penandaan transek pengamatan

5. Peta Penentuan lokasi pembuatan transek

B. Pengumpulan spesimen

1. Headlamp dan baterai Alat penerang survey malam

2. Kantong spesimen Tempat pengumpulan spesimen sementara 3. Spidol permanen Penulisan label

4. Jam tangan/stop watch Pengukur waktu

5. Alat tulis Pencatatan data lapangan

6. Buku panduan identifikasi jenis amfibi identifikasi jenis amfibi

7. Kaliper Pengukuran panjang tubuh amfibi (SVL) 8. Timbangan/neraca pegas (5, 10, 100, 250 gr) Pengukuran berat tubuh amfibi

9. Tabung sampel Tempat penyimpanan spesimen

10. Kapas Pembuatan spesimen

11. Alat suntik Pengawetan spesimen

12. Kertas label dan benang Label spesimen 13. Kaca pembesar Pengamatan ciri amfibi C. Pengukuran faktor lingkungan

1. Termometer Pengukuran suhu udara dan air

2. Higrometer Pengukuran kelembaban udara

3. pH meter Pengukuran kemasaman air

D. Alat Dokumentasi

1. Kamera, film dan baterai Pengambilan foto

Bahan penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah alkohol 70% yang digunakan untuk pengawetan spesimen.

3.3 Pengumpualan Data

3.3.1 Jenis data yang dikumpulkan

Adapun jenis-jenis data yang dikumpulkan yaitu :

1. Data satwa amfibi, meliputi : jenis, jumlah individu tiap jenis, ukuran

snout-vent length yaitu panjang tubuh dari moncong hingga kloaka tiap jenis, waktu saat ditemukan, perilaku dan posisi satwa di lingkungan habitatnya.

(11)

11

2. Data habitat berdasarkan checklist Heyer et al. (1994), meliputi: tanggal dan waktu pengambilan data, nama lokasi, substrat/lingkungan tempat ditemukan, tipe vegetasi dan ketinggian, posisi horisontal terhadap badan air, posisi vertikal terhadap permukaan air, suhu udara, suhu air, kelembaban udara dan pH air.

3. Data sekunder yang diperlukan adalah informasi tentang amfibi yang pernah ditemukan dan studi literatur tentang amfibi pada habitatnya. Selain itu, curah hujan dan iklim dari stasiun klimatologi setempat juga diperlukan untuk menunjang data habitat.

3.3.2 Teknik pengumpulan data

Metode yang digunakan dalam pengambilan data keanekaragaman amfibi yaitu Survei Penjumpaan Visual (Visual Encounter Survey) (Heyer et al. 1994) dan time search selama 2 jam. Teknik pelaksanaan metode di lapangan yaitu :

1) Orientasi lapangan dan penjelajahan sebagai langkah awal. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi dan karakteristik habitat di setiap lokasi penelitian sehingga mempermudah penentuan lokasi.

2) Penetapan lokasi survei. Setiap plot pengamatan dibuat dua jalur yaitu akuatik dan terestrial kemudian dilakukan dua kali ulangan untuk setiap jalurnya. Jalur pengamatan (akuatik & terestrial) dibuat lurus sepanjang ±400 meter, dan menandai jalur untuk setiap 10 m. Sedangkan lebar jalur dibuat sejauh 5 m pada kanan dan kiri jalur, hal ini dilakukan untuk mempermudah pencarian. Untuk metode time search dilakukan pencarian selama 2 jam tidak tergantung pada panjang dan lebar jalur.

(12)

dimasukan ke dalam kantong plastik untuk kemudian dicatat waktu ditemukan, aktivitas/perilaku, posisi horizontal dan vertikal, tipe subtrat, dan informasi lain (Heyer et al. 1994).

4) Pengawetan spesimen amfibi yang belum teridentifikasi. Jenis-jenis yang sudah diketahui namanya dilepas kembali ke habitat semula. Sementara untuk jenis-jenis yang belum teridentifikasi dibuat spesimen. Amfibi yang diawetkan hanya diambil maksimal dua individu untuk setiap jenis. Sementara untuk jenis yang umum dan sudah teridentifikasi hanya diambil gambarnya secara menyeluruh. Tata cara preservasi yaitu :

- Terlebih dahulu identifikasi terhadap ciri umum dan ambil gambar pada saat spesimen masih hidup. Lalu menyiapkan alat dan bahan preservasi. - Sebelum dimatikan, spesimen dibuat pingsan dengan cara memasukan

ke dalam air yang sudah dicampur dengan MS222. Setelah itu, amfibi dimatikan dengan cara menyuntik amfibi dengan alkohol 70% dibagian bawah tengkorak.

- Setelah mati, spesimen disuntik dengan alkohol 70% ke dalam bagian tubuh seperti perut, femur, tibia, tarsus dan bisep.

- Sebelum spesimen kaku, mulut spesimen dimasukan kapas untuk memudahkan identifikasi dan diberi kertas label yang berisi keterangan spesimen tesebut.

- Untuk sementara spesimen tersebut dimasukkan ke dalam kotak yang telah beralaskan kapas yang sudah dibasahi alkohol 70%. Bentuk spesimen diatur supaya mudah untuk keperluan identifikasi.

- Spesimen kemudian dipindahkan ke dalam botol yang berisi alkohol 70% sampai terendam.

(13)

13

anura ini berdasarkan hasil temuan di lapangan serta studi literatur yang menggunakan literatur Inger & Stuebing (1997). Adapun data habitat yang diambil berupa data suhu dan kelembaban hanya diambil di satu titik lokasi karena posisi lokasi yang dekat sehingga diasumsikan bahwa mempunyai nilai suhu dan kelembaban yang sama, hal ini dinyatakan oleh Handoko (1995) bahwa suhu di permukaan bumi akan berubah dan makin rendah dengan bertambahnya lintang. Suhu, kelembaban serta cuaca diambil setiap kali kegiatan pengamatan dilakukan. Komponen habitat yang diamati meliputi kondisi cuaca, suhu udara, kelembaban udara, suhu air, pH air, rata-rata lebar badan air, rata-rata kedalaman badan air, substrat dasar perairan, jenis dan komposisi vegetasi

3.4. Analisis Data

1. Keanekaragaman jenis amfibi

Untuk mengetahui keanekaragaman jenis digunakan Indeks Shannon-Wiener

(Brower & Zar 1997). Nilai ini kemudian akan digunakan untuk membandingkan

H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Weiner ni = Jumlah individu jenis ke-i

N = Jumlah individu seluruh jenis

2. Kemerataan jenis amfibi

Kemerataan jenis (Evenness) dihitung untuk mengetahui derajat kemerataan jenis

pada lokasi penelitian (Bower & Zar 1977).

S

(14)

3. Frekuensi jenis

Frekuensi jenis dan frekuensi relatif dapat dihitung untuk mengetahui jenis yang

paling sering ditemukan di lokasi. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :

pengamatan plot

al Jumlah tot

jenis ditemukan plot

Jumlah Jenis

(15)

15

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak Kawasan Lindung Sungai Lesan

Kawasan lindung Sungai Lesan terletak di Kecamatan Kelai Kabupaten Berau Kalimantan Timur dalam koordinat antara 01032’20,26”-01040’29,67” Lintang Utara dan antara 117003’58,19”-117011’13,47” Bujur Timur, dengan luasan 12.192 ha, kawasan tersebut terbagi dalam wilayah administrasi empat kampung yaitu Lesan Dayak, Muara Lesan, Sidobangen, dan Merapun. Kawasan Lindung Sungai Lesan sebelah Utara berbatasan dengan Sidobangen, sebelah Timur dengan Lesan Dayak dan Muara Lesan; sebelah Selatan berbatasan dengan kampung Merapun dan sebelah Barat berbatasan dengan HPH PT. Mardhika Insan Mulia dan PT. Karya Lestari (PEMDA Berau 2005).

Menurut surat rekomendasi Gubernur Kalimantan Timur No. 521/9038/EK tanggal 10 November 2005 tentang perubahan kawasan yang ditujukan kepada menteri Kehutanan, luasan kawasan yang direkomendasikan mencapai 11.342,61 ha dari luasan 12.192 ha yang diusulkan oleh bupati Berau. Berkurangnya luasan kawasan tersebut disebabkan adanya kajian ulang Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur yang menemukan bahwa sebagian wilayah Kawasan Lesan yang semula diusulkan merupakan wilayah IUPHHKT PT. Belantara Pusaka.

4.2 Kondisi Iklim

(16)

jumlah hari hujan pertahun mencapai 161 hari atau rata-rata tiap bulan terjadi 13 hari hujan. Jumlah hari hujan dibawah rata-rata biasanya terjadi pada bulan Mei sampai September (PEMDA Berau 2005).

4.3 Kondisi Hidrologi

Kawasan lindung Sungai Lesan diapit oleh dua sungai yaitu sungai Kelai di bagian Utara dan Sungai Lesan di bagian Timur. Sungai Kelai merupakan salah satu dari dua sungai utama di Kabupaten Berau, dengan lebar kurang lebih 120 m dan debit air yang stabil sepanjang tahun. Sungai Lesan dengan lebar 30 m adalah salah satu sungai yang memberi kontribusi kepada sungai Kelai atau DAS Sungai Lesan merupakan sub DAS Kelai (bagian Utara). Dalam kawasan juga terdapat beberapa sub DAS yang lain yaitu sub DAS Sungai Lesan dan sub DAS sungai Leja’ (PEMDA Berau 2005).

4.4 Topografi

Dari hasil identifikasi melalui sistem informasi data Demographic Elevation Model (DEM), data-data kontur, data-data RepPProt dan yang lainnya serta pengecekan lapangan, diperoleh informasi tentang kelas lereng dan keadaan topografi kawasan Lesan. Data dari RePPProt tahun 1987 menunjukkan bahwa 10.664 ha atau sekitar 87% areal pada kawasan ini memiliki kelas kemiringan lereng (slope) lebih dari 40%. Kemiringan lahan sangat ekstrim di kawasan Lesan ini menjadi indikator tingkat bahaya erosi sangat berat dan sudah seharusnya dijadikan hutan lindung (PEMDA Berau 2005).

4.5 Kondisi Penutupan Lahan

(17)

17

bekas tebangan sangat terganggu, hutan tanaman industri dengan komoditi tanaman karet, alang-alang dan belukar (PEMDA Berau 2005).

4.6 Tingkat Bahaya Erosi

Dari survei tingkat bahaya erosi diketahui kawasan lindung Sungai Lesan mempunyai tingkat bahaya erosi ringan sampai berat. Mengacu pada kriteria bahaya erosi sebagaimana yang telah ditetapkan oleh RLKT Departemen Kehutanan 1994, kawasan lindung Sungai Lesan termasuk dalam tingkat bahaya erosi sedang sampai tinggi. Dengan tingginya nilai erosi di dalam kawasan sangat berat cocok dengan kriteria kelas bahaya erosi untuk hutan lindung dan penyangga yaitu kelas IV-V atau nilai erosi antara 60-180 ton/ha/thn dan diatas 180 ton/ha/thn (PEMDA Berau 2005).

4.7 Keanekaragaman Flora dan Fauna

Hutan Sungai Lesan sebagian besar merupakan hutan sekunder. Tercatat ada 45 jenis pohon pakan primata dan sarang Orangutan (Nardiyono 2007). Adapun jenis-jenis pohon yang ditemukan pada kawasan ini adalah jenis pohon jambu-jambu, kayu kacang, resak, kayu arang, kecundai, majau, meranti merah, ulin, kapur, keranji, medang, kenari, rengas, meranti pandan, pasang, meranti kuning, empilung, mata kucing, mersawa, bengkal, nyatoh, meranti putih, semangkok, terap, sengkuang, penjalin, dan marsolo dan berbagai jeis pohon buah-buahan. Sebagian dari jenis kayu yang ditemui sangat cocok bagi sarang dan pakan Orangutan.

Keanekaragaman satwa yang ada di kawasan Sungai Lesan sangat tinggi. Menurut Nardiyono (2007) beberapa jenis satwa yang berhasil diobservasi, tercatat ada 52 jenis mamalia (18 jenis kelelawar), 118 jenis burung, 12 amfibi dan lima jenis reptil. Dari data survei yang dilakukan The Nature Conservancy

(18)

4.8 Sosial Budaya

Kampung Lesan Dayak dan transmigrasi Sidobangen merupakan kampung terdekat dari kawasan lindung Sungai Lesan. Penduduk kampung di Sungai Lesan terdiri dari masyarakat asli Dayak Lebo (kampung Merapun), Dayak Gaai (Kampung Lesan Dayak), suku Berau/Benuag (Kampung Muara Lesan), dan kampung transmigrasi Sidobangen yang memiliki penduduk dari 14 suku bangsa di Indonesia. Mayoritas penduduk kampung Merapun dan Lesan Dayak beragama Kristen, sedangkan muara Lesan dan Sidobangen beragam Islam (Bina Swadaya 2006).

Mata pencaharian mayarakat secara umum adalah berladang dan berkebun. Hasil dari perladangan lebih banyak digunakan utuk kebutuhan sendiri (subsistem). Uang tunai diperoleh dengan memungut dari alam. Kampung merekapun memilki kekayaan berupa gua-gua karst (limestone) yang dihuni oleh burung Wallet (Colocallia sp.). Kampung Lesan Dayak mendapatkan uang tunai selain dari perkebunan (palawija) juga dari menjual hasil buruan.

(19)

19

4.9 Kondisi Setiap Plot Pengamatan yang Diteliti

Plot pengamatan yang digunakan dalam penelitian terdiri dari tigaplot yaitu anak Sungai Lejak, Sungai Lejak dan Sungai Lesan. Setiap lokasi dibagi menjadi dua jalur pengamatan yaitu akuatik dan terestrial.

4.9.1 Anak sungai Lejak

Plot pengamatan pertama yaitu anak Sungai Lejak. Jalur terestrial pada plot ini merupakan bekas jalur pengamatan orangutan yang sudah lama dibuat dan memiliki karakteristik berupa hutan yang memiliki tutupan kanopi yang rapat, sedikit alang dan semak dengan ketebalan serasah mencapai 10 cm dan didominasi tumbuhan ulin (Eusideroxylon zwageri). Pada jalur ini dijumpai kubangan yang memotong dua aliran air berupa sungai yang kecil yang berlumpur, tipe jalur berbukit dan sedikit dijumpai tumbuhan besar yang tumbang dan lapuk yang merupakan mikrohabitat bagi satwa tertentu.

Gambar 3 Jalur terestrial Anak sungai Lejak dan kubangan dalam jalur

(20)

disekitar sungai banyak didominasi oleh tumbuhan bintangur (Calophyllum inophyllum) dengan tinggi rata-rata 1 m.

Gambar 4 Jalur akuatik Anak sungai Lejak

4.9.2 Sungai Lejak

Plot pengamatan kedua yaitu Sungai Lejak. Pada plot ini Jalur akuatiknya merupakan sungai yang alirannya berasal dari lokasi pertama dengan karakteristik yang berbeda. Lokasi ini memiliki aliran air yang lebih tenang dan badan sungai yang lebih lebar dibandingkan plot pertama.

(21)

21

Gambar 5 Jalur terestrial Sungai Lejak

Jalur akuatik pada plot ini merupakan induk dari jalur akuatik plot pertama. Jalur ini merupakan sungai yang mengalir sepanjang tahun yang disekitar sungai didominasi oleh tumbuhan jambu-jambuan dengan tinggi rata-rata 1 m, namun banyak juga dijumpai pandan-pandanan dibagian tepi sungai. Rata-rata lebar sungai pada plot ini sebesar 10 m. Sungai ini memiliki tigacabang sungai kecil di sepanjang jalur. Arus sungai pada plot ini sangat tenang tetapi ada juga yang berarus deras. Sungai ini berwarna keruh dan banyak ditemukan pohon tumbang disekitar pinggir sungai. Substrat dasar sungai didominasi oleh pasir dan serasah namun pada beberapa titik didominasi oleh bebatuan besar. Suhu air pada saat pengamatan yaitu 24° C dengan kelembapan 80 %dan pH 8.

(22)

4.9.3 Sungai Lesan

Plot pengamatan ketiga yaitu Sungai Lesan. Sungai Lesan merupakan satu-satunya sungai yang dilewati untuk menuju ke kawasan lindung Sungai Lesan. Jalur akuatik yang digunakan adalah anak sungai yang mengalir langsung ke Sungai Lesan.

Jalur terestrial pertama pada plot ini merupakan jalur yang dilalui untuk menuju plot pertama dan plot kedua. Jalur ini berupa hutan yang memiliki tutupan kanopi cukup rapat dengan kontur jalur yang berbukit dan ditemukan satu kubangan yang sudah kering serta melewati satu aliran sungai kecil. Tegakan dominan berupa tumbuhan tingkat pancang dan rapat dengan ketebalan serasah lebih dari 10 cm.

Gambar 7 Jalur terestrial pertama sungai Lesan dan kubangan dipinggir jalur

(23)

23

Gambar 8 Jalur terestrial kedua sungai Lesan

Jalur akuatik pada plot ini merupakan sungai kecil yang mengalir sepanjang tahun yang disekitar sungai didominasi oleh tumbuhan jambu-jambuan dan rotan (Daemonorops sp.). Sungai berarus tenang dan banyak dijumpai genangan namun terdapat arus yang cukup deras pada beberapa titik. Aliran sungai ini langsung mengalir ke Sungai Lesan dimana sungai ini merupakan sungai terbesar di Kawasan Lindung Sungai Lesan. Dasar sungai ini berpasir dan berserasah dengan tutupan kanopi yang cukup rapat dan semak yang lebat sehingga hanya terdapat sedikit celah matahari masuk, yang mengakibatkan plot ini lebih lembab dibanding lokasi lainnya.

(24)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Keanekaragaman jenis Anura

Jumlah jenis amfibi yang berhasil ditemukan pada seluruh lokasi penelitian di kawasan lindung Sungai Lesan yaitu 31 jenis dari lima famili dimana 22 jenis dijumpai dalam plot pengamatan dan sembilan jenis di luar plot pengamatan. Jumlah jenis dari masing-masing famili antara lain famili Bufonidae (5 jenis), famili Megophryidae (4 jenis), famili Microhylidae (3 jenis), famili Ranidae (11 jenis), dan famili Rhacophoridae (8 jenis). Ordo Gymnophiona tidak ditemukan selama pengamatan. Sebanyak 12 (38%) jenis katak yang ditemukan merupakan katak endemik Borneo. Secara umum, total jenis yang ditemukan pada pengamatan akuatik (22 jenis) lebih tinggi dibandingkan pada pengamatan terestrial (16 jenis). Status katak yang ditemukan di lokasi penelitian menurut IUCN terbagi 2 status yaitu Near Threatened (NT) dan Least Concern (LC). Kecuali untuk jenis Bufo asper, Rana nicobariensis, dan Staurois natator semua jenis lainnya diambil untuk spesimen awetan yang disimpan di Laboratorium Satwaliar Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan & Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB.Keterangan diatas dapat tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 Daftar jenis amfibi yang ditemukan di lokasi penelitian

No Jenis Jumlah

Individu % Terestrial Akuatik Endemik Status

(25)

25

Tabel 2 (Lanjutan)

No Jenis Jumlah

Individu % Terestrial Akuatik Endemik Status 13 Limnonectes

Keterangan: * = Di luar plot pengamatan NT = Near Threatened LC = Least Concern

Dari total 217 individu yang ditemukan yang terdiri dari 31 jenis, famili Ranidae memiliki jumlah individu terbanyak (75,11%), selanjutnya famili Rhacophoridae (12,44%), famili Bufonidae (6,91%), famili Megophryidae (4,14%), dan famili Microhylidae (1,38%), sedangkan spesies yang memiliki jumlah individu yang terbanyak adalah Limnonectes ibanorum (20,73%), Rana chalconota (18,43%) dan Limnonectes paramacrodon (17,97%), sedangkan 17 jenis memiliki jumlah individu yang sedikit hanya satu individu saja.

(26)

penambahan jenis sudah tidak lagi ditemukan pada pengamatan terestrial. Penambahan jenis pada pengamatan akuatik sudah terjadi pada hari pertama pengamatan dimana terdapat 4 jenis. Pada hari ke 12 penambahan jenis sudah tidak lagi ditemukan pada pengamatan akuatik. Melihat grafik gabungan antara penambahan jenis pada akuatik dan terestrial dari 20 hari pengamatan terdapat kemungkinan adanya penambahan jenis, hal ini ditunjukkan dari kurva yang terus meningkat hingga hari ke-18.

Gambar 10 Grafik perbandingan jumlah jenis dan individu tiap famili.

Keanekaragaman jenis dapat diketahui dengan menggunakan berbagai parameter diantaranya dengan menghitung nilai indeks keanekaragaman. Indeks yang dihitung meliputi indeks keanekaragaman jenis (H’) dan indeks kemerataan jenis (E). Perhitungan hanya dilakukan terhadap jenis yang ditemukan di dalam jalur lokasi penelitian sedangkan perbandingan tingkat keanekaragaman yang digunakan berdasarkan tipe habitat yaitu akuatik dan terestrial.

(27)

27

nilai kemerataan (E) tertinggi pada habitat akuatik dengan nilai 0,87 sedangkan nilai kemerataan (E) tertinggi pada habitat terestrial terdapat pada plot pengamatan Sungai Lesan dengan nilai 0,90. Nilai kemerataan (E) terendah pada habitat akuatik terdapat pada plot pengamatan Sungai Lesan dengan nilai 0,84 sedangkan untuk habitat terestrial terdapat pada plot pengamatan anak Sungai Lejak dengan nilai 0,54. Gambar 12 menunjukkan bahwa habitat akuatik memiliki nilai kemerataan lebih tinnggi dibandingkan habitat terestrial, nilai tersebut diperoleh bila ketiga lokasi dipisah.

Gambar 11 Nilai indeks keanekaragaman jenis

(28)

5.1.2 Sebaran ekologis

Sebaran ekologis merupakan sebaran posisi katak pada habitatnya. Sebaran ini dibagi menjadi sebaran horisontal dan vertikal. Sebaran horisontal merupakan sebaran posisi anura terhadap badan air sedangkan vertikal merupakan sebaran posisi katak terhadap permukaan tanah. Kisaran posisi beberapa jenis anura disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Kisaran posisi beberapa jenis anura saat ditemukan di kawasan lindung Sungai Lesan

Jenis Posisi Horisontal Posisi Vertikal

Bufo asper Ditengah aliran hingga ditepi sungai

hingga 3 m dari tepian air

Diatas Batu dan kerikil

Pedostibes hosii Ditengah aliran hingga ditepi sungai hingga 8 m dari tepian air

Diatas batu dengan ketinggian hingga 1 m dari permukaan air

Leptobrachium abbotti Ditepi sungai hingga 2 m dari tepian air Diserasah pinggir sungai hingga diatas batu

Leptolalax gracilis Diserasah pada meter ke 40 dan ditepi sungai.

Diatas serasah dan diatas batu

Chaperina fusca Terdapat pada meter ke 406 pengamatan terestrial

Diatas pohon tumbang dengan ketinggian 50 cm

Kalophrynus pleurostigma Terdapat pada meter ke 60 pengamatan terestrial

Diatas serasah

Microhyla borneensis Terdapat pada meter ke 200 pengamatan terestrial

Diatas serasah

Limnonectes ibanorum Ditengah aliran hingga ditepi sungai hingga 2 m dari tepian air

Diserasah pada pengamatan terestrial hingga diatas batu ditengah sungai

Limnonectes kuhli Terdapat pada meter ke 230 pengamatan, terestrial hingga ditepian sungai

Dikubangan dan diatas batu pinggiran sungai

Limnonectes malaisianus Ditepian sungai hingga 0.5 m dari tepian air

Diatas batu tepian sungai hingga ketinggian 3 m

Limnonectes paramacrodon Ditengah aliran hingga ditepi sungai hingga 2 m dari tepian air

Diatas batu hingga ketinggian

Staurois natator Di tengah aliran air Diatas batu dengan ketinggian

2 m dari permukaan air

Nyctixalus pictus Terdapat pada meter ke 406 pengamatan terestrial

Diatas pohon tumbang dengan ketinggian 50 cm

Polypedates colletti Terdapat pada meter ke 40 pengamatan terestrial di sekitar kubangan

Diatas pohon hingga ketinggian 3 m

Polypedates macrotis Terdapat pada meter ke 75 pengamatan terestrial

Diatas pohon dengan ketinggian 1 m

Rhacophorus appendiculatus Terdapat pada meter ke 40 pengamatan terestrial di sekitar kubangan

Diatas pohon hingga ketinggian 3 m

Rhacophorus cyianopunctatus Ditepian sungai hingga 1 m dari tepian air Diatas pohon dengan ketinggian hingga 2 m

Rhacophorus gauni Ditepian sungai hingga 3 m dari tepian air Diatas pohon dengan ketinggian hingga 2 m

Rhacophorus harrissoni Terdapat pada meter ke 100 pengamatan terestrial

Dikubangan dan diatas pohon dengan ketinggian 2 m

(29)

29

5.1.3 Kisaran ukuran tubuh

Kisaran ukuran tubuh dinyatakan dalam panjang dari ujung moncong hingga kloaka (Snout-Vent Length). Dari kisaran tubuh ini dapat menggambarkan perbandingan antara individu dewasa dan individu anak. Adapun kisaran ukuran tubuh (SVL) beberapa jenis anura disajikan pada Tabel 4. Jenis yang tercantum dalam tabel ditemukan dengan jumlah individu ≥ 2.

Tabel 4 Kisaran ukuran tubuh (SVL) beberapa jenis anura di Kawasan Lindung

Dari hasil pengukuran terhadap semua individu yang tertangkap dilapangan, kisaran terbesar adalah jenis Limnonectes paramacrodon dengan ukuran minimum 4,13 cm dan ukuran maksimum 8,85 cm, dengan jumlah individu tertangkap sebanyak 39 individu. Sedangkan kisaran terkecil adalah jenis

Rhacophorus cyianopunctatus dengan ukuran minimum 2,99 cm dan ukuran maksimum 3,12 cm, dengan jumlah individu tertangkap sebanyak dua individu.

5.1.4 Aktifitas saat dijumpai

(30)

Untuk jenis-jenis yang ditemukan di habitat sungai yaitu Ansonia longidigita, Ansonia leptopus, Bufo asper, Limnonectes ibanorum dan Pedostibes hosii, umumnya ditemukan dalam keadaan diam menandakan jenis ini kurang sensitif terhadap gerakan. Beberapa jenis yang ditemukan lebih sering loncat dari pada diam yaitu Limnonectes kuhlii, Rana chalconota dan Rana picturata, menandakan jenis ini termasuk jenis yang sensitif terhadap gerakan bahkan sering sekali tidak tertangkap dan atau lepas kembali.

Beberapa jenis yang jika terganggu lebih memilih loncat kedalam air yaitu jenis Bufo asper, Limnonectes kuhlii, Limnonectes ibanorum dan Rana picturata,

beberapa jenis yang jika terganggu lebih memilih loncat dari batu ke batu atau substrat keras (kayu) yaitu Limnonectes paramacrodon, Meristogenys phaeomerus dan Staurois natator yang jika terganggu akan meloncat dari batu ke batu, serta beberapa jenis yang jika terganggu memilih loncat ke ranting-ranting tumbuhan yaitu Rana picturata, Polypedates macrotis dan Rhacophorus pardalis.

5.2 Pembahasan

(31)

31

dikarenakan perbedaan dalam usaha pencarian dan metode yang digunakan. Hasil penelitian di Taman Nasional Betung Kerihun menggunakan modifikasi dari metode Heyer et al. (1994) dengan melakukan analisis kuantitatif dengan menggunakan petak (30 m x lebar sungai) sehingga memungkinkan untuk mendapatkan jenis amfibi yang tinggi. Menurut Iskandar, et al (1998) di TNBK telah tercatat 55 jenis amfibi yang termasuk ke dalam enam famili (termasuk

Ichtyophis sp.) yang sangat jarang ditemukan. Perbandingan jumlah jenis anura dapat disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Perbandingan jumlah jenis anura (Terestrial dan Akuatik) yang ditemukan di Pulau Borneo

(32)

Tabel 6 Perbandingan jumlah jenis anura (Terestrial dan Akuatik) yang ditemukan

Perbedaan ini antara lain disebabkan perbedaan usaha dalam pencariaan dan cakupan wilayah penelitian yang memiliki perbedaan ketinggian serta perbedaan kondisi habitat. Perbedaan variasi jenis anura di setiap lokasi berbeda karena adanya perbedaan topografi atau vegetasi, curah hujan ataupun karakteristik fisik sungai (Inger & Vorris 1993).

(33)

33

Manufacturing Kalimantan Timur mendapatkan suhu udara 240C sampai 270C. Menurut Goin & Goin (1971) katak memiliki toleransi suhu antara 3 sampai 410C, sehingga kisaran suhu udara yang diperoleh di lokasi penelitian dapat mendukung kehidupan amfibi.

Menurut Wong (2003) dalam Meijard et al. (2005) faktor-faktor yang mempengaruhi katak adalah pH air sungai, suhu dan kelembaban serta struktur hutan. Selain itu, ketersediaan sumber makanan berkorelasi positif dengan kekayaan spesies katak. Amfibi selalu berasosiasi dengan air (Iskandar 1998). Amfibi memerlukan air untuk bertelur dan berkembang. Susanto (1999) mengatakan bahwa telur pada katak biasanya akan menetas pada air yang suhunya 240 sampai 270C. Berdasarkan kisaran suhu air yang diperoleh di lokasi penelitian yaitu berkisar 230 sampai 250C. Lokasi penelitian ini dapat mendukung perkembangbiakan amfibi. Hal ini terbukti bahwa adanya jenis Leptophryne borbonica dan Nyctixalus pictus yang sedang bertelur di plot pengamatan Sungai Lesan.

Kelembaban yang diperoleh di lokasi penelitian berkisar 73% sampai 91%. Sementara Mediyansyah (2008) memperoleh kisaran kelembaban antara 86% sampai 89% dan Utama (2008) memperoleh kisaran kelembaban antara 72% sampai 89%. Kelembaban di hutan relatif tinggi, hal ini disebabkan oleh adanya penutupan tajuk pohon yang menghalangi sinar matahari dan angin (Inger 1966). Kebanyakan jenis amfibi hidup di kawasan berhutan, karena membutuhkan kelembaban yang cukup untuk melindungi tubuh dari kekeringan (Iskandar 1998).

(34)

serta keberadaan amfibi. Pada ketiga plot pengamatan banyak terdapat pohon yang tumbang dan lapuk sehingga memungkinkan menjadi mikrohabitat bagi jenis tertentu.

Bisa dikatakan bahwa tidak ada perbedaan ketinggian, suhu dan kelembaban antara lokasi penelitian ini dengan lokasi lain yang telah disajikan sebelumnya, sehingga hal ini tidak menjadi faktor yang mempengaruhi perolehan jenis. Akan tetapi adanya faktor lain seperti keanekaragaman habitat, mikrohabitat dan struktur vegetasi yang diduga mempengaruhi komposisi jenis yang ditemukan di setiap lokasi. Kawasan Lindung Sungai Lesan memiliki komposisi mikrohabitat yang cukup beragam seperti serasah, semak, pohon tumbang dan bebatuan namun cenderung memiliki struktur vegetasi yang seragam dengan tegakan yang tidak terlalu rapat.

Habitat akuatik plot pengamatan Sungai Lejak memiliki jenis yang paling banyak ditemukan karena habitat ini masih alami karena terletak pada lokasi yang sulit untuk dijangkau. Sepuluh jenis yang ditemukan pada habitat akuatik Sungai Lejak, yaitu Rhacophorus pardalis, Rhacophorus gauni, Rhacophorus cyianopunctatus, Bufo asper, Pedostibes hosii, Rana picturata, Rana chalconota,

Limnonectes paramacrodon, Limnonectes kuhli dan Limnonectes malesianus.

Jenis yang paling sedikit ditemukan di lokasi penelitian seperti Ansonia leptopus, Ansonia longidigita, Leptophryne borbonica, Leptobrachella mjobergi,

Leptobrachium hendricksoni, Chaperina fusca, Kalophrynus pleurostigma,

Microhyla borneensis, Limnonectes leporinus, Meristogenis whiteheadi, Staurois

natator, Nyctixalus pictus, Rhacophorus gauni dan Rhacophorus harrisoni adalah jenis-jenis yang memiliki sebaran yang sempit dan hanya ditemukan di satu tipe habitat saja. Jenis-jenis tersebut lebih membutuhkan habitat yang relatif tidak terganggu, vegetasi yang lebih bervariasi dan lebih suka hidup di sungai yang jernih dan mengalir.

(35)

35

keanekaragaman di habitat akuatik pada plot pengamatan Sungai Lejak dan nilai keanekaragaman habitat terestrial pada plot pengamatan Sungai Lesan tergolong sedang. Nilai keanekaragaman (H’) pada habitat akuatik dan terestrial pada plot pengamatan anak Sungai Lejak tergolong rendah sampai sedang karena menurut Margalef (1972) dalam Magurran (1988) menyatakan bahwa tingkat keanekaragaman jenis yang tinggi ditunjukkan dengan nilai Indeks Shannon-wiener lebih dari 3,5; digolongkan sedang dengan nilai indeks 1,5-3,5 dan tergolong rendah dengan nilai indeks kurang dari 1,5. Nilai keanekaragaman habitat terestrial pada plot pengamatan anak Sungai Lejak tergolong rendah, hal ini dikarenakan tegakan yang lebih seragam dan tidak terlalu rapat serta hanya sedikit ditemukan habitat berupa lokasi yang berair seperti genangan atau aliran sungai, selain itu mikrohabitat seperti pohon tumbang dan semak yang tersedia relatif lebih sedikit dibandingkan kedua lokasi lainnya. Pada lokasi penelitian nilai keanekaragaman (H’) berkisar antara 0,75 sampai 2,00. Nilai ini tidak berbeda jauh dengan Mediyansyah (2008) yang memperoleh nilai keanekaragaman 0,77 sampai 2,45 dan Utama (2003) yang memperoleh nilai keanekaragaman 1,04 sampai 2,56. Berdasarkan habitat, nilai H’ habitat sungai (1,77) lebih tinggi dibandingkan dengan nilai H’ habitat darat (1,29). Hal ini dikarenakan jumlah jenis maupun individu yang ditemukan di habitat sungai relatif lebih tinggi dari pada habitat darat. Menurut Inger (1980) amfibi lebih cenderung berkonsentrasi di daerah tepi sungai pada malam hari. Selain itu, metode penelitian yang hanya mensurvei satu habitat saja yaitu aliran sungai, relatif mendapatkan jumlah jenis yang sedikit karena jenis-jenis yang hidup jauh dari sungai dan menempati sebagian besar lantai hutan maupun lubang-lubang pohon tidak ditemukan (Zainuddin, et al. 2002).

(36)

akuatik pada plot pengamatan Sungai Lejak dan habitat terestrial pada plot pengamatan Sungai Lesan memiliki kemerataan yang tinggi karena memiliki jumlah individu perjenis yang relatif sama, sedangkan pada habitat terestrial plot pengamatan anak Sungai Lejak memiliki jumlah individu yang dominan. Berdasarkan habitat, nilai E dimana habitat sungai (0,85) lebih tinggi dibandingkan darat (0,69). Hal ini dikarenakan jumlah individu yang ditemukan pada habitat sungai relatif merata untuk setiap jenis dibandingkan dengan habitat darat yang pada beberapa jenis jumlah individu sangat melimpah seperti jenis

Polypedates colletti dan Rhacophorus appendiculatus namun jenis lainnya ditemukan hanya satu individu saja seperti Kalophrynus pleurostigma, Microhyla borneensis, Chaperina fusca dan Nyctixalus pictus.

Survei-survei amfibi di Pulau Kalimantan belum menyeluruh kecuali bagian Sabah dan Sarawak yang sudah banyak dilakukan survei amfibi sehingga informasi beberapa jenis amfibi masih belum mencakup seluruh Kalimantan. Jenis-jenis Bufo asper, Kalophrynus pleurostigma, Limnonectes kuhlii, Rana chalconota, Rana nicobariensis dan Polypedates macrotis merupakan jenis-jenis yang memiliki penyebaran luas dan dijumpai di pulau Kalimantan bahkan juga di pulau-pulau lain (IUCN 2011).

(37)

37

Tabel 7 Pembagian anura yang ditemukan ke dalam beberapa kelompok berdasarkan Inger dan Stuebing (1997)

Katak Terestrial Katak Arboreal Katak Akuatik

Chaperina fusca Polypedates macrotis Staurois natator Leptolalax gracilis Polypedates colletti Limnonectes malesianus Kalophrynus pleurostigma Rhacophorus pardalis Limnonectes leporinus Microhyla borneensis Rhacophorus appendiculatus Rana picturata Ansonia longidigita Rhacophorus harrisoni Limnonectes kuhlii Ansonia leptopus Rhacophorus cyianopunctatus Leptobrachella mjobergi

Rhacophorus gauni Leptobrachium hendricksoni Ciri lain yang dapat digunakan untuk mengelompokkan jenis-jenis anura yaitu selaput pada jari kakinya yang penuh dan tidak penuh (Inger 1966). Umumya jenis-jenis yang bersifat akuatik dicirikan dengan selaput jari kaki yang penuh seperti: Rana chalconota, Rana picturata, Limnonectes ibanorum, Limnonectes kuhlii, Limnonectes leporinus, Staurois natator dan Pedostibes hosii. Sedangkan jenis-jenis yang bersifat darat dicirikan dengan selaput jari kaki yang tidak penuh seperti: Chaperina fusca, Kalophrynus pleurostigma,dan Microhyla borneensis.

Sebaran ekologis jenis Anura yang ditemukan saat pengamatan bervariasi dan penyebarannya menunjukkan kesukaan pada kondisi habitat. Pada habitat sungai misalnya Rana chalconota yang ditemukan ditepian sungai yang tertutup semak atau tumbuhan bawah, Rana picturata yang lebih sering ditemukan diatas pohon pinggiran sungai, Rhacophorus pardalis yang ditemukan di atas pohon dengan ketinggian 2 meter di pinggiran sungai serta Rhacophorus appendiculatus

yang hanya ditemukan di atas pohon di sebuah kubangan. Jenis-jenis yang lebih sering ditemukan di habitat akuatik seperti Bufo asper, Pedostibes hosii, Leptobrachium abbotti, Limnonectes ibanorum dan Limnonectes paramacrodon.

(38)

fungsi tepian sungai yang utuh merupakan tempat yang disukai katak untuk berlindung. Berbeda dengan habitat akuatik, habitat terestrial memiliki komposisi jenis yang lebih sedikit namun ada beberapa jenis yang ditemukan dalam jumlah banyak dan mengelompok seperti Polypedates colletti dan Rhacophorus appendiculatus yang hanya ditemukan di sebuah kubangan kering di plot pengamatan Sungai Lesan dan Rana chalconota yang ditemukan mengelompok pada habitat terestrial di plot pengamatanSungai Lejak.

Jenis-jenis yang umum ditemukan di habitat sungai seperti jenis

Limnonectes ibanorum, Rana chalconota dan Limnonectes paramacrodon

(Iskandar, et al 1998) ditemukan dengan kelimpahan yang tinggi berturut-turut 45 (20,73%), 40 (18,43%) dan 39 (17,97%). Tingginya jumlah individu ketiga jenis ini pada habitat sungai diduga karena perkembangbiakan yang tinggi hampir sepanjang tahun (Inger & Bacon 1968). Sedangkan jenis-jenis umum di sungai menurut Inger (1966) yaitu Rana picturata, Pedostibes hosii, Limnonectes kuhlii

dan Bufo asper ditemukan dalam kelimpahan yang sedang, berturut-turut yaitu 25 (11,52%), 7 (3,22%), 7 (3,22%) dan 5 (2,30%). Staurois natator yang merupakan jenis katak yang habitatnya terbatas hanya di sungai jernih, berbatu dan jarang ditemukan (Inger & Stuebing 1997) hanya ditemukan satu individu saja (0,46%).

Sedangkan jenis katak arboreal yang paling banyak ditemukan adalah jenis

Rhacophorus appendiculatus dan polypedates colletti yaitu 8 (3,68%) dan 9 (4,14%). Rhacophorus pardalis dan Rhacophorus cyanopunctatus ditemukan sebanyak 4 (1,84%) dan 2 (0,92%). Sedangkan Nyctixalus pictus, Polypedates macrotis, Rhacophorus gauni dan Rhacophorus harrisonii hanya ditemukan satu individu saja (0,46%).

Ansonia leptopus ditemukan di plot pengamatan anak Sungai Lejak di kubangan pada saat pengamatan terestrial dengan metode time search. Sedangkan

(39)

39

Menurut Inger (2003) Bufo asper diketahui di jumpai dari Kalimantan, Sumatera dan bagian Asia Tenggara setidaknya sampai ke Thailand. Hal ini menunjukan bahwa Bufo asper lebih bersifat akuatik daripada terestrial. Leptophryne borbonica di temukan di kayu roboh di sisi Sungai Lesan . Jenis ini di temukan pada siang hari saat keberangkatan menuju lokasi. Jenis ini dapat ditemukan dalam jumlah yang banyak di air yang jernih (Iskandar 1998). Pedostibes hosii

hanya ditemukan pada saat pengamtan akuatik saja dan di temukan pada plot pengamatan Sungai Lejak dan Sungai Lesan.

Microhyla borneensis dan Kalophrynus pleurostigma merupakan jenis terestrial jika dilihat dari selaputnya (Das dan Haas 2003). Pernyataan tersebut dibuktikan pada hasil penelitian di Kawasan Lindung Sungai Lesan yang hanya menemukan kedua jenis tersebut pada habitat terestrial tanpa ditemukan pada habitat akuatik, jenis ini biasanya dijumpai pada lantai hutan yang berupa serasah dan kayu lapuk. Katak ini ditemukan pada plot pengamatan Sungai Lejak pada saat pengamatan terestrial. Chaperina fusca di temukan di plot pengamatan anak Sungai Lejak pada siang hari pada saat pembuatan jalur. Kedua jenis ini tinggal di lantai hutan dan bertelur di genangan air di dalam hutan (Inger & Stuebing 1997).

Leptolalax gracilis ditemukan pada pengamatan terestrial di serasah hutan dan akuatik di plot pengamatan anak Sungai Lejak dan Sungai Lesan. Jenis ini berbeda dengan Leptolalax dringi yang memiliki kaki lebih lebar dan perut yang berbeda dari L. gracilis (Inger et al. 1995). Leptobrachella mjobergi dan

Leptobrachium hendricksoni ditemukan di plot pengamatan anak Sungai Lejak pada saat pengamtan akuatik. Kedua jenis ini di temukan pada serasah hutan di pinggir sungai. Leptobrachium abbotti ditemukan pada plot pengamatan anak Sungai Lejak dan Sungai Lesan dan hanya ditemukan pada saat pengamatan akuatik saja. Jenis ini ditemukan di serasah hutan di pinggir sungai.

Rana chalconota merupakan jenis yang ditemukan pada plot pengamatan Sungai Lejak dan Sungai Lesan pada saat pengamatan akuatik dan terestrial. Pada saat pengamatan terestrial jenis ini banyak di temukan di kubangan diatas daun dan pada pengamatan akuatik jenis ini ditemukan diatas daun di pinggir sungai.

(40)

bertengger di ranting-ranting sisi sungai ± 20 sampai 50 cm dari permukaan air.

Limnonectes kuhlii sering ditemukan di atas permukaan tanah di sisi sungai. Jenis ini ditemukan diketiga plot pengamatan pada saat pengamatan akuatik dan terestrial. Jenis ini memiliki selaput yang penuh yang menandakan jenis tersebut lebih menyukai habitat akuatik. Rana nicobariensis biasa berasosiasi dengan Rana chalconota di habitat akuatik danau (Iskandar 1998). Jenis ini ditemukan pada plot pengamatan Sungai Lejak pada pengamatan akuatik. Limnonectes malesianus

saat berukuran kecil lebih sering di temukan di serasah hutan. Namun, setelah dewasa katak ini selalu di temukan di perairan seperti diam di atas kayu atau tanah. Jenis ini ditemukan pada plot pengamatan Sungai Lejak pada pengamatan akuatik. Limnonectes Paramacrodon ditemukan pada saat pengamatan akuatik dan terestrial di ketiga plot pengamatan. Kebanyakan jenis ini ditemukan dengan ukuran tubuh yang besar. Limnonectes leporinus ditemukan di plot pengamatan Sungai Lejak pada pengamatan akuatik. Jenis ini hanya ditemukan satu individu saja dan hanya dikenal di Kalimantan saja (Inger 2003). Limnonectes ibanorum di temukan di ketiga plot pengamatan pada pengamatan terestrial dan akuatik. Jenis ini merupakan jenis yang paling banyak ditemukan dengan total individu yang ditemukan sebanyak 45 individu dan merupakan katak endemik kalimantan (Inger 2003). Meristogenys whiteheadi dan Meristogenys phaeomerus ditemukan pada plot pengamatan anak Sungai Lejak pada pengamatan akuatik. Kedua jenis ini hanya ditemukan satu individu saja. Staurois natator di temukan hanya di plot pengamatan Sungai Lejak pada pengamatan akuatik saja. Jenis ini ditemukan di sungai yang berarus deras dan jernih.

Polypedates colletti dan Rhacophorus appendiculatus ditemukan hanya di plot pengamatan Sungai Lesan pada pengamatan terestrial saja. Kedua jenis ini ditemukan pada saat bersamaan dengan jumlah yang banyak. Kedua jenis ini ditemukan di sebuah kubangan yang sudah kering dan cukup luas serta banyak pohon-pohon yang tumbang. Kedua jenis ini ditemukan sedang bertengger diatas pohon yang ketinggiannya dapat mencapai dua meter. Nyctixalus pictus

(41)

41

Lejak. Jenis ini hanya ditemukan satu individu saja. Family Rhacophoridae diketahui terdapat lebih dari 60 spesies yang setidaknya 41 jenis hanya terdapat di Asia Tenggara saja (Das dan Haas 2005) dan dilokasi penelitian hanya ditemukan lima jenis saja. Rhacophorus cyianopunctatus di temukan pada plot pengamatan Sungai Lejak dan Sungai Lesan pada pengamatan akuatik saja. Jenis ini ditemukan di atas pohon di pinggir sungai. Rhacophorus gauni ditemukan pada plot pengamatan Sungai Lejak pada pengamtan akuatik. Jenis ini ditemukan di atas pohon di pinggir sungai dengan satu individu saja. Rhacophorus harrisoni

ditemukan pada plot pengamatan Sungai Lesan pada pengamatan terestrial. Jenis ini hanya ditemukan satu individu saja. Rhacophorus pardalis hanyaditemukan di plot pengamatan Sungai Lejak saja pada pengamatan terestrial dan akuatik. Jenis ini ditemukan di atas pohon di pinggir sungai dan diatas daun di sekitar kubangan.

(42)

Limnonectes malesianus ditemukan di plot pengamatan sungai Lesan dengan ukuran tubuh yang besar. Menurut Inger & Stuebing (1997) pada saat berukuran kecil jenis ini lebih sering di temukan di serasah hutan. Namun, setelah dewasa katak ini selalu di temukan di perairan seperti diam di atas kayu atau tanah. Jenis Rhacophorus appendiculatus dan Polypedates colletti hanya ditemukan di plot pengamatan Sungai Lesan di batang pohon dengan ketinggian 1-2 meter di sebuah kubangan yang kering dengan jumlah yang banyak dan berkelompok. Menurut mistar 2008 jenis ini jarang ditemukan berkelompok, tetapi pada plot pengamatan Sungai Lesan jenis ini ditemukan berkelompok. Kedua jenis ini tidak ditemukan pada plot pengamatan lainnya.

Sebaran ekologis merupakan sebaran posisi katak dalam habitatnya. Heyer,

et al. (1994) membagi sebaran ini menjadi sebaran horisontal dan vertikal. Sebaran horisontal menggambarkan posisi anura terhadap badan air, sedangkan sebaran vertikal menggambarkan posisi anura terhadap permukaan tanah atau substrat lainnya. Kisaran posisi anura pada penelitian ini dapat tersaji dalam Tabel 3. Dari kisaran posisi anura dapat terlihat jenis-jenis yang terestrial, akuatik maupun arboreal dengan melihat posisi anura pada saat ditemukan. Seperti jenis

Rhacophorus pardalis yang ditemukan diatas pohon dengan ketinggian hingga 3 m, hal ini menandakan jenis ini merupakan anura arboreal.

(43)

43

lebih memilih loncat kedalam air yaitu jenis Bufo asper, Limnonectes kuhlii, Limnonectes ibanorum dan Rana picturata, beberapa jenis yang jika terganggu lebih memilih loncat dari batu ke batu atau substrat keras (kayu) yaitu

Limnonectes paramacrodon, Meristogenys phaeomerus dan Staurois natator yang jika terganggu akan meloncat dari batu ke batu, serta beberapa jenis yang jika terganggu dua kali ditemukan memilih loncat ke ranting-ranting tumbuhan yaitu

(44)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Jumlah jenis yang ditemukan yaitu 31 jenis yang terdiri dari 217 individu dimana 12 (38%) jenis katak yang ditemukan merupakan katak endemik Borneo. Jumlah jenis yang ditemukan pada plot pengamatan Sungai Lejak dan Sungai Lesan memiliki jumlah jenis yang sama yaitu 13 jenis, sedangkan jumlah jenis pada plot pengamatan anak Sungai Lejak sebanyak 9 jenis. Keanekaragaman jenis amfibi di kawasan lindung Sungai Lesan memiliki nilai keanekaragaman berkisar antara 0,75 sampai 2,00.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kawasan lindung Sungai Lesan masih menunjang keberagaman amfibi terutama plot pengamatan Sungai Lejak yang memiliki keanekaragaman yang tinggi. Oleh karena itu plot pengamatan Sungai Lejak harus mendapat perhatian pengelola kawasan dalam mengelola kawasan lindung Sungai Lesan.

6.2Saran

(45)

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS AMFIBI

DI KAWASAN LINDUNG SUNGAI LESAN,

KALIMANTAN TIMUR

RAHMAT ABDIANSYAH

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

(46)

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan.

AmphibiaWeb. 2008. Worldwide Amphibian Declines: How big is the problem, what are the causes and what can be done? http:// amphibiaweb.org/declines /declines.html [15 Mei 2010].

Berry PY. 1975. The Amphibian Fauna of Peninsular Malaysia. Kuala Lumpur: Tropical Pr.

Bina Swadaya. 2006. Laporan Studi Kelayakan Pengembangan Ekowisata di Habitat Orangutan dalam Kawasan Hutan Lindung Sungai Lesan. Jakarta: Bina Swadaya.

Brower JE & Zar JH. 1997. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Iowa: Brown.

Cogger HG. 1999. The Little Guide Reptiles & Amphibians. San Francisco. USA: Fog City Press.

Cogger HG & Zweifel R. 2003. Encyclopedia of Reptiles & amphibians: A comprehensive illustrated guide by international experts (third edition). San Francisco. USA: Fog City Press.

Das I & Haas A. 2003. A New Species of Kalophrynus (anura: Microhylidae) from the highlands of north-central borneo. The Raffles Bulletin of Zoology

51(1): 109-113.

Das I & Haas A. 2005. A New Species of Rhacophorus (anura: Rhacophoridae) from Gunung Gading, Sarawak. The Raffles Bulletin of Zoology 53(2): 257-263.

Fitri A. 2002. Keanekaragaman Jenis Amfibi (Ordo Anura) di Kebun Raya Bogor. [skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Goin CJ & Goin OB. 1971. Introduction to Herpetology. Second Edition. San Francisco: Freeman.

Handoko. 1995. Klimatologi Dasar : Lan dasan Pemahaman Fisika Atmosfer dan Unsur-unsur Iklim. Jakarta: Pustaka Jaya.

Heyer WR, Donnelly MA, McDiarmid RW, Hayek LC, Foster MS. 1994.

(47)

46

Hofrichter R. 2000. The Encyclopedia of Amphibians. Augsburg: Weltbuild.

Inger RF & Voris HK. 1993. A Comparison of Amphibian Communities through Time and from place to place in Bornean Forests. Journal of Tropical ecology 9: 409-433.

Inger RF, Stuebing RB & Lian TF. 1995. New Species and New Record of Anurans of Borneo. Raffles Bulletin of Zoology 43(1): 115-131.

Inger RF, Lian TF & Yambun P. 2001. A New Species of Toad of the Genus Ansonia (anura: Bufonidae) from Borneo. The Raffles Bulletin of Zoology

49(1): 35-37.

Inger RF & Voris HK. 2001. The Biogeographical Relations of The Frogs and Snakes of Sundaland. Journal of Biogeography 28: 863-891.

Inger RF. 2003. Sampling Biodiversity in Bornean Frogs. The Natural History Journal of Chulalongkorn University 3(1): 9-15.

Inger RF. 2005. The Systematics and Zoogeography of the Amphibia of Borneo. Chicago: Field Museum of Natural History.

Inger RF & Stuebing RB. 1997. A Field Guide to the Frogs of Borneo. Sabah: Natural History.

Iskandar DT. 1998. Amfibi Jawa dan Bali–Seri Panduan Lapangan. Bogor: Puslitbang LIPI.

Iskandar DT, Setyanto DY & Liswanto D. 1998. Keanekaragaman Herpetofauna di Taman Nasional Bentuang Karimun, Kalimantan Barat. Prosiding : RPTN Bentuang Karimun 2000-2004.

Iskandar DT (Eds). 2001. The Amphibians and Reptiles of Malinau Region, Bulungan Research Forest, East Kalimantan: Annotated checklist with notes on ecological preferences of the species and local utilization. CIFOR. Bogor, Indonesia. 35 pp.

[IUCN] International Union for Conservation of Nature and Nature Resources.

2011. Initiatif Amphibian Geographic. From

http://www.iucnredlist.org/initiatives/amphibians/analysis/geographic-patterns.

Kminiak M. 2000. Amphibian Habitats. In: R Hofrichter 2000. The Encyclopedia of Amphibians. Augsburg: Weltbild Verlag GmbH.

(48)

Lametschwandtner A & Tiedemann F. 2000. Biology and Physiology. In: R Hofrichter 2000. The Encyclopedia of Amphibians. Augsburg: Weltbild Verlag GmbH.

Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. New Jersey: Princeton University Press.

Mediyansyah. 2008. Keanekaragaman Jenis Amfibi (Ordo Anura) di Stasiun Riset Cabang Panti Taman Nasional Gunung Palung Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat. [skripsi]. Pontianak: Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura.

Mediyansyah & Rachmansyah A. 2010. Laporan Survei Herpetofauna di PT. Cipta Usaha Sejati (CUS) & PT. Jalin Vaneo (JV). Kalimantan.

Meijaard E, Sheil D, Nasi R, Augeri D, Rosenbaum B, Iskandar D, Setyawati T, Lammertink M, Rachmatika I, Wong A, Soehartono T, Stanley S and O’Brien T. 2005. Life after logging: Reconciling wildlife conservation and production forestry in indonesian borneo. CIFOR and UNESCO. Bogor345. pp.

Mistar. 2003. Panduan Lapangan Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser. Bogor: The Gibbon Foundation & PILI-NGO Movement.

Mistar. 2008. Panduan Lapangan Amfibi & Reptil di Areal Mawas Provinsi Kalimantan Tengah. Bornean Orangutan Survival Foundation.

Nardiyono. 2007. Laporan Hasil Survei Sarang Orangutan di Kawasan Lindung Sungai Lesan, Kecamatan Kelay. Tanjung Redeb: The Nature Conservancy.

Nichols JD, Boulinier TJE, Hines KH, Pollock, Sauer JR. 1998. Estimating Rates of Local Species Eextinction, Colonization and Turnover in Animal Communities. Ecological Application 8 (4): 1213-1225.

Nussbaum RA. 1998. Caecilians. In: HG Cogger and RG Zweifel 1998.

Encyclopedia of Reptiles and Amphibians. Second Edition. San Fransisco: Fog City Pr.

Odum EP. 1971. Fundamentals of Ecology. Philadelphia: Saunders.

Odum EP. 1993. Dasar-Dasar Ekologi Edisi Ketiga. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

(49)

48

Primack RB, Supriatna J, Indrawan M, Kramadibrata P. 1998. Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sholihat N. 2007. Pola Pergerakan Harian dan Penggunaan Ruang Katak Pohon Bergaris (Polypedates leucomystax) di Kampus IPB Darmaga. [skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Stebbins RC & Cohen NW. 1997. A Natural History of Amphibians. New Jersey: Princeton Univ. Pr.

Utama H. 2003. Studi Keanekaragaman Amfibi (Ordo Anura) di Areal PT. Intracawood Manufacturing, Kalimantan Timur. [skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Veith M, Wulffraat S, Kosuch J, Hallmann G, Henkel H-W, Sound P, Samsu, Rudhimanto L and Iskandar D. 2004. Amphibians of the Kayan Mentarang National Park (East Kalimantan, Indonesia): Estimating Overall and Local Species Richness. Tropical Zoology 17: 1-13.

Voris HK & Inger RF. 1996. Frog Abudance along Streams In Bornean Forests. Conservation Biology Vol. IX (3) : 679-683.

Zainddin R. 1999. A Brief Note on Frogs of Bario, Kelabit Highlands, Sarawak. AASEAN Review of Biodiversity and Environmental Conservation (ARBEC).

(50)

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS AMFIBI

DI KAWASAN LINDUNG SUNGAI LESAN,

KALIMANTAN TIMUR

RAHMAT ABDIANSYAH

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

Gambar

Gambar 1. Peta Kawasan lindung Sungai Lesan.
Gambar 2  Ukuran SVL (Snout Vent Length) pada katak (garis hitam : a - b).
Gambar 6 Jalur akuatik sungai Lejak
Gambar 9 Jalur akuatik sungai Lesan
+7

Referensi

Dokumen terkait

kawasan di kawasan penelitian ini menguntungkan bagi tumbuhan tingkat semai dan tumbuhan bawah sehingga jumlah jenis yang ditemukan lebih banyak jika dibandingkan

Fakta lapangan menunjukkan bahwa ketersediaan sumber air di habitat Camp Ambung berpengaruh terhadap tingginya jumlah jenis kupu-kupu yang ditemukan dibandingkan

Berdasarkan hasil penelitian dilapangan diketahui pada Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus Samboja struktur jenis vegetasi dan komposisi jenis terdiri dari 342

Hasil dari pengamatan jenis amfibi di kedua jalur pengamat Jumlah jenis amfibi yang ditemukan dilokasi penelitian KHDTK Oelsonbai sama yaitu 5 jenis dengan 4

Lokasi pengamatan I, II, III, dan V memiliki tingkat kemerataaan individu lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi pengamatan IV namun jumlah jenis yang ditemukan

Dari 23 jenis tersebut, sesuai dengan jalur penelitian yang dilaksanakan di Kawasan Hutan Lindung Gunung Talang diketahui bahwa jumlah jenis Orchidaceae paling

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan Indeks Keanekaragaman jenis amfibi (Ordo Anura) dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Semahung termasuk rendah dengan

Dari 23 jenis tersebut, sesuai dengan jalur penelitian yang dilaksanakan di Kawasan Hutan Lindung Gunung Talang diketahui bahwa jumlah jenis Orchidaceae paling