• Tidak ada hasil yang ditemukan

Botani Durio

Marga Durio merupakan tumbuhan berumah satu (monoecius) yaitu putik dan benangsari berada dalam satu individu, dengan kromosom 2n=2x=56, dengan ciri polinasi terbuka (open pollination) yang dibantu oleh kelelawar, lebah, dan burung. Meskipun demikian, penyerbukan dapat terjadi baik penyerbukan sendiri (autogami) atau silang (out crossing), dengan penyerbukan sendiri terjadi sangat rendah karena antesis polen dan stigma pada periode yang berbeda (Yumoto 2000). Tingginya kejadian penyerbukan silang menyebabkan tingginya rekombinasi genetik pada keturunannya (Brown 1997). Pada umumnya, perbanyakan Durio di Indonesia dilakukan dengan biji dari buah tanaman yang tumbuh liar atau dilakukan petani dengan cara generatif yaitu dengan biji yang disemaikan (Sastrapradja 1979), sehingga sebagian besar tumbuhan Durio Indonesia yang tidak teridentifikasi dan hanya beberapa di antaranya yang dikarakterisasikan dan dilepaskan menjadi varietas dan masih terus dalam pengkajian lebih lanjut (Kementerian Pertanian 2015).

Penyerbukan silang antar jenis dan antar varietas dapat terjadi secara alami, sehingga memungkinkan adanya jenis dan varietas baru dengan peluang yang tinggi. Ada atau tidaknya jenis dan varietas baru yang muncul perlu diinventarisasi dan diidentifikasi dibandingkan dengan jenis dan varietas yang telah ada, baik secara morfologi, allozyme, dan molekuler. Sunaryo et al. (2015) mengemukakan hasil eksplorasi dan identifikasi tumbuhan Lai-Durian sebagai hibrid alami antara D. kutejensis dan D. zibethinus asal Kalimantan Timur, yang mewariskan sifat-sifat menarik. Hal ini membuktikan bahwa ketersediaan plasma nutfah akan sangat berguna untuk merakit bibit unggul tanaman buah yang bernilai ekonomi tinggi. Penemuan

kultivar durian baru seperti kultivar „Pelangi Manokwari‟ di Papua, yang diduga merupakan hibrida alami antar D. zibethinus x D. graveolens, sudah diidentifikasi dan didaftarkan sebagai bibit unggul oleh Kementerian Pertanian pada tahun 2014.

Marga Durio adalah tumbuhan pohon tahunan yang secara taksonomi dalam klasifikasi termutakhir oleh Badan Filogeni Tumbuhan Berbunga III (Angiosperm Phylogeny Group) dikelompokkan pada bangsa Malvales, suku Malvaceae (APG 2009), di mana masa sebelumnya merupakan suku Bombacaceae. Istilah Malvaceae ini merupakan nama yang dikonservasikan (nomen conservandum) yang tetap dipakai sejak usulan pertama tahun 1789 oleh Jussieu dalam tulisan Genera Plantarum. Anggota dari marga ini telah dideskripsikan sebanyak 34 jenis (Kostermans 1958; Soegeng-Reksodihardjo 1965; Salma 2011; Navia dan Chikmawati 2015), walaupun hanya sembilan jenis saja yang dapat dikonsumsi (edible, tidak beracun/berbahaya) atau dapat dinikmati (palatable), yaitu D. zibethinus (Durian), D. kutejensis (Lai), D. dulcis (Lahong), D. graveolens (Tabelak), D. grandiflorus (Sukang), D. testudinarum (Kura), D. oxleyanus (Kerantongan), D. lowianus (Terutung) dan D. mansonii (Tan Duyin). Satu jenis yang disebutkan terakhir merupakan jenis spesifik di Myanmar, sedangkan jenis-jenis lain dapat dijumpai di Indonesia. Tempat asal tumbuh marga ini diperkirakan berpusat di pulau Kalimantan, tetapi hanya jenis D. zibethinus yang paling berkembang, tersebar meluas ke pulau-pulau lain di Indonesia, dan juga dijumpai di negara-negara Asia Tenggara, seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, Myanmar (Burma), Philipina, Sri Lanka, India, dan Papua New Guinea (Brown 1997).

Secara umum, sebutan durian lebih tertuju pada jenis D. zibethinus, yang berbeda dengan jenis Durian Tengkurak (D. tanjungpurensis). Durian Tengkurak (Durio tanjungpurensis) mempunyai letak tandan buah pada pangkal batang pohon, sedangkan Durian (D. zibethinus) dan Lai (D. kutejensis) menghasilkan buah pada cabang pohon. Perbandingan ketiga jenis disajikan dalam Tabel 1, dan perbandingan bunga dalam Gambar 2.

Tabel 1 Perbandingan ciri-ciri umum Durian (D. zibethinus), Lai (D. kutejensis), dan Durian Tengkurak (D. tanjungpurensis)

Ciri Durian (D. zibethinus) Lai (D. kutejensis) Durian Tengkurak (D. tanjungpurensis) Warna buah hijau, coklat, kuning kuning coklat

Letak buah cabang cabang pangkal akar/batang

utama Warna daging putih, krem, kuning kuning, oranye putih Rasa daging tawar, manis,

alkoholik

tawar, manis hambar Ketebalan daging sedang, tebal sedang sangat tipis

Ukuran daun lonjong lebar lonjong

Bentuk kanopi pohon

kerucut kerucut, perdu kerucut, membulat

Gambar 2 Variasi warna mahkota bunga. (A) Durian (D. zibethinus), (B) Lai (D. kutejensis), dan (C) Durian Tengkurak (D. tanjungpurensis)

Informasi dan data produksi Durian (D. zibethinus) cukup tersedia, tetapi dengan tingkat perkembangan produksi yang lambat. Tahun 2009, Direktorat Budidaya Tanaman Buah, Ditjen Hortikultura, Departemen Pertanian menerbitkan profil 17 Sentra Produksi Durian Indonesia di Pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan, yaitu Lampung Timur, Bengkulu Utara, Ogan Komering Ulu Timur, Ogan Komering Ilir, Musi Rawas, Batang Hari, Batang, Jepara, Pekalongan, Karanganyar, Semarang, Ngawi, Barito Utara, Barito Timur, Luwu Utara, Sinjai, dan Nunukan. Lembaga tersebut juga telah melepas 67 kultivar durian unggul nasional (Direktorat Budidaya Tanaman Buah 2009), yang pada tahun 2015 ini telah mencapai 109 kultivar (Kementerian Pertanian 2015). Dari ke-109 kultivar tersebut, 101 kultivar dari jenis Durian (D. zibethinus) merupakan kultivar terbanyak dibandingkan dengan delapan kultivar dari jenis Lai (D. kutejensis). Berdasarkan data (BPS 2015), produksi durian Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami fluktuasi. Pada tahun 2012 produksi durian tinggi, yaitu sebesar 888.130 ton, di tahun 2013 menurun sampai 759.058 ton, namun di tahun 2014 mengalami peningkatan kembali, menjadi 855.553

A

1cm

B 1cm C

1cm

ton. Tiga provinsi yang menghasilkan durian tertinggi di Indonesia adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara. Produksi durian ini telah memberikan sumbangan yang cukup berarti untuk buah tropik pada tahun 2014 dibandingkan dengan jeruk (sekitar 2 juta ton), mangga (2.4 juta ton), dan pisang (7 juta ton).

Potensi durian Indonesia dinilai sangat besar kontribusinya pada sektor ekonomi di tengah permasalahan usaha produksi durian. Dukungan kebijakan pemerintah telah dilakukan melalui pengembangan durian multi varietas, sehingga Indonesia diharapkan mampu menunjukkan kekayaan plasma nutfah dan potensi durian unggul nasional. Di sisi lain, masih terdapat banyak masalah kritis, yaitu kurangnya penerapan teknologi budidaya dan sistem usaha tani yang maju, penggunaan bibit durian berkualitas dan bersertifikat yang masih terbatas, perlu perlindungan tata ruang kawasan hortikultura dan kebun agribisnis, modal usaha petani terbatas, pemasaran yang dikuasai tengkulak menyebabkan rendahnya harga durian di tingkat petani saat musim panen, belum berkembangnya kelompok tani durian, dan kemitraan usaha di tingkat petani belum berfungsi (Direktorat Budidaya Tanaman Buah 2009).

Sebagai upaya pengembangan tanaman hortikultura dan peningkatan buah tropis berorientasi pasar berbagai usaha identifikasi aksesi durian Indonesia telah dilakukan. Jenis-jenis penanda yang digunakan terhadap durian pada sejumlah varietas secara terbatas, telah dilakukan mulai dari penanda morfologi, penanda biokimia, hingga penanda molekuler. Novayadi (2004) menggunakan penanda morfologi, namun masih sulit membedakan antar kultivar durian. Priyanti et al. (2015) menggunakan ciri morfologi trikoma abaksial daun D. kutejensis, tipe trikoma complex-peltate merupakan ciri unik pada D. kutejensis dan membedakannya dengan jenis Durio lainnya, akan tetapi sifat ini belum mampu membedakan aksesi intra jenis D. kutejensis. Variasi morfologi tetap perlu dipelajari, karena variasi itu muncul sebagian besar akibat interaksi faktor genetik dan lingkungan. Variasi morfologi dapat menjadi indikator respons tumbuhan pada aspek sitologi, fisiologi, dan ekologi. Oleh karena itu, penggunaan data morfologi juga dapat dihubungkan dengan penanda biokimia dan molekuler. Penanda biokimia (isozim) digunakan oleh peneliti terdahulu (Suketi 1994; Novayadi 2004). Suketi (1994) berhasil menggunakan tiga macam isozim untuk membedakan varietas Chanee, Monthong, dan Sitokong, yaitu isozim peroksidase, acid phosphatase (ACP), dan aspartat aminotransferase. Isozim ACP dapat digunakan untuk membedakan varietas Chanee dengan varietas Monthong dan Sitokong, tetapi tidak dapat membedakan varietas Monthong dengan Sitokong. Novayadi (2004) menggunakan 7 macam isozim, selain superoxida dismutase, ada 6 macam isozim, yaitu peroksidase, esterase, alkohol dehidrogenase, aspartat aminotransferase, acid phosphatase, dan malate dehidrogenase, yang memperlihatkan perbedaan pola pita zimogram pada 18 aksesi durian lokal asal Serang, Provinsi Banten. Selain itu, Bansir et al. (2008) juga menggunakan 2 isozim, yaitu peroksidase dan esterase untuk menguji kekerabatan turunan F1 durian hibrid dengan tetuanya. Penanda molekuler telah dilakukan baik untuk tujuan analisis keragaman genetik, maupun untuk pemuliaan tanaman. Ruwaida et al. (2009) menggunakan 6 primer RAPD (OPA-01, OPA-02, OPA-07, OPA-16, OPA-18 dan OPA-19) untuk mempelajari variabilitas genetik beberapa aksesi durian D. zibethinus asal Jawa Tengah. Dijumpai pula, Hariyati et al.(2013) menggunakan penanda RAPD terhadap generasi F1 dari persilangan antara D. zibethinus dan D. kutejensis, yang dengan penanda ini mampu memperlihatkan keragaman genetik antara tetua dan hibridnya. Penanda PCR-RFLP dari 10 jenis Durio spp telah digunakan untuk mengidentifikasi hubungan filogenetik dan analisis keragaman antar jenis durian berdasarkan dua lokus pada khloroplast DNA, yaitu gen

rcbL (yang mengkode sub-unit besar dari Rubisco) dan intergen antara gen ndhC and trnV. Gen rcbL adalah gen yang paling terkonservasi pada tanaman dan memiliki tingkat evolusi perubahan sekuen yang rendah, sedangkan intergen ndhC-trnV adalah daerah yang relatif memiliki perubahan sekuen yang cepat. Kombinasi dua teknik, yaitu PCR dan RFLP memanfaatkan ada tidaknya situs enzim restriksi pada amplikon DNA hasil PCR, mampu menunjukkan keragaman yang tinggi dan dapat digunakan sebagai penanda molekuler dalam program pemuliaan tanaman (Santoso et al. 2005). Peneliti lain, Sales (2015) menggunakan penanda SSR pada kultivar D. zibethinus asal Mindanao Philipina sebagai prosedur cepat untuk mengidentifikasi, mengautentikasi dan menyortir tanaman sebelum ditanam di perkebunan. Dengan menggunakan 29 primer SSR dalam laboratorium molekuler memanfaatkan PCR. Profil polimorfik DNA digunakan sebagai dipakai untuk membedakan kultivar tanaman.

Upaya pengembangan durian dapat juga dilakukan dengan persilangan terkontrol (Bansir et al. 2008) atau dengan eksplorasi dan identifikasi varietas baru (Sunaryo et al. 2015), dengan performa buah beraroma tidak tajam atau lembut, yang umumnya ciri ini diminati konsumen. Menurut Bansir et al. (2008), persilangan dilakukan dengan harapan mendapatkan sifat hibrid dari tetua betina D. kutejensis dan tetua jantan D. zibethinus pada keturunan F1, yang hingga kini belum ada laporan tentang keragaan dan status agronomi tanaman hasil persilangan itu. Pada waktu yang lain, Sunaryo et al. (2015) menemukan ada hibrid durian yang merupakan hasil persilangan yang terjadi secara alami antar D. zibethinus dan D. kutejensis di Kalimantan Timur, yang lebih banyak membawa sifat dominan menarik dari tetua D. zibethinus, yaitu terasa manis, aril yang tebal berwarna kuning, lembut dan bertekstur kering, aroma yang kurang tajam, kadar protein yang tinggi, dan buah tahan lama pada suhu ruang. Sifat tahan lama dapat diperkirakan berasal dari tetua D. kutejensis yang tidak alkoholik dan kurang aktivitas fermentasi, sedangkan banyak durian justru mulai merekah kulitnya 24 jam setelah buah jatuh (masak di pohon).

Deskripsi Jenis

A. Durio zibethinus Murray (1774)

Pohon, tinggi mencapai 40 m, berakar papan; kulit kayu coklat-merah tua, mengelupas tidak teratur; kayu teras coklat kemerah-merahan sampai merah coklat, kelas awet menengah. Daun tunggal, berseling, menjorong sampai melanset, 10-15 (-17) x 3-4.5 (-12.5) cm, pangkalnya melancip atau menumpul, ujungnya lancip melandai; permukaan atas berbulu, mengkilat, menjala rapat, permukaan bawah bersisik perak atau keemasan. Perbungaan di cabang tua, malai rata, panjangnya 15 cm, terdiri dari 3-10 kuntum bunga; panjang tangkai perbungaan 5-7 cm; kuncup bunga membulat atau membulat telur, berdiameter 2 cm; epikaliks 2-3 lobus, membulat telur, cekung, panjang 15 cm, mudah rontok; daun kelopak berbentuk tabung, panjangnya 3 cm, 5-6 buah gigi bentuk segitiga; daun mahkota 5 helai, bentuk sudip, panjang 2 x daun kelopak, pangkal menyempit; benang sari berjumlah banyak, bersatu menjadi 5 tukal; tangkai putik berbulu, kepala putik bentuk bongkol membulat. Buah kapsul, membulat sampai bulat telur atau lonjong, panjang mencapai 25 cm, diameter 20 cm, hijau sampai kecoklatan; permukaan luar berduri, bentuk piramid melebar, tajam, panjang sampai 1 cm. Biji panjang 4 cm, melonjong sampai tak beraturan, coklat muda; aril putih kekuningan, lembut beraroma khas, rasa manis (Backer dan Bakhuizen van den Brink 1963; Purwanto et al. 2011).

Ekologi: Pohon durian tumbuh dengan baik di daerah tropis, sampai pada ketinggian 800 m di atas permukaan laut, dengan curah hujan di atas 1500 m per tahun dan merata sepanjang tahun dengan lama bulan basah 9-10 bulan. Tumbuh baik pada tanah dengan pH netral, dengan drainase baik, seperti di perbukitan. Akar durian peka terhadap rendaman air. Pada musim yang relatif kering akan merangsang dan terjadinya pembungaan. Pertumbuhan durian berhenti selama musim dingin di Queensland, namun pembungaan dan pembuahan lebih lebat dari pada di daerah tropis. Di Indonesia dan Malaysia yang kelembaban udaranya tinggi, pohon durian seringkali berbunga 2 kali setahun. Di Indonesia, tanaman liarnya ditemukan di Sumatra dan Kalimantan. Tumbuhan ini tersebar ke Myanmar, Thailand, dan Philipina bagian selatan. Hasil pembudidayaan durian menyebar dari Sri Lanka dan India Selatan sampai Papua New Guinea (Purwanto et al. 2011).

Kegunaan: Buah durian yang telah matang, arilnya merupakan bagian yang dapat dimakan, umumnya dikonsumsi dalam kondisi segar. Aromanya yang tajam dan khas berasal dari senyawa thiol atau thiol-ester, ester dan sulfida merupakan tanda khas adanya buah durian. Berat daging buah durian berkisar 20-35% dari berat buah, sedangkan bijinya 5-15%. Daging buah dan bijinya yang kaya akan karbohidrat, protein, lemak dan mineral. Setiap 100 g bagian yang dapat dimakan mengandung 67 g air, 2.5 g protein, 2.5 g lemak, 28.3 g karbohidrat, 1.4 g serat, 0.8 g abu, 20 mg kalsium, 63 mg fosfor, 601 mg kalium, 0.27 mg thiamin, 0.29 riboflavin, dan 57 mg vitamin C. Energi yang dihasilkan sebesar 520 kJ/100 g. Buah durian dapat diawetkan dengan cara mengeringkan daging buahnya, atau diolah menjadi dodol atau daging buahnya dibiarkan meragi menjadi tempoyak. Biji durian yang direbus atau dibakar dan dijemur 3-4 hari dapat dimakan sebagai makanan kecil. Pucuk daun yang masih muda dimasak sebagai lalapan. Kulit buah yang dikeringkan digunakan sebagai bahan bakar, terutama untuk mengasapi ikan. Kayunya yang berserat agak kasar, ringan dan tak berbau digunakan sebagai bahan konstruksi perkakas rumah-tangga (Purwanto et al. 2011).

B. Durio tanjungpurensis Navia (2015)

Pohon dapat mencapai tinggi 20 m, berakar papan; kulit kayu coklat –coklat tua, teras kayu coklat kemerahan. Daun tunggal, berseling, lonjong sampai membulat, meruncing lanset, 12-44 x 3-12.5 cm, pangkal lancip sampai membulat, ujungnya lancip, melancip panjang, caudatus, panjangnya 5-22 mm; permukaan atas kasar, hijau, permukaan bawah coklat, bersisik tipis/jarang. Perbungaan muncul di pangkal batang, infloresens tunggal atau dengan 2-5 kuncup bunga; warna bunga hijau sampai kuning kehijauan, panjang tangkai 3-5.5 cm; kuncup membulat; epikaliks tegak kokoh, dalam 2 lobus, membulat, ukuran 2-3.5 x 1-1.5 cm; kelopak berjumlah 5, bebas, putih, membulat, ukuran 2-3.5 x 1.5-2.5 cm; mahkota 5 melonjong, putih, ukuran 5.6-7.5 x 1-1.5 cm; benangsari berbentuk tabung, jumlah 20-30, panjang 7.5-8.5 cm, berlekatan sampai dengan 2/3 dari panjang tangkai putik; tangkai putik berbulu kasar, kepala putik bongkol bulat, panjang 9-9.5 cm. Buah kapsul membulat, muncul pada pangkal batang, diameter 6.7-7.8 cm, duri tajam bentuk piramid, panjang 5-11 mm, warna buah muda hijau, warna buah matang coklat; biji tidak beraturan, ditutupi aril sekitar 20-40% atau seluruhnya; panjang 2-2.5 cm; aril berwarna putih susu, sangat tipis, tebal <1 mm (Navia dan Chikmawati 2015).

Ekologi: Jenis ini dapat tumbuh di dataran rendah sekitar bantaran sungai hingga di ketinggian 125 m dpl. Tumbuhnya di daerah lereng dan perbukitan menyebabkan tumbuhan ini mampu mengurangi erosi permukaan tanah dan menjadi tanaman

pelindung. Jenis ini oleh penduduk, tidak dianggap sebagai tanaman bernilai ekonomi, baik dari buah maupun kayu. Namun, dengan pertambahan penduduk yang cepat, ketersediaan bahan dasar kebutuhan papan, maka diperkirakan tumbuhan ini akan dimanfaatkan sebagai bahan dasar kayu dan perkakas, sehingga ketersediaan tumbuhan ini di alam akan makin terancam. Jenis ini tumbuh bercampur dengan tanaman lain, seperti Dipterocarpus, Artocarpus, dan Pandanaceae.

Kegunaan: Buah endemik Kalimantan Barat ini bila matang dan pecah akan tampak arilnya sangat tipis dan rasanya tawar atau hambar, sehingga buahnya diabaikan oleh penduduk setempat, namun menjadi makanan bagi hewan kura-kura yang hidup di bantaran sungai, karena letak buahnya yang berada pada pangkal batang, tepat di permukaan tanah (Navia 2015).

C. Durio kutejensis (Hasskarl) Beccari (1889)

Pohon dapat mencapai tinggi 21 m, berakar papan rendah, dengan diameter batang 50 cm; kulit kayu halus, mudah mengelupas, warna coklat kemerahan; kayu teras coklat kemerahan. Daun seperti kulit, membulat lonjong, panjang 19–23.7 (–27) cm, lebar 6–7.8 (–8) cm, pangkal daun membulat, ujung acuminate; helaian atas berbulu, mengkilap, helaian bawah ditutupi oleh lapisan tebal sebanyak 4 lapis, dua lapisan atas berwarna coklat, lapisan di bawahnya bersisik warna perak, lapisan terbawah dengan sisik stellate. Perbungaan dalam malai dengan 3 (atau lebih) bunga, beraroma seperti pepaya, yang muncul pada cabang utama atau cabang kedua, kuncup umumnya membulat, besar, panjang 33-35 mm, lebar 18-20 mm, warna hijau kekuningan; epikaliks 2 lobus, membulat, panjang 2.5-3.5 cm, lebar 1.5-2.5 cm; daun kelopak berbentuk campanulate, panjang 1.5-2.5 (-3) cm, lebar1.5-3.5 (-4.0) cm, 5 gigi bentuk segitiga, panjang 4-5 mm, lebar 10-15 mm, bagian luar bersisik cokelat keemasan, bagian dalam berwarna hijau muda, yang dilindungi dengan sisik besar cokelat dan berukuran kecil bagian bawah; daun mahkota merah tua dengan 5 helaian, berbentuk spathulate, panjang 6-9 cm, lebar 2-3 cm, bagian luar warna merah tua, ditutupi dengan sisik stellate dan fimbriate, bagian dalam dengan sisik kasar; benang sari sekitar 60, terpisah, merah, permukaan kasar, panjang 4.5-7.5 cm; tangkai putik merah muda, panjang 5-8 cm, kepala putik kuning bulat, berbulu. Buah berduri piramid, bulat sampai lonjong, sulit dibelah, panjang 8-22 cm, lebar 8-14 cm, 5 juring. Biji lonjong, panjang 2.6-4.9 cm, lebar 1.3-4.5 cm, coklat tua, mengkilat; aril kuning sampai kuning tua, oranye sampai oranye tua, kering, cukup manis, lembut seperti krim, tebal 4-7 mm, menutupi seluruh biji atau sebagian biji terlihat (Salma 2011).

Ekologi: Jenis ini dapat tumbuh dari dataran rendah (20-300 m dpl) hingga ketinggian 750 m dpl, dengan kelembaban berkisar antara 25-86%, dengan suhu udara dari 24-30 oC.

Kegunaan: Buah yang telah matang, arilnya dimakan dalam kondisi segar atau dijual untuk memperoleh penghasilan tambahan. Rasanya yang manis sampai dengan sangat manis menjadi kegemaran dan pilihan selain buah D. zibethinus (Subhadrabandhu et al. 1997). Biji dan kulit digunakan sebagai bioethanol dan bahan serat alam. Aril diolah dengan cara fermentasi tradisional menjadi tempoyak. Biji yang direbus terlebih dulu, kemudian diiris tipis dan dijemur dan digoreng untuk dimakan. Kulit batang digunakan sebagai obat tradisional (Atmoko 2014).

Penanda Inter-Simple Sequence Repeats (ISSR)

Ada banyak teknik yang tersedia untuk karakterisasi genetik tanaman berdasar pada identifikasi menggunakan DNA (DNA-based identification) berbasis PCR (polymerase chain reaction). Teknik PCR memanfaatkan enzim thermostable, yang dapat menyintesis utas DNA baru dengan menyalin DNA cetakan (Mullis et al. 1986). Pada awalnya, PCR dirancang untuk mengamplifikasi sekuen target dan untuk meningkatkan sensitivitas deteksi sering digunakan probe DNA. Namun, untuk melabel probe DNA merupakan pekerjaan yang memakan tenaga dan waktu, maka penggunaan PCR dilakukan tanpa probe. Dalam perkembangannya, PCR digunakan pula untuk melakukan amplifikasi secara simultan dan random yang berguna untuk identifikasi yang menghasilkan profil genetik yang spesifik, misalnya penggunaan penanda RAPD, amplified fragment length polymorphism - AFLP, dan ISSR. Menurut Farooq dan Azam (2002) pemilihan penanda tergantung aspek rasional dan tujuannya.

Keragaman genetik merupakan perhatian penting ahli biologi yang tertarik untuk memperoleh parameter keragaman dari jenis yang terancam punah atau dari populasi yang kecil untuk memastikan potensi resiko genetik dan mengembangkan suatu sistem strategi manajemen. Ada banyak pengukuran keragaman genetik yang telah dikembangkan, mulai dari ciri morfologi (ragam kuantitatif), enzim/protein (allozyme electrophoresis), sampai pada teknologi berbasis DNA (genotyping dan sekuensing). Analisis ciri morfologi secara umum telah dapat memberikan informasi yang sangat baik, namun sifat kuantitatif multigen dan induksi lingkungan yang menyebabkan adanya keterbatasan aplikasi pada penggunaan dan pengembangannya. Penggunaan allozyme telah digunakan secara meluas, bersifat ko-dominan, dan menunjukkan penanda fenotip dengan biaya yang rendah. Sejak pengembangan PCR, banyak ahli genetik telah mengevaluasi suatu jenis tumbuhan berdasar pada keragaman antar bermacam-macam penanda DNA (Rossetto dan Rymer 2013).

Teknik molekuler berdasarkan DNA merupakan perangkat yang dapat mengurangi keterbatasan dari penanda morfologi yaitu rendahnya polimorfisme, adanya pengaruh pleiotropi dan epistasis (Weising et al. 2005). Teknologi PCR, hanya sedikit membutuhkan sampel DNA. Tiga penanda berbasis PCR yang luas penggunaannya adalah RAPD, SSR atau mikrosatelit, dan AFLP. Setiap teknik penanda molekuler memiliki kekurangan dan kelebihan. Penanda RAPD sangat cepat dan mudah diimplementasi, dimana penentuan primer dapat secara acak, tetapi penanda ini kurang reproduksibel (Virk et al. 1995). Penanda AFLP memiliki tingkat reproduksibel yang moderat, namun biaya operasional yang tinggi (Karp et al. 1997). Mikrosatelit bersifat spesifik dan sangat polimorfik, namun membutuhkan data awal sekuen sebagian atau seluruh genom, ketika menentukan primer yang spesifik.

Secara konvensional, penanda yang baik adalah penanda yang memiliki reproduk-sibel yang tinggi, mudah dilakukan, dan hemat biaya. Dalam studi filogenik, dan konservasi tanaman diharuskan menggunakan kriteria tersebut. Penanda ISSR seperti yang digagas oleh Ziętkiewicz et al. (1994) dipilih dalam penelitian ini (Gambar 3). ISSR merupakan bagian mikrosatelit, yang umumnya tidak mengkode protein. Daerah mikrosatelit adalah segmen DNA berulang yang terdapat pada semua organisme, terutama pada eukariot. Sekuen DNA berulang ini merupakan sumber variasi di DNA kloroplas, mitokondria dan inti. Daerah ini terdiri dari pengulangan daerah secara berpasangan dari beberapa nukleotida, umumnya 2-6 nukleotida dengan perulangan mencapai ukuran sampai dengan 10 bp yang terdistribusi dalam genom (Wolfe dan

Liston 1998). ISSR merupakan daerah di dalam DNA yang panjangnya sangat bervariasi dalam suatu jenis yang sama (Salimath et al. 1995).

Gambar 3 Rangkuman skematis contoh dua macam primer ISSR pada target (CA)n. Memanfaatkan situs sekuen berulang atau SSR dengan dua tipe penempelan sehingga menghasilkan multi-pita DNA dalam PCR (Ziętkiewicz et al. 1994). ISSR merupakan penanda multi lokus yang diamplifikasi melalui PCR dengan primer tunggal yang melekat pada mikrosatelit target (Gambar 3) tanpa pengetahuan sekuen apapun, yang menghasilkan daerah di antara lokus mikrosatelit atau sekuen berulang sederhana (Simple Sequence Repeat, SSR). Hasil amplifikasi menghasilkan pola pita ganda dan polimorfik (Nagaoka dan Ogihara 1997). Setiap pita mewakili sekuen DNA yang dibatasi oleh dua mikrosatelit yang berbeda. Penggunaan primer yang lebih panjang pada penanda SSR menghasilkan pita yang reproduksibel,

Dokumen terkait