• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1. Otonomi Daerah dan Desentralisasi

Dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 butir 5, yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 butir 7, menyebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sitem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini berarti pengelolaan daerah lebih dititikberatkan kepada kabupaten/kota.

Mengenai sistem hubungan pusat dan daerah, berdasarkan undang-undang yang berlaku dapat dirangkum dalam tiga prinsip, yaitu:

1. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI.

2. Dekosentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah.

3. Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggung- jawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan (Elmi, 2002).

Prinsip pemberian otonomi kepada pemerintah daerah pada dasarnya adalah untuk membantu pemerintah pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Pada masa sekarang ini titik berat ekonomi daerah diberikan kepada daerah tingkat II yaitu pemerintah kabupaten/kota. Hal ini erat kaitannya dengan fungsi utama pemerintah daerah sebagai penyedia pelayanan kepada masyarakat dan pelaksana pembangunan disamping sebagai pembina kestabilan politik, sosial, ekonomi dan kesatuan bangsa.

Dengan adanya desentralisasi daerah, pemerintah daerah mempunyai beberapa keuntungan, antara lain:

1. Dengan adanya desentralisasi, pemerintah daerah dapat lebih mengetahui keinginan masyarakatnya.

2. Dengan desentralisasi diharapkan pembuatan keputusan dapat lebih efektif. 3. Daerah akan dapat melakukan pendekatan dengan cara yang berbeda-beda

dalam menggali potensi di daerahnya masing-masing.

2.2. Sumber-Sumber Penerimaan Daerah

Saragih (2003) menyatakan bahwa penyelenggaraan tugas daerah dalam rangka desentralisasi dibiayai atas beban APBD. Pada sisi penerimaan dalam APBD termuat beberapa sumber penerimaan pemerintah daerah yaitu: Sisa Anggaran Tahun Lalu, Bagian Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah, Pinjaman Daerah, dan Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah.

Sisa anggaran tahun lalu adalah penerimaan daerah dari sisa perhitungan anggaran tahun lalu yang telah dituangkan dalam APBD namun tidak

direalisasikan dengan baik karena penghematan dari belanja atau adanya pos pengeluaran belanja yang tidak dilaksanakan.

Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 10 UU No. 33 Tahun 2004, dana perimbangan terdiri atas sebagai berikut:

1) Dana bagi hasil dari: Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan (PPh) perorangan, dan penerimaan dari sumber daya alam.

2) Dana alokasi umum (DAU) atau sering disebut juga dengan block grantyang besarnya didasarkan atas formula.

3) Dana alokasi khusus (DAK). DAK identik dengan special grant yang ditentukan berdasarkan pendekatan kebutuhan yang sifatnya insidental dan mempunyai fungsi yang sangat khusus, namun prosesnya tetap dari bawah (bottom-up).

UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menetapkan bahwa pinjaman daerah adalah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang dicatat dan dikelola dalam APBD. Pinjaman daerah dapat bersumber dari dalam dan luar negeri.

PAD merupakan sumber pendapatan daerah yang dijadikan sebagai barometer bagi potensi perekonomian suatu daerah, sekaligus pencerminan efektivitas dan efisiensi aparatur pemerintah daerah dalam melaksanakan pekerjaannya. Pemerintah daerah memerlukan sumber-sumber pembiayaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri, tetapi mengingat tidak semua sumber pembiayaan dapat diberikan kepada daerah maka daerah diwajibkan untuk menggali semua sumber keuangannya sendiri seoptimal mungkin berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.3. Sumber-Sumber Pendapatan Asli Daerah

PAD merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah, potensi PAD adalah kekuatan yang ada di suatu daerah untuk menghasilkan sejumlah penerimaan PAD. Untuk mengetahui potensi sumber-sumber PAD dibutuhkan pengetahuan tentang analisis perkembangan beberapa variabel yang dapat dikendalikan (yaitu variabel-variabel ekonomi) yang dapat mempengaruhi kekuatan sumber-sumber penerimaan PAD.

Beberapa variabel yang perlu dianalisis untuk mengetahui potensi sumber- sumber PAD adalah: (1) Kondisi awal suatu daerah; (2) Peningkatan cakupan atau ektensifikasi dan intensifikasi penerimaan PAD; (3) Perkembangan PDRB per kapita riil; (4) Pertumbuhan penduduk; (5) Tingkat inflasi; (6) Penyesuaian tarif; (7) Pembangunan baru; dan (8) Sumber pendapatan baru.

Saragih (2003) menyatakan bahwa dari tahun ke tahun kebijakan mengenai PAD di setiap daerah propinsi, kabupaten, dan kota relatif tidak banyak

berubah. Artinya, sumber utama PAD komponennya hanya terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba dari BUMD, dan lain-lain PAD yang sah. Setelah desentralisasi digulirkan oleh pemerintah pusat, maka pemerintah daerah berlomba-lomba menciptakan ”kreativitas baru” untuk mengembangkan dan meningkatkan jumlah penerimaan PAD di masing-masing daerah.

Selama PAD benar-benar tidak memberatkan atau membebani masyarakat lokal, investor lokal, maupun investor asing maka dapat dikatakan bahwa daerah dengan PAD yang meningkat setiap tahun mengindikasikan daerah tersebut mampu membangun secara mandiri tanpa tergantung dana pusat.

2.3.1. Pajak Daerah

Berdasarkan UU No. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang dimaksud dengan pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi dan badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Dari definisi di atas jelas bahwa pajak daerah merupakan iuran wajib yang dapat dipaksakan kepada setiap orang (wajib pajak) tanpa kecuali, dan ditegaskan pula bahwa hasil dari pajak daerah ini diperuntukkan bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah (Prakosa, 2003).

Jenis-jenis pajak daerah menurut UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dan Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001

tentang Pajak Daerah. Pendapatan pajak daerah dibagi menjadi dua menurut wilayahnya, yaitu pendapatan pajak yang berasal dari propinsi dan pendapatan pajak yang berasal dari kabupaten/kota, dan dibedakan menjadi sebagai berikut: 1. Pajak Propinsi

Pajak propinsi adalah pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah daerah tingkat propinsi, pajak yang masih berlaku sampai saat ini adalah: a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Kendaraan di Atas Air.

b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air. c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.

d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.

2. Pajak Kabupaten/Kota

Pajak Kabupaten/Kota adalah pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah daerah tingkat II yakni pemerintah daerah kabupaten/kota. Jenis- jenis pajak kabupaten/kota adalah:

a. Pajak Hotel. b. Pajak Restoran. c. Pajak Hiburan. d. Pajak Reklame.

e. Pajak Penerangan Jalan.

f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C. g. Pajak Parkir.

Berdasarkan kelengkapan dan kemampuan variabel serta menggabungkan berbagai literatur dan pengamatan untuk menjelaskan keragaman karakteristik faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak daerah, maka variabel dasar yang digunakan dalam analisis penerimaan pajak daerah Kota bogor dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Variabel-variabel yang Digunakan dalam Analisis Penerimaan Pajak Daerah Kota Bogor

No. Variabel Satuan

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

JHT: jumlah hotel (proxypajak hotel) JRS: jumlah restoran (proxy pajak restoran)

JPR: jumlah perusahaan (proxy pajak hiburan dan reklame) JKB: jumlah kendaraan bermotor (proxy pajak parkir) JRT: jumlah rumah tangga (proxypajak penerangan jalan) JPB: jumlah penduduk Kota Bogor

INF: tingkat inflasi

PPK: pendapatan perkapita

DUMMY: 0=sebelum otonomi; 1=pada masa otonomi

unit unit unit unit rt jiwa persen Rp. miliar - 2.3.2. Retribusi Daerah

Retribusi daerah merupakan pendapatan daerah yang diatur dalam UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.

Saragih (2003) menyatakan bahwa perbedaan antara pajak daerah dan retribusi daerah tidak hanya didasarkan atas objeknya, tetapi juga perbedaan atas pendekatan tarif. Oleh sebab itu tarif retribusi bersifat fleksibel sesuai dengan

tujuan retribusi dan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah masing-masing untuk mengelola jenis pelayanan publik di daerahnya. Semakin efisien pengelolaan pelayanan publik di suatu daerah, maka semakin kecil tarif retribusi yang dikenakan. Semakin banyak jenis pelayanan publik dan meningkatnya mutu pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah terhadap masyarakatnya, maka kecenderungan perolehan dana retribusi semakin besar. Namun, banyaknya jenis retribusi yang dikenakan kepada masyarakat jelas merupakan beban bagi masyarakat lokal. Oleh sebab itu, kebijakan retribusi daerah sering menimbulkan kontroversial di daerah, baik sebelum maupun pada masa otonomi daerah diberlakukan. Karena terkadang pemerintah daerah memungut retribusi tanpa ada imbalan langsung yang dirasakan oleh masyarakat.

Objek atau jenis retribusi daerah menurut UU No. 34 Tahun 2000 serta prinsip atau kriteria penentuan tarifnya adalah sebagai berikut:

1) Retribusi jasa umum dengan kriteria penentuan tarif kebijakan daerah yang bersangkutan, besarnya biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, dan aspek keadilan.

2) Retribusi jasa usaha dengan kriteria penentuan tarifnya yaitu tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak.

3) Retribusi perizinan tertentu dengan kriteria penentuan tarifnya yaitu tujuan untuk menutup sebagian/seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.

Berdasarkan kelengkapan dan kemampuan variabel serta menggabungkan berbagai literatur dan pengamatan untuk menjelaskan keragaman karakteristik

faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan retribusi daerah, maka variabel dasar yang digunakan dalam analisis penerimaan retribusi daerah Kota bogor dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Variabel-variabel yang Digunakan dalam Analisis Penerimaan Retribusi Daerah Kota Bogor

No. Variabel Satuan

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. PJL: panjang jalan

JRT: jumlah rumah tangga JAS: jumlah penerbitan akta sipil JRP: jumlah rumah sakit dan puskesmas JMT: kematian

IMB: izin mendirikan bangunan UKB: uji kendaraan bermotor JKB: jumlah kendaraan bermotor JKU: jumlah kendaraan umum

POW: jumlah pengunjung objek wisata JPR: jumlah perusahaan

JPB: jumlah penduduk Kota Bogor INF: tingkat inflasi

PPK: pendapatan perkapita

DUMMY: 0=sebelum otonomi; 1=pada masa otonomi

km rt lembar unit jiwa unit unit unit unit juta jiwa unit jiwa persen Rp. milliar -

2.3.3. Bagian Laba Perusahaan Daerah

Kedudukan, fungsi, dan tujuan pendirian suatu perusahaan daerah diatur dalam UU tentang Perusahaan Daerah dan masih berlaku sampai saat ini. Posisi perusahaan daerah atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di era otonomi sebenarnya sangat penting dan strategis sebagai salah satu institusi milik daerah dalam meningkatkan penerimaan PAD.

Saragih (2003) menyatakan bahwa pembinaan dan pengembangan perusahaan daerah merupakan wewenang dari kepala daerah atas restu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Memang dalam tahap awal otonomi, tidak banyak yang dapat diharapkan dengan kehadiran BUMD untuk menambah kas

daerah, selama BUMD tersebut rugi terus. Kendati kekayaan BUMD terpisah dari kekayaan daerah dalam APBD, tetapi bisa saja pemerintah daerah sewenang- wenang melakukan ekspansi usaha BUMD dengan menggunakan dana APBD. Hal inilah yang dapat menyebabkan kebangkrutan keuangan daerah, termasuk krisis anggaran daerah. Oleh karena itu, pengelolaan keuangan BUMD harus terpisah dan dilakukan secara profesional sebagaimana perusahaan swasta lainnya.

2.3.4. Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah.

Lain-lain PAD yang sah adalah pendapatan yang berasal dari dinas-dinas daerah serta pendapatan-pendapatan lainnya yang diperoleh secara sah oleh pemerintah daerah. Dinas-dinas sebagai unsur pelaksana pemerintah daerah, sekalipun tugas dan fungsi utamanya adalah memberikan pelayanan terhadap masyarakat tanpa menghitung keuntungan ataupun kerugian, tetapi dalam batas- batas tertentu dapat didayagunakan dan bertindak sebagai organisasi ekonomi yang memberikan pelayanan jasa dengan imbalan sehingga dapat menambah PAD. Yang termasuk dalam kategori lain-lain PAD yang sah di Kota Bogor adalah:

1) Hasil Penjualan Aset Daerah Yang Tidak Dipisahkan, 2) Penjualan Kendaraan Bermotor,

3) Penjualan Barang Milik Daerah Lainnya, 4) Jasa Giro, dan

2.4. Hasil Penelitian Terdahulu

Anggawen (2006) meneliti tentang disparitas kontribusi pajak dan retribusi daerah dalam kaitannya dengan perkembangan wilayah di kabupaten dan kota Bogor. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa untuk tetap menjalankan roda pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan di kota Bogor, perlu ditunjang dengan pembiayaan yang cukup melalui sumber penerimaan daerah yang terdiri dari PAD dan pendapatan dari pemerintah pusat serta lain-lain pendapatan yang sah. Terjadinya pemusatan setiap jenis pajak pada suatu wilayah kecamatan, analisis korelasi antara hirarki wilayah dengan pajak dan penduduk menunjukan bahwa di Kota Bogor hanya terjadi korelasi antara hirarki wilayah atau ketersediaan infrastruktur dengan pajak hotel dan retribusi pasar. Penerimaan pajak dan retribusi yang belum maksimal serta pembangunan yang tidak merata menyebabkan rendahnya keterkaitan antara pajak dan hirarki wilayah.

Hasil penelitian Helmi (2003) tentang hubungan antara belanja pemerintah dan penerimaan daerah di Propinsi Riau, menunjukan bahwa pengelolaan keuangan daerah telah mengalami perubahan dari orde baru ke orde reformasi tetapi baru dalam tahap aturan, sedangkan pada pengelolaan tatanan operasionalnya masih belum banyak mengalami perubahan. Tolok ukur kinerja perlu ditingkatkan dengan terlebih dahulu memperbaiki indikator kinerja keuangan berupa rasio-rasio keuangan daerah. Analisisnya menggunakan model ekonometrika didapat bahwa belanja pemerintah bidang pertanian, PAD, dan pajak berpengaruh terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Pendapatan pajak dan PAD berpengaruh sangat signifikan terhadap pertumbuhan

PDRB dan Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE), begitu juga pendapatan pajak dari sektor pertanian.

Penelitian Yanti (2004) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi PAD Kota Bogor, menunjukkan bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap penerimaan PAD Kota Bogor adalah pendapatan per kapita,dummy pemberlakuan otonomi daerah, jumlah perusahaan, jumlah kamar hotel, jumlah kendaraan bermotor, jumlah izin mendirikan bangunan, dan laba perusahaan daerah.

2.5. Kerangka Pemikiran

Pemberlakuan otonomi daerah yang dilandasi oleh UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya termasuk pemberian kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangan daerahnya sendiri. Oleh karena itu, pemerintah daerah dituntut untuk meningkatkan penerimaan daerah dalam rangka untuk membiayai jalannya roda pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan di daerahnya. Salah satu sumber penerimaan daerah yang merefleksikan kualitas ekonomi daerah adalah PAD.

PAD merupakan penerimaan daerah dari berbagai komponen seperti pajak daerah, retribusi daerah, laba perusahaan daerah, dan lain-lain PAD yang sah. Potensi PAD dan komponen PAD dapat diketahui dengan menganalisis kontribusi

penerimaan PAD terhadap total penerimaan daerah dan kontribusi komponen PAD terhadap penerimaan PAD yang dilakukan dengan analisis secara deskriptif.

Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Berdasarkan Gambar 1.1. penelitian ini juga akan mencoba meneliti hubungan dari peubah-peubah yang berpengaruh terhadap penerimaan pajak dan retribusi daerah di Kota Bogor dengan menggunakan analisis peubah ganda

(multivariate analysis) yang kemudian diolah dengan menggunakan metode analisis komponen utama (principle component analysis). Dari analisis tersebut akan diperoleh gambaran tentang kontribusi faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak dan retribusi daerah serta pengaruh kebijakan otonomi daerah di Kota Bogor.

2.6. Hipotesis

Berdasarkan permasalahan dan kerangka pemikiran yang telah diuraikan sebelumnya, untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak dan retribusi daerah penulis mengajukan hipotesis bahwa faktor-faktor yang diduga memiliki pengaruh positif terhadap penerimaan pajak daerah adalah variabel jumlah hotel, jumlah restoran, jumlah perusahaan, jumlah kendaraan bermotor, jumlah rumah tangga, jumlah penduduk Kota Bogor, dan pendapatan perkapita. Sedangkan faktor-faktor yang diduga memiliki pengaruh negatif terhadap penerimaan pajak daerah adalah variabel tingkat inflasi dan dummy otonomi daerah. Faktor-faktor yang diduga memiliki pengaruh positif terhadap penerimaan retribusi daerah adalah variabel panjang jalan, jumlah rumah tangga, jumlah penerbitan akta sipil, jumlah rumah sakit dan puskesmas, jumlah kematian, uji kendaraan bermotor, jumlah kendaraan bermotor, jumlah kendaraan umum, jumlah pengunjung objek wisata, jumlah perusahaan, jumlah penduduk Kota Bogor, dan pendapatan perkapita. Sedangkan faktor-faktor yang diduga memiliki pengaruh negatif terhadap penerimaan retribusi daerah adalah variabel izin mendirikan bangunan, tingkat inflasi dandummy otonomi daerah.

Dokumen terkait