• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman Jenis Reptil di Kawasan Lindung Sungai Lesan, Kalimantan Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keanekaragaman Jenis Reptil di Kawasan Lindung Sungai Lesan, Kalimantan Timur"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

KEANEKARAGAMAN JENIS REPTIL

DI KAWASAN LINDUNG SUNGAI LESAN,

KALIMANTAN TIMUR

ARIEF TAJALLI

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

ARIEF TAJALLI. E34061026. Keanekaragaman Jenis Reptil di Kawasan Lindung Sungai Lesan, Kalimantan Timur. Dibimbing oleh MIRZA DIKARI KUSRINI dan AGUS PRIYONO KARTONO.

Kelompok hewan yang paling memungkinkan terkena dampak akibat kerusakan hutan adalah herpetofauna karena sebagian besar memiliki ruang lingkup pergerakan yang sempit dan mikrohabitat yang tergantung pada kondisi lingkungannya. Kawasan Lindung Sungai Lesan merupakan areal eks IUPHHK-HA yang penting bagi sistem penyangga kehidupan dan pengendali dampak yang ditimbulkan dari hutan homogen. Berkaitan dengan hal tersebut maka penelitian mengenai inventarisasi keanekaragaman reptil perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat keanekaragaman serta menggali semua kekayaan jenis dan potensi reptil di Kawasan Lindung Sungai Lesan.

Penelitian dilakukan di tiga lokasi dalam Kawasan Lindung Sungai Lesan pada tanggal 29 Juli - 28 Agustus 2010. Pengumpulan data reptil dilakukan dengan metode Visual Ecounter Survey (VES) yang dimodifikasi dengan time search dan line transect. Pengumpulan data habitat dilakukan dengan cara mengukur beberapa parameter habitat seperti suhu, kelembaban, pH air, substrat, curah hujan dan cuaca serta beberapa parameten fisik lain seperti topografi, penutupan tajuk, intensitas cahaya dan vegetasi dominan. Data pola aktivitas dan sebaran ekologis diperoleh dari pencatatan data reptil yang berupa aktivitas dan posisi pada saat ditemukan. Data tersebut dikaitkan dengan data habitat kemudian dianalisis dengan metode Ward menggunakan software SPSS untuk melihat pengelompokan penggunaan ruang, serta menggunakan metode CCA menggunakan software CANOCO for WINDOWS untuk melihat korelasi mikrohabitat terhadap penyebaran jenis.

Hasil penelitian menemukan 31 jenis reptil dari 9 famili dengan 145 individu serta terdapat 2 jenis yang termasuk dalam kategori rawan (vulnerable) IUCN dan appendix II CITES yaitu bulus (Amyda cartilaginea) dan kura-kura punggung datar (Notochelys platynota). Jalur pengamatan Sungai Lesan memiliki tingkat keanekaragaman paling tinggi namun memiliki kemerataan paling rendah, jalur Anak Sungai Lejak memiliki keanekaragaman paling rendah dan Sungai Lejak memiliki kemerataan paling tinggi. Perbedan tipe habitat akuatik dengan terestrial terlihat dari perolehan jumlah jenis yang lebih banyak pada akuatik namun jumlah individu yang lebih banyak pada terestrial. Mikrohabitat merupakan faktor yang sangat mempengaruhi keberadaan reptil karena berkaitan dengan pola aktivitas dan sebaran ekologisnya sehingga jenis-jenis dengan aktivitas dan pola pergerakan yang sama dapat dijumpai pada mikrohabitat yang sama pula.

(3)

ARIEF TAJALLI. E34061026. Reptile Diversity in Lesan River Protected Area, East Kalimantan. Supervised by MIRZA DIKARI KUSRINI and AGUS PRIYONO KARTONO.

Herpetofauna is an animal group most likely to be impacted by deforestation because most species has limited range and microhabitat which are dependent on the conditions of its environment. The Lesan River Protected Area is an ex natural forest logging concession essential for life supporting systems and controlling the impacts of homogeneous forest. Therefore there is need to assess the diversity and richness of reptile species in Lesan River ProtectedArea.

Research was conducted in three sites within the Lesan River Protected Area on 29 July – 28 August 2010. Reptile data was collected using Visual Encounter Survey (VES) modified with timed search and line transect methods. Habitat data was collected by measuring habitat parameters such as temperature, humidity, water pH, substrate, rainfall, and weather, as well as several physical parameters such as topography, forest canopy, light intensity, and dominant vegetation. Reptile activity patterns and ecological distribution were recorded by observing activities and position of each individual detected. This data was then compared with habitat data and analyzed using Ward method using SPSS software to observe groupings in habitat use. Data was analyzed with CCA method using CANOCO software to identify the correlation between microhabitat and species distribution.

A total o 31 reptile species were recorded in the study from 9 families consisting of 145 individuals. Two of the species are listed as Vulnerable in the IUCN Redlist and Appendix II of CITES, the Malayan Flat-shelled Turtle (Notochelys platynota) and Asiatic Softshell Turtle (Amyda cartilaginea). The Lesan River transect has the highest diversity but lowest evenness index, while the Anak Sungai Lejak transect has lowest diversity and Lejak River transect has the highest evenness index. Differences between aquatic and terestrial habitats are evident in the higher number of species detected in aquatic habitat but a higher number of individuals were recorded in the terestrial habitat. Microhabitat greatly influences reptile presence because it is correlated with activity and ecological distribution and therefore species with similar activity and movement patterns can been found on the same microhabitat.

(4)

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS REPTIL

DI KAWASAN LINDUNG SUNGAI LESAN,

KALIMANTAN TIMUR

ARIEF TAJALLI

Skripsi

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Keanekaragaman Jenis Reptil di Kawasan Lindung Sungai Lesan, Kalimantan Timur” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pemimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi ataupun lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2011

(6)

Nama : Arief Tajalli NRP : E34061026

Menyetujui,

Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si. Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. NIP. 19651114 199002 2 001 NIP. 19660221 199103 1 001

Mengetahui, Ketua Departemen

Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB

Prof. Dr. Ir Sambas Basuni, M.S. NIP. 19580915 198403 1 003

(7)

Arief Tajalli dilahirkan di Kuala Kapuas Kalimantan Tengah pada tanggal 1 Juli 1988 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Basjuni dan Ibu Sri Padmoningsih. Penulis memulai pendidikan pada tahun 1993 di Taman Kanak-Kanak Islam Al-Ma’ruf dan lulus pada tahun 1994. Penulis melanjutkan Sekolah Dasar di SDN Cilangkap 04 dan lulus pada tahun 2000. Tahun 2000 penulis melanjutkan ke SLTPN 196 Jakarta Timur dan lulus pada tahun 2003, setelah itu melanjutkan ke SMAN 99 jakarta Timur pada tahun 2003 dan lulus pada tahun 2006. Penulis diterima sebagain mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur SPMB dan pada tahun 2007 diterima pada program mayor Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan.

(8)

Alhamdulillahirabbil `aalamiin. Puji dan syukur dipanjatkan ke-Hadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana. Salawat dan salam penulis sampaikan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, kepada keluarga dan para sahabatnya serta para pengikutnya.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si. dan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan dorongan semangat, nasehat dan bimbingannya.

2. Orang tuaku tercinta yaitu Bapak Basjuni dan Sri Padmoningsih serta adikku Dian Shalatin dan kakakku Ervina Fitri Amalia yang memberikan doa, dorongan serta semangat selama kegiatan penelitian ini.

3. Dr. Ir. Dede Hermawan, M.Sc. sebagai dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan serta Ir. Rachmad Hermawan M.Sc. sebagai ketua sidang. Terimakasih atas arahan dan masukan untuk penulis.

4. Pihak TNC (The Nature Conservancy) atas kesediaannya memberikan segala fasilitas kepada penulis untuk melaksanakan penelitian di Kawasan Lindung Sungai Lesan.

5. Bu Rondang yang telah bersedia menemani penelitian di Kawasan Lindung Sungai Lesan serta segala bantuan dan motivasinya selama proses penulisan. 6. Mas Nardi, Mas Jas, Mas Pur, Mas Sudi dan seluruh pegawai TNC Berau

yang telah menemani dan mendampingi penulis selama di lapang serta membantu segala proses yang dibutuhkan dalam penelitian.

7. Saudara seperjuangan penelitian Rahmat Abdiansyah atas kebersamaan di lapangan untuk melewati hari-hari penuh pelajaran berharga.

(9)

kepengurusan tahun 2007-2009 atas segala kebersamaan, kekompakan, serta pengalaman yang telah dilalui.

10.Keluarga besar KSHE 43 Cendrawasih tanpa terkecuali, atas segala kebersamaan, kekompakan, kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, suka duka, serta semua hal yang telah dilakukan bersama hingga menjadi pengalaman dan pembelajaran hidup yang sangat berarti bagi penulis.

11.Saudara seperjuangan di KSHE (Berry, Agung, Didit, Domi, Fajar, Abdi, Stefhen, Akmal, Obi, Eka, Haray, Catur dan Bucok) atas kebersamaan melewati hari-hari penuh pengalaman dan kenangan.

12.Keluarga besar Pondok Wina (Bayu, Nodi, Henky, Abok, Ekay, Miftah, Bete, Koko, Heru, Nanang, Ipang, Hendra, Vicky, Riki, Irman dan seluruh PGT) atas kebersamaannya melewati hari-hari penuh pengalaman dan kenangan. 13.The Banned Things (Bayu, Yunus, Ijul dan Dinen) yang telah membantu

menetralisir emosi dan menenangkan pikiran melalui lantunan nada selama proses penyusunan skripsi.

14.Keluarga besar DKSHE atas bantuannya yang sudah membantu penulis selama menimba ilmu di IPB.

15.Seseorang yang tidak boleh disebut namanya atas motivasi, semangat, dan bantuan yang diberikan kepada penulis.

16.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini apapun bentuknya.

Bogor, Juli 2011

(10)

Segala puji dan syukur penyusun panjatkan ke-Hadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Salawat dan salam penyusun panjatkan kepada suri tauladan kita Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya. Penelitian ini berjudul “Keanekaragaman Jenis Reptil di Kawasan Lindung Sungai Lesan, Kalimantan Timur” yang dibimbing oleh Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si. dan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si.

Kawasan lindung Sungai Lesan merupakan wilayah bekass HPH. Pengelolaan kawasan ini dilakukan oleh The Nature Coservancy (TNC) dan bekerja sama dengan masyarakat lokal. Sebagai suatu kawasan lindung, Sungai Lesan membutuhkan data dan informasi tentang keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya agar pengelolaannya lebih optimal. Oleh karena itu penulis mencoba melakukan penelitian tentang keanekaragaman reptil di berbagai habitat pada Kawasan Lindung Sungai Lesan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu segala bentuk kritik dan masukan yang bertujuan untuk memperbaiki skripsi ini sangat diharapkan penulis. Akhir kata penulis hanya dapat berharap semoga karya yang telah dibuat ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Juli 2011

(11)

DAFTAR ISI

2.2. Penelitian Mengenai Reptil yang Telah Dilakukan ... 6

2.3. Ukuran Keanekaragaman Jenis ... 7

(12)

4.4. Kondisi Habitat ... 23

4.4.1. Anak Sungai Lejak ... 23

4.4.2. Sungai Lejak ... 25

4.4.3. Sungai Lesan ... 26

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

5.1. Hasil Penelitian ... 31

5.1.1. Komposisi Jenis ... 31

5.1.2. Tingkat Keanekaragaman Jenis ... 36

5.1.3. Pola Aktivitas dan Sebaran Ekologis ... 39

5.2. Pembahasan ... 48

5.2.1. Komposisi Jenis ... 48

5.2.2. Tingkat Keanekaragaman Jenis ... 52

5.2.3. Pola Aktivitas dan Sebaran Ekologis ... 55

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 63

6.1. Kesimpulan ... 63

6.1. Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 65

(13)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian ... 11

2. Daftar Famili, jenis dan jumlah individu pada tiap habitat ... 31

3. Daftar klasifikasi dan jumlah jenis reptil ... 32

4. Aktivitas dan sebaran ekologis reptil ... 40

(14)

DAFTAR GAMBAR

7. Jalur terestrial pertama sungai Lesan dan kubangan dipinggir jalur. ... 27

8. Jalur terestrial kedua sungai Lesan ... 27

9. Jalur akuatik sungai Lesan ... 28

10. Grafik tingkat kedalaman sungai di tiga lokasi ... 29

11. Grafik tingkat lebar badan dan bibir sungai di tiga lokasi ... 30

12. Grafik perbandingan jumlah jenis dan individu tiap famili ... 32

13. Jenis dengan nilai kelimpahan tertinggi (Eutrophis rudis) ... 33

14. Grafik Jumlah jenis dari tiap famili pada tiap lokasi pengamatan ... 34

15. Grafik akumulasi spesies berdasarkan tipe habitat dan waktu pengamatan ... 35

16. Jenis dengan peluang perjumpaan tertinggi (Cyrtodactylus malayanus) ... 35

17. Grafik perbandingan nilai kenanekaragaman jenis (H’) ... 36

18. Grafik perbandingan nilai kemerataan jenis (E) ... 37

19. Grafik perbandingan jumlah jenis (S) ... 38

20. Grafik perbandingan kekayaan jenis (Dmg) ... 39

21. Persentase penggunaan substrat oleh reptil pada saat perjumpaan ... 41

22. Persentase perilaku reptil pada saat perjumpaan ... 41

23. Dendogram kesamaan penggunaan ruang antar spesies akuatik ... 42

24. Dendogram kesamaan penggunaan ruang antar spesies terestrial ... 43

25. Dendogram kesamaan penggunaan ruang antar spesies keseluruhan ... 44

26. Dendogram sebaran spesies pada transek akuatik ... 45

27. Korelasi mikrohabitat terhadap spesies pada jalur akuatik ... 46

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Data iklim (suhu udara, kelembaban dan cuaca) di lokasi

penelitian ... 69 2. Data jenis (famili, nama spesies dan nama lokal) serta jumlah

perjumpaan dan status konservasinya di lokasi penelitian ... 70 3. Deskripsi jenis reptil yang dijumpai di Kawasan Lindung Sungai

(16)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keberadaan kawasan lindung Sungai Lesan berperan penting bagi kelestarian plasma nutfah sebagai habitat berbagai jenis satwa, serta mempertahankan kelangsungan fungsi-fungsi ekologis. Menurut Keputusan Menteri Nomor: 375/kpts - II/1998 tentang pengelolaan dan pemanfaatan kawasan pelestarian plasma nutfah di hutan produksi, menyatakan bahwa kawasan pelestarian plasma nutfah pada ekosistem dataran rendah pada kawasan hutan, pada umumnya berada di hutan produksi yang dibebani Hak Pengusahaan Hutan atau Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri yang kegiatannya dapat mengancam kelestarian plasma nutfah. Kawasan hutan yang berada disekitar lokasi produksi seperti hutan lindung berperan penting sebagai sistem penyangga kehidupan dan pengendali dampak yang ditimbulkan dari hutan homogen.

Kawasan Sungai Lesan terletak di antara areal IUPHHK-HA, IUPHHK-HT dan perkebunan kelapa sawit. Data dari Pokja Program Karbon Berau, terdapat dua IUPHHK-HA, satu IUPHHK-HT dan lima perkebunan Sawit di sekitar Sungai Lesan yang dikhawatirkan dapat merusak kawasan akibat adanya kegiatan di sekitarnya. Sejumlah perkebunan telah beroperasi sejak 2006 di sekitar kawasan lindung ini, seperti PT Berau Sawit Sejahtera (luas wilayah 6.000 ha lebih), PT Gunta Samba Jaya (8.000 ha lebih), dan PT Yudha Wahana Abadi (hampir 12.000 ha). Adapun beberapa IUPHHK-HA seperti PT Mardhika Insan Mulia, PT Karya Lestari. dan PT Belantara Pusaka (luas 2.500 ha). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kawasan lindung Sungai Lesan merupakan kawasan penyeimbang bagi daerah sekitarnya karena lokasi di sekitarnya sudah sangat terganggu oleh aktivitas manusia yang dapat mengancam keberadaan satwa di dalamnya.

(17)

merupakan salah satu predator komponen herpetofauna penyusun ekosistem dan merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang memberikan peranan dalam suatu mata rantai untuk menjaga keseimbangan ekosistem.

Penelitian reptil di Indonesia masih kurang serta masih banyak daerah yang belum dieksplorasi, seperti daerah pedalaman, daerah bukaan hutan dan daerah terfragmentasi. Reptil lebih sedikit dipelajari dibandingkan amfibi karena amfibi lebih rentan terhadap kematian dan dampak dari kontaminan (Gibbons et al. 2000). Menurut Gibbons et al. (2000) terdapat enam masalah signifikan yang mempengaruhi populasi reptil dalam skala global yaitu kehilangan habitat dan degradasi, introduksi spesies, pencemaran lingkungan, penyakit, pemanfaatan yang berlebihan, perubahan iklim global. Minimnya data merupakan suatu masalah yang harus segera diatasi karena dapat menyulitkan pengelola dalam melakukan upaya-upaya konservasi terutama pada habitat asli agar tidak terfragmentasi. Hal yang tidak diharapkan adalah terjadinya kepunahan dini pada reptil tanpa diketahui keberadaan, potensi dan upaya pencegahan oleh semua pihak yang berkepentingan.

Beberapa jenis reptil memiliki daerah sebaran yang sempit dan terbatas serta hanya dijumpai di habitat yang spesifik. Hilangnya populasi jenis yang menempati habitat spesifik menandakan adanya perubahan kualitas lingkungan pada lokasi tersebut, meskipun perubahan yang terjadi mungkin tidak terlalu tampak. Oleh karena itu, jenis reptil yang mempunyai habitat spesifik sangat bermanfaat untuk memberikan peringatan dini terjadinya perubahan lingkungan (Mistar 2008). Selain itu juga reptil memberikan pelayanan ekologi bagi manusia antara lain sebagai pengendali hama biologis terutama untuk serangga dan tikus, dengan begitu reptil memiliki peran yang sama pentingnya dengan komponen lain di dalam suatu ekosistem. Reptil yang mendiami padang rumput, tepi hutan, atau hutan pedalaman dalam lingkungan hutan tropis yang terfragmentasi akan merespon perubahan mikrohabitat dengan cara yang beragam dan kompleks (Urbina-Cardona et al. 2006).

(18)

potensi yang ada. Informasi tersebut dapat digunakan sebagai kajian dalam tindakan pengelolaan kawasan dan dijadikan masukan kepada pengelola untuk melengkapi variabel yang dibutuhkan dalam melakukan kegiatan konservasi dan manajemen pengelolaan. Manfaat lain adalah terciptanya perlindungan secara tidak langsung terhadap satwa lain yang berada pada ruang lingkup habitat yang sama dengan reptil seperti amfibi dan mamalia kecil.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menyusun daftar jenis serta mengetahui komposisi dan penyebaran jenis reptil yang ditemukan di kawasan lindung Muara Lesan, Kalimantan Timur

2. Membandingkan tingkat keanekaragaman dan kemerataan jenis reptil dari berbagai tipe habitat yang ada di Muara Lesan, Kalimantan Timur

3. Mengetahui pola aktivitas dan sebaran ekologis reptil di Muara Lesan, Kalimantan Timur.

1.3 Manfaat

1. Menyediakan data awal mengenai keanekaragaman, penyebaran dan populasi di lokasi penelitian

2. Menjadi masukan dalam penerapan kegiatan pengelolaan kawasan agar tidak berdampak negatif terhadap keanekaragaman reptil yang ada di lokasi

(19)

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bio-ekologi Reptil

Reptil adalah binatang melata berdarah dingin dan bertulang belakang dengan seluruh bagian tubuh ditutupi sisik dan bernapas dengan paru-paru. Salah satu ciri utama dari reptil yaitu tubuhnya yang ditutupi sisik-sisik rata yang berfungsi untuk mengatur sirkulasi air melalui kulitnya. Sisik tersebut tidak terpisah satu dengan lainnya dan dapat berganti dalam kurun waktu tertentu dengan sisik baru. Sisik tersusun oleh protein yang disebut keratin, pada manusia. Warna kulit beragam, dari warna yang menyerupai lingkungannya sampai warna membuat reptil mudah terlihat. Semua reptil tidak memiliki telinga eksternal. Pada sebagian besar reptil terdapat perbedaan antara jantan dan betina ukuran dan bentuk tubuh maupun warna tubuh dewasa (Halliday dan Adler 2000).

(20)

 

Reptil mempunyai berbagai macam bentuk, ukuran dan strategi yang mengesankan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, seperti kura-kura dengan tubuhnya yang diselimuti cangkang, ular dengan tubuhnya yang panjang dan berkelok-kelok, gerakan lincah dari kadal dan tubuh yang besar dari buaya (Cogger dan Zweifel 2003). Sebagian besar reptil merupakan karnivora namun ada beberapa dari sub ordo Sauria yang herbivora dan dari ordo Testudinata yang omnivora. Reptil berperan sangat penting dalam kelompok predator karena banyak berinteraksi sebagai penyeimbang dalam suatu habitat. Mangsanya berupa serangga, ikan, telur, mamalia bahkan reptil lain. Oleh karena itu reptil memiliki beberapa perilaku yang digunakan untuk berburu ataupun bertahan diri dari pemangsa seperti mimikri, mengeluarkan racun, caudal autotomi dan mengandalkan beberapa bagian tubuhnya yang dapat menarik mangsanya, seperti ular hijau ekor merah (Trimeresusrus albolabris) yang memiliki ekor seperti cacing yang dapat digunakan untuk memancing mangsa. Untuk bertahan diri seperti famili geckonidae yang bila merasa terancam dapat memutuskan ekornya (caudal autotomi).

Dalam kelas reptilia terdapat beberapa ordo dan sub ordo yang tersebar di seluruh dunia kecuali daerah kutub. Menurut Savage (1998), reptil memiliki taksonomi sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Sub-filum : Vertabrata Kelas : Reptilia Sub-kelas : Eureptilia

Super ordo : Lepidosauria, Testudines, Archosauria

Ordo : Testudinata, Rhynchocephalia, Crocodylia dan Squamata Obst (1998) menyebutkan bahawa reptil terdiri dari 64 famili, sekitar 964 genus dan 7427 spesies yang terdiri dari:

(21)

 

o 152 spesies, 18 marga dan 4 famili dari sub ordo Amphisbaenia o 2.700 spesies, 450 marga dan 18 famili dari sub ordo Serpentes o 4.300 spesies, 420 marga dan 26 famili dari sub ordo Sauria

Dari 4 ordo yang ada, Indonesia memiliki 3 ordo diantaranya kecuali Rhynchocephalia atau tuatara. Menurut O’Shea dan Halliday (2001), tuatara merupakan reptil primitif yang terdiri dari 1 famili dan hanya terdapat di Selandia Baru.

Penyebaran reptil di dunia dipengaruhi oleh jumlah cahaya matahari pada daerah tersebut (Halliday dan Adler 2000). Selain itu, keanekaragaman reptil disuatu lokasi dipengaruhi oleh ketinggian dan tipe habitat yang tersedia. Primack

et al. (1988) mengatakan bahwa komposisi komunitas dan keanekaragaman jenis reptil lebih tinggi pada dataran rendah dibandingkan dengan dataran tinggi dan kelimpahannya akan semakin berkurang dengan bertambahnya ketinggian. Reptil dapat hidup di dalam dan permukaan tanah, celah-celah batu, di bawah puing-puing, hingga tajuk pohon pada hutan hujan, padang rumput, gurun pasir, rawa, danau, sungai dan laut (Duellman dan Heatwole 1988). Sementara itu kondisi penutupan tajuk yang berbeda dapat mempengaruhi kondisi iklim mikro pada masing-masing lokasi. Reptil dapat digolongkan kedalam empat kelompok berdasarkan habitat hidupnya yaitu reptil terestrial yang hidup di darat, reptil akuatik yang hidup di air, reptil fosforial yang hidup di dalam tanah dan reptil arboreal yang hidup di atas pohon.

2.2 Penelitian Mengenai Reptil yang Telah Dilakukan

(22)

 

Beberapa contoh penelitian keanekaragaman reptil yang pernah dilakukan di beberapa lokasi di Kalimantan antara lain HIMAKOVA (2008) melakukan penelitiannya di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya Kalimantan Barat menemukan 32 jenis reptil, hasil ini lebih besar dari pada penelitian yang pernah dilakukan HIMAKOVA dan TBI Indonesia (2005) di Taman Nasional Betung Kerihun, Kalimantan Barat yang menemukan sebanyak 10 jenis reptil. Akan tetapi hasil tersebut sama dengan jumlah jenis yang ditemukan di areal sekitar PT. Sari Bumi Kusuma Kalimantan Barat yaitu 32 jenis (Mistar 2008). Jumlah jenis tersebut lebih sedikit dari pada di Batu Apoi Brunei Darussalam yang menemukan 44 jenis reptil (Das 1995). Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan (Mediansyah dan Rachmansyah 2010) yang menjumpai 47 jenis reptil di Kalimantan Barat. (Mistar 2008) melakukan penelitiannya di dua lokasi berbeda di Kalimantan timur yaitu Gunung Beratus dan Mawas dengan jumlah reptil 13 jenis pada Gunung Beratus dan 43 jenis pada Areal Mawas.

Adanya perbedaan jumlah jenis reptil disebabkan oleh perbedaan lokasi, usaha pencarian, lama penelitian dan cakupan wilayah penelitian baik dalam ketinggian maupun luasan area. Selain itu metode dan peralatan yang lebih lengkap juga menjadi faktor penting dalam pencarian reptil selain profesionalitas peneliti. Kondisi topografi lokasi yang sulit dijangkau serta cuaca dan musim yang tidak mendukung untuk pengamatan reptil juga dapat mengakibatkan perbedaan jumlah temuan.

2.3 Ukuran Keanekaragaman Jenis

(23)

 

Keanekaragaman jenis reptil berbeda pada setiap tipe habitat tergantung suhu lingkungan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pada suatu tegakan hutan, reptil tersebar dari dalam tanah hingga tajuk suatu vegetasi. Faktor yang mempengaruhi keanekaragaman tersebut berupa kecocokan terhadap suhu, kelembaban, tutupan tajuk dan formasi tanah. Reptil hanya hidup pada habitat yang memiliki suhu panas yang cukup setiap tahunnya karena panas dibutuhkan untuk proses metabolisme.

Ukuran keanekaragaman ini ditentukan berdasarkan struktur kerapatan atau kelimpahan individu dari setiap jenis yang teramati (Santosa 1995). Indeks yang biasa digunakan dalam penentuan ukuran keanekaragaman jenis diantaranya: indeks Shanon-Wiener, indeks Simpson dan indeks Brillouin. Santosa (1995) menjelaskan bahwa konsep kemerataan ini menunjukkan derajat kemerataan kelimpahan individu antar spesies. Konsep ini dapat digunakan sebagai indikator adanya gejala dominasi diantara setiap jenis dalam suatu komunitas. Apabila setiap jenis memiliki jumlah individu yang sama, maka komunitas tersebut mempunyai nilai kemerataan maksimum.

2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keanekaragaman Jenis

Terdapat dua hal yang berkaitan dengan keanekaragaman jenis yaitu kekayaan dan sebaran keseragaman. Menurut Campbell (2004) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi keanekaragaman dalam komunitas alamiah sebagai berikut:

a. Ketersediaan energi.

b. Peningkatan radiasi matahari di daerah tropis meningkatkan aktivitas fotosintesis tumbuhan, yang menyediakan peningkatan dasar sumberdaya untuk organisme lain dan dengan demikian kemampuannya lebih besar untuk mendukung spesies.

c. Heterogenitas habitat.

(24)

 

e. Spesialisasi relung.

f. Iklim tropis memungkinkan banyak organisme untuk mengalami spesialisasi terhadap kisaran sumberdaya yang lebih sempit. Relung yang lebih kecil akan mengurangi persaingan dan memungkinkan tingkat pembagian sumberdaya yang lebih baik diantara spesies, yang selanjutnya akan menggalang keanekaragaman spesies yang besar.

g. Interaksi populasi.

h. Keanekaragaman dalam suatu pengertian adalah memperbanyak diri sendiri karena interaksi populasi kompleks mengalami ko-evolasi, dan interaksi pemangsa serta interaksi simbiotik dihasilkan dalam suatu komunitas yang beranekaragam untuk mencegah suatu populasi menjadi dominan.

(25)

 

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan selama dua bulan dengan dua tahap yaitu pengambilan data yang dilakukan selama satu bulan dari tanggal 29 Juli - 28 Agustus 2010 dan pengolahan data yang dilakukan selama satu bulan pada bulan September sampai November 2010. Penelitian dilakukan di kawasan lindung Muara Lesan, Kalimantan timur (Gambar 1). Pengolahan dan identifikasi lanjutan dilakukan di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

(26)

 

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang dibutuhkan dalam pengambilan data keanekaragaman reptil serta fragmentasi habitat di Kawasan Lindung Sungai Lesan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian No. Kegunaan Alat dan Bahan

1. Pembuatan plot

pengamatan

Kompas,meteran (50 m), Meteran jahit, tambang

plastik, tali rafia, tongkat ukur kedalaman,

altimeter, pita penanda (flagging tape), GPS

2. Pengambilan data reptil Senter, baterai, jam tangan, plastik spesimen, alat

penangkap ular, spidol permanen, timbangan

(5-1000 gr dan 10 kg), kaliper, kaca pembesar

3. Pengukuran faktor

lingkungan

pH meter, stopwatch, termometer air raksa, Dry Wet thermometer

4. Preservasi Alat suntik, tabung spesimen/tupperware, kapas,

alkohol 70%, kertas label, benang jahit, kertas label

5. Dokumentasi Kamera digital, alat tulis, tally sheet

3.3 Jenis Data yang Dikumpulkan

Berdasarkan sumbernya maka jenis data yang dikumpulan berasal dari data primer dan data sekunder. Kedua data tersebut digunakan sebagai data penunjang dalam pengolahan data lanjutan.

3.3.1 Data Primer

Data primer dikumpulkan melalui pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan yang meliputi:

(27)

 

• Pengumpulan data habitat reptilia dilakukan dengan mengikuti metode Heyer

et al. (1994). Data yang dicatat meliputi kondisi cuaca, tanggal dan waktu pengambilan data, nama lokasi, substrat, struktur dan komposisi vegetasi, ketinggian lokasi di atas permukaan laut (m dpl), suhu air, suhu udara, kelembaban udara relatif, pH air dan tumbuhan bawah dominan.

3.3.2 Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang digunakan untuk mendukung data primer yang digunakan dalam penelitian ini. Data sekunder dikumpulkan melalui studi literatur dari jurnal, laporan ilmiah, dan laporan-laporan lain yang relevan. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi: sejarah pengelolaan kawasan, peta kawasan, suhu udara harian, iklim dan curah hujan serta kelembaban udara relatif yang bersumber dari stasiun klimatologi terdekat. Selain itu, guna memperkaya informasi tentang keberadaan reptil dan pemanfaatannya maka dilakukan pengumpulan data melalui wawancara dengan kelompok masyarakat setempat.

3.4 Metode Pengumpulan Data

3.4.1 Reptil

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah Visual Encounter Survey

(28)

 

Pemilihan metode VES dengan asumsi. bahwa 1). Setiap individu dari semua spesies mempunyai kesempatan yang sama untuk diamati, 2). Setiap spesies menyukai tempat atau habitat yang sama, 3). Semua individu hanya dihitung satu kali dalam pengamatan, dan 4). Hasil survei merupakan hasil pengamatan lebih dari satu orang. Metode VES yang digunakan merupakan modifikasi, yaitu:

a. Visual Encounter Survey-Time Search

Kombinasi metode yang digunakan adalah time search selama dua jam baik pada habitat terestrial maupun akuatik. Time search merupakan suatu metode pengambilan data dengan waktu penuh yang lamanya waktu telah ditentukan sebelumnya dengan waktu untuk mencatat satwa tidak dihitung. Pengamatan dilakukan dua kali yaitu pengamatan malam yang dilakukan pada pukul 20.00-22.00 WIB untuk mengambil data reptil nokturnal serta pengamatan pagi pada pukul 07.00-09.00 WIB yang bertujuan untuk melihat reptil yang sedang berjemur (basking) dan mencari makan, karena pada saat itu cahaya matahari yang sampai ke bumi sangat baik bagi reptil untuk berjemur, selain itu pengamatan pagi juga dilakukan untuk pemasangan jebakan di lokasi yang berpotensi seperti tempat yang biasa digunakan untuk berjemur. Pengamatan ini dilakukan bila dalam lokasi tersebut belum dibuat jalur pengamatan.

b. Visual Encounter Survey-Line Transect

Pengamatan dilakukan di sepanjang transek yang telah dibuat. Masing-masing lokasi dibuat sepanjang 400 meter. Pengamatan dilakukan pada pagi pukul 08.00 WITA sampai selesai (disesuaikan dengan kondisi setempat). Cara pengamatan adalah berjalan pelan-pelan di sepanjang transek. Jika terdapat akar banir diamati celah-celahnya, kayu lapuk baik yang berdiri maupun telah roboh dibongkar untuk mencari hewan yang tersembunyi. Pengulangan dilakukan pada hari berikutnya, hal tersebut dilakukan untuk pengumpulan data tambahan serta pengambilan jebakan yang dipasang sebelumnya. Pengambilan data reptil dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu:

a. Pra pengamatan

(29)

 

mengetahui kondisi dan karakteristik habitat di setiap lokasi penelitian sehingga mempermudah penentuan lokasi. Setelah dilakukan deliniasi, maka dilakukan penentuan lokasi melalui peta yang ada atau survei lapang bila data peta kawasan tidak tersedia. Lokasi yang dipilih adalah kawasan lindung dengan berbagai ukuran fragmen serta beberapa plot contoh pada tiap tipe hutan tanaman. Setelah lokasi ditetapkan, maka dimulai dengan pembuatan jalur sepanjang 400 meter baik akuatik maupun terestrial, untuk terestrial dibuat lurus dengan memilih jalur yang memungkinkan dilalui dalam pengamatan malam. Tiap jalur diberikan penandaan dengan pita setiap 10 meter serta melakukan pembersihan jalur agar mudah dilewati. Setiap lokasi dibuat masing-masing satu jalur untuk akuatik dan terestrial dengan satu kali ulangan. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi lapang lokasi yang akan dijadikan tempat pengamatan sehingga pengambilan data dapat dilakukan dengan lebih mudah. Kegiatan ini juga dapat dilakukan bersamaan dengan analisis habitat.

Penambahan jalur dilakukan jika lebih banyak jenis baru yang ditemukan di luar jalur pengamatan yang telah dibuat sebelumnya. Bila belum dilakukannya pembuatan transect pada lokasi yang akan diamati maka pengamatan dilakukan dengan time search selama dua jam di lokasi yang dominan, lokasi tersebut dapat berupa sepanjang aliran sungai atau terfokus pada suatu mikro habitat seperti kubangan atau gua. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan penambahan jenis dan melengkapi data keanekaragaman reptil dilokasi tersebut. Metode ini biasa dilakukan pada hari pertama tiba di lokasi karena belum adanya pembuatan

transect pengamatan. b. Pengamatan

(30)

 

berguna untuk mengambil reptil yang sulit dijangkau seperti diatas pohon. Hal ini bertujuan untuk menangkap reptil yang sedang bergerak saat pengamat tidak berada di lokasi tersebut.

Pengamatan malam dilakukan pada pukul 20.00-22.00 WITA atau sepanjang jalur yang telah dibuat. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan penerangan berupa cahaya senter yang diarahkan pada lokasi-lokasi yang memungkinkan reptil ditemukan seperti di batang pohon, lubang, kayu lapuk dan semak. Untuk kura-kura dilakukan penelusuran sungai dengan menyodok-nyodok tongkat kayu pada bagian anak sungai yang rimbun tertutup rerumputan dan tumbuhan air (Riyanto dan Mumpuni 2003). Pengamatan malam difokuskan pada reptil nokturnal yang sedang beraktivitas dan reptil diurnal yang sedang beristirahat.

Pengamatan dan penangkapan dilakukan di sepanjang jalur. Individu yang diamati lalu ditangkap dan dimasukkan dalam plastik berlabel. Untuk keperluan pengenalan awal, beberapa jenis reptil yang berhasil ditangkap diawetkan untuk kebutuhan identifikasi. Sebelumnya, sampel reptil dicatat ciri-ciri morfologi, ukuran tubuh dan data lain yang mungkin dibutuhkan seperti waktu, substrat serta perilaku saat ditemukan. Untuk reptil yang ditemukan di luar jalur juga diambil dan dicatat datanya untuk keperluan pelengkapan daftar jenis.

Pengulangan dilakukan sebanyak satu kali dijalur yang sama dengan sebelumnya atau jika memungkinkan dapat dilakukan pembuatan jalur baru berjarak 10 meter di sebelah jalur sebelumnya, sehingga jalur yang dibutuhkan untuk satu kali pengulangan berjumlah dua jalur. Pengulangan bertujuan untuk mendapatkan penambahan jenis dan pengambilan data habitat jika adanya data yang belum lengkap.

c. Preservasi, dokumentasi dan identifikasi spesimen

(31)

 

dilakukan dengan menenangkan reptil menggunakan alkohol 10%, kemudian dilakukan penyuntikan dengan alkohol 70% pada bagian tubuh tertentu lalu membentuknya agar tidak rusak. Setelah kaku reptil dimasukkan ke dalam kotak berisi kapas yang telah dibasahi oleh alkohol 70% atau tabung berisi alkohol 70%.

Data yang dicatat saat identifikasi adalah nama jenis, Snout-Vent Length, berat, lokasi dan informasi lain. Untuk penamaan jenis dilakukan identifikasi menggunakan buku kunci identifikasi seperti A Field Guide to The Snakes of Borneo (Inger dan Stuebing 1999), A Pocket Guide Lizard of Borneo (Das 2004 ),

A Photographic Guide to Snakes & Other Reptiles of Borneo (Das 2006), The Reptiles of the Indo-Australian Archipelago (De Rooij 1915), dan Kura-kura dan Buaya Indonesia dan Papua Nugini (Iskandar, 2000), Turtles of Borneo and Peninsular Malaysia (Lim dan Das 1999), Amphibians and Reptiles of Brunei

(Das 2007), serta panduan lain yang menunjang identifikasi dari berbagai sumber. Jenis yang tidak dapat diidentifikasi di lapang diawetkan dan dibawa ke Laboratorium Herpetologi Balitbang Zoologi Puslitbang biologi-LIPI Cibinong, Bogor.

3.4.2 Habitat

Data habitat berguna untuk melakukan perbandingan keanekaragaman reptil yang ditemukan di tiap habitat serta melakukan perbandingan terhadap habitat yang berbeda dengan parameter keanekaragaman tersebut. Pengukuran parameter habitat yang dilakukan meliputi suhu dan kelembaban udara, pH air, substrat, curah hujan dan cuaca. Parameter lain yang diambil adalah topografi, penutupan tajuk, intensitas cahaya, substrat lantai hutan, vegetasi pohon dan tumbuhan bawah yang dominan.

(32)

 

3.5 Analisis Data

3.5.1 Analisis Data Reptil

Data reptil yang diperoleh dalam jalur pengamatan dianalisis menggunakan beberapa indeks antara lain:

A. Keanekaragaman Jenis

Keanekaragaman jenis yang ditemukan dihitung menggunakan Indeks Keanekaragaman Jenis Shannon-Wiener (Odum 1971), yaitu:

H’= - Pi Ln Pi

Keterangan:

H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener

Pi = Proporsi jenis ke-i (diperoleh dari jumlah individu jenis ke-i dibagi jumlah seluruh individu yang diperoleh di suatu lokasi

Variabel tersebut dapat digunakan dengan kriteria sebagai berikut:

H’ < 1 = Menunjukan tingkat keanekaragaman jenis yang rendah 1 < H’ < 3 = Menunjukan tingkat keanekaragaman jenis yang sedang H’ > 3 = Menunjukan tingkat keanekaragaman jenis yang tinggi Nilai yang diperoleh kemudian akan digunakan untuk membandingkan keanekaragaman jenis berdasarkan habitat.

B. Kemerataan Jenis

Untuk mengetahui derajat kemerataan jenis pada suatu lokasi digunakan Indeks Kemerataan Jenis. Persamaan yang digunakan untuk menghitung Indeks Kemerataan Jenis (Odum 1971), yaitu:

E = H’/ Ln S

Keterangan:

E = Indeks Kemerataan Jenis

H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener S = Jumlah jenis yang ditemukan

C. Kekayaan Jenis

Untuk mengetahui kekayaan jenis pada suatu habitat digunakan indeks kekayaan jenis Margalef, yaitu:

(33)

 

Keterangan:

Dmg = Indeks kekayaan jenis margalef N = Jumlah individu semua jenis S = Jumlah jenis yang ditemukan D. Pola Aktivitas dan Sebaran Ekologis

Untuk mengetahui pola aktivitas dan penyebaran jenis reptil dilakukan pencatatan data aktivitas yang dilakukan dan posisi (vertikal dan horizontal) pada setiap lokasi pengamatan dan keterkaitannya dengan kondisi fisik lokasi. Pengelompokan jenis berdasarkan penggunaan ruang dilihat dengan melakukan pengelomponkan menggunakan software SPSS dengan metode Ward. Korelasi mikrohabitat pada penyebaran jenis dilihat dengan melakukan pengelomponkan menggunakan software CANOCO dengan metode Gradient analysis CCA.

3.5.2 Analisis Data Habitat

(34)

 

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Sejarah

Kawasan lindung muara Lesan merupakan bekas PT Alas Helau pada tahun 1980 dengan luas 12.228 ha yang bergerak dibidang HPH dan memperdagangkan hasilnya. Kawasan baru menjadi kawasan konservasi setelah ditetapkan peraturan daerah (PERDA) Kabupaten Berau nomor 3 tahun 2004 tentang tata ruang, di mana kawasan hutan lesan diperuntukkan sebagai kawasan perlindungan terhadap habitat orangutan. Perda itu kemudian diperkuat putusan Bupati Berau Nomor 251 pada tahun yang sama yaitu pembentukan badan pengelola hutan Lesan untuk melindung orangutan. Kawasan lindung ini sudah masuk dalam usulan perubahan rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) Kaltim. Saat ini menunggu persetujuan menteri kehutanan sehingga berstatusnya dari lahan budidaya non kehutanan menjadi hutan lindung.

Berdasarkan peta Citra Lansat, kawasan di luar Kawasan Hutan Muara Lesan (Utara, Selatan, dan Barat) telah kritis, dan hulu sungai lebih terkonsentrasi dalam kawasan. Kondisi ini menyebabkan fungsi lindung untuk DAS sungai Lesan dan sekitarnya sangat penting untuk ekosistem perairan di bawahnya. Dengan indikator perlindungan populasi orang utan yang potensinya sama dengan beberapa taman nasional yang memiliki orang utan, topografinya yang bergelombang sampai curam dan lapisan tanahnya yang tipis maka perlindungan DAS Sungai Lesan lebih kuat untuk dipertahankan sebagai hutan lindung bagi perlindungan orang utan dan tata air. Perlindungan kawasan ini didukung oleh masyarakat adat Dayak Lesan dengan membuat pernyataan bersama, bahwa kawasan tersebut harus dipertahankan sebagai hutan adat mereka karena menjadi sumber tanaman buah-buahan untuk kehidupannya.

(35)

 

Lestari. dan PT Belantara Pusaka (luas 2.500 ha). Praktis yang tersisa hanyalah hutan lindung ini sebagai penyeimbang alam. Topografi dibeberapa lokasi yang cukup sulit mengakibatkan kegiatan penebangan di kawasan Sungai Lesan tidak optimal, bahkan beberapa tempat masih dapat ditemukan hutan primer dengan tidak adanya kegiatan penebangan. Menurut Nardiyono (2005) kondisi hutan cukup berfariasi dari hutan dataran rendah, rawa, hingga perbukitan yang merupakan habitat cukup baik bagi flora dan fauna.

4.2 Letak dan Luas kawasan

Kawasan ini terletak diantara areal HPH, Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan kelapa sawit (Gambar 2). Data dari Pokja Program Karbon Berau, ada dua HPH, satu HTI dan lima perkebunan Sawit yang terdapat disekitar kawasan. Kawasan hutan lindung sungai lesan terletak di Kecamatan Kelai Kabupaten Berau Kalimantan Timur dalam koordinat antara 01032’20,26”-01040’29,67” Lintang Utara dan antara 117003’58,19”-117011’13,47” Bujur Timur, dengan luasan 12.192 ha. Kawasan tersebut terbagi dalam wilayah administrasi 4 (empat) kampung yaitu Lesan Dayak, Muara Lesan, Sidobangen, dan Merapun.

(36)

 

Hutan Lindung Sungai Lesan sebelah Utara berbatasan dengan Sidobangen, sebelah Timur dengan Lesan Dayak dan Muara Lesan, sebelah Selatan berbatasan dengan Kampung Merapun dan sebelah Barat berbatasan dengan HPH PT. Mardhika Insan Mulia dan PT. Karya Lestari (PEMDA Berau 2005). Menurut surat rekomendasi Gubernur Kalimantan Timur No. 521/9038/EK tanggal 10 November 2005 tentang perubahan kawasan yang ditujukan kepada menetri Kehutanan, luasan kawasan yang direkomendasikan mencapai 11.342,61 ha dari luasan 12.192 ha yang diusulkan oleh bupati Berau. Berkurangnya luasan kawasan tersebut disebabkan adanya kajian ulang Dinas Kehutaan Provinsi Kalimantan Timur yang menemukan bahwa sebagian wilayah kawasan Lesan yang semula diusulkan merupakan wilayah IUPHHKT PT. Belantara Pusaka.

4.3 Kondisi Biologi

4.3.1 Kondisi Iklim

Kondisi iklim di kawasan dicirikan dengan suhu dan kelembaban yang tinggi, kecepatan angin rendah dan lama penyinaran yang relatif panjang (± 6 jam perhari). Rata-rata curah hujan tahunan selama 30 tahun pencatatan (1971-2000) mencapai 2.012 mm dengan distribusi yang relatif merata sepanjang tahun yaitu tidak mempunyai bulan kering (curah hujan bulanan <100 mm). Bulan basah (curah hujan bulanan>200 mm) terjadi pada bulan November, Desember, Januari dan Maret sedangkan sisanya adalah bulan lembab (curah hujan antara 100 s/d 200 mm perbulan). Curah hujan terendah biasanya terjadi pada bulan Juli sampai September. Rata-rata jumlah hari hujan per tahun mencapai 161 hari atau rata-rata tiap bulan terjadi 13 hari hujan. Jumlah hari hujan di bawah rata-rata biasanya terjadi pada bulan Mei sampai September (PEMDA Berau 2005).

4.3.2 Kondisi Hidrologi

(37)

 

Letak di sebelah Timur dan Selatan kawasan. Dalam kawasan juga terdapat beberapa sub DAS yang lain yaitu sub DAS Sungai Pesan dan sub DAS Sungai Lejak (PEMDA Berau 2005).

4.3.3 Topografi

Dari hasil identifikasi melalui system informasi data Demographic Elevation Model (DEM), data-data kontur, data-data RepPProt dan yang lainnya serta pengecekan lapangan, diperoleh informasi tentang kelas lereng dan keadaan topografi kawasan Lesan. RePProt tahun 1987 pada kawasan ini terdapat 10.664 ha atau sekitar 87% areal memiliki kelas kemiringan lereng (slope) lebih dari 40%. Di kawasan Lesan yang memiliki kemiringan lahan sangat ekstrim ini menjadi indicator tingkat bahaya erosi akan sangat berat dan sudah seharusnya dijadikan hutan lindung (PEMDA Berau 2005).

4.3.4 Kondisi Penutupan Lahan

Berdasarkan hasil penafsiran citra landsat dan hasil cek lapangan tim survei

Berau Forest Management Project (BFMP) tahun 1999-2000 diketahui kondisi hutan kawasan ini masih sangat baik (85% hutan tidak terganggu). Kondisi hutan semakin baik karena selama 2000-2007 tidak ada Aktivitas yang cukup berat di kawasan ini selain pengambilan hasil hutan non kayu atau non timber forest product (NTFP) dan perburuan terbatas oleh masyarakat sekitar. Kawasan hutan lindung sungai lesan terdiri dari hutan bekas tebangan yang masih sehat, hutan bekas tebangan sangat terganggu, hutan tanaman industri dengan komoditi tanaman karet, alang-alang dan belukar (PEMDA Berau 2005).

4.3.5 Tingkat Bahaya Erosi

Analisis tingkat bahaya erosi dilakukan dengan menggunkan teknik

(38)

 

untuk Hutan Lindung dan penyangga yaitu kelas IV-V atau nilai erosi antara 60-180 ton/ha/thn dan diatas 60-180 ton/ha/thn (PEMDA Berau 2005).

4.3.6 Keanekaragaman Flora dan Fauna

Hutan Sungai Lesan sebagian besar merupakan hutan sekunder. Dari hasil pengamatan tim survey TNC pada tahun 2003-2006, berhasil dicatat ada 45 jenis pohon pakan primata dan sarang Orangutan (Nardiyono, 2007). Adapun jenis-jenis pohon yang ditemukan pada kawasan ini adalah jenis-jenis pohon jambu-jambu, kayu kacang, resak, kayu arang, kecundai, majau, meranti merah, ulin, kapur, keranji, medang, kenari, rengas, meranti pandan, pasang, meranti kuning, empilung, mata kucing, mersawa, bengkal, nyatoh, meranti putih, semangkok, terap, sengkuang, penjalin, dan marsolo serta berbagai jenis pohon buah-buahan. Sebagian dari jenis kayu yang ditemui sangat cocok bagi sarang dan pakan Orangutan.

Menurut data survei yang dilakukan The Nature Conservancy menunjukkan keanekaragaman satwa yang ada di kawasan Sungai Lesan sangat tinggi. Nardiyono (2007) menyatakan bahwa hal ini bisa dilihat dari beberapa jenis satwa yang berhasil diobservasi, tercatat ada 52 jenis mamalia (18 jenis kelelawar), 118 jenis burung, 12 amfibi dan 5 jenis reptil.

4.4 Kondisi Habitat

Habitat yang digunakan dalam penelitian terbagi menjadi tiga lokasi yaitu anak sungai Lejak, sungai Lejak dan sungai Lesan, ketiga lokasi dibagi menjadi dua jalur pengamatan yaitu terestrial dan akuatik. Karakteristik masing-masing lokasi dibedakan berdasarkan kondisi fisik sungai, tegakan dominan, pH air, suhu udara dan air, serta faktor lainnya yang terdapat pada lokasi tersebut.

4.4.1 Anak sungai Lejak

Lokasi pertama yaitu anak sungai Lejak yang dibagi menjadi dua jalur pengamatan yaitu akuatik dan terestrial untuk metode transek dengan masing-masing dua kali ulangan, lokasi ini juga dilakukan pengamatan dengan metode

(39)

 

Jalur terestrial (Gambar 3) memiliki karakteristik berupa hutan dengan tutupan kanopi rapat, sedikit alang dan semak dengan ketebalan serasah mencapai 10 cm dan didominasi tumbuhan ulin (Eusideroxylon zwageri). Jalur ini merupakan jalur yang sudah lama dibuat sebelumnya, tipe jalur yang berbukit dan banyak dijumpai tumbuhan besar yang tumbang dan lapuk yang merupakan mikro habitat bagi satwa tertentu. Dijumpai kubangan pada jalur serta memotong dua aliran air berupa sungai kecil bersubstrat lumpur. Lokasi ini banyak ditemukan vegetasi tingkat pohon yang memiliki lubang penampungan air di batangnya yang biasa digunakan katak untuk bersembunyi.

Gambar 3 Jalur terestrial Anak sungai Lejak dan kubangan dalam jalur.

(40)

 

Gambar 4 Jalur akuatik Anak sungai Lejak.

4.4.2 Sungai Lejak

Lokasi kedua yaitu sungai Lejak yang dibagi menjadi 2 jalur pengamatan yaitu akuatik dan terestrial untuk metode transek dengan masing-masing 2 kali ulangan. Jalur akuatik lokasi kedua merupakan induk sungai jalur akuatik lokasi pertama namun dengan karakteristik yang berbeda, lokasi ini memiliki aliran air yang lebih tenang dan badan sungai yang lebih lebar dibandingkan lokasi pertama.

Gambar 5 Jalur terestrial sungai Lejak dan aliran air memotong jalur.

(41)

 

keanekaragamannya lebih tinggi dibanding lokasi pertama. Di luar jalur ditemukan sungai berarus tenang dengan air berwarna gelap serta bersubstrat dasar lumpur.

Jalur akuatik (Gambar 6) merupakan sungai yang mengalir sepanjang tahun yang didominasi oleh tumbuhan jambu-jambuan dengan tinggi rata-rata 1 meter, namun banyak juga dijumpai pandan-pandanan dibagian tepi sungai. Lokasi yang berupa sungai yang cukup lebar dengan lebar rata-rata 10 meter dengan lebar maksimal 20 meter. Terdapat 3 cabang sungai kecil di sepanjang jalur. Kedalaman rata-rata sungai 43 cm dengan kedalaman maksimal 120 cm. arus sangat tenang serta berwarna sedikit keruh dan banyak ditemukan pohon tumbang pada bagian sisi sungainya. Substrat dasar sungai didominasi oleh pasir dan serasah namun pada beberapa titik didominasi oleh bebatuan besar. Suhu air pada saat pengamatan yaitu 24° C dengan suhu kering 24° C, suhu basah 22° C dan pH 8.

Gambar 6 Jalur akuatik sungai Lejak.

4.4.3 Sungai Lesan

Lokasi ketiga yaitu sungai Lesan yang dibagi menjadi 3 jalur pengamatan yaitu satu akuatik dan 2 terestrial untuk metode transek dengan masing-masing 2 kali ulangan. Pada lokasi ini dilakukan pengamatan dengan metode time search

(42)

Gambar 7 Jalur terestrial pertama sungai Lesan dan kubangan dipinggir jalur.

Jalur terestrial pertama (Gambar 7) merupakan hutan dengan tutupan kanopi cukup rapat dengan kontur yang berbukit dan ditemukan satu kubangan serta melewati satu aliran sungai kecil. Kubangan pada lokasi ini merupakan micro habitat yang sangat menarik karena terdapat 3 jenis amfibi yaitu Polypedates colletii, Rhacophorus appendiculatus dan Microhyla sp yang hanya ditemukan di lokasi ini tanpa ditemukan di jalur pengamatan lainnya. Tegakan dominan berupa

tum .

lokasi ini memiliki jenis tumbuhan lebih beraneka ragam dalam tingkat pancang, terdap

Gambar 8 Jalur terestrial kedua sungai Lesan.  

buhan tingkat pancang dan rapat dengan ketebalan serasah lebih dari 10 cm

(43)

 

Jalur terestrial kedua merupakan jalur utama masuk lokasi Lesan (Gambar 8), lokasi ini merupakan jalur yang paling berbeda dari lokasi lainnya karena kondisi habitat yang sudah tidak alami karena terdapat bangunan dan jalan yang sudah permanen. Lokasi ini diambil sebagai pembanding tingkat keanekaragaman terhadap lokasi lainnya. Lokasi dengan tutupan kanopi yang rapat namun dengan vegetasi dominan tingkat pohon, Tidak dapat tumbuhan pada jalur karena jalan sudah permanen dengan serasah hanya mencapai 5 cm.

Jalur akuatik (Gambar 9) merupakan sungai kecil yang mengalir sepanjang tahun yang didominasi oleh tumbuhan jambu-jambuan dan rotan (Daemonorops sp.). Sungai berarus tenang dan banyak dijumpai genangan namun terdapat arus

yang cukup deras n serasah dengan

tutupan kalopi yang cukup rapat dan sem sedikit

lainnya karena substrat didominasi oleh serasah dan tanah namun sedikit batuan. Lebar sungai mencapai 6 meter dengan kedalaman 50 cm yang biasa terdapat pada bagian tikungan. Terdapat tegakan bambu pada bagian awal sungai, tegakan bambu merupakan tegakan yang hanya dijumpai di jalur pengamatan ini dan memiliki tingkat penambahan jenis khususnya reptil. Pada bagian titik akhir, sungai menjadi bercabang dengan

pada beberapa titik. Dasar sungai berpasir da

ak yang lebat sehingga hanya terdapat celah matahari masuk, yang mengakibatkan lokasi ini lebih lembab dibanding lokasi akuatik lainnya.

Gambar 9 Jalur akuatik sungai Lesan.

(44)

 

tutupan kanopi yang lebih rapat. Volume dan tinggi air meningkat saat sehabis hujan serta warna air yang berubah kotor dengan arus yang lebih deras. Suhu air pada saat pengamatan yaitu 24° C dengan suhu kering 24° C, suhu basah 23° C dan pH 6.

Karakteristik sungai berdasarkan lebar dan kedalaman ditunjukkan pada Gambar 10 dan 11. Sungai yang memiliki ukuran paling lebar dan paling dalam terletak pada lokasi kedua yaitu sungai Lejak dengan lebar maksimum 24 meter dan kedalaman maksimum 120 cm. sedangkan sungai dengan ukuran lebar terkecil adalah lokasi ketiga yaitu sunga aksimum 7 meter, namu

i Lesan dengan lebar m

n kedalaman maksimum lokasi ketiga sama dengan lokasi pertama yaitu 50 cm.

Gambar 10 Grafik tingkat kedalaman sungai di tiga lokasi.

20

0

Rata‐rata Max Min

nilai 40

60 80 100 120

Sentimeter

A.Lejak

Lejak

(45)

 

Gam asi.

Sungai di Kawasan Lindung Sungai Lesan merupakan sungai berarus tenang dengan warna air jernis dan substrat dasar dominan batuan dan serasah dengan karakteristik sebagian besar sama. Sungai Lejak merupakan sungai terlebar dan terdalam dibanding ketiga lokasi lainnya, sehingga sungai ini memiliki ruang masuk matahari lebih besar dibanding sungai lain yang tertutup kanopi. Sungai ketiga atau sungai Lesan adalah anak sungai yang langsung mengalir ke sungai Lesan, lokasi ini paling berbeda dibanding 2 sungai lainnya karena terdapat tegakan bambu dan banyak dijumpai rotan serta tumbuhan semak lainnya. Sungai ini memiliki karakteristik vegetasi yang beragam dengan tutupan kanopi yang sangat rapat dengan hulu sungai yang berlumpur.

Tingkat kelembaban lokasi tertinggi adalah jalur Anak Sungai Lejak dengan nilai kelembaban dengan nilai 86,8%, sedangkan yang terendah adalah jalur Sungai Lejak dengan nilai 78%. Lokasi jalur Sungai Lesan memiliki tingkat kelemb

0 5 10 15 20 25

∑ Max Min ∑ Max Min

Badan sungai (m) bibir sungai (m)

Meter

Nilai

A.Lejak

Lejak

Lesan

bar 11 Grafik tingkat lebar badan dan bibir sungai di tiga lok

(46)

 

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Komposisi Jenis

Jumlah keseluruhan reptil yang ditemukan pada lokasi penelitian yaitu 31 jenis diantaranya 27 jenis ditemukan di dalam jalur pengamatan dan 15 jenis di luar jalur pengamatan (Tabel 2).

Tabel 2 Daftar Famili, jenis dan jumlah individu pada tiap habitat

No Famili Jenis D J A T Total

19 Cyrtodactylus malayanus 0 8 11 19

20 Gekko gecko 1 0 1 2

(47)

 

Jumlah individu tertinggi dijumpai pada jalur terestrial yaitu 79 individu sedangkan akuatik hanya 35 individu (Tabel 2). Jumlah jenis tertinggi dijumpai pada habitat akuatik yaitu 18 jenis sedangkan terestrial 16 jenis. Perolehan di luar jalur tidak jauh berbeda dengan akuatik yaitu 15 jenis dan 31 individu. Reptil yang hanya ditemukan di luar jalur pengamatan berjumlah 4 jenis yaitu

Bronchocela cristatella, Dendrelaphis pictus, Rhabdophis chrysarga, dan Draco fimbriatus.

Tabel 3 Daftar klasifikasi dan jumlah jenis reptil

No Ordo Sub-ordo Famili Marga Jenis

Gambar 12 Grafik perbandingan jumlah jenis dan individu tiap famili.

(48)

 

dan Trionychidae (1 jenis), Scincidae (5 jenis), Geckonidae (6 jenis), Agamidae (7 jenis) dan Colubridae (8 jenis). Terdapat 2 jenis yang termasuk dalam kategori rawan (Vulnerable) IUCN dan Appendix II CITES yaitu kura-kura punggung datar (Notochelys platynota) dan bulus (Amyda cartilaginea). Kedua jenis tersebut dicantumkan dalam Redlist IUCN pada tahun 2000 dan Appendix II CITES pada tahun 2005. Sebagian besar jenis reptil yang diperoleh merupakan catatan baru karena belum pernah diadakan penelitian spesifik tentang herpetofauna sebelumnya.

Jumlah individu dari seluruh jenis yang ditemukan adalah 145 individu. Jumlah tersebut merupakan akumulasi dari penemuan jenis di dalam dan di luar jalur dengan 114 individu di dalam jalur dan 31 individu di luar jalur pengamatan.

Gambar 13 Jenis dengan nilai kelimpahan tertinggi (Eutrophis rudis).

Kelas famili yang memiliki jumlah individu terbanyak adalah famili Scincidae yaitu 63 individu dan terendah adalah famili Crotalidae dan Trionychidae yaitu 1 individu. Sedangkan individu terbanyak (24 individu) dengan nilai kelimpahan 16,55% adalah Eutrophis rudis serta paling sedikit (1 individu) dengan nilai kelimpahan 0,69% adalah Aeruloscalobates felinus, Amyda cartilaginea, Ahaetulla prassina, Boiga drapiezii, Bronchocella cristatella,

Cyrtodactylus consobrinus, Dasia olivaceae, Draco haematopogon, Draco

fimbriatus, Dendrelaphis pictus, Gonochepalus grandis, Pareas malaccanus,

Rhabdophis chrysarga, Tropidolaemus wagleri, Xenocrophis triangularigera ,

(49)

 

Anak Sungai Lejak Sungai Lejak Sungai Lesan

Gambar 14 Grafik Jumlah jenis dari tiap famili pada tiap lokasi pengamatan.

Lokasi Anak Sungai lejak didominasi oleh famili colubridae dengan jumlah 4 jenis (Dendrelaphis formosus, Dendrelaphis pictus, Pareas malaccanus dan

Xenodermus javanicus). Sungai Lejak didominasi oleh famili Agamidae dengan jumlah 5 jenis (Aphaniotis ornata, Bronchocela cristatella, Gonocephalus borneensis, Gonocephalus grandis, dan Gonocephalus liogaster). Sungai Lesan didominasi oleh famili Geckonidae dengan jumlah 5 jenis (Aeruloscalobates felinus, Cyrtodactylus consobrinus, Cyrtodactylus malayanus, Gehyra mutilata,

dan Hemidactylus frenatus) dan famili Scincidae dengan jumlah 5 jenis (Dasia olivaceae, Eutrophis multifasciata, Eutrophis rudis, Sphenomorphus haasii, dan

Tropidophorus mocquardii). Jumlah tersebut termasuk dalam penemuan di luar waktu pengamatan dan metode jebakan (glue trap).

(50)

 

0 5 10 15 20 25 30 35

31/07 01/08 02/08 03/08 04/08 05/08 06/08 07/08 08/08 09/08 10/08 11/08 12/08 13/08 14/08 15/08 16/08 17/08 18/08 19/08

Jumlah

 

spesies

Keseluruhan Akuatik Terestrial Diluar Jalur

Gambar 15 Grafik akumulasi spesies berdasarkan tipe habitat dan waktu pengamatan.

Waktu pengamatan

Penyebaran jenis pada tipe akuatik didominasi oleh famili Colubridae yaitu

Ahaetulla prasina, Boiga drapiezii, Pareas malaccanus, Xenodermus javanicus

dan Xenochrophis trianguligera sedangkan pada habitat terestrial didominasi oleh famili Agamidae yaitu Aphaniotis ornata, Draco haematopogon, Gonocephalus borneensis dan Gonocephalus liogaster. Reptil yang tersebar di kedua tipe habitat hanya 3 jenis yaitu Aphaniotis ornata, Cyrtodactylus malayanus dan

Gonocephalus borneensis.

(51)

 

Jenis reptil yang memiliki peluang perjumpaan tertinggi adalah

Cyrtodactylus malayanus sebesar 87,5%, sedangkan jenis Eutrophis rudis, Eutrophis multifasciata, Gonochepalus borneensis dan Sphenomorphus haasii

juga memiliki peluang perjumpaan yang cukup tinggi yaitu 75%.

Famili Geckonidae memiliki tingkat peluang perjumpaan paling tinggi di antara famili lain yaitu sebesar 100% atau dapat ditemukan di seluruh lokasi pengamatan, sedangkan famili Crotalidae dan Trionychidae memiliki peluang perjumpaan terendah yaitu sebesar 12,5% atau hanya dapat ditemukan di satu lokasi pengamatan. Peluang perjumpaan paling tinggi dari famili Colubridae adalah Dendrelaphis fumosus (25%) karena jenis lainnya hanya ditemukan pada satu lokasi sebanyak satu individu saja.

5.1.2 Tingkat Keanekaragaman Jenis

Nilai keanekaragaman jenis dari total gabungan akuatik dan terestrial paling tinggi terdapat pada lokasi Sungai Lesan (S. Lesan) dengan nilai 2,47 kemudian Sungai Lejak (S. Lejak) dengan nilai 2,28 dan terendah pada lokasi Anak Sungai Lejak (A. Lejak) dengan nilai 1,89. Perbandingan tersebut berlaku juga bila dipisah menjadi tipe habitat akuatik (S. Lesan 2,05 dan A. Lejak 1,33) dan terestrial (S. Lesan 2,35 dan A. Lejak 1,58), akan tetapi untuk lokasi Sungai Lejak (S. Lejak) pada tipe habitat akuatik dan terestrial tidak jauh berbeda yaitu 1,90 dan 1,96.

(52)

 

Gambar 17 menunjukkan bahwa habitat akuatik memiliki nilai keanekaragaman jenis lebih rendah dibandingkan terestrial, akan tetapi nilai tersebut hanya berlaku bila ketiga lokasi pengamatan dipisah, sedangkan bila ketiga lokasi digabung maka perbandingan menjadi terbalik dengan nilai keanekaragaman jenis pada habitat akuatik lebih tinggi dibandingkan habitat terestrial yaitu 2,56 pada habitat akuatik dan 2,27 pada habitat terestrial.

Nilai kemerataan jenis dari total gabungan akuatik dan terestrial paling tinggi terdapat pada lokasi Sungai Lejak (S. Lejak) dengan nilai 0,89 kemudian Anak Sungai Lejak (A. Lejak) dengan nilai 0,86 dan terendah pada lokasi Sungai Lesan (S. Lesan) dengan nilai 0,84. Perbandingan tersebut berlaku pada tipe habitat akuatik namun berbeda dengan terestrial, habitat terestrial pada lokasi Sungai Lesan (S. Lesan) memiliki nilai yang lebih tinggi yaitu 0,89 dibandingkan Anak Sungai Lejak (A. Lejak) yaitu 0,88. Gambar 18 menunjukkan bahwa habitat akuatik memiliki nilai kemerataan lebih tinggi dibandingkan habitat terestrial, nilai tersebut diperoleh bila ketiga lokasi dipisah.

0.75 0.8 0.85 0.9 0.95 1

Akuatik Terestrial Total

NIlai

  

E

Habitat

A.Lejak S.Lejak S.Lesan

Gambar 18 Grafik perbandingan nilai kemerataan jenis (E).

(53)

 

jenis gabungan ketiga lokasi pengamatan yang berbanding terbalik. Nilai kenanekaragaman pada tipe habitat akuatik lebih rendah dibandingkan terestrial, sedangkan nilai kemerataan pada tipe habitat akuatik lebih tinggi dibandingkan terestrial, lokasi dengan nilai keanekaragaman paling tinggi terdapat pada Sungai Lesan yang merupakan lokasi dengan nilai kemerataan paling rendah, sedangkan lokasi dengan nilai kemerataan paling tinggi terdapat pada Sungai Lejak.

Jumlah jenis dari total gabungan akuatik dan terestrial paling tinggi terdapat pada lokasi Sungai Lesan (S. Lesan) dengan nilai 19 kemudian Sungai Lejak (S. Lejak) dengan nilai 13 dan terendah pada lokasi Anak Sungai Lejak (A. Lejak) dengan nilai 9. Perbandingan tersebut berlaku juga bila dipisah menjadi tipe habitat akuatik (S. Lesan 10 dan A. Lejak 4) dan terestrial (S. Lesan 14 dan A. Lejak 6). Gambar 19 menunjukkan bahwa habitat akuatik memiliki jumlah jenis lebih rendah dibandingkan terestrial, akan tetapi nilai tersebut hanya berlaku bila ketiga lokasi pengamatan dipisah, sedangkan bila ketiga lokasi digabung maka perbandingan menjadi terbalik dengan jumlah jenis pada habitat akuatik lebih tinggi dibandingkan habitat terestrial yaitu 18 pada habitat akuatik dan 16 pada habitat terestrial. Hasil tersebut juga berbanding terbalik dengan jumlah individu, reptil yang ditemukan pada tipe habitat terestrial memiliki jumlah individu yang lebih banyak yaitu akuatik 79 individu dan terrestrial 35 individu.

0 5 10 15 20

Akuatik Terestrial Total

Jumlah

Habitat

A.Lejak S.Lejak S.Lesan

(54)

 

Nilai kekayaan jenis dari total gabungan akuatik dan terestrial paling tinggi terdapat pada lokasi Sungai Lesan (S. Lesan) dengan nilai 4,53 kemudian Sungai Lejak (S. Lejak) dengan nilai 3,25 dan terendah pada lokasi Anak Sungai Lejak (A. Lejak) dengan nilai 2,63. Perbandingan tersebut berlaku juga bila dipisah menjadi tipe habitat akuatik (S. Lesan 2,91 dan A. Lejak 1,86) dan terestrial (S. Lesan 3,79 dan A. Lejak 1,80). Hasil dengan menggunakan indeks kekayaan jenis Margalef (Gambar 20) menunjukkan bahwa habitat akuatik memiliki kekayaan jenis lebih tinggi dibandingkan terestrial pada lokasi Anak Sungai Lejak dan Sungai Lejak namun lebih rendah pada lokasi Sungai Lesan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa nilai perbandingan kekayaan jenis Margalef antar lokasi tidak berbanding lurus dengan nilai indek keanekaragaman jenis Shanon yang menunjukkan bahwa lokasi akuatik lebih rendah dibandingkan terestrial.

0 1 2 3 4 5

Akuatik Terestrial Total

Nilai

 

Dmg

Habitat

A.Lejak S.Lejak S.Lesan

Gambar 20 Grafik perbandingan kekayaan jenis (Dmg).

5.1.3 Pola Aktivitas dan Sebaran Ekologis

(55)

 

beraktivitas pada siang hari (Diurnal) dan tidak ditemukannya jenis fosforial pada penelitian ini.

Tabel 4 Aktivitas dan sebaran ekologis reptil

Nokturnal Diurnal

Akuatik dan semi akuatik Amyda cartilaginea Varanus salvator Xenodermus javanicus

Phyton reticulatus

Notochelys platynota -

Terestrial Pareas malaccanus Eutrophis multifasciata

- Eutrophis rudis

- Sphenomorphus haasii

- Tropidoporus mocquardii

- Rhabdophis chrysarga

Arboreal dan semi arboreal Gecko gecko Dasia olivaceae

Cyrtodactylus malayanus Ahaetulla prasina

Cyrtodactylus consobrinus Bronchocella cristatella

Hemidactylus frenatus Aphaniotis ornate

Aeruloscalobates felines Gonochepalus liogaster

Gehyra mutilate Gonochepalus grandis

Xenocrophis triangularigera Gonochepalus borneensis

Boiga drapiezii Draco haematopogon

Tropidolaemus wagleri Dendrelaphis pictus

Draco fimbriatus -

Fosforial - -

Jenis akuatik dan semi akuatik merupakan jenis yang hanya ditemukan pada transek akuatik sedangkan beberapa jenis terestrial juga ditemukan pada transek dengan tipe habitat akuatik, hal tersebut juga berlaku pada spesies arboreal yang juga ditemukan pada kedua tipe transek. Pengamatan pada ketiga lokasi dengan dua tipe habitat tidak berhasil menemukan jenis fosforial dan sebagian besar merupakan jenis arboreal dan semi arboreal. Spesies diurnal lebih banyak dibandingkan nokturnal karena ditemukan baik pada pengamatan siang maupun pengamatan malam, sedangkan untuk spesies nokturnal semua ditemukan pada pengamatan malam.

(56)

 

ditemukan merupakan indikator perilaku reptil terhadap aktivitas hidupnya, hal tersebut juga dapat didukung dari substrat dominan karena dapat menunjukkan apakah reptil tersebut arboreal, terestrial atau akuatik serta sebaran dan kerapatan spesies pada suatu lokasi atau jalur.

1% 1%

Gambar 21 Persentase penggunaan substrat oleh reptil pada saat perjumpaan.

26%

Gambat 22 Persentase perilaku reptil pada saat perjumpaan.

(57)

 

antar kelompok, spesies yang memiliki tingkat korelasi terdekat dikelompokkan dalam satu kotak lalu menentukan faktor yang mempengaruhi pengelompokan tersebut. Pengelompokan ditentukan berdasarkan jarak dan kombinasi antar

cluster yang memiliki kemiripan. Gambar 23 menunjukkan tingkat kesamaan penggunaan ruang antar spesies akuatik yang terbagi menjadi tiga kelompok dengan jumlah komposisi jenis tiap kelompok yang berbeda.

Gambar 23 Dendogram kesamaan penggunaan ruang antar spesies akuatik. Pada habitat akuatik dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:

Kelompok 1 : Cyrtodactylus consobrinus=Cyco, Sphenomorphus haasii=Spha,

Ahaetulla prasina=Ahpr, Amyda cartilaginea=Amca, Boiga drapiezii=Bodr, Eutrophis rudis=Euru, Gonocephalus borneensis=Gobo,dan Varanus salvator=Vasa

Kelompok 2 : Pareas malaccanus=Pama, Xenodermus javanicus=Xeja,

Notochelys platynota=Nopl, Tropidophorus mocquardii=Trmo,

Xenochrophis trianguligera=Xetr, Gonocephalus grandis=Gogr,

Python reticulatus=Pyre dan Aphaniotis ornata=Apor Kelompok 3 : Cyrtodactylus malayanus=Cyma dan Eutrophis

(58)

 

Gambar 24 Dendogram kesamaan penggunaan ruang antar spesies terrestrial. Pada habitat terestrial dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:

Kelompok 1 : Hemidactylus frenatus=Hefr, Tropidolaemus wagleri=Trwa,

Aeruloscalobates felinus=Aefe, Draco haematopogon=Drha,

Gehyra mutilata=Gemu, Dasia olivaceae=Daol, Dendrelaphis formosus=Defo, Tropidophorus mocquardii=Trmo, Gonocephalus liogaster=Goli, Aphaniotis ornata=Apor dan Gekko gecko=Gege Kelompok 2 : Eutrophis multifasciata=Eumu, Cyrtodactylus malayanus=Cyma,

Gonocephalus borneensis=Gobo Eutrophis rudis=Euru, dan

Sphenomorphus haasii=Spha

Gambar

Gambar 2 Peta kondisi fisik lokasi Kawasan Lindung Sungai Lesan (TNC, 2010).
Gambar 3 Jalur terestrial Anak sungai Lejak dan kubangan dalam jalur.
Gambar 4 Jalur akuatik Anak sungai Lejak.
Gambar 6 Jalur akuatik sungai Lejak.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Keanekaragaman jenis burung diurnal pada lokasi penelitian dijumpai 31 jenis burung yang terdiri dari 19 famili yang tersebar pada tiga lokasi yaitu; Hutan Primer dijumpai 740

Pencatatan dilakukan terhadap semua kontak di setiap titik dan di sepanjang jalur pengamatan, meliputi; data jenis burung, jumlah individu, waktu perjumpaan suatu

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Prevab Taman Nasional Kutai, baik melalui perjumpaan langsung maupun rekaman suara ditemukan 22 spesies burung dari

Pengamatan pakan satwa dilakukan secara tidak langsung dengan mengamati bekas gigitan pada daun dan jejak Anoa yang terdapat dibawah vegetasi dengan asumsi bahwa

Kondisi habitat pada hutan lindung Mangrove Teluk Besar Parit Kelabu memiliki keadaan lingkungan dan daya dukung yang sesuai bagi kehidupan satwa liar burung, dimana sumber daya

kelas amfibi diperoleh nilai kelimpahan jenis tertinggi terdapat pada jenis Limnonectes kuhlii sebesar 18%, jenis ini paling banyak ditemukan di jalur habitat akuatik, sedangkan

Keanekaragaman jenis burung diurnal pada lokasi penelitian dijumpai 31 jenis burung yang terdiri dari 19 famili yang tersebar pada tiga lokasi yaitu; Hutan Primer dijumpai 740

Kondisi habitat pada hutan lindung Mangrove Teluk Besar Parit Kelabu memiliki keadaan lingkungan dan daya dukung yang sesuai bagi kehidupan satwa liar burung, dimana sumber daya