• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karkas Ayam Broiler

Salah satu jenis unggas yang dapat diandalkan dalam penyediaan daging adalah ayam broiler. Definisi dari ayam broiler adalah ayam dari varietas dan galur tertentu yang diternakkan dan dikembangkan dengan ditekankan kearah produksi daging (Sukamto dan Tugiyanti, 2001). Ayam broiler memiliki ciri khas pertumbuhan cepat sebagai penghasil daging, siap potong pada umur relatif muda dan biasanya dipasarkan pada umur enam sampai delapan minggu (Mountney, 1983). Karkas adalah bagian dari tubuh ayam tanpa darah, bulu, kepala, kaki dan organ dalam (Winter dan Funk, 1960). Berbagai macam istilah sering digunakan dalam pemotongan karkas ayam, antara lain dressed yaitu tubuh ayam tanpa darah dan bulu (Mountney, 1983); eviscerated yaitu tubuh ayam tanpa darah, bulu dan seluruh isi rongga perut (Sneyder dan Orr, 1964); ready to cook atau karkas siap masak yaitu tubuh ayam tanpa darah, bulu, kepala, kaki dan seluruh isi rongga perut kecuali hati, gizard dan jantung (Bundy dan Diggins, 1975).

Karkas ayam broiler yang baik, didapatkan jika pelaksanaan prosesing secara baik yaitu penanganan antemortem (perlakuan terhadap ternak sebelum dipotong), proses pemotongan, pengeluaran darah yang sempurna, pencelupan ke dalam air panas (scalding), pencabutan bulu, membersihkan bulu jarum dan bulu rambut, mengeluarkan isi perut serta penanganan postmortem yang baik (Mountney, 1983).

Kualitas Karkas Ayam

Mutu karkas adalah derajat penerimaan konsumen terhadap karkas ayam. Karkas yang “layak makan” adalah kondisi karkas yang sehat, bersih serta bebas dari cemaran kuman yang berbahaya bagi manusia (Stewart, 1961). Karkas ayam mempunyai harga yang ekonomis, mudah disiapkan dan disajikan serta memiliki kelengkapan nutrisi yang memadai. Karkas ayam juga mengandung nutrisi yang penting, rendah kalori serta mengandung asam lemak jenuh, asam lemak tidak jenuh dan asam amino esensial (Mountney, 1983). Nilai nutrisi yang terkandung pada daging ayam yaitu protein, lemak, karbohidrat, air, mineral dan vitamin (Cross dan Overby, 1988). Komposisi nutrisi daging ayam dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Nutrisi Daging Ayam

Nutrisi Jumlah (%)

Air 75

Protein 21

Lemak 3

Karbohidrat Kurang dari 1

Mineral 1

Vitamin Kurang dari 1

Sumber : Cross dan Overby (1988)

Ditinjau dari aspek gizi, daging ayam mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi daripada daging sapi, asam amino esensial yang lengkap dan sedikit kolesterol serta mudah dicerna dan diserap oleh tubuh (Mountney, 1983). Komposisi asam amino pada daging ayam dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Asam Amino Daging Ayam

Asam Amino Jumlah (%)

Arginin 6,7 Cistein 1,8 Histidin 2,0 Isoleusin 4,1 Leusin 6,6 Lisin 7,5 Metionin 1,8 Penilalanin 4,0 Treosin 4,0 Triptofan 0,8 Tirosin 2,5 Valin 6,7 Sumber : Mountney (1983)

Kandungan lemak daging ayam sangat tergantung pada umur, jenis kelamin dan spesies. Lemak daging ayam lebih banyak ditemukan di bawah kulit dan tidak tersebar di jaringan seperti pada sapi atau kambing (Mountney, 1983). Kandungan asam lemak pada daging ayam dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi Asam Lemak Daging Ayam

Asam lemak Jumlah (%)

Asam lemak jenuh 28-31

Asam oleat 47-51

Asam linoleat 14-18

Asam linolenat 0,7-1

Asam arachidonat 0,3-0,5

Beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas daging ayam adalah antemortem, proses pemotongan dan lama penanganan selama postmortem. Lama penanganan selama postmortem selain berpengaruh terhadap kualitas fisik dan kimia, juga berpengaruh terhadap kualitas mikrobiologi daging ayam (Sukamto Tugiyanti, 2001). Kualitas karkas ayam dipengaruhi oleh pengeluaran darah, pencabutan bulu, pengeluaran jeroan, waktu pemotongan dan cara pemotongan (Veerkamp, 2000). Pengeluaran jeroan yang kurang hati-hati dapat mengakibatkan kontaminasi mikroba terhadap karkas. Kontaminan ini umumnya berupa mikroflora yang ditemukan pada ileum dan caecum. Berdasarkan hasil penelitian Lu et al. (2003), ditemukan bakteri koliform dalam ileum dan caecum ayam broiler.

Postmortem

Fase postmortem merupakan fase setelah hewan mati (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Fase postmortem dibagi menjadi tiga fase, yaitu: 1) fase pre-rigor; 2) fase rigormortis dan 3) fase pasca rigor (Aberle et al., 2001). Pada fase pre-rigor, pertumbuhan mikroorganisme berlangsung lambat sekali. Proses rigormortis pada ayam berlangsung sekurang-kurangnya selama 12 jam (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Rigormortis adalah suatu kondisi pada saat glikolisis pascamati sedang terjadi dimana urat daging menjadi panjang dan kaku. Awal terjadinya rigormortis berhubungan dengan menghilangnya ATP dari urat daging sehingga dengan tidak adanya ATP, aktin dan miosin bersatu membentuk rantai-rantai aktomiosin yang kaku (Lawrie, 2003). Selama berlangsungnya fase postmortem, proses yang dominan adalah glikolisis postmortem, yaitu pembebasan energi melalui oksidasi unit glukosa yang diawali dengan degradasi glikogen menjadi asam laktat secara enzimatik (Soeparno, 1998). Tingkat glikolisis pascamati meninggi dengan meningkatnya suhu eksternal di atas suhu lingkungan (Lawrie, 2003). Glikolisis adalah salah satu lintasan yang digunakan oleh sel untuk menghasilkan energi. Glikolisis tidak mensyaratkan adanya oksigen dan bisa terdapat pada sel-sel baik yang aerobik maupun anaerobik (Pelczar dan Chan, 1986). Glikolisis yang terjadi selama postmortem merupakan glikolisis anaerob karena terjadi proses kegagalan sistem peredaran darah yang mengikuti penyembelihan ternak mengakibatkan persediaan oksigen di dalam otot yang dapat berikatan dengan mioglobin makin menurun dan menjadi habis. Habisnya persediaan oksigen di dalam otot, maka proses aerobik

melalui siklus sitrat dan sistem enzim sitokrom berhenti berfungsi. Metabolisme energi, yaitu pemecahan (oksidasi) glikogen menjadi asam laktat bertukar menjadi metabolisme anaerobik (Soeparno, 1998). Bakteri heterotrofik dapat menggunakan berbagai senyawa organik sebagai sumber energi. Senyawa-senyawa ini mencakup karbohidrat, asam organik dan asam lemak serta asam-asam amino (Pelczar dan Chan, 1986).

Nilai pH Postmortem

Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dalam pangan adalah nilai pH. Mikrorganisme umumnya dapat tumbuh pada kisaran pH 3-6. Sebagian besar bakteri memiliki pH optimum, yaitu sekitar 6,5-7,5. Bakteri tidak dapat tumbuh baik pada pH di bawah 5,0 atau di atas 8,5 kecuali bakteri asam asetat dan bakteri oksidasi sulfur (Fardiaz, 1992). Daging dalam keadaan normal memiliki pH ultimat 5,3-5,7. Kondisi tersebut kurang menguntungkan bagi sebagian besar bakteri karena umumnya bakteri tumbuh optimal pada pH 7 (Aberle et al., 2001). Nilai pH pasca mati akan ditentukan oleh jumlah asam laktat yang dihasilkan dari glikogen selama proses glikolisis anaerob dan hal ini akan terbatas bila glikogen terdeplesi karena lelah, kelaparan atau takut pada hewan sebelum dipotong (Lawrie, 2003). Nilai pH daging yang telah mengalami penyembelihan akan terjadi penurunan karena terjadi penimbunan asam laktat dalam jaringan otot akibat proses glikolisis anaerob (Aberle et al., 2001). Penurunan pH daging ayam akan mencapai nilai 5,8-5,9 setelah melewati fase postmortem selama 2–4,5 jam (Sneyder dan Orr, 1964). Kecepatan penurunan nilai pH sangat dipengaruhi oleh temperatur sekitarnya. Peningkatan suhu akan menyebabkan penurunan nilai pH yang lebih cepat (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Nilai pH karkas dapat menurun dengan cepat hingga mencapai 5,4–5,5 selama beberapa jam setelah pemotongan, sehingga akan dicapai nilai pH akhir antara 5,3–5,6. Penurunan nilai pH karkas postmortem mempunyai hubungan erat dengan temperatur lingkungan (penyimpanan). Temperatur tinggi pada dasarnya meningkatkan laju penurunan nilai pH sedangkan temperatur rendah menghambat laju penurunan nilai pH. Pengaruh temperatur terhadap perubahan nilai pH postmortem adalah sebagai akibat pengaruh langsung dari temperatur terhadap laju glikolisis postmortem (Soeparno, 1998).

Mikrobiologi Daging

Salah satu indikator keamanan dan mutu pangan adalah adanya kontaminasi mikroorganisme pada makanan. Pengaruh suatu organisme terhadap keamanan pangan tergantung pada jumlah organisme yang tersedia, pengolahan dengan tujuan menghilangkan organisme, pengendalian lingkungan untuk mencegah pertumbuhan dan sanitasi. Daging segar umumnya tercemar oleh mikroorganisme. Pencemaran mikroorganisme dapat berasal dari lingkungan dan peralatan yang digunakan pada saat proses pengolahan. Perkembangan mikroorganisme pada daging dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi kadar air, pH, nilai nutrisi daging, potensi oksidasi-reduksi dan ada tidaknya substansi penghalang atau penghambat. Faktor ekstrinsik meliputi temperatur, kelembaban relatif, ada tidaknya oksigen dan bentuk atau kondisi daging, misalnya karkas utuh atau karkas potongan, daging cacahan atau daging giling (Lechowich, 1971; Aberle et al., 2001).

Mikrobiologi Karkas Ayam

Mikroorganisme yang merusak daging dapat berasal dari infeksi ternak hidup dan kontaminasi daging postmortem. Pencemaran permukaan daging dapat terjadi saat penyembelihan hingga daging dikonsumsi (Hansson, 2001). Sumber kontaminasi mikroba pada daging unggas dibedakan menjadi dua faktor, yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah kontaminan yang telah ada pada tubuh ayam selama dipotong, seperti infeksi dari ternak hidup, sedangkan faktor ekstrinsik adalah kontaminan tambahan dari luar setelah ayam dipotong, seperti kontaminasi daging postmortem (Jay, 2000). Sumber kontaminasi dan infeksi di abatoir dapat berasal dari tanah disekitarnya, kulit, isi saluran pencernaan, air, alat-alat yang digunakan selama proses mempersiapkan karkas (seperti pisau), kotoran, udara dan pekerja (Soeparno, 1998). Karkas yang terkontaminasi hasil ikutan dari rumah potong, kandang, peternakan dan alat transportasi merupakan sarana yang sempurna untuk penyebaran penyakit (Novick, 2005). Pelaksanaan pemotongan dan penanganan yang kurang baik selama postmortem dapat meningkatkan kontaminasi mikroba dan mengurangi masa simpan (Kaudia, 2001).

Air merupakan salah satu bahan yang digunakan dalam pengolahan pangan, misalnya untuk pencucian bahan mentah, alat-alat, perebusan dan sebagai medium

dalam pengolahan. Air yang digunakan dalam pengolahan harus bebas dari mikroba patogen maupun mikroba penyebab kebusukan makanan (Fardiaz, 1989).

Bulu dan permukaan kulit karkas ayam broiler yang tercemar oleh feses dan tanah memiliki jumlah koliform lebih tinggi dibandingkan dengan karkas dengan bulu yang bersih sebelum dilakukan scalding dan picking. Populasi mikroba akan berkurang setelah scalding dan picking. Karkas memungkinkan terkontaminasi feses dan bakteri pada kulit, kaki dan permukaan bulu, tetapi populasi bakteri akan berkurang pada setiap tahapan proses (Buhr et al., 2003; Keener et al., 2004). Kemungkinan kontaminasi pada karkas dapat berasal dari folikel yang terbuka pada saat scalding karena bulu itu sendiri membawa sejumlah populasi bakteri. Pencabutan bulu dapat mengurangi kontaminasi bakteri terhadap karkas dan kontaminasi silang (Cason, 2004).

Mikroba yang terdapat pada daging ayam digolongkan dalam dua kelompok yaitu kelompok patogenik dan kelompok non patogenik. Kelompok mikroba yang bersifat patogenik dapat menimbulkan penyakit pada manusia, sedangkan kelompok non patogenik tidak menimbulkan penyakit pada manusia, tetapi menyebabkan kerusakan atau kebusukan pangan. Adapun jenis mikroba patogen yang dapat ditemukan pada daging unggas antara lain Salmonella, Arizona, Erysipelotrix, Staphylococcus, Streptococcus, Brucella, Mycobacterium, Listeria, Pasteurella, Leptospira, Bacillus dan Clostridium. Jenis mikroba pembusuk yang sering dijumpai pada daging unggas potongan adalah Pseudomonas, Micrococcus, Achromobacter, Flavobacterium, Alcaligenes, Proteus, Bacillus, Sarcina, Streptococcus, Eberthella, Salmonella, Escherichia, Aerobacter, Streptomyces, Penicillium, Oospora, Cryptococcus dan Rhodotorulla (Mountney, 1983).

Sunarlim (1988) melaporkan bahwa jumlah bakteri sebelum ayam dipotong adalah 1,5 x 103 koloni/cm2, akan bertambah menjadi 1,1 x 104 koloni/cm2 setelah karkas ayam dipotong-potong dan dikemas serta disimpan sekitar lima hari pada suhu 4°C. Mountney (1983) menyatakan bahwa pada ayam hidup ditemukan 6,0 x 102 sampai 8,1 x 102 koloni/cm2 area kulit, setelah prosesing dan pengeluaran jeroan mengandung 1,1 x 104 sampai 9,3 x 104 koloni/cm2 area kulit.

Menurut Sanjaya dan Lukman (1992), rataan jumlah mikroorganisme pada karkas utuh dan potongan berturut-turut adalah 2,2 x 106 dan 3,0 x 105 koloni/g serta

rataan jumlah awal koliform utuh dan potongan masing-masing adalah 9,2 x 104 dan 2,7 x 105 koloni/g. Cardinale et al. (2002) melaporkan bahwa dari sejumlah 350 ayam yang dianalisa, sebanyak 30% terkontaminasi koliform pada karkas. Umumnya jumlah bakteri koliform tinggi pada saat evisceration (pengeluaran jeroan) yaitu mencapai 1,1x105 koloni/cm2 (Bara et al., 2002).

Cemaran pada daging dapat berasal dari isi saluran pencernaan. Cemaran ini dapat berkembang mencapai 103 sampai dengan 1011 cfu/g (Lukman, 2001). Jumlah mikroorganisme yang biasa dijumpai pada kulit karkas ayam berkisar antara 5 x 103 sampai 105 koloni/cm2, sedangkan jumlah mikroorganisme yang ditemukan organ viscera berkisar kurang dari 104 koloni/cm2 (Hayes, 1996).

Mikroorganisme dan Penurunan Mutu Karkas

Beberapa jenis produk pangan khususnya karkas ayam broiler dapat menjadi tidak layak dikonsumsi atau bahkan beracun akibat pertumbuhan mikroorganisme sehingga mutunya cepat mengalami penurunan (Rahayu et al., 2003). Secara umum, adanya mikroorganisme dalam karkas ayam broiler tidak selalu merugikan atau membahayakan. Meskipun demikian, adanya kandungan mikroorganisme dalam suatu produk pangan harus diwaspadai dan perlu diambil langkah-langkah penting untuk penanganan produk selanjutnya. Adanya mikroba patogen seperti E. coli, Salmonella dan Shigella pada produk pangan berarti produk tersebut berpotensi menjadi rusak atau turun mutunya serta berpeluang membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsinya (Soekarto, 1990). Populasi mikroorganisme dapat mengakibatkan kerusakan secara organoleptik seperti terjadi perubahan warna, bau dan timbulnya lendir pada permukaan kulit pada karkas ayam. Perubahan bau karkas ayam akan terjadi ketika jumlah bakteri mencapai 6,5 - 8,0 log koloni/cm2. Karkas ayam akan berlendir ketika jumlah organisme mencapai 7,5 - 9,0 log koloni/cm2 (Mountney, 1983).

Bakteri

Bakteri termasuk ke dalam mikroorganisme prokariotik dengan ciri-ciri uniseluler, struktur internal sederhana, tumbuh pada media laboratoris buatan dan reproduksi aseksual melalui pembelahan sel sederhana (Fardiaz, 1992). Bakteri yang merupakan organisme bersel tunggal terbagi menjadi tiga bentuk, yaitu bulat (kokus), batang (basil) dan spiral (spirilia dan vibrio) (Parker, 2003). Setelah proses

pemotongan dan dressing, karkas unggas mengandung beberapa jenis mikroorganisme khususnya bakteri yang berasal dari kulit, bulu dan saluran pencernaan. Faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme adalah lingkungan pemeliharaan (tanah, air, litter dan pakan) dan lingkungan serta fasilitas pemotongan (peralatan, air, udara dan karyawan). Normalnya, karkas ayam mengandung mikroorganisme sekitar 10 sampai 103 koloni/cm2 (Ray, 2004). Bakteri Koliform. Koliform merupakan kelompok bakteri fakultatif anaerob, psikotropik, Gram negatif dan biasanya ditemukan sebagai kontaminan pada karkas ayam (Cunningham dan Cox, 1987). Bakteri koliform dapat juga digunakan sebagai indeks sanitasi pada suatu prosesing unggas (Ray, 2004). Kelompok bakteri koliform terdiri atas jenis Escherichia, Enterobacter dan Klebsiella. Jenis Escherichia hanya mempunyai satu spesies, yaitu E. coli dan disebut koliform fekal, karena ditemukan di dalam saluran pencernaan (usus) ternak atau manusia sehingga sering terdapat di dalam feses. Keberadaan bakteri tersebut di dalam bahan pangan sering digunakan sebagai indikator kontaminasi asal kotoran (McGraw, 1999). Spesies Enterobacter seperti E. aerogenes disebut koliform non fekal karena tidak merupakan floral normal di dalam saluran pencernaan, melainkan ditemukan pada tanaman/hewan yang telah mati dan sering menimbulkan lendir pada makanan. E. coli dan E. aerogenes dapat memfermentasi gula menghasilkan asam laktat, etanol, asam asetat, suksinat, CO2 dan H2 (Fardiaz, 1992).

Salmonella. Syarat mutu karkas dan daging ayam dalam DSN (1995) maupun syarat peraturan yang berlaku di Amerika Serikat menyatakan bahwa Salmonella merupakan bakteri patogen berbahaya sehingga di dalam produk pangan tidak diperbolehkan mengandung Salmonella. Alasan dari dicanangkannya “zero tolerance” ini adalah karena Salmonella bertanggung jawab sebagai penyebab gastroenteritis (Lindquist, 1998). Bakteri dari genus Salmonella merupakan bakteri penyebab infeksi, jika tertelan dan masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan gejala yang disebut salmonellosis. Salmonella yang mencemari makanan dapat berkembang biak secara cepat karena keadaan lingkungan yang panas dan lembab menstimulir pertumbuhannya. Salmonella mungkin terdapat pada makanan dalam jumlah tinggi tetapi tidak selalu menimbulkan perubahan dalam hal warna, bau, maupun rasa dari makanan tersebut. Semakin tinggi jumlah Salmonella di dalam suatu makanan, maka

semakin besar timbulnya gejala infeksi pada orang yang menelan makanan tersebut dan semakin cepat waktu inkubasi sampai gejala infeksi (Supardi dan Sukamto, 1999). Terdapat 1000 serotipe Salmonella bersifat patogen yang telah ditemukan hingga saat ini dan diklasifikasikan menjadi 3 spesies yaitu S. cholerasuis, S. tiphy dan S. enteritidis. Spesies Salmonella yang tidak menyebabkan demam enterik bersifat parasit primer pada hewan (Lay dan Hastowo, 1992). Salmonella merupakan salah satu genus dari Enterobacteriaceae, berbentuk batang Gram negatif, fakultatif anaerobik dan aerogenik. Biasanya bersifat motil dan mempunyai flagella peritrikus, kecuali S. gallinarum-pullorum yang selalu bersifat non-motil. Kebanyakan strain bersifat aerogenik, dapat mengguanakan sitrat sebagai sumber karbon, tidak membentuk H2S (Supardi dan Sukamto, 1999). Suhu optimum yang mendukung pertumbuhan Salmonella adalah 37°C, tetapi secara umum bakteri ini tumbuh pada suhu antara 4-45°C dan pada pH antara 4,0-9,0 dengan pH optimum 7,0 (Gast, 1991).

Bakteri ini dapat berkompetisi secara baik dengan mikroba-mikroba yang umum terdapat di dalam makanan, misalnya bakteri-bakteri pembusuk, bakteri genus lainnya dalam tribus Eschericiae dan bakteri asam laktat. Oleh karena itu, pertumbuhannya sangat terhambat dengan adanya bakteri-bakteri tersebut. Bakteri yang termasuk dalam genus Salmonella tidak dapat dibedakan hanya dari sifat-sifat biokimia dan morfologinya, sehingga perlu diidentifikasi secara serologik, berdasarkan skema Kaufmann-White yang membedakan Salmonella berdasarkan sifat-sifat antigeniknya (Supardi dan Sukamto, 1999).

S. enteritidis disebut juga Bacillus enteritus atau Bacterium enteritidis. Organisme ini pertama kali diisolasi oleh Gartner pada tahun 1988 dari sebuah kasus fatal keracunan daging pada manusia. Penelitian selanjutnya yang dilakukan berdasarkan pengklasifikasian antigen dan tes lainnya, menunjukkan bahwa isolat adalah satu varietas S.enteritidis (Gordon dan Jordan, 1982).

S.enteritidis merupakan bakteri berbentuk Gram negatif, bergerak dengan flagel peritrikus, berdiameter tubuh 0,6-0,7 µm dan panjang 2-3 µm, soliter, berpasangan atau kadang-kadang membentuk rantai yang pendek. S. enteritidis pada media agar membentuk koloni bulat berwarna abu-abu jernih dengan tepi rata dan koloninya basah. Umumnya pada media agar Salmonella memiliki diameter 2-4 mm.

Berdasarkan Bergey’s Manual of determinativa Bacteriology (Holt et al., 1994), S.enteritidis diklasifikasikan sebagai berikut:

Dunia : Procaryota Divisi : Bacteria Kelas : Schizomycetes Bangsa : Eubacteriales Suku : Enterobacteriaceae Marga : Salmonella

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan April sampai Juni 2005. Lokasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Laboratorium Lapang Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas dan Bagian Ilmu Produksi Ternak Perah, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Materi

Bahan-bahan yang digunakan adalah ayam broiler yang berumur lima minggu. Bahan yang digunakan untuk analisis mikrobiologi adalah aquadest, media Plate Count Agar (PCA), Violet Red Bile Agar (VRBA), Triple Sugar Iron Agar (TSIA), Xylose Lysine Desoxxycholate (XLD) dan Buffered Peptone Water (BPW). Alat-alat yang digunakan adalah pH-meter, blender, baker glass, gelas ukur, inkubator, pisau, pipet, cawan petri, tabung reaksi, hockey stick, kantong plastik ukuran 2 kg, oven dan autoklaf untuk sterilisasi.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan perlakuan ialah lama postmortem yang terdiri dari 4 taraf, yaitu 0, 3, 6, 9 jam, dan waktu pengambilan sampel sebagai kelompok. Data Angka Lempeng Total Bakteri (ALTB), jumlah koliform dan nilai pH dianalisis menggunakan ANOVA. Apabila perlakuan menunjukkan perbedaan nyata, maka dilanjutkan dengan uji polynomial orthogonal. Model matematika mengacu pada Mattjik dan Sumertajaya (2002) sebagai berikut :

Y

ij

= µ + ô

i

+ ß

j

+ å

ij

Keterangan :

Yij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j µ = Rataan umum

ôi = Pengaruh perlakuan ke-i (i = 1, 2, 3, 4 dan 5) ßj = Pengaruh perlakuan ke-j (j = 1, 2 dan 3)

åij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j

Data mengenai keberadaan Salmonella ditampilkan secara deskriptif mengacu pada “Kauffman White Skema” (Supardi dan Sukamto, 1999).

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah Angka Lempeng Total Bakteri (ALTB), jumlah koliform, keberadaan Salmonella dan nilai pH.

Prosedur Penelitian

Persiapan Sampel

Sebelum ayam broiler dipotong atau disembelih, terlebih dahulu ayam diistirahatkan dan dipuasakan dari pakan selama 8-12 jam. Penyembelihan dilakukan dengan memotong arteri carotide, vena jugularis dan oesofagus secara tradisional dan sesuai dengan syariat Islam. Selanjutnya ayam diproses sesuai dengan tahapan-tahapan menurut Mountney (1983).

Ayam diistirahatkan dan dipuasakan dari pakan (8-12 jam)

Penyembelihan

Pengeluaran darah

Scalding (50-54°C selama 120 detik)

Pencabutan bulu

Pencucian

Pemotongan kepala dan kaki

Evisceration

Pencucian karkas

Karkas segar

Pemotongan dilakukan pada ruangan terbuka dengan suhu 27-29º C. Air yang digunakan untuk pencucian merupakan air yang telah mengalami proses pengolahan sebagai kualitas air minum. Peralatan yang digunakan untuk pemotongan dijaga aseptis dan dalam kondisi steril. Setiap saat akan digunakan, alat selalu diulas menggunakan alkohol lalu dipanaskan di atas bunsen hingga alkohol habis terbakar. Pengambilan Sampel untuk Analisis Mikrobiologi

Karkas yang telah dibersihkan dari kotoran, bulu dan dikeluarkan jeroannya disimpan pada suhu ruang tanpa dikemas dan diletakkan di atas nampan. Pengambilan sampel dilakukan dengan dua cara, yaitu swab dan rinse.

Metode Swab. Metode swab dilakukan untuk pengambilan sampel pada bagian permukaan karkas yaitu dengan cara menggunakan batang pengoles (cotton swab) steril, kemudian dioleskan pada permukaan sampel menggunakan suatu aluminium template yang di tengahnya terdapat lubang seluas 2 x 2 cm2. Batang pengoles dioleskan pada luasan tersebut kekiri dan kekanan masing-masing sebanyak tiga kali, kemudian dipotong sepanjang ± 2,5 cm, lalu direndam dalam 10 ml larutan pengencer. Tabung reaksi yang berisi larutan pengencer dan batang pengoles dihomogenkan selama dua menit. Pemupukan dilakukan menggunakan metode spread plate untuk Angka Lempeng Total Bakteri (ALTB) dan pour plate untuk

jumlah koliform. Setiap pemupukan dilakukan secara duplo.

Metode Rinse. Metode rinse dilakukan untuk pengambilan sampel pada bagian rongga karkas, yaitu dengan cara menambahkan 100 ml larutan pengencer ke bagian rongga karkas kemudian dihomogenkan dengan cara digoyangkan secara

perlahan-lahan selama dua menit. Cairan yang diperoleh dinyatakan sebagai P0. Pengenceran

selanjutnya dilakukan secara desimal. Pemupukan dilakukan dengan metode spread

plate untuk Angka Lempeng Total Bakteri (ALTB) dan pour plate untuk koliform. Setiap pemupukan dilakukan secara duplo. Perhitungan ALTB dari rongga karkas per ekor dilakukan dengan cara mengalikan jumlah mikroba per ml pengencer dengan total pengencer yang digunakan, yaitu 100ml.

Nilai pH (AOAC, 1995). Pengukuran nilai pH dilakukan dengan alat pH meter. Sebelum digunakan, alat dikalibrasi dengan buffer pH 4 dan pH 7. Sebanyak lima gram contoh dihaluskan, ditambahkan sedikit air untuk membasahi kemudian diaduk

hinga merata. Nilai pH diukur dengan menempatkan elektroda pada sampel dan nilai

Dokumen terkait