• Tidak ada hasil yang ditemukan

KROMIUM ORGANIK DAN LINGZHI ( Ganoderma lucidum )

TINJAUAN PUSTAKA Kromium

Kromium (Cr) merupakan mineral mikro esensial yang sangat penting dalam metabolisme glukosa, protein dan lemak dalam jaringan otot ternak. Kromium berperan dalam metabolisme karbohidrat, lemak, protein dan asam nukleat (NRC, 1997). Selain itu Cr juga diketahui bertanggung jawab dalam pengaturan kolesterol darah. Sebagian besar Cr yang terdapat di alam dalam bentuk Cr3+ (Ohh dan Lee, 2005). Unsur Cr dalam tubuh dapat membentuk senyawa komplek yang disebut glucose tolerance factor (GTF). Molekul tersebut terlibat dalam interaksi antara insulin dan sel reseptor yang memungkinkan banyaknya pasokan glukosa ke dalam sel(Linder, 1992). Struktur faktor toleransi glukosa disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur Glucose Tolerance Factor (GTF) Sumber: Linder, 1992

Fungsi utama Cr adalah untuk meningkatkan aktivitas insulin dalam metabolisme glukosa dan untuk mempertahankan kecepatan transpor glukosa dari darah kedalam sel. Cr juga berperan dalam mengaktifkan kerja beberapa enzim. Defisiensi Cr menyebabkan terganggunya toleransi glukosa (Glucose Tolerance). Defisiensi yang lebih parah akan mengakibatkan pertumbuhan terganggu, hiperglikemia (hyperglycemia), glikosaria (glycosaria) dan meningkatnya kadar kolesterol dalam serum. Struktur GTF tersusun dari komplek antara Cr3+ dengan 2 molekul asam nikotinat dan 3 asam amino yang terkandung dalam glutation yaitu glutamat, glisin dan sistein (Linder, 1992). Kromium secara biologis aktif sebagai komponen dari GTF yang meningkatkan sensitifitas sel dan jaringan terhadap

penggunaan glukosa dan insulin, tanpa adanya kromium GTF tidak aktif (Underwood, 2001). Sumber alami GTF adalah kapang, organ hati, merica, keju dan daging (Winarno, 2002).

Kromium Organik

Komplek Cr organik terdapat dalam bentuk Cr chelate, Cr proteinat dan Cr pikolinat (Lindenmann, 1996). Senyawa Cr proteinat merupakan Cr organik yang didapat dari protein ragi. Salah satu ragi yang banyak mengandung Cr adalah ragi bir karena banyak mengandung senyawa komplek yang mengandung Cr dan aktif secara biologis yang dikenal dengan GTF (Groff dan Gropper, 2000). Kromium dalam bentuk organik lebih mudah larut dan mudah diabsorpsi, sedangkan Cr anorganik lebih bersifat karsinogenik (Mordenti et al., 1997).

Senyawa Cr pikolinat terbentuk dari Cr3+ yang mengikat tiga molekul asam pikolinat (Gambar 2). Apabila tiga molekul asam pikolinat atau nikotinat diikat oleh Cr3+ maka akan terbentuk Cr pikolinat atau Cr nikotinat. Pada keadaan alami Cr berikatan dengan asam nikotinat sehingga Cr yang berasal dari asam nikotinat lebih disukai karena sifat alaminya. Pada asam pikolinat gugus karboksil berada pada posisi tiga, sedangkan asam nikotinat pada posisi dua, kedua bentuk tersebut sama efektifnya dalam mempengaruhi metabolisme energi (Groff dan Gropper, 2000). Struktur asam nikotinat dan asam pikolinat disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur Asam Nikotinat dan Asam Pikolinat

Jamur Lingzhi (Ganoderma lucidum)

Jamur Ganoderma lucidum termasuk kingdom fungi, klas basidiomycetes, subklas holobasidiomycetes, seri hymenomycetes, ordo agaricales, famili polyporacea, genus Ganoderma dan spesies Ganoderma lucidum.Nama binomialnya adalah Ganoderma lucidum (FR) Karst, yang ditetapkan oleh Karsten. Kata latin

lucidum berarti bersinar atau berkilauan dan menunjukan pernis yang muncul pada permukaan jamur. Kompleks Ganoderma lucidum terdiri dari tubuh buah yang tebal, bergabus dan berwarna kuning kemerahan pada awalnya dan kemudian berubah menjadi berwarna kecoklatan pada saat masaknya. Pada batas tubuh buah biasanya tipis berwarna putih pada awalnya dan menjadi coklat terang pada tahap akhirnya. Bentuknya bervariasi bundar, semi bundar dan bentuk kipas atau seperti ginjal (Chang dan Miles, 2004).

Gambar 3. Jamur Lingzhi(Ganoderma lucidum) Sumber: www.celestialherbsllc.com

Dilihat dari sifat hidupnya, Ganoderma lucidum termasuk jamur saprofitik karena tumbuh pada batang mati atau serbuk gergaji kayu (Suriawiria, 2001). Jamur ini dikenal juga sebagai jamur busuk putih (white rot fungi) karena merupakan parasit penyebab busuknya batang kelapa sawit. Adanya enzim ekstraseluler yang dimiliki oleh Ganoderma lucidum menyebabkan jamur ini mampu merombak serat kasar terutama lignin dan selulosa dan menggunakannya sebagai energi untuk pertumbuhan (Vares dan Hatakka, 1997).

Pada umumnya jamur yang berpotensi mendegradasi lignin termasuk kelompok mesofil yang hidup pada suhu antara 5-370C dan optimum pada suhu 39- 400C (Febrina, 2002). Jenis enzim ekstraseluler yang diproduksi jamur dipengaruhi oleh substrat tumbuhnya. Adapun enzim yang disekresikan oleh Ganoderma lucidum merupakan enzim ligninase yang terdiri atas enzim lakase, enzim lignin

peroksidase (LiP) dan enzim mangan peroksidase (MnP). Ganoderma lucidum

memiliki enzim dengan aktivitas lignolitik yang tinggi (Ariwibowo, 1996).

Ganoderma lucidum mempunyai kandungan senyawa aktif baik pada tubuh buah maupun pada miselium. Kandungan senyawa aktif ini bermanfaat untuk kesehatan kebugaran tubuh dan senyawa tersebut antara lain: polisakarida, adenosin, asam ganoderik, protein, triterpenoid, vitamin, elemen makro dan mikro, germanium organik, antikanker, antitumor, antikarsinogen dan zat pengatur tubuh (Sjabana, 2001). Chang dan Miles (2004) juga menyatakan bahwa senyawa utama yang terdapat di dalam Ganoderma Lucidum yang mempunyai aktivitas farmakologi adalah triterpen dan polisakarida, meskipun protein-protein, asam-asam nukleat yang bioaktif dan subtansi-subtansi lainnnya yang juga telah diidentifikasi. Hal yang menarik yang terkandung adalah kelompok dari fungal immunomodulatory protein. Yang et al. (2005) menyatakan bahwa Ganoderma lucidum mempunyai kemampuan untuk menginkorporasi Cr ke dalam sel fungi tersebut. Walker (1998) menyebutkan bahwa kromium yang masuk ke dalam tubuh fungi akan berikatan dengan protein

fungi. Metabolisme Rumen

Sistem pencernaan pada ruminansia melibatkan interaksi dinamis antar bahan pakan, populasi mikroba dan ternak itu sendiri. Pakan yang masuk ke mulut akan mengalami proses pengunyahan atau pemotongan secara mekanis sehingga membentuk bolus. Pada proses ini, pakan bercampur dengan saliva kemudian masuk ke rumen melalui esofagus untuk selanjutnya mengalami proses fermentatif. Bolus di dalam rumen akan dicerna oleh enzim mikroba. Partikel pakan yang tidak tercerna di rumen dialirkan ke abomasum dan dicerna secara hidrolitik oleh enzim pencernaan. Hasil pencernaan tersebut akan diserap oleh usus halus dan selanjutnya masuk dalam darah (Sutardi, 1977). Proses fermentasi pakan di dalam rumen menghasilkan VFA dan NH3, serta gas-gas (CO2, H2 dan CH4) yang dikeluarkan dari rumen melalui proses eruktasi (Arora, 1995).

Volatile Fatty Acid (VFA)

Volatile Fatty Acid (VFA) merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat dan sumber energi utama bagi ternak ruminansia (Parakkasi, 1999). McDonald et al.

menghasilkan produk utama berupa VFA, sel-sel mikroba, serta gas metan dan CO2. Karbohidrat pakan di dalam rumen mengalami tiga tahap pencernaan oleh enzim- enzim yang dihasilkan mikroba rumen. Pada tahap pertama, karbohidrat mengalami hidrolisis menjadi monosakarida, seperti glukosa, fruktosa dan pentosa. Hasil pencernaan tahap pertama tersebut masuk ke jalur glikolisis Embden-Meyerhoff untuk mengalami pencernaan tahap kedua yang menghasilkan piruvat. Piruvat selanjutnya akan diubah menjadi VFA yang umumnya terdiri dari asetat, butirat dan propionat (Arora, 1995). Proses metabolisme karbohidrat di dalam rumen ternak ruminansia dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Proses Metabolisme Karbohidrat di dalam Rumen Ternak Ruminansia Sumber: McDonald et al., 2002 Selulosa Selobiosa Glukosa-1-fosfat Glukosa 6-fosfat Glukosa Maltosa Pati Sukrosa Fruktosa Fruktosa 6-fosfat Pektin Asam Uronat

Hemiselulosa Pentosa Fruktosa 1,6-difosfat Asam Piruvat As. Format CO2 + H2 As. Laktat As. Oksaloasetat CH4

As. Asetil fosfat

As. Asetat As. Akrilil CoA

As. Propionat

As. Suksinat As. Propionil CoA As. Malat

As. Fumarat

As. Laktil CoA

As. Propionat

As. Asetil CoA

As. Asetoasetil CoA

β-Hidroksibutiril CoA Butiril CoA

Kisaran optimum VFA total yang layak bagi kelangsungan hidup ternak adalah 80–160 mM (Suryapratama, 1999). Konsentrasi VFA parsial selalu berubah tergantung jenis pakan yang dikonsumsi. Pada pemberian pakan dengan komposisi hijauan yang lebih tinggi akan menghasilkan proporsi asetat : propionat : butirat sebesar 65% : 20% : 10% (Gambar 4), sedangkan 5% berupa valerat dan VFA rantai cabang yaitu isovalerat dan isobutirat yang berasal dari asam amino valin, leusin dan isoleusin (Sutardi, 1977).

Amonia (NH3)

Protein bahan makanan yang masuk ke dalam rumen pada awalnya akan mengalami proteolisis oleh enzim-enzim protease menjadi peptida, lalu dihidrolisa menjadi asam amino yang kemudian secara cepat dideaminasi menjadi amonia (Gambar 5). Keduanya akan digunakan oleh mikroba rumen dalam pembentukan protein mikroba. Umumnya proporsi protein yang didegradasi dalam rumen sekitar 70-80 %, atau 30-40 % untuk protein yang sulit dicerna. Kandungan protein ransum yang tinggi dan proteinnya mudah didegradasi akan menghasilkan konsentrasi NH3 di dalam rumen (McDonald et al., 2002). Selain itu, tingkat hidrolisis protein bergantung kepada daya larutnya yang akan mempengaruhi kadar NH3. Gula terlarut yang tersedia di dalam rumen dipergunakan oleh mikroba untuk menghabiskan amonia (Arora, 1995).

Pengukuran N-NH3 in vitro dapat digunakan untuk mengestimasi degradasi protein dan penggunaannya oleh mikroba. Produksi amonia dipengaruhi oleh waktu setelah makan dan umumnya produksi maksimum dicapai pada 2-4 jam setelah pemberian pakan yang bergantung kepada sumber protein yang digunakan dan mudah tidaknya protein tersebut didegradasi (Wohlt et al., 1976). Jika pakan defisien protein atau tinggi kandungan protein yang lolos degradasi, maka konsentrasi NH3 rumen akan rendah (lebih rendah dari 50 mg/l atau 3,57 mM) dan pertumbuhan organisme rumen akan lambat (Satter dan Slyter, 1974). Sebaliknya, jika degradasi protein lebih cepat daripada sintesis protein mikroba, maka NH3 akan terakumulasi dan melebihi konsentrasi optimumnya. Kisaran optimum NH3 dalam rumen berkisar antara 85-300 mg/l atau 6-21 mM (McDonald et al., 2002). Proses metabolisme protein di dalam rumen ternak ruminansia dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Proses Metabolisme Protein di dalam Rumen Ternak Ruminansia

Sumber: McDonald et al., 2002

Ranjhan (1977) menyatakan bahwa peningkatan jumlah karbohidrat yang mudah difermentasi akan mengurangi produksi amonia, karena terjadi kenaikan penggunaan amonia untuk pertumbuhan protein mikroba. Kondisi yang ideal adalah sumber energi tersebut dapat difermentasi sama cepatnya dengan pembentukan NH3 sehingga pada saat NH3 terbentuk terdapat produksi fermentasi asal karbohidrat yang akan digunakan sebagai sumber dan kerangka karbon dari asam amino protein mikroba telah tersedia. Mikroba yang telah mati akan masuk ke usus sebagai sumber protein bagi ternak. Protein mikroba tersebut bersama dengan protein pakan yang lolos degradasi mengalami pencernaan di dalam usus oleh enzim-enzim protease dengan hasil akhir asam amino (Sutardi, 1977).

Pakan Protein Non-protein N Sulit Didegradasi Mudah Didegradasi Peptida Enzim protease Asam Amino Protein Mikroba Rumen Dicerna di Usus Halus Non-protein N Amonia Kelenjar Saliva Hati Enzim peptidase Diekskresikan (urine) NH3 urea Ginjal Deaminasi

Efek Kromium Organik dan Biomasa Limbah Serat Sawit Hasil Fermentasi dengan Ganoderma lucidum dalam Metabolisme Rumen

Astuti (2005) menyebutkan bahwa suplementasi Cr organik dengan carrier

Saccharomyces cerevisiae pada level 2 mg/kg menghasilkan konsentrasi VFA total yang cukup tinggi (146,5 mM). Hal ini sejalan dengan penelitian Jayanegara (2003) yang menunjukkan bahwa suplementasi Cr organik dengan carrier Rhizopus sp. pada level 1 ppm dalam ransum dapat meningkatkan konsentrasi VFA total. Besong et al. (2001) menyatakan bahwa suplementasi Cr organik pada dosis yang tepat akan mempengaruhi produksi VFA parsial dalam cairan rumen, dimana pemakaian 1,6 mg Cr/kg ransum dapat meningkatkan proporsi molar isobutirat.

Konsentrasi VFA total biomasa limbah serat kelapa sawit hasil penumbuhan

Ganodema lucidum dalam bentuk ransum sama dengan VFA total rumput gajah dalam bentuk ransum dan masih dapat memenuhi kebutuhan mikroba rumen (91,140-105,896 mM) (Lubnah, 2003). Hasil penelitian Toharmat et al. (2008) menunjukkan bahwa fermentasi in vitro pakan berserat (tandan kosong sawit dan jerami padi) dengan fungi Ganoderma lucidum menghasilkan konsentrasi VFA yang meningkat dengan semakin meningkatnya lama fermentasi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa fermentasi pakan berserat oleh fungi Ganoderma lucidum

mempunyai potensi dijadikan sebagai pakan.

Astuti et al. (2007) menyatakan bahwa konsentrasi NH3 dalam rumen dipengaruhi oleh tingkat produksinya yang berkaitan dengan pencernaan protein pakan, dan dipengaruhi pula oleh laju penggunaannya oleh mikroba rumen. Ransum yang disuplementasi dengan Cr organik dan probiotik menunjukkan penurunan konsentrasi NH3. Hal ini disebabkan oleh peningkatan laju penggunaan oleh mikroba rumen. Aktivitas mikroba rumen yang meningkat karena pemberian probiotik dan kromium organik menyebabkan konsumsi NH3 meningkat.

Ransum yang mengandung biomasa limbah serat kelapa sawit hasil penumbuhan Ganodema lucidum menunjukkan adanya peningkatan konsentrasi NH3. Hal ini disebabkan adanya proses fermentasi, lama pembentukan biomasa, yang dapat meningkatkan kadar protein dalam substrat (limbah serat kelapa sawit) sehingga meningkatkan konsentrasi NH3 (Lubnah, 2003). Toharmat et al. (2008) menyebutkan bahwa fungi Ganoderma lucidum dapat menyediakan nitrogen sehingga dapat dimanfaatkan mikroba rumen.

Suplementasi Cr organik 1 mg/kg dengan carrierSaccharomyces cerevisiae,

Aspergillus oryzae, Rhizopus oryzae dan ragi tape mampu meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik ransum. Peningkatan nilai kecernaan tersebut diduga akibat kinerja mikroba rumen yang semakin aktif karena suplai energi yang cukup sebagai akibat dari pengaruh suplementasi Cr organik tersebut (Astuti, 2005). Astuti

et al. (2007) menyatakan bahwa suplementasi Cr organik hasil fermentasi menggunakan substrat singkong dan ragi tape sebagai starter mampu meningkatkan kecernaan bahan kering dan organik ransum meskipun tidak cukup signifikan.

Lubnah (2003) menyatakan bahwa koefisien cerna meningkat pada ransum yang disuplementasi biomasa limbah serat sawit hasil fermentasi dengan Ganoderma lucidum dibandingkan dengan ransum yang mengandung rumput gajah. Hal serupa juga dinyatakan oleh Toharmat et al. (2008), produk fermentasi tandan kosong sawit dengan fungi Ganoderma lucidum memiliki nilai kecernaan bahan kering berkisar antara 19,73 – 31,24 % dan kecernaan bahan organik 17,50 – 29,16 %.

METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan dari bulan September sampai dengan November 2008. Semua kegiatan dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak Perah dan Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Terapan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Materi Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tabung fermentor 100 ml, tutup karet berventilasi, termos berkapasitas 2 liter, kain kasa, gelas ukur, CO2, pompa vakum, mikroburet 0,001 ml, labu Erlenmeyer, seperangkat alat destilasi, cawan porselin, timbangan digital, oven 105oC, sentrifus, water bath, tanur 600oC. Bahan

Bahan yang digunakan adalah ransum basal sapi, ransum basal domba, suplemen berupa kromium organik dengan carrier Ganoderma lucidum, jamur Lingzhi dan campuran kedua bahan tersebut. Disamping itu digunakan pula cairan rumen segar yang berasal dari sapi berfistula rumen, aquades, larutan McDougall, gas CO2, kertas saring Whatman No. 41, HgCl2 jenuh, H2SO4 pekat, H2SO4 0,005 N, H2SO4 15%, HCl 0,5 N, Na2CO3 jenuh, vaselin, asam borat berindikator (BB) dan larutan pepsin-HCl 0,2%. Komposisi ransum basal sapi perah dan domba disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Rancangan Susunan Ransum Perlakuan

Suplementasi diberikan pada dua ransum basal yaitu ransum basal sapi perah dan domba yang digunakan pada penelitian ini dengan rincian sebagai berikut: R1 : Ransum Basal (Kontrol)

R2 : Ransum Basal (Kontrol) + Kromium (Cr) Organik 3 ppm R3 : Ransum Basal (Kontrol) + Kromium (Cr) Anorganik 3 ppm R4 : Ransum Basal (Kontrol) + Lingzhi(5 gram/50 kg BB)

Tabel 1. Komposisi Ransum Basal Domba (% Bahan Kering) Bahan Pakan (%) Hijauan Jagung 35 Dedak Padi 21,50 Jagung 19,65 Bungkil Kedelai 13,60 Bungkil Kelapa 8,00 Urea 0,25 Minyak Jagung 2,00 Total 100 Protein Kasar*) (% BK) 13,5 Serat Kasar*) (% BK) 17,0 Lemak*) (% BK) 6,7 TDN 67

Keterangan : *) Hasil Analisis Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB, 2008

Tabel 2. Komposisi Ransum Basal Sapi Perah (% Bahan Kering)

Bahan Pakan (%) Hijauan 60 Konsentrat (KPS) 40 Total 100 Protein Kasar*) (% BK) 12,1 Serat Kasar*) (% BK) 25,68 Lemak*) (% BK) 1,71 TDN 67

Keterangan : *) Hasil Analisis Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB, 2008

Peubah yang diamati

Peubah-peubah yang diamati dalam penelitian in vitro ini adalah: 1). Konsentrasi VFA total (mM)

Konsentrasi VFA total diukur dengan menggunakan teknik destilasi uap (General Laboratory Procedures, 1966).

2). Konsentrasi NH3 (Amonia) (mM)

Konsentrasi amonia diukur dengan menggunakan metode mikrodifusi Conway (General Laboratory Procedures, 1966).

3). KCBK (Koefisien Cerna Bahan Kering) dan KCBO (Koefisien Cerna Bahan Organik) (%)

KCBK dan KCBO diukur dengan menggunakan metode Tilley dan Terry (1963).

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial 2 x 5 dengan 4 periode pengambilan cairan rumen sebagai kelompok. Faktor yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari dua faktor yaitu: Faktor A (Ransum Basal): 1). Ransum basal Sapi Perah, 2). Ransum Domba; Faktor B (Suplemen): R1= Tanpa Suplemen (kontrol), R2= Kromium (Cr) Organik 3 ppm, R3 = Kromium (Cr) Anorganik 3 ppm, R4 = Tubuh buah Ganoderma lucidum

(Lingzhi), R5 = Lingzhi + Kromium (Cr) Organik 3 ppm.

Model

Model matematika yang digunakan adalah:

Yijk = µ+τ

i+

j

k+(

β)

jk

ijk

Keterangan:

Yijk = Nilai pengamatan dari perlakuan ke-i , faktor ransum basal ke-j dan faktor suplemen ransum ke-k

μ = Nilai tengah populasi

τi = Pengaruh dari perlakuan ke-i (i = 1, 2, 3, 4)

j = Pengaruh ransum basal ke-j (j = ransum sapi dan ransum domba)

βk = Pengaruh dari suplemen ransum ke-k (k = tanpa suplemen (kontrol), Cr organik, Cr anorganik, Lingzhi, Lingzhi + Cr organik)

(β)jk = Interaksi antara ransum basal dan suplemen ransum

εij = Pengaruh galat percobaan Analisis Data

Data hasil penelitian yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (ANOVA) dan apabila ada perbedaan pengaruh diantara perlakuan maka dilanjutkan dengan uji kontrasorthogonal (Mattjik dan Sumertajaya, 2002).

Prosedur Pembuatan Suplemen Ransum

1. Pembuatan Kromium (Cr) Organik

Substrat tandan kosong sawit dicacah dengan ukuran 2 – 3 cm kemudian dikeringkan hingga kadar air ± 10%. Substrat dicampur dengan CrCl3.6H2O yang telah dilarutkan di dalam air dan dikondisikan pada kelembaban 65%. Selanjutnya substrat dimasukkan dalam botol selai berukuran 300 ml dan ditutup dengan alumunium foil untuk disterilkan dengan menggunakan autoclave selama 30 menit dengan tekanan 1,2 atm dan suhu 121 oC. Setelah dingin substrat diinokulasi dengan fungi Ganoderma lucidum dan diinkubasi selama 8 minggu untuk dapat dipanen Cr organiknya (Toharmat et al., 2008).

2. Pembuatan Suplemen Lingzhi

Tubuh buah Ganoderma lucidum (Lingzhi) dikeringkan di bawah sinar matahari kemudian digiling halus. Lingszhi yang telah dihaluskan selanjutnya ditambahkan pada ransum basal sapi perah dan domba sebanyak 5 gram/ 50 kg Bobot Badan.

Evaluasi in vitro

Teknik in vitro dilakukan dengan simulasi kondisi rumen yang sebenarnya. Percobaan ini dilakukan berdasarkan metode Tilley dan Terry (1963). Teknik ini menggunakan rumen tiruan yang berupa tabung fermentor 100 ml, larutan McDougall sebagai pengganti cairan saliva dan cairan rumen segar sapi berfistula rumen sebagai inokulum.

Pencernaan Fermentatif. Sebanyak 0,5 gram sampel ransum dimasukkan ke dalam tabung fermentor, kemudian ditambahkan larutan McDougall 40 ml dan cairan rumen 10 ml. Ke dalam tabung ditambahkan gas CO2 selama 30 detik untuk menciptakan kondisi anaerob dan disumbat dengan tutup karet yang berventilasi. Selanjutnya tabung dimasukkan ke dalam shaker bath dan difermentasikan selama 3 jam. Sumbat karet dibuka dan ditambahkan 2 tetes HgCl2 jenuh untuk membunuh mikroba di dalam tabung sehingga fermentasi terhenti. Kemudian tabung disentrifusi pada kecepatan 3000 rpm selama 15 menit dan supernatant diambil untuk dianalisis VFA dan NH3.

Analisa VFA total. Analisa VFA total dilakukan dengan teknik destilasi uap. Sebanyak 5 ml supernatant dimasukkan ke dalam tabung destilasi, lalu ditambahkan 1 ml H2SO4 15% dan tabung segera ditutup. Proses destilasi dilakukan dengan cara menghubungkan tabung dengan labu yang berisi air mendidih. Uap air panas akan mendesak VFA dan akan terkondensasi di dalam pendingin. Destilat ditampung di dalam labu Erlenmeyer yang berisi NaOH 0,5 N sehingga volumenya mencapai 250 ml. Setelah itu ditambahkan indikator phenolphthalein sebanyak 2 tetes dan dititrasi dengan HCl 0,5 N sampai warna titrat berubah dari merah jambu menjadi jernih atau tidak berwarna. Produksi VFA total dihitung dengan rumus:

(a – b) x N-HCl x 1000/5 ml Sampel (g) x BK sampel

Keterangan:

a = volume tiitran blanko (ml) b = volume titran sampel (ml)

Analisa NH3. Analisa NH3 dilakukan dengan metode mikrodifusi Conway. Cawan

Conway yang digunakan terlebih dahulu diolesi vaselin pada bagian bibirnya. Sebanyak 1 ml supernatant ditempatkan pada salah satu sisi sekat cawan pada sisi yang lain ditempatkan 1 ml larutan Na2CO3 jenuh. Cawan diletakkan miring ke arah sekat sehingga kedua larutan tidak tercampur. Pada bagian tengah cawan di tempatkan 1 ml asam borat. Cawan Conway yang bibirnya sudah diolesi vaselin kemudian ditutup rapat sehingga kedap udara. Larutan Na2CO3 jenuh dicampurkan dengan supernatant dengan cara menggoyangkan dan memiringkan cawan. Selanjutnya cawan dibiarkan selama 24 jam pada suhu kamar. Setelah itu tutup cawan dibuka, asam borat dititrasi dengan H2SO4 0,005 N sampai warnanya berubah dari biru menjadi kemerah-merahan. Kadar NH3 dihitung dengan menggunakan rumus:

ml H2SO4 x N- H2SO4 x 1000 mM Sampel (g) x BK sampel VFA Total (mM) =

Analisa Koefisien Cerna Bahan Kering dan Bahan Organik (KCBK dan KCBO). Pengukuran kecernaan bahan kering dan bahan organik (KCBK dan KCBO) dilakukan menurut metode Tilley dan Terry (1963). Tahapan analisis sama seperti yang dilakukan pada fermentasi in vitro, hanya saja waktu inkubasi dilanjutkan hingga 48 jam. Setelah 48 jam fermentasi in vitro, tutup karet dibuka dan ditambahkan 2 tetes HgCl2 jenuh. Campuran disentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Supernatan dibuang, kemudian ke dalam tabung ditambahkan 50 ml larutan pepsin 0,2%. Inkubasi dilanjutkan selama 48 jam secara aerob. Sisa pencernaan disaring dengan kertas saring Whatman no. 41 dan dibantu pompa vakum. Hasil saringan dimasukkan ke dalam cawan porselen dan dikeringkan dalam oven 105oC untuk mengetahu residu bahan kering dan diabukan dalam tanur 600oC untuk menghitung residu bahan organiknya. Kecernaan dihitung dengan rumus:

BK Sampel (g) – BK Residu Akhir (g) – BK Blanko (g) BK sampel (g)

BO Sampel (g) – BO Residu Akhir (g) – BO Blanko (g) BO sampel (g) Keterangan: BK = bahan kering BO = bahan organik x 100% x 100% KCBK (%) = KCBO (%) =

HASIL DAN PEMBAHASAN

Fermentabilitas Ransum Bersuplemen Kromium dan Lingzhi di dalam Rumen

Konsentrasi Volatile Fatty Acid (VFA) Total

Volatile Fatty Acid (VFA) merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat dan sumber energi utama asal rumen. Selain VFA, fermentasi karbohidrat dalam rumen menghasilkan CO2 dan CH4 (McDonald et al., 2002). Hasil pengukuran konsentrasi VFA total pada ransum perlakuan disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Konsentrasi VFA Total Ransum Perlakuan

Jenis Ternak Ransum Kelompok Rataan±SD 1 2 3 4 --- (mM) --- Sapi R1 114,0±6,5 95,0±4,6 141,5±1,4 165,7±3,8 129,0±31,0a Perah R2 169,0±12,3 128,5±3,8 176,4±2,4 164,2±0,5 159,5±21,3b R3 171,1±0,5 150,9±3,2 148,6±14,3 166,2±2,9 159,2±11,1b R4 143,9±2,3 144,7±3,7 149,4±5,1 111,0±3,2 137,2±17,6a R5 98,8±6,4 135,1±9,4 104,6±20,9 96,8±3,5 108,8±17,8 a Rataan±SD 139,4±32,4 130,8±21,8 144,1±25,8 140,8±34,0 138,6±21,4 Domba R1 124,0±5,9 131,9±2,9 149,9±3,6 133,6±9,0 134,8±10,9a R2 166,6±2,2 119,5±2,6 140,7±12,9 125, 0±3,2 137,9±21,1b R3 154,5±2,8 137,3±3,8 143,3±4,8 156,8±0,4 147,9±9,2b R4 127,0±3,5 105,4±2,8 104,3±2,6 113,8±2,9 112,6±10,4a R5 138,5±15,7 134,9±0,9 113,6±2,0 104,5±6,0 122,9±16,4a Rataan±SD 142,1±18,2 125,8±13,3 130,4±20,1 126,7±20,1 131,2±13,7

Keterangan : Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,01); R1=Ransum Basal (kontrol), R2=R1+Cr Organik (3 ppm), R3=R1+Cr Anorganik (3 ppm), R4=R1+Lingzhi, R5= R1+Lingzhi+Cr Organik (3 ppm)

Dalam penelitian ini pengambilan cairan rumen sebagai inokulum dilakukan pada periode waktu yang berbeda pada ternak yang sama. Periode waktu

Dokumen terkait