• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS AMFIBI DI KAWASAN LINDUNG SUNGAI LESAN, KALIMANTAN TIMUR RAHMAT ABDIANSYAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS AMFIBI DI KAWASAN LINDUNG SUNGAI LESAN, KALIMANTAN TIMUR RAHMAT ABDIANSYAH"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS AMFIBI

DI KAWASAN LINDUNG SUNGAI LESAN,

KALIMANTAN TIMUR

RAHMAT ABDIANSYAH

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

(2)

RAHMAT ABDIANSYAH. E34061615. Keanekaragaman Jenis Amfibi di

Kawasan Lindung Sungai Lesan, Kalimantan Timur. Dibimbing oleh MIRZA DIKARI KUSRINI dan AGUS PRIYONO KARTONO.

Penelitian mengenai keanekaragaman jenis amfibi dilakukan pada tanggal 31 Juli-19 Agustus 2010 di Kawasan Lindung Sungai Lesan Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Pengambilan data dilakukan pada tiga plot pengamatan yaitu Anak Sungai Lejak, Sungai Lejak dan Sungai Lesan. Metode yang digunakan adalah Visual Encounter Survey (VES) pada habitat terestrial dan akuatik. Data yang diambil meliputi jenis amfibi, jumlah individu tiap jenis, ukuran snout-vent length yaitu panjang tubuh dari moncong hingga kloaka, jenis kelamin, waktu saat ditemukan, perilaku dan posisi satwa di lingkungan habitatnya.

Berdasarkan pengamatan dijumpai 31 jenis amfibi dari 5 famili yaitu Bufonidae (5 jenis), Megophryidae (4 jenis), Microhylidae (3 jenis), Ranidae (11 jenis), dan Rhacophoridae (8 jenis). Dari total 217 individu yang ditemukan yang terdiri dari 31 jenis, famili Ranidae memiliki jumlah individu terbanyak (75,11%) dan jumlah individu yang paling sedikit ditemukan famili Microhylidae (1,38%). Indeks keanekaragaman jenis (H’) pada habitat akuatik (1.77) lebih tinggi dibandingkan dengan H’ terestrial (1,29). Hal ini dikarenakan jumlah jenis maupun individu yang ditemukan di habitat akuatik relatif lebih tinggi dari pada habitat terestrial. Nilai kemerataan jenis (E) pada habitat akuatik (0,86) lebih tinggi dibandingkan dengan (E) terestrial (0,69).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kawasan lindung Sungai Lesan masih menunjang keberagaman amfibi terutama plot pengamatan sungai Lejak yang memiliki keanekaragaman yang cukup tinggi. Oleh karena itu kawasan lindung Sungai Lesan harus mendapat perhatian pengelola kawasan sehingga perlindungan kawasan sangat penting karena kawasan lindung Sungai Lesan memiliki jumlah jenis dan tingkat keanekaragaman yang cukup tinggi.

(3)

RAHMAT ABDIANSYAH. E34061615. Amphibians Diversity in Lesan River

Protected Area, East Kalimantan. Supervised by MIRZA DIKARI KUSRINI and AGUS PRIYONO KARTONO.

Research on amphibian species diversity was conducted from July-August 2010 on Forest Protected Area of Lesan River, Berau regency, East Borneo. Data was collected at three observation plots which are: Lejak watercourse, Lejak River and Lesan River. The method used is Visual Encounter Survey (Ves). The data captured include the type, number of individuals of each species amphibi, the size of the snout-vent length of body length from snout to the cloaca, gender, current time whenspecies was found, the behavior and position of animals in their habitat environment.

Based on the observations, found 31 species of amphibians from five families of Bufonidae (5 types), Megophryidae (4 species), Microhylidae (3 types), Ranidae (11 species), and Rhacophoridae (8 types). Of the total 217 individuals were found to consist of 31 species, family Ranidae has the greatest number of all individual which were found (75.11%) and the number of individuals who at least found is the family Microhylidae (1.38%). Shannon diversity index (H ') in aquatic habitats (1.77) higher compared with H’ terrestrial (1.29). This is because the number of species and individuals found in aquatic habitats is relatively higher than in terrestrial habitats. Evenness (E) in aquatic habitats (0.86) higher compared with E terrestrial (0.69).

The results suggest that protected areas Lesan River still support the diversity amphibians, especially plot observations Lejak river that has a fairly high diversity. Therefore, protected areas should receive attention Lesan River area managers so that protection is very important because the area of protected areas Lesan River has a number of types and levels of diversity is quite high.

(4)

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS AMFIBI

DI KAWASAN LINDUNG SUNGAI LESAN,

KALIMANTAN TIMUR

RAHMAT ABDIANSYAH

Skripsi

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Studi

Keanekaragaman Jenis Amfibi di Kawasan Lindung Sungai Lesan, Kalimantan Timur” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan

bimbingan dosen pemimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi ataupun lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2011

Rahmat Abdiansyah NRP E34061615

(6)

Judul Penelitian : Keanekaragaman Jenis Amfibi di Kawasan Lindung Sungai Lesan, Kalimantan Timur

Nama : Rahmat Abdiansyah

NRP : E34061615

Menyetujui,

Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si. Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. NIP. 19651114 199002 2 001 NIP. 19660221 199103 1 001

Mengetahui, Ketua Departemen

Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB

Prof. Dr. Ir Sambas Basuni, M.S. NIP. 19580915 198403 1 003

(7)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Rahmat Abdiansyah dilahirkan di Kisaran, Sumatera Utara pada tanggal 10 Juli 1988 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Rusdi dan Ibu Abidah. Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1992 di TK Bustanul Athfall Labuhan Batu dan lulus pada tahun 1994. Penulis melanjutkan Sekolah Dasar di SDN 112280 Aek Kanopan dan lulus pada tahun 2000. Tahun 2000 penulis melanjutkan ke SLTPN 1 Aek Kanopan dan lulus pada tahun 2003, setelah itu melanjutkan ke SMAN 1 Aek Kanopan pada taun 2003 dan lulus pada tahun 2006. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur USMI dan pada tahun 2007 diterima pada program mayor Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai anggota dan pengurus Biro Sosial Lingkungan serta Kelompok Pemerhati Herpetofauna pada organisasi HIMAKOVA periode 2007-2009, dan pernah menjadi ketua Biro Sosial Lingkungan pada periode 2008-2009. Penulis pernah melaksanakan praktek dan kegiatan lapangan antara lain: Eksplorasi Fauna, Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) di Cagar Alam Gunung Simpang Jawa Barat (2008) dan Cagar Alam Rawa Danau Jawa Barat (2009), Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (2008), Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cilacap dan Baturraden (2008), Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (2009), serta Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Merbabu (2010). Dalam usaha memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjan Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis menyusun skripsi berjudul ”Keanekaragaman Amfibi di Kawasan Lindung Sungai Lesan Kabupaten Berau Kalimantan Timur” yang dibimbing oleh Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si dan Dr. I.r. Agus Priyono Kartono, M.Si.

(8)

Alhamdulillahirabbil `aalamiin. Puji dan syukur dipanjatkan ke-Hadirat

Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana. Salawat dan salam penulis sampaikan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, kepada keluarga dan para sahabatnya serta para pengikutnya.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si. dan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan dorongan semangat, nasehat dan bimbingannya.

2. Orang tuaku tercinta yaitu Bapak Rusdi Nasution dan Ibu Abidah Sitorus serta adikku Muhammad Rizki Nauli dan Abangku Hatta Agus Kurniawan S.Pi yang memberikan doa, dorongan serta semangat selama kegiatan penelitian ini.

3. Ir. Iwan Hilwan, MS sebagai dosen penguji dari Departemen Silvikultur serta Ir. Edhi Sandra, M.Si sebagai ketua siding. Terimakasih atas arahan dan masukan untuk penulis.

4. Pihak TNC (The Nature Conservancy) atas kesediaannya memberikan segala fasilitas kepada penulis untuk melaksanakan penelitian di Kawasan Lindung Sungai Lesan.

5. Bu Rondang yang telah bersedia menemani penelitian ini serta segala bantuan dan motivasinya selama proses penulisan.

6. Mas Nardi, Mas Pur, Mas Jas, Mas Sudi dan seluruh pegawai TNC Berau yang telah menemani dan mendampingi penulis selama di lapang serta membantu segala proses yang dibutuhkan selama penelitian.

7. Saudara dan sahabat perjuangan penelitian Arief Tajalli atas bantuan dan kebersamaan di lapangan untuk melewati hari-hari penuh pelajaran yang berharga.

8. Noor Aeni dan Reni Lestari yang telah membantu dalam proses penulisan skripsi sampai seminar dan Ujian akhir.

(9)

kebersamaan, kekompakkan, kekeluargaan, persaudaraan serta semua hal yang telah dilakukan bersama hingga menjadi pengalaman dan pembelajaran hidup yang sangat berarti bagi penulis.

10. Keluarga besar HIMAKOVA, Khususnya periode kepengurusan tahun 2007-2009 atas segala kebersamaan, kekompakkan, serta pengalaman yang telah dilalui.

11. Saudara dan sahabat seperjuangan di KSHE (Bang Bery, Agung, Didit, Fajar, Domi, Stefhen, Haray, Catur radit, TooCooL, Akmal, Afroh, Iman, Dinen dan Bucok) atas kebersamaan melewati hari-hari penuh pengalaman dan kenangan.

12. Arniana Anwar atas dorongan semangat, motivasi dan bantuan yang diberikan kepada penulis.

13. Tim Dota Tangkaran (Ary Chim, Septian, Irham, Adam, Adis, Faith, Yasa, Mundi, Ashary, Mamat, Daud, dll) atas kebersamaannya dalam permainan Dota.

14. Keluarga Besar DKSHE atas bantuannya yang sudah membantu penulis selama menuntut ilmu di IPB.

15. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini apapun bentuknya.

(10)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penyusun panjatkan ke-Hadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Salawat dan salam penyusun panjatkan kepada suri tauladan kita Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya. Penelitian ini berjudul “Studi Keanekaragaman Jenis Amfibi di

Kawasan Lindung Sungai Lesan, Kalimantan Timur” yang dibimbing oleh

Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si. dan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. Kawasan lindung Sungai Lesan merupakan wilayah bekas HPH. Pengelolaan kawasan ini dilakukan oleh The Nature Coservancy (TNC) dan bekerja sama dengan masyarakat lokal. Sebagai suatu kawasan lindung, Sungai Lesan membutuhkan data dan informasi tentang keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya agar pengelolaannya lebih optimal. Oleh karena itu penulis mencoba melakukan penelitian tentang keanekaragaman amfibi di berbagai habitat pada Kawasan Lindung Sungai Lesan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu segala bentuk kritik dan masukan yang bertujuan untuk memperbaiki skripsi ini sangat diharapkan penulis. Akhir kata penulis hanya dapat berharap semoga karya yang telah dibuat ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, 29 September 2011

(11)

(i)

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv DAFTAR LAMPIRAN ... v BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Tujuan ... 2 1.3. Manfaat ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1. Taksonomi ... 3

2.2. Ekologi ... 4

2.3. Habitat ... 5

2.4. Penyebaran dan Keanekaragaman Amfibi di Kalimantan ... 6

2.5. Konservasi Katak di Kalimantan ... 7

2.6. Status Amfibi di Dunia ... 8

BAB III METODE PENELITIAN ... 9

3.1. Lokasi dan Waktu ... 9

3.2. Alat dan Bahan ... 9

3.3. Pengumpulan Data ... 10

3.3.1. Jenis data yang dikumpulkan ... 10

3.3.2. Teknik pengumpulan data ... 11

3.4. Analisis Data ... 13

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 15

4.1. Letak Kawasan Lindung Sungai Lesan ... 15

4.2. Kondisi Iklim ... 15

4.3. Kondisi Hidrologi ... 16

4.4. Topografi ... 16

4.5. Kondisi Penutupan Lahan ... 16

4.6. Tingkat Bahaya Erosi ... 17

4.7. Keanekaragaman Flora dan Fauna ... 17

4.8. Sosial Budaya ... 18

4.9. Kondisi setiap Plot Pengamatan yang diteliti ... 19

4.9.1. Anak Sungai Lejak ... 19

4.9.2. Sungai Lejak ... 20

4.9.3. Sungai Lesan ... 22

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

5.1. Hasil Penelitian ... 24

(12)

(ii)

5.1.3. Kisaran ukuran tubuh ... 29

5.1.4. Aktifitas saat dijumpai ... 29

5.2. Pembahasan ... 30

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 44

6.1. Kesimpulan ... 44

6.1. Saran ... 44

DAFTAR PUSTAKA ... 45

(13)

(iii)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Alat dan bahan yang digunakan ... 10 2. Daftar jenis amfibi yang ditemukan di lokasi penelitian ... 26 3. Kisaran posisi beberapa jenis Anura saat ditemukan di Kawasan

Lindung Sungai Lesan ... 28 4. Kisaran ukuran tubuh (SVL) beberapa jenis Anura di Kawasan

Lindung Sungai Lesan Kalimantan Timur ... 29 5. Perbandingan jumlah Anura (terestrial dan akuatik) yang

ditemukan di Pulau Kalimantan ... 31 6. Perbandingan jumlah Anura (akuatik) yang ditemukan dari hasil

beberapa penelitian di Borneo ... 32 7. Pembagian anura yang ditemukan ke dalam beberapa kelompok

(14)

(iv)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Peta kawasan hutan lindung sungai Lesan ... 9

2. Ukuran SVL (Snout Vent Length) pada katak (garis hitam a – b) ... 10

3. Jalur terestrial anak Sungai Lejak dan kubangan dalam jalur ... 19

4. Jalur akuatik anak Sungai Lejak ... 20

5. Jalur terestrial Sungai Lejak ... 21

6. Jalur akuatik Sungai Lejak ... 21

7. Jalur terrestrial pertama Sungai Lesan (kubangan) ... 22

8. Jalur terestrial kedua Sungai Lesan ... 23

9. Jalur akuatik Sungai Lesan ... 23

10. Grafik penambahan jenis ... 26

11. Nilai indeks keanekaragaman jenis ... 27

(15)

(v)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Deskripsi jenis amfibi yang ditemukan di Kawasan Lindung

Sungai Lesan ... 50 2. Data iklim (suhu air, suhu udara, kelembaban, dan cuaca) di

lokasi penelitian ... 77 3. Data nilai keanekaragaman jenis (H’ dan E) ... 78

(16)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Amfibi merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang menghuni habitat perairan, daratan hingga arboreal. Menurut Kusrini (2009) amfibi merupakan salah satu biota yang kurang mendapat perhatian dalam penelitian di Indonesia meskipun keberadaannya memiliki peranan penting sebagai bagian dari rantai makanan dan juga memiliki berbagi kegunaan bagi manusia. Amfibi merupakan indikator yang baik untuk menilai kondisi hutan karena amfibi sangat sensitif terhadap ekologi dan perubahan iklim (Iskandar 2001).

Pulau Kalimantan merupakan pulau terbesar kedua di Indonesia setelah Irian Jaya dan sebagai pulau dengan beragam ekosistem dari pantai sampai pegunungan, belum banyak dilakukan penelitian mengenai amfibi sehingga informasi mengenai amfibi di pulau Kalimantan masih terbatas, baik komposisi jenis maupun penyebarannya, kecuali di Sabah dan Sarawak yang telah diteliti dan disurvei secara intensif oleh para ahli sejak dahulu (Zainuddin et al. 2002), antara lain di Nanga Terkalit Sarawak (Voris & Inger 1996) dan di bagian Sabah dan Sarawak (Inger & Stuebing 1991). Catatan mengenai keanekaragaman amfibi antara lain bisa ditemukan dari hasil survei yang tidak dipublikasikan dalam jurnal seperti penelitian di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (HIMAKOVA 2008), Hutan Lindung Beratus (Mistar 2008), Taman Nasional Gunung Palung (Mediyansyah 2008), Taman Nasional Betung Kerihun (Iskandar et al. 1998) dan HPH PT Intracawood Manufacturing Kalimantan Timur (Utama 2003). Di pulau Kalimantan kini tercatat sebanyak 141 jenis katak yang termasuk kedalam enam famili, 88 jenis diantaranya (62,41%) merupakan jenis endemik (Inger dan Voris 2001).

Keanekaragaman jenis merupakan salah satu variabel yang berguna bagi tujuan manajemen dalam konservasi. Perubahan dalam kekayaan jenis dapat digunakan sebagai dasar dalam memprediksi dan mengevaluasi respon komunitas tersebut terhadap kegiatan manajemen (Nichols et al. 1998). Menurut SK Dirjen Pelestarian Hutan dan Perlindungan Alam (PHPA) No. 129 Tahun 1996, kawasan hutan lindung merupakan salah satu bagian dari kawasan konservasi yang

(17)

berfungsi sebagai pengawet keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya baik di dalam maupun di luar habitatnya agar tidak punah. Kawasan Lindung Sungai Lesan merupakan kawasan yang memiliki luas kawasan 11.342,61 ha yang memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi. Tingkat keanekaragaman mamalia dan burung sudah diketahui di kawasan ini, tetapi keberadaan amfibi di kawasan ini belum diketahui tingkat keanekaragaman jenisnya dikarenakan di kawasan ini belum pernah dilakukan penelitian amfibi. Penelitian tentang keanekaragaman amfibi di kawasan lindung Sungai Lesan perlu dilakukan agar dapat mengetahui tingkat keanekaragaman yang dapat digunakan sebagai data informasi bagi pengelola Kawasan Lindung Sungai Lesan.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menentukan tingkat keanekaragaman jenis amfibi di Kawasan Lindung Sungai Lesan.

2. Membandingkan komposisi jenis di setiap plot pengamatan di Kawasan Lindung Sungai Lesan.

1.3 Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari penelitian keanekaragaman amfibi adalah untuk melengkapi data dan informasi jenis amfibi di kawasan lindung Sungai Lesan. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan bagi badan pengelola untuk dapat mengelola kawasan lindung khususnya pengelolaan satwa liar.

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taksonomi

Katak dengan warna kulitnya, cara hidup, hingga bentuknya yang beranekaragam menjadi daya tarik tersendiri. Hampir semua orang mengenal katak atau kodok, terutama karena ekologinya yang khas yaitu mengalami metamorfosis. Akan tetapi, tidak banyak orang yang mengetahui bahwa katak (anura) bukan satu-satunya amfibi. Selain katak (anura) masih ada bangsa Caudata atau salamander yang tidak dijumpai di Indonesia dan bangsa Gymnophiona atau sesilia yang berbentuk menyerupai cacing (Kusrini 2009). Amfibi merupakan vertebrata pertama yang beralih dari darat ke air. Diketahui bahwa jenis amfibi pertama yang beralih dari darat ke air adalah Ichthyostega dan Acanthostega (Cogger & Zweifel 2003). Amfibi menghuni habitat yang sangat bervariasi, dari tergenang di bawah permukaan air sampai yang hidup di puncak pohon yang tinggi (Iskandar 1998). Menurut Cogger (1999) amfibi terbagi menjadi tiga bangsa atau kelompok besar yaitu salamander (Caudata), sesilia (Gymnophiona), dan katak (Anura).

Bangsa Caudata atau salamander merupakan satu-satunya bangsa yang tidak terdapat di hampir seluruh Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Daerah terdekat yang dihuni salamander adalah Vietnam Utara dan Thailand Utara. Ordo Gymnophiona atau yang lebih dikenal dengan sebutan sesilia merupakan satwa yang dianggap langka dan sulit diketahui keberadaannya di alam. Jumlah jenis dari ordo ini adalah sebanyak 170 jenis dari seluruh jenis amfibi. Ichthyophiidae merupakan salah satu famili yang terdapat di Asia Tenggara. Tidak semua ordo dalam kelas amfibi terdapat di Indonesia (Iskandar 1998). Caudata merupakan satu-satunya ordo dari Amfibi yang tidak terdapat di Indonesia. Ordo Anura terdiri dari katak dan kodok. Menurut laporan IUCN (2008) saat ini terdapat lebih dari 6.260 jenis Anura di dunia dan di Indonesia memiliki sekitar 363 jenis.

Di Indonesia terdapat sepuluh famili dari Ordo Anura yang ada di dunia. Famili-famili tersebut adalah Bombinatoridae (Discoglossidae), Megophryidae (Pelobatidae), Bufonidae, Lymnodynastidae, Myobatrachidae, Microhylidae, Pelodryadidae, Ranidae, Rhacophoridae dan Pipidae (Iskandar 1998).

(19)

2.2 Ekologi

Amfibi hidup selalu berasosiasi dengan air karena air dapat menjaga perubahan temperatur pada tubuhnya sehingga amfibi selalu berada dekat dengan air (Iskandar 1998). Menurut Hofrichter (2000) jumlah air dalam tubuh kira – kira 70 – 80% dari berat tubuh amfibi. Ada beberapa jenis amfibi yang tinggal tidak dekat dengan air, sehingga mereka menggunakan berbagai strategi untuk mempertahankan air di dalam tubuhnya.

Amfibi bernafas dengan meggunakan paru-paru, sedangkan pada berudu (amfibi muda) umumnya bernafas dengan menggunakan insang. Pada saat metamorfosis, terjadi perubahan morfologis dimana berudu yang berbentuk ikan dan bernapas dengan meggunakan insang berubah menjadi vertebrata bertungkai dan bernafas dengan paru-paru. Menurut Mistar (2003) air merupakan keharusan dalam fase berudu dan fase berudu merupakan bagian dari proses evolusi pada amfibi yang paling komplek, dan apabila gagal dalam fase ini maka selamanya tidak akan pernah menjadi katak atau kodok.

Pada umumnya amfibi tinggal di daerah berhutan yang lembab dan beberapa spesies seluruh hidupnya tidak bisa lepas dari air (Iskandar 1998). Sekitar 70 sampai 80% dari berat tubuhya adalah air (Kminiak 2000). Amfibi membutuhkan kelembaban yang cukup untuk melindungi diri dari kekeringan pada kulitnya (Iskandar 1998). Hal ini karena kulit pada amfibi digunakan untuk pernapasan selain paru-paru (Lametschwandtner & Tiedemann 2000). Amfibi merupakan spesies yang menghabiskan siklus hidupnya dalam habitat riparian dan memanfaatkan sungai untuk berkembangbiak dan perkembangan larva (Inger & Vorris 1993).

Amfibi merupakan satwa poikilotherm atau ektotermik yang berarti amfibi tidak dapat menggunakan proses metabolisme di dalam tubuhnya untuk dijadikan sebagai sumber panas, tetapi amfibi memperoleh sumber panas dari lingkungan untuk mendapatkan energi. Oleh karena itu amfibi mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap kondisi lingkungan (Mistar 2003).

Untuk mempertahakan diri dari pemangsa dan penyakit, amfibi mempunyai berbagai bentuk mekanisme pertahanan diri. Menurut Iskandar (1998) cara amfibi untuk mempertahankan diri dari bahaya antara lain:

(20)

1. Mengandalkan kaki belakang untuk melompat dan menghindar 2. Berkamuflase dengan lingkungan untuk menghindari predator 3. Mengeluarkan racun dari kulitnya.

Amfibi tidak memiliki alat fisik untuk mempertahankan diri. Sebagian besar anura melompat untuk melarikan diri dari predator. Jenis-jenis yang memiliki kaki yang relatif pendek memiliki strategi dengan cara menyamarkan warnanya menyerupai lingkungannya untuk bersembunyi dari predator. Beberapa jenis anura memiliki kelenjar racun pada kulitnya, seperti pada famili Bufonidae (Iskandar 1998).

2.3 Habitat

Berdasarkan habitatnya, katak hidup pada daerah pemukiman manusia, pepohonan, habitat yang terganggu, daerah sepanjang aliran sungai atau air yang mengalir, hutan primer dan sekunder (Iskandar 1998). Menurut Mistar (2003) habitat utama amfibi adalah hutan primer, hutan rawa, sungai besar, sungai sedang, anak sungai, serta kolam dan danau. Amfibi mempunyai habitat yang sangat bervariasi, dari genangan di bawah permukaan air sampai yang hidup di puncak pohon yang tinggi. Kebanyakan jenis hidup di kawasan berhutan dan ada juga hidup di sekitar sungai dan tidak pernah meninggalkan sungai. Tidak ada jenis katak yang tahan terhadap air asin atau air payau, kecuali pada dua jenis katak, salah satunya adalah Fejervarya cancrivora atau katak sawah, jenis katak yang sangat dekat hubungannnya dengan kegiatan manusia (Iskandar 1998).

Mistar (2003) mengelompokkan amfibi menjadi empat menurut tipe habitat dan kebiasaan hidupnya, yaitu:

1. Terestrial-hidup di atas permukaan tanah, diantaranya Megophrys nasuta, M. montana, M. aceras, Bufo quadriporcatus, B. parvus, Pedostibes hosii, Kalophrynus pleurostigma, K. punctatus, Rhacophorus sp, Philautus.

2. Arboreal-kelompok yang hidup di atas pohon yang diwakili oleh famili: Rhacophoridae, dua spesies family Microhylidae dan satu spesies katak puru pohon Pedostibes hosii.

(21)

3. Akuatik-kelompok amfibi yang sepanjang hidupnya selalu terdapat di sekitar sungai atau air diantaranya Bufo asper, B. juxtasper, Occidozyga sumatrana, Rana kampeni, R. sigana; Limnonectes spp.

4. Fossorial-kelompok yang hidup di dalam lubang-lubang tanah yamg diwakili oleh family Microhylidae.

2.4 Penyebaran dan Keanekaragaman Amfibi di Kalimantan

Amfibi dapat hidup di berbagai tipe habitat mulai dari hutan pantai, hutan dataran rendah hingga hutan pegunungan yang esktrim, kecuali daerah kutub dan gurun (Mistar 2003). Ordo Gymnophiona terdapat di wilayah tropis dan subtropis (Nussbaum 1998). Di Indonesia Ordo Gymnophiona dapat ditemukan di Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Ordo Caudata tidak ditemukan di Indonesia, tetapi daerah terdekat yang dapat ditemukan ordo ini adalah Vietnam Utara dan Thailand Utara (Iskandar 1998).

Borneo adalah nama Kalimantan secara keseluruhan yang merupakan

pelabuhan keanekaragaman hayati endemik termasuk didalamnya amfibi dan reptil. Menurut Mistar (2008) terdapat 100 jenis amfibi endemik yang terdapat di Kalimantan. Salah satu jenis endemik Kalimantan yaitu Borbourula kalimantanensis yang merupakan katak yang tidak mempunyai paru-paru (Bickford et al. 2008).

Ordo anura terdapat diseluruh Indonesia dari Sumatera sampai Papua (Iskandar 1998). Amfibi yang ditemukan di Kalimantan terdiri atas Ichtyophidae, Bufonidae, Megophryidae, Microhylidae, Ranidae, Rhacophoridae. Menurut Inger & Voris (2001) tingkat kesamaan jenis katak di Jawa dengan Kalimantan lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kesamaan jenis katak di Jawa dengan Sumatera. Katak yang terdapat di Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan dan Jawa berasal dari wilayah gugusan Sunda Besar.

Di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya ditemukan 29 jenis yang termasuk dalam enam famili, yakni: Ichtyophidae, Bufonidae, Megophryidae, Microhylidae, Ranidae, dan Rhacophoridae (HIMAKOVA 2008). Mediyansyah (2008) menemukan 25 jenis amfibi di Gunung Palung Kabupaten Ketapang, sedangkan Mediyansyah dan Rachman (2010) menemukan 30 jenis amfibi dari 6

(22)

famili di Gunung Palung Kabupaten Ketapang. Mistar (2008) menemukan 37 jenis amfibi dari 6 famili di hutan lindung Beratus dan 20 jenis amfibi yang ditemukan di areal kerja PT. Sari Bumi Kusuma (Mistar 2008). Di areal HPH PT Intracawood Manufacturing ditemukan 27 jenis amfibi dari 5 famili (Utama 2003) dan Iskandar et al. (1998) menemukan 55 jenis amfibi (termasuk satu jenis yang tidak umum, Ichthyopis sp) yang termasuk kedalam 6 famili di Taman Nasional Betung Kerihun.

2.5 Konservasi Katak di Kalimantan

Pulau Kalimantan merupakan pulau yang sangat besar, kira-kira 1200 km dari Utara ke Selatan dan dari Timur ke Barat dengan variasi topografi yang besar dan elevasi maksimum 4100 m (Inger 2003), belum banyak dilakukan penelitian mengenai amfibi, padahal banyak jenis baru yang mungkin ditemukan. Konsumsi katak oleh manusia dalam beberapa kasus jarang menimbulkan masalah jika dibandingkan dengan perubahan habitat. Salah satu jenis asli penghuni hutan yang mungkin dapat terpengaruh oleh perubahan yaitu Limnonectes leporinus karena jenis ini lambat perkembangbiakannya (Inger & Stuebing 1997).

Menurut Veith et al. (2004) keanekaragaman amfibi yang tinggi di Kalimantan dijelaskan oleh beberapa faktor: (i) Borneo terletak di khatulistiwa yang memiliki daerah tropis yang lembab. (ii) Borneo berulang kali terhubung dan terputus dari daratan dan pulau-pulau lainnya. (iii) Tingkat endemik yang tinggi (misal, 25% ular, 45% kadal, dan 65% katak). Kesamaan jenis antara amfibi melayu dan amfibi sumatera jauh lebih besar daripada amfibi Borneo (Inger & Vorris 2001).

Ancaman utama keanekaragaman hayati saat ini adalah hilangnya habitat, fragmentasi habitat dan penangkapan atau perburuan terhadap keanekaragaman yang tidak sesuai dengan tingkat pengembaliannya (Primack et al. 1998). Dengan semakin meningkatnya kerusakan habitat amfibi dan perburuan amfibi untuk dibudidayakan dan di konsumsi manusia, dikhawatirkan jumlah spesies amfibi akan semakin menurun serta proses kepunahan akan berjalan cepat.

(23)

2.6 Status Amfibi di Dunia

Tahun 2008 IUCN melaporkan hasil analisis 650 pakar amfibi dari 60 negara terhadap status amfibi. Data dari hasil studi itu menjadi dasar untuk konservasi amfibi global dan digunakan untuk merancang menyelamatkan amfibi dari penurunan populasi. Hasil penelitian tersebut antara lain menyatakan:

1. Hampir sepertiga (32%) spesies amfibi di dunia terancam punah, 43% tidak terancam, dan 25% memiliki data yang cukup untuk menentukan status ancamannya.

2. Sebanyak 159 spesies amfibi mungkin sudah punah, setidaknya 38 spesies yang diketahui punah, salah satunya punah di alam, sedangkan 120 spesies lainnya belum ditemukan dalam beberapa tahun terakhir dan kemungkinan punah.

3. Setidaknya 42% dari semua spesies mengalami penurunan populasi dan kurang dari satu persen spesies menunjukkan peningkatan populasi.

4. Jumlah spesies terancam terbesar terjadi di negara Amerika Latin seperti Kolombia (214), Meksiko (211), dan Ekuador (171). Namun, tingkat ancaman tertinggi berada di Kribia dimana lebih dari 80% spesies amfibi terancam punah.

Jumlah jenis amfibi yang diketahui di dunia mengalami perubahan seiring dengan makin banyaknya penelitian. Laporan IUCN tahun 2008 menyatakan pada tahun 2004 terdapat 5.743 spesies amfibi di dunia dan pada tahun 2006 meningkat menjadi 5.918 serta tahun 2008 sampai sekarang terdapat 6.260 spesies amfibi. Tidak semua spesies tambahan merupakan spesies baru, tetapi beberapa spesies merupakan subspesies yang dijadikan spesies.

(24)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Kawasan Lindung Sungai Lesan. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 31 Juli sampai 19 Agustus 2010 di Kawasan Lindung Sungai Lesan, Kalimantan Timur (Gambar 1).

Gambar 1. Peta Kawasan lindung Sungai Lesan.

3.2 Alat dan Bahan

Objek yang diamati dalam penelitian ini adalah keanekaragaman amfibi di kawasan lidung Sungai Lesan. Alat yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1.

(25)

Tabel 1 Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian

No. Alat Penggunaan A. Pembuatan transek pengamatan

1. Meteran (50m) Pengukuran panjang transek 2. Kompas Pengukuran arah transek

3. Alat GPS Pembuatan transek dan titik lokasi 4. Tali rafia Penandaan transek pengamatan 5. Peta Penentuan lokasi pembuatan transek B. Pengumpulan spesimen

1. Headlamp dan baterai Alat penerang survey malam

2. Kantong spesimen Tempat pengumpulan spesimen sementara 3. Spidol permanen Penulisan label

4. Jam tangan/stop watch Pengukur waktu

5. Alat tulis Pencatatan data lapangan 6. Buku panduan identifikasi jenis amfibi identifikasi jenis amfibi

7. Kaliper Pengukuran panjang tubuh amfibi (SVL) 8. Timbangan/neraca pegas (5, 10, 100, 250 gr) Pengukuran berat tubuh amfibi

9. Tabung sampel Tempat penyimpanan spesimen 10. Kapas Pembuatan spesimen

11. Alat suntik Pengawetan spesimen 12. Kertas label dan benang Label spesimen 13. Kaca pembesar Pengamatan ciri amfibi C. Pengukuran faktor lingkungan

1. Termometer Pengukuran suhu udara dan air 2. Higrometer Pengukuran kelembaban udara 3. pH meter Pengukuran kemasaman air D. Alat Dokumentasi

1. Kamera, film dan baterai Pengambilan foto

Bahan penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah alkohol 70% yang digunakan untuk pengawetan spesimen.

3.3 Pengumpualan Data

3.3.1 Jenis data yang dikumpulkan

Adapun jenis-jenis data yang dikumpulkan yaitu :

1. Data satwa amfibi, meliputi : jenis, jumlah individu tiap jenis, ukuran snout-vent length yaitu panjang tubuh dari moncong hingga kloaka tiap jenis, waktu saat ditemukan, perilaku dan posisi satwa di lingkungan habitatnya.

(26)

2. Data habitat berdasarkan checklist Heyer et al. (1994), meliputi: tanggal dan waktu pengambilan data, nama lokasi, substrat/lingkungan tempat ditemukan, tipe vegetasi dan ketinggian, posisi horisontal terhadap badan air, posisi vertikal terhadap permukaan air, suhu udara, suhu air, kelembaban udara dan pH air.

3. Data sekunder yang diperlukan adalah informasi tentang amfibi yang pernah ditemukan dan studi literatur tentang amfibi pada habitatnya. Selain itu, curah hujan dan iklim dari stasiun klimatologi setempat juga diperlukan untuk menunjang data habitat.

3.3.2 Teknik pengumpulan data

Metode yang digunakan dalam pengambilan data keanekaragaman amfibi yaitu Survei Penjumpaan Visual (Visual Encounter Survey) (Heyer et al. 1994) dan time search selama 2 jam. Teknik pelaksanaan metode di lapangan yaitu :

1) Orientasi lapangan dan penjelajahan sebagai langkah awal. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi dan karakteristik habitat di setiap lokasi penelitian sehingga mempermudah penentuan lokasi.

2) Penetapan lokasi survei. Setiap plot pengamatan dibuat dua jalur yaitu akuatik dan terestrial kemudian dilakukan dua kali ulangan untuk setiap jalurnya. Jalur pengamatan (akuatik & terestrial) dibuat lurus sepanjang ±400 meter, dan menandai jalur untuk setiap 10 m. Sedangkan lebar jalur dibuat sejauh 5 m pada kanan dan kiri jalur, hal ini dilakukan untuk mempermudah pencarian. Untuk metode time search dilakukan pencarian selama 2 jam tidak tergantung pada panjang dan lebar jalur.

3) Penangkapan dan pengumpulan sampel dilakukan dengan mendatangi jalur pengamatan pada malam hari selama dua kali ulangan untuk setiap jalur. Pengamatan malam hari dilakukan pada pukul 19.00-22.00. Pencarian amfibi dilakukan dengan bantuan senter. Pengamatan dimulai saat di titik nol pada jalur dan difokuskan pada tempat-tempat yang diperkirakan menjadi sarang atau tempat persembunyian amfibi, seperti ranting pohon, di bawah kayu lapuk, diantara akar-akar pohon, di celah – celah batu, di lubang bawah tanah, di bawah tumpukan serasah, atau di tepi sungai. Setiap individu amfibi yang terlihat akan ditangkap lalu

(27)

dimasukan ke dalam kantong plastik untuk kemudian dicatat waktu ditemukan, aktivitas/perilaku, posisi horizontal dan vertikal, tipe subtrat, dan informasi lain (Heyer et al. 1994).

4) Pengawetan spesimen amfibi yang belum teridentifikasi. Jenis-jenis yang sudah diketahui namanya dilepas kembali ke habitat semula. Sementara untuk jenis-jenis yang belum teridentifikasi dibuat spesimen. Amfibi yang diawetkan hanya diambil maksimal dua individu untuk setiap jenis. Sementara untuk jenis yang umum dan sudah teridentifikasi hanya diambil gambarnya secara menyeluruh. Tata cara preservasi yaitu :

- Terlebih dahulu identifikasi terhadap ciri umum dan ambil gambar pada saat spesimen masih hidup. Lalu menyiapkan alat dan bahan preservasi. - Sebelum dimatikan, spesimen dibuat pingsan dengan cara memasukan

ke dalam air yang sudah dicampur dengan MS222. Setelah itu, amfibi dimatikan dengan cara menyuntik amfibi dengan alkohol 70% dibagian bawah tengkorak.

- Setelah mati, spesimen disuntik dengan alkohol 70% ke dalam bagian tubuh seperti perut, femur, tibia, tarsus dan bisep.

- Sebelum spesimen kaku, mulut spesimen dimasukan kapas untuk memudahkan identifikasi dan diberi kertas label yang berisi keterangan spesimen tesebut.

- Untuk sementara spesimen tersebut dimasukkan ke dalam kotak yang telah beralaskan kapas yang sudah dibasahi alkohol 70%. Bentuk spesimen diatur supaya mudah untuk keperluan identifikasi.

- Spesimen kemudian dipindahkan ke dalam botol yang berisi alkohol 70% sampai terendam.

5). Setelah spesimen dipreservasi kemudian akan diidentifikasi. Identifikasi jenis amfibi dengan menggunakan buku panduan identifikasi amfibi “Frogs of Borneo” (Inger & Stuebing, 1997) dan buku panduan lapangan amfibi & reptil di areal Mawas Provinsi Kalimantan Tengah (Mistar 2008) dengan penamaan spesies mengikuti Iskandar dan Colijn (2000). Jenis anura yang ditemukan dapat dibagi menjadi beberapa kelompok anura seperti: anura terestrial, akuatik dan arboreal. Pengelompokan jenis

(28)

anura ini berdasarkan hasil temuan di lapangan serta studi literatur yang menggunakan literatur Inger & Stuebing (1997). Adapun data habitat yang diambil berupa data suhu dan kelembaban hanya diambil di satu titik lokasi karena posisi lokasi yang dekat sehingga diasumsikan bahwa mempunyai nilai suhu dan kelembaban yang sama, hal ini dinyatakan oleh Handoko (1995) bahwa suhu di permukaan bumi akan berubah dan makin rendah dengan bertambahnya lintang. Suhu, kelembaban serta cuaca diambil setiap kali kegiatan pengamatan dilakukan. Komponen habitat yang diamati meliputi kondisi cuaca, suhu udara, kelembaban udara, suhu air, pH air, rata-rata lebar badan air, rata-rata kedalaman badan air, substrat dasar perairan, jenis dan komposisi vegetasi

3.4. Analisis Data

1. Keanekaragaman jenis amfibi

Untuk mengetahui keanekaragaman jenis digunakan Indeks Shannon-Wiener (Brower & Zar 1997). Nilai ini kemudian akan digunakan untuk membandingkan kenekaragaman amfibi berdasarkan habitatnya.

N n ln N n H'

i  i Keterangan:

H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Weiner ni = Jumlah individu jenis ke-i

N = Jumlah individu seluruh jenis 2. Kemerataan jenis amfibi

Kemerataan jenis (Evenness) dihitung untuk mengetahui derajat kemerataan jenis pada lokasi penelitian (Bower & Zar 1977).

S ln ' H E Keterangan:

E = Indeks kemerataan jenis

H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener S = Jumlah jenis yang ditemukan

(29)

3. Frekuensi jenis

Frekuensi jenis dan frekuensi relatif dapat dihitung untuk mengetahui jenis yang paling sering ditemukan di lokasi. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :

pengamatan plot al Jumlah tot jenis ditemukan plot Jumlah Jenis Frekuensi 

(30)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak Kawasan Lindung Sungai Lesan

Kawasan lindung Sungai Lesan terletak di Kecamatan Kelai Kabupaten Berau Kalimantan Timur dalam koordinat antara 01032’20,26”-01040’29,67” Lintang Utara dan antara 117003’58,19”-117011’13,47” Bujur Timur, dengan luasan 12.192 ha, kawasan tersebut terbagi dalam wilayah administrasi empat kampung yaitu Lesan Dayak, Muara Lesan, Sidobangen, dan Merapun. Kawasan Lindung Sungai Lesan sebelah Utara berbatasan dengan Sidobangen, sebelah Timur dengan Lesan Dayak dan Muara Lesan; sebelah Selatan berbatasan dengan kampung Merapun dan sebelah Barat berbatasan dengan HPH PT. Mardhika Insan Mulia dan PT. Karya Lestari (PEMDA Berau 2005).

Menurut surat rekomendasi Gubernur Kalimantan Timur No. 521/9038/EK tanggal 10 November 2005 tentang perubahan kawasan yang ditujukan kepada menteri Kehutanan, luasan kawasan yang direkomendasikan mencapai 11.342,61 ha dari luasan 12.192 ha yang diusulkan oleh bupati Berau. Berkurangnya luasan kawasan tersebut disebabkan adanya kajian ulang Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur yang menemukan bahwa sebagian wilayah Kawasan Lesan yang semula diusulkan merupakan wilayah IUPHHKT PT. Belantara Pusaka.

4.2 Kondisi Iklim

Stasiun iklim terdekat yang ada diwilayah ini terletak di desa Merasa dan stasiun iklim camp 37 PT. Inhutani I Labanan (berjarak sekitar 30 km dari kawasan lindung Sungai Lesan), serta stasiun iklim Kalimarau (berjarak kurang lebih 130 km dari kawasan lindung Sungai Lesan). Rata-rata curah hujan tahunan selama 30 tahun pencatatan (1971-2000) mencapai 2.012 mm dengan distribusi yang relatif merata sepanjang tahun yaitu tidak mempunyai bulan kering (curah hujan bulanan <100 mm). Bulan basah (curah hujan bulanan >200 mm) terjadi pada bulan November, Desamber, Januari, dan Maret sedangkan sisanya merupakan bulan lembab (curah hujan antara 100-200 mm per bulan). Curah hujan terendah biasanya terjadi pada bulan Juli sampai September. Rata-rata

(31)

jumlah hari hujan pertahun mencapai 161 hari atau rata-rata tiap bulan terjadi 13 hari hujan. Jumlah hari hujan dibawah rata-rata biasanya terjadi pada bulan Mei sampai September (PEMDA Berau 2005).

4.3 Kondisi Hidrologi

Kawasan lindung Sungai Lesan diapit oleh dua sungai yaitu sungai Kelai di bagian Utara dan Sungai Lesan di bagian Timur. Sungai Kelai merupakan salah satu dari dua sungai utama di Kabupaten Berau, dengan lebar kurang lebih 120 m dan debit air yang stabil sepanjang tahun. Sungai Lesan dengan lebar 30 m adalah salah satu sungai yang memberi kontribusi kepada sungai Kelai atau DAS Sungai Lesan merupakan sub DAS Kelai (bagian Utara). Dalam kawasan juga terdapat beberapa sub DAS yang lain yaitu sub DAS Sungai Lesan dan sub DAS sungai Leja’ (PEMDA Berau 2005).

4.4 Topografi

Dari hasil identifikasi melalui sistem informasi data Demographic Elevation Model (DEM), data-data kontur, data-data RepPProt dan yang lainnya serta pengecekan lapangan, diperoleh informasi tentang kelas lereng dan keadaan topografi kawasan Lesan. Data dari RePPProt tahun 1987 menunjukkan bahwa 10.664 ha atau sekitar 87% areal pada kawasan ini memiliki kelas kemiringan lereng (slope) lebih dari 40%. Kemiringan lahan sangat ekstrim di kawasan Lesan ini menjadi indikator tingkat bahaya erosi sangat berat dan sudah seharusnya dijadikan hutan lindung (PEMDA Berau 2005).

4.5 Kondisi Penutupan Lahan

Berdasarkan hasil penafsiran citra landsat dan hasil cek lapangan tim survei Berau Forest Management Project (BFMP) tahun 1999-2000 diketahui kondisi hutan kawasan ini masih sangat baik (85% hutan bekas tebangan sehat). Kondisi hutan semakin baik karena selama 2000-2007 tidak ada aktifitas yang cukup berat di kawasan ini selain pengambilan hasil hutan non kayu atau non timber forest product (NTFP) dan perburuan terbatas oleh masyarakat sekitar. Kawasan hutan lindung Sungai Lesan terdiri dari hutan bekas tebangan yang masih sehat, hutan

(32)

bekas tebangan sangat terganggu, hutan tanaman industri dengan komoditi tanaman karet, alang-alang dan belukar (PEMDA Berau 2005).

4.6 Tingkat Bahaya Erosi

Dari survei tingkat bahaya erosi diketahui kawasan lindung Sungai Lesan mempunyai tingkat bahaya erosi ringan sampai berat. Mengacu pada kriteria bahaya erosi sebagaimana yang telah ditetapkan oleh RLKT Departemen Kehutanan 1994, kawasan lindung Sungai Lesan termasuk dalam tingkat bahaya erosi sedang sampai tinggi. Dengan tingginya nilai erosi di dalam kawasan sangat berat cocok dengan kriteria kelas bahaya erosi untuk hutan lindung dan penyangga yaitu kelas IV-V atau nilai erosi antara 60-180 ton/ha/thn dan diatas 180 ton/ha/thn (PEMDA Berau 2005).

4.7 Keanekaragaman Flora dan Fauna

Hutan Sungai Lesan sebagian besar merupakan hutan sekunder. Tercatat ada 45 jenis pohon pakan primata dan sarang Orangutan (Nardiyono 2007). Adapun jenis-jenis pohon yang ditemukan pada kawasan ini adalah jenis pohon jambu-jambu, kayu kacang, resak, kayu arang, kecundai, majau, meranti merah, ulin, kapur, keranji, medang, kenari, rengas, meranti pandan, pasang, meranti kuning, empilung, mata kucing, mersawa, bengkal, nyatoh, meranti putih, semangkok, terap, sengkuang, penjalin, dan marsolo dan berbagai jeis pohon buah-buahan. Sebagian dari jenis kayu yang ditemui sangat cocok bagi sarang dan pakan Orangutan.

Keanekaragaman satwa yang ada di kawasan Sungai Lesan sangat tinggi. Menurut Nardiyono (2007) beberapa jenis satwa yang berhasil diobservasi, tercatat ada 52 jenis mamalia (18 jenis kelelawar), 118 jenis burung, 12 amfibi dan lima jenis reptil. Dari data survei yang dilakukan The Nature Conservancy (TNC) beberapa jenis amfibi yang ditemukan seperti Pedostibes hosii, Ansonia sp, Limnonectes leporinus, Polypedates otilophus dan Limnonectes kuhlii, sedangkan tujuh jenis lainnya belum teridentifikasi yang terdiri dari famili Bufonidae, Megophryidae, Ranidae dan Rhacophoridae.

(33)

4.8 Sosial Budaya

Kampung Lesan Dayak dan transmigrasi Sidobangen merupakan kampung terdekat dari kawasan lindung Sungai Lesan. Penduduk kampung di Sungai Lesan terdiri dari masyarakat asli Dayak Lebo (kampung Merapun), Dayak Gaai (Kampung Lesan Dayak), suku Berau/Benuag (Kampung Muara Lesan), dan kampung transmigrasi Sidobangen yang memiliki penduduk dari 14 suku bangsa di Indonesia. Mayoritas penduduk kampung Merapun dan Lesan Dayak beragama Kristen, sedangkan muara Lesan dan Sidobangen beragam Islam (Bina Swadaya 2006).

Mata pencaharian mayarakat secara umum adalah berladang dan berkebun. Hasil dari perladangan lebih banyak digunakan utuk kebutuhan sendiri (subsistem). Uang tunai diperoleh dengan memungut dari alam. Kampung merekapun memilki kekayaan berupa gua-gua karst (limestone) yang dihuni oleh burung Wallet (Colocallia sp.). Kampung Lesan Dayak mendapatkan uang tunai selain dari perkebunan (palawija) juga dari menjual hasil buruan.

Kampung Sidobangen memiliki pertanian dan perkebunan yang relatif lebih maju, mendapatkan uang tunai dari bertani dan hasil kebun kakao dan karet. Kampung Muara Lesan juga mengandalkan hasil berkebun, gaji pegawai dan karyawan perusahaan serta hasil hutan berupa kayu dan non kayu. Masyarakat kampung yang berada di sekitar kawasan pada umumnya berburu untuk mendapatkan sumber protein hewani, dan memetik buah di hutan setiap musim buah. Masyarakat memanfaatkan Kawasan Lesan untuk mendapatkan berbagai keperluan seperti madu, gaharu, rotan, damar, klepiai (sejenis damar), daun pinus (palem), dan berburu. Kekayaan alam masih menjadi sumber utama kehidupan masyarakat di Sungai Lesan, menurunnya fungsi sumberdaya alam utamanya hutan dan sungai akan berakibat hilangnya sumber penghidupan masyarakat (Bina Swadaya 2006).

(34)

4.9 Kondisi Setiap Plot Pengamatan yang Diteliti

Plot pengamatan yang digunakan dalam penelitian terdiri dari tigaplot yaitu anak Sungai Lejak, Sungai Lejak dan Sungai Lesan. Setiap lokasi dibagi menjadi dua jalur pengamatan yaitu akuatik dan terestrial.

4.9.1 Anak sungai Lejak

Plot pengamatan pertama yaitu anak Sungai Lejak. Jalur terestrial pada plot ini merupakan bekas jalur pengamatan orangutan yang sudah lama dibuat dan memiliki karakteristik berupa hutan yang memiliki tutupan kanopi yang rapat, sedikit alang dan semak dengan ketebalan serasah mencapai 10 cm dan didominasi tumbuhan ulin (Eusideroxylon zwageri). Pada jalur ini dijumpai kubangan yang memotong dua aliran air berupa sungai yang kecil yang berlumpur, tipe jalur berbukit dan sedikit dijumpai tumbuhan besar yang tumbang dan lapuk yang merupakan mikrohabitat bagi satwa tertentu.

Gambar 3 Jalur terestrial Anak sungai Lejak dan kubangan dalam jalur

Jalur akuatik pada plot ini berupa sungai kecil beraliran tenang, dangkal dan jernih dengan dasar sungai berupa bebatuan kecil, namun pada bagian sungai yang lebih dalam, dasar sungai berisikan serasah, pasir dan bebatuan yang lebih besar dan kedalaman akan bertambah setiap habis hujan serta disekitar sungai banyak terdapat serasah. Tingkat kedalaman semakin tinggi pada setiap tikungan. Suhu air pada saat pengamatan yaitu 25° C dengan kelembapan 87,5 % dan pH 7. Lebar rata-rata sungai 3 m dengan kedalaman hanya 20 cm pada saat cerah. Plot ini memiliki karakteristik berupa sungai yang mengalir sepanjang tahun yang

(35)

disekitar sungai banyak didominasi oleh tumbuhan bintangur (Calophyllum inophyllum) dengan tinggi rata-rata 1 m.

Gambar 4 Jalur akuatik Anak sungai Lejak

4.9.2 Sungai Lejak

Plot pengamatan kedua yaitu Sungai Lejak. Pada plot ini Jalur akuatiknya merupakan sungai yang alirannya berasal dari lokasi pertama dengan karakteristik yang berbeda. Lokasi ini memiliki aliran air yang lebih tenang dan badan sungai yang lebih lebar dibandingkan plot pertama.

Jalur terestrial pada plot ini merupakan jalur yang baru dibuat berbeda dengan jalur terestrial pada plot pertama. Di luar jalur ini terdapat sungai berarus tenang dengan air berwarna gelap bercampur dengan lumpur. Jalur ini berupa berupa hutan dengan tutupan kanopi rapat yang didominasi tumbuhan tingkat semai dan pancang dari jenis meranti (Shorea sp.). Terdapat dua aliran sungai yang masih mengalir dan satu bekas aliran air, serta kontur jalur yang berbukit dan bersemak cukup rapat. Ketebalan serasah mencapai 10 cm dan banyak ditemukan pohon tumbang. Banyak dijumpai pohon dengan banir besar yang dijadikan tempat berlindung.

(36)

Gambar 5 Jalur terestrial Sungai Lejak

Jalur akuatik pada plot ini merupakan induk dari jalur akuatik plot pertama. Jalur ini merupakan sungai yang mengalir sepanjang tahun yang disekitar sungai didominasi oleh tumbuhan jambu-jambuan dengan tinggi rata-rata 1 m, namun banyak juga dijumpai pandan-pandanan dibagian tepi sungai. Rata-rata lebar sungai pada plot ini sebesar 10 m. Sungai ini memiliki tigacabang sungai kecil di sepanjang jalur. Arus sungai pada plot ini sangat tenang tetapi ada juga yang berarus deras. Sungai ini berwarna keruh dan banyak ditemukan pohon tumbang disekitar pinggir sungai. Substrat dasar sungai didominasi oleh pasir dan serasah namun pada beberapa titik didominasi oleh bebatuan besar. Suhu air pada saat pengamatan yaitu 24° C dengan kelembapan 80 %dan pH 8.

(37)

4.9.3 Sungai Lesan

Plot pengamatan ketiga yaitu Sungai Lesan. Sungai Lesan merupakan satu-satunya sungai yang dilewati untuk menuju ke kawasan lindung Sungai Lesan. Jalur akuatik yang digunakan adalah anak sungai yang mengalir langsung ke Sungai Lesan.

Jalur terestrial pertama pada plot ini merupakan jalur yang dilalui untuk menuju plot pertama dan plot kedua. Jalur ini berupa hutan yang memiliki tutupan kanopi cukup rapat dengan kontur jalur yang berbukit dan ditemukan satu kubangan yang sudah kering serta melewati satu aliran sungai kecil. Tegakan dominan berupa tumbuhan tingkat pancang dan rapat dengan ketebalan serasah lebih dari 10 cm.

Gambar 7 Jalur terestrial pertama sungai Lesan dan kubangan dipinggir jalur

Jalur terestrial kedua pada plot ini merupakan jalur utama masuk lokasi Lesan, plot ini merupakan jalur yang paling berbeda dari plot lainnya karena jalur pengamatannya sudah dibangun jalan yang permanen dan di sepanjang jalur terdapat bangunan rumah sehingga kondisi habitatnya sudah tidak alami lagi. Plot ini diambil sebagai pembanding tingkat keanekaragaman terhadap plot lainnya. plot ini merupakan hutan dengan tutupan kanopi yang rapat namun dengan vegetasi dominan tingkat pohon.

(38)

Gambar 8 Jalur terestrial kedua sungai Lesan

Jalur akuatik pada plot ini merupakan sungai kecil yang mengalir sepanjang tahun yang disekitar sungai didominasi oleh tumbuhan jambu-jambuan dan rotan (Daemonorops sp.). Sungai berarus tenang dan banyak dijumpai genangan namun terdapat arus yang cukup deras pada beberapa titik. Aliran sungai ini langsung mengalir ke Sungai Lesan dimana sungai ini merupakan sungai terbesar di Kawasan Lindung Sungai Lesan. Dasar sungai ini berpasir dan berserasah dengan tutupan kanopi yang cukup rapat dan semak yang lebat sehingga hanya terdapat sedikit celah matahari masuk, yang mengakibatkan plot ini lebih lembab dibanding lokasi lainnya.

(39)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Keanekaragaman jenis Anura

Jumlah jenis amfibi yang berhasil ditemukan pada seluruh lokasi penelitian di kawasan lindung Sungai Lesan yaitu 31 jenis dari lima famili dimana 22 jenis dijumpai dalam plot pengamatan dan sembilan jenis di luar plot pengamatan. Jumlah jenis dari masing-masing famili antara lain famili Bufonidae (5 jenis), famili Megophryidae (4 jenis), famili Microhylidae (3 jenis), famili Ranidae (11 jenis), dan famili Rhacophoridae (8 jenis). Ordo Gymnophiona tidak ditemukan selama pengamatan. Sebanyak 12 (38%) jenis katak yang ditemukan merupakan katak endemik Borneo. Secara umum, total jenis yang ditemukan pada pengamatan akuatik (22 jenis) lebih tinggi dibandingkan pada pengamatan terestrial (16 jenis). Status katak yang ditemukan di lokasi penelitian menurut IUCN terbagi 2 status yaitu Near Threatened (NT) dan Least Concern (LC). Kecuali untuk jenis Bufo asper, Rana nicobariensis, dan Staurois natator semua jenis lainnya diambil untuk spesimen awetan yang disimpan di Laboratorium Satwaliar Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan & Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB. Keterangan diatas dapat tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 Daftar jenis amfibi yang ditemukan di lokasi penelitian

No Jenis Jumlah

Individu % Terestrial Akuatik Endemik Status

1 Ansonia leptopus* 1 0.46 √ NT 2 Ansonia longidigita* 1 0.46 √ √ NT 3 Bufo asper 5 2.30 √ √ LC 4 Leptophryne borbonica* 1 0.46 √ LC 5 Pedostibes hosii 7 3.22 √ LC 6 Leptobrachella mjobergi* 1 0.46 √ √ LC 7 Leptobrachium abbotti 5 2.30 √ √ LC 8 Leptobrachium hendricksoni* 1 0.46 √ LC 9 Leptolalax gracilis 2 0.92 √ √ NT 10 Chaperina fusca 1 0.46 √ √ LC 11 Kalophrynus pleurostigma 1 0.46 √ LC 12 Microhyla borneenis 1 0.46 √ LC

(40)

Tabel 2 (Lanjutan)

No Jenis Jumlah

Individu % Terestrial Akuatik Endemik Status

13 Limnonectes ibanorum 45 20.73 √ √ √ NT 14 Limnonectes kuhli 7 3.22 √ √ NT 15 Limnonectes leporinus* 1 0.46 √ √ NT 16 Limnonectes malesianus 1 0.46 √ NT 17 Limnonectes paramacrodon 39 17.97 √ √ NT 18 Meristogenys phaeomerus* 2 0.92 √ √ NT 19 Meristogenys whiteheadi* 1 0.46 √ √ NT 20 Rana chalconota 40 18.43 √ √ LC 21 Rana nicobariensis* 1 0.46 √ LC 22 Rana picturata 25 11.52 √ LC 23 Staurois natator 1 0.46 √ √ LC 24 Nyctixalus pictus 1 0.46 √ NT 25 Polypedates colletti 9 4.14 √ LC 26 Polypedates macrotis 1 0.46 √ LC 27 Rhacophorus appendiculatus 8 3.68 √ LC 28 Rhacophorus cyianopunctatus 2 0.92 √ LC 29 Rhacophorus gauni 1 0.46 √ √ NT 30 Rhacophorus harrissoni 1 0.46 √ √ NT 31 Rhacophorus pardalis 4 1.84 √ √ LC Total Jenis 217 100 16 22 12

Keterangan: * = Di luar plot pengamatan NT = Near Threatened LC = Least Concern

Dari total 217 individu yang ditemukan yang terdiri dari 31 jenis, famili Ranidae memiliki jumlah individu terbanyak (75,11%), selanjutnya famili Rhacophoridae (12,44%), famili Bufonidae (6,91%), famili Megophryidae (4,14%), dan famili Microhylidae (1,38%), sedangkan spesies yang memiliki jumlah individu yang terbanyak adalah Limnonectes ibanorum (20,73%), Rana chalconota (18,43%) dan Limnonectes paramacrodon (17,97%), sedangkan 17 jenis memiliki jumlah individu yang sedikit hanya satu individu saja.

Kurva penambahan jenis yang ditemukan dalam 20 hari pengamatan menunjukkan bahwa penambahan jenis amfibi pada pengamatan terestrial belum ada penambahan jenis sampai hari ke 5. Penambahan jenis mulai terjadi pada pengamatan ke 6 dimana terdapat penambahan 3 jenis. Pada hari ke 18

(41)

penambahan jenis sudah tidak lagi ditemukan pada pengamatan terestrial. Penambahan jenis pada pengamatan akuatik sudah terjadi pada hari pertama pengamatan dimana terdapat 4 jenis. Pada hari ke 12 penambahan jenis sudah tidak lagi ditemukan pada pengamatan akuatik. Melihat grafik gabungan antara penambahan jenis pada akuatik dan terestrial dari 20 hari pengamatan terdapat kemungkinan adanya penambahan jenis, hal ini ditunjukkan dari kurva yang terus meningkat hingga hari ke-18.

Gambar 10 Grafik perbandingan jumlah jenis dan individu tiap famili.

Keanekaragaman jenis dapat diketahui dengan menggunakan berbagai parameter diantaranya dengan menghitung nilai indeks keanekaragaman. Indeks yang dihitung meliputi indeks keanekaragaman jenis (H’) dan indeks kemerataan jenis (E). Perhitungan hanya dilakukan terhadap jenis yang ditemukan di dalam jalur lokasi penelitian sedangkan perbandingan tingkat keanekaragaman yang digunakan berdasarkan tipe habitat yaitu akuatik dan terestrial.

Nilai indeks keanekaragaman (H’) tertinggi untuk habitat akuatik terdapat pada plot pengamatan Sungai Lejak dengan nilai 2,00 sedangkan untuk habitat terestrial terdapat pada plot pengamatan Sungai Lesan dengan nilai 1,87. Plot pengamatan anak Sungai Lejak memiliki nilai keanekaragaman (H’) terendah pada habitat akuatik maupun terestrial dengan nilai 1,53 dan 0,75 (gambar 11). Nilai keanekaragaman (H’) gabungan antara habitat akuatik dan terestrial menunjukkan bahwa nilai keanekaragaman pada habitat akuatik (1,77) lebih tinggi dari pada habitat terestrial (1,29). Plot pengamatan Sungai Lejak memiliki

(42)

nilai kemerataan (E) tertinggi pada habitat akuatik dengan nilai 0,87 sedangkan nilai kemerataan (E) tertinggi pada habitat terestrial terdapat pada plot pengamatan Sungai Lesan dengan nilai 0,90. Nilai kemerataan (E) terendah pada habitat akuatik terdapat pada plot pengamatan Sungai Lesan dengan nilai 0,84 sedangkan untuk habitat terestrial terdapat pada plot pengamatan anak Sungai Lejak dengan nilai 0,54. Gambar 12 menunjukkan bahwa habitat akuatik memiliki nilai kemerataan lebih tinnggi dibandingkan habitat terestrial, nilai tersebut diperoleh bila ketiga lokasi dipisah.

Gambar 11 Nilai indeks keanekaragaman jenis

(43)

5.1.2 Sebaran ekologis

Sebaran ekologis merupakan sebaran posisi katak pada habitatnya. Sebaran ini dibagi menjadi sebaran horisontal dan vertikal. Sebaran horisontal merupakan sebaran posisi anura terhadap badan air sedangkan vertikal merupakan sebaran posisi katak terhadap permukaan tanah. Kisaran posisi beberapa jenis anura disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Kisaran posisi beberapa jenis anura saat ditemukan di kawasan lindung Sungai Lesan

Jenis Posisi Horisontal Posisi Vertikal

Bufo asper Ditengah aliran hingga ditepi sungai

hingga 3 m dari tepian air

Diatas Batu dan kerikil

Pedostibes hosii Ditengah aliran hingga ditepi sungai

hingga 8 m dari tepian air

Diatas batu dengan ketinggian hingga 1 m dari permukaan air

Leptobrachium abbotti Ditepi sungai hingga 2 m dari tepian air Diserasah pinggir sungai

hingga diatas batu

Leptolalax gracilis Diserasah pada meter ke 40 dan ditepi

sungai.

Diatas serasah dan diatas batu

Chaperina fusca Terdapat pada meter ke 406 pengamatan

terestrial

Diatas pohon tumbang dengan ketinggian 50 cm

Kalophrynus pleurostigma Terdapat pada meter ke 60 pengamatan

terestrial

Diatas serasah

Microhyla borneensis Terdapat pada meter ke 200 pengamatan

terestrial

Diatas serasah

Limnonectes ibanorum Ditengah aliran hingga ditepi sungai

hingga 2 m dari tepian air

Diserasah pada pengamatan terestrial hingga diatas batu ditengah sungai

Limnonectes kuhli Terdapat pada meter ke 230 pengamatan,

terestrial hingga ditepian sungai

Dikubangan dan diatas batu pinggiran sungai

Limnonectes malaisianus Ditepian sungai hingga 0.5 m dari tepian

air

Diatas batu tepian sungai hingga ketinggian 3 m

Limnonectes paramacrodon Ditengah aliran hingga ditepi sungai

hingga 2 m dari tepian air

Diatas batu hingga ketinggian 1 m

Rana chalconota Ditepian sungai hingga 0.5 m dari tepian

air

Diatas pohon pinggiran sungai hingga ketinggian 2 m

Rana picturata Ditepian sungai hingga 0.5 m dari tepian

air

Diatas pohon pinggiran sungai hingga ketinggian 2 m

Staurois natator Di tengah aliran air Diatas batu dengan ketinggian

2 m dari permukaan air

Nyctixalus pictus Terdapat pada meter ke 406 pengamatan

terestrial

Diatas pohon tumbang dengan ketinggian 50 cm

Polypedates colletti Terdapat pada meter ke 40 pengamatan

terestrial di sekitar kubangan

Diatas pohon hingga ketinggian 3 m

Polypedates macrotis Terdapat pada meter ke 75 pengamatan

terestrial

Diatas pohon dengan ketinggian 1 m

Rhacophorus appendiculatus Terdapat pada meter ke 40 pengamatan

terestrial di sekitar kubangan

Diatas pohon hingga ketinggian 3 m

Rhacophorus cyianopunctatus Ditepian sungai hingga 1 m dari tepian air Diatas pohon dengan

ketinggian hingga 2 m

Rhacophorus gauni Ditepian sungai hingga 3 m dari tepian air Diatas pohon dengan

ketinggian hingga 2 m

Rhacophorus harrissoni Terdapat pada meter ke 100 pengamatan

terestrial

Dikubangan dan diatas pohon dengan ketinggian 2 m

(44)

5.1.3 Kisaran ukuran tubuh

Kisaran ukuran tubuh dinyatakan dalam panjang dari ujung moncong hingga kloaka (Snout-Vent Length). Dari kisaran tubuh ini dapat menggambarkan perbandingan antara individu dewasa dan individu anak. Adapun kisaran ukuran tubuh (SVL) beberapa jenis anura disajikan pada Tabel 4. Jenis yang tercantum dalam tabel ditemukan dengan jumlah individu ≥ 2.

Tabel 4 Kisaran ukuran tubuh (SVL) beberapa jenis anura di Kawasan Lindung Sungai Lesan, Kalimantan Timur

No Jenis n SVL

Min. Max. Rata2

1 Bufo asper 5 3.75 5.87 4.44 2 Leptobrachium abbotti 3 4.85 6.43 5.47 3 Leptolalax gracilis 2 2.94 3.90 3.42 4 Limnonectes ibanorum 3 3.73 5.90 4.48 5 Limnonectes kuhli 7 2.46 4.10 3.13 6 Limnonectes paramacrodon 24 4.13 8.85 5.17 7 Pedostibes hosii 7 5.40 6.65 6.00 8 Polypedates colletti 4 4.12 4.97 4.66 9 Rana chalconota 37 3.12 4.53 3.75 10 Rana picturata 10 2.87 3.50 3.16 11 Rhacophorus appendiculatus 3 3.15 3.64 3.45 12 Rhacophorus cyianopunctatus 2 2.99 3.12 3.06 13 Rhacophorus pardalis 4 4.51 5.84 5.48

Dari hasil pengukuran terhadap semua individu yang tertangkap dilapangan, kisaran terbesar adalah jenis Limnonectes paramacrodon dengan ukuran minimum 4,13 cm dan ukuran maksimum 8,85 cm, dengan jumlah individu tertangkap sebanyak 39 individu. Sedangkan kisaran terkecil adalah jenis Rhacophorus cyianopunctatus dengan ukuran minimum 2,99 cm dan ukuran maksimum 3,12 cm, dengan jumlah individu tertangkap sebanyak dua individu.

5.1.4 Aktifitas saat dijumpai

Aktivitas diam merupakan aktivitas yang paling banyak dijumpai pada amfibi yang ditemukan. Pada saat ditangkap sebagian besar amfibi dalam keadaan diam diatas batu, daun, dan serasah. Aktivitas loncat juga ditemukan pada amfibi hal ini dibuktikan bahwa ada sebagian jenis amfibi yang ditemukan meloncat pada saat hendak ditangkap. Pada lokasi pengamatan juga ditemukan jenis amfibi yang sedang bertelur yaitu jenis Leptophryne borbonica yang pada saat pengamatan sedang bertelur.

(45)

Untuk jenis-jenis yang ditemukan di habitat sungai yaitu Ansonia longidigita, Ansonia leptopus, Bufo asper, Limnonectes ibanorum dan Pedostibes hosii, umumnya ditemukan dalam keadaan diam menandakan jenis ini kurang sensitif terhadap gerakan. Beberapa jenis yang ditemukan lebih sering loncat dari pada diam yaitu Limnonectes kuhlii, Rana chalconota dan Rana picturata, menandakan jenis ini termasuk jenis yang sensitif terhadap gerakan bahkan sering sekali tidak tertangkap dan atau lepas kembali.

Beberapa jenis yang jika terganggu lebih memilih loncat kedalam air yaitu jenis Bufo asper, Limnonectes kuhlii, Limnonectes ibanorum dan Rana picturata, beberapa jenis yang jika terganggu lebih memilih loncat dari batu ke batu atau substrat keras (kayu) yaitu Limnonectes paramacrodon, Meristogenys phaeomerus dan Staurois natator yang jika terganggu akan meloncat dari batu ke batu, serta beberapa jenis yang jika terganggu memilih loncat ke ranting-ranting tumbuhan yaitu Rana picturata, Polypedates macrotis dan Rhacophorus pardalis.

5.2 Pembahasan

Jumlah jenis amfibi yang ditemukan pada semua plot pengamatan di lokasi penelitian di kawasan lindung Sungai Lesan lebih tinggi bila dibandingkan dengan Mediyansyah (2008) yang menemukan 25 jenis Anura di Gunung Palung Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat ataupun Utama (2003) yang menemukan 27 jenis Anura di PT. Intracawood Manufacturing Kalimantan Timur dan Himakova (2008) yang menemukan 29 jenis amfibi di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya Kalimantan Barat. Kawasan Lindung Sungai Lesan sebelumnya tercatat terdapat 12 jenis amfibi dari 4 Famili yang ditemukan pada survei keanekaragaman hayati yang dilakukan TNC tetapi hanya 5 jenis saja yang berhasil diidentifikasi. Dibandingkan dengan hasil penelitian di Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK), total jenis hasil penelitian ini relatif lebih rendah dan komposisi jenis yang berbeda. Komposisi spesies amfibi dapat berubah sangat cepat dalam kaitannya dengan kondisi ekologi (Iskandar 2001). Sebagian besar jenis yang ditemukan pada penelitian ini terdapat di TNBK tetapi ada lima jenis yang tidak ditemukan di TNBK seperti: Ansonia longidigita, Staurois natator, Kalophrynus pleurostigma, Polypedates colletti dan Rhacophorus gauni. Hal ini

Gambar

Gambar 1. Peta Kawasan lindung Sungai Lesan.
Tabel 1 Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian
Gambar 3 Jalur terestrial Anak sungai Lejak dan kubangan dalam jalur  Jalur akuatik pada plot ini berupa sungai kecil beraliran tenang, dangkal dan  jernih dengan dasar sungai berupa bebatuan kecil, namun pada bagian sungai yang  lebih dalam, dasar sungai
Gambar 5 Jalur terestrial Sungai Lejak
+7

Referensi

Dokumen terkait

yang digunakan baik dalam bentuk material ataupun tenaga kerja selalu tersdia dalam jumlah yang tepat pada waktu yang diperlukan sesuai dengan penjadwalan aktivitas

Pada perpustakaan TRO upaya-upaya dalam pemeliharaan yang sudah dilakukan sudah cukup baik hal ini terlihat dari kondisi perpustakaan serta koleksi buku yang baik, dan kerusakan

Dalam bahasa gaul prefiks meN- yang berubah menjadi meny- karena berhadapan dengan kata dasar yang diawali konsonan /s/, mengalami penghilangan sebagian fonemnya

Fenomenologi tepat digunakan untuk mengungkapkan kesadaran masyarakat Gresik mengartikan harga dalam tradisi lelang bandeng.. Fenomenologi mencari pemahaman manusia

Untuk mengetahui penyelenggaraan urusan desentralisasi yang dilaksanakan Pemerintah Kota Surabaya pada tahun 2009, berikut uraian pencapaian pelaksanaan program-program

Hasil pengujian hipotesis H6 menunjukkan bahwa Beban Kerja berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap Kinerja Guru melalui Sistem Informasi Manajemen sehingga H6

Hipothesis penelitian ini adalah Strategi Pembelajaran fisika pada matakuliah Fisika Dasar II dapat meningkatkan hasil belajar dan strategi pembelajaran fisika

kompetensi Fisika yang berarti antara siswa yang menggunakan LKS ICT mengintegrasikan MSTBK dengan siswa yang tidak menggunakan LKS ICT mengintegrasikan MSTBK