DAFTAR LAMPIRAN
III. TINJAUAN PUSTAKA
Hampir 60 persen penduduk Indonesia berada di wilayah pesisir dan 80 persen dari penduduk pesisir terlibat dalam kegiatan ekonomi yang bergantung kepada sumberdaya pesisir dan lautan (Fauzi dan Buchary, 2002). Oleh karena itu ketersediaan dan kesinambungan dari sumberdaya alam ini menjadi sangat krusial bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan akan sangat tergantung dari pengelolaan yang baik oleh setiap stake holder, yakni masyarakat dan pemerintah. Sumberdaya laut Indonesia saat ini berada pada tekanan yang sangat besar, yang mengarah kepada degradasi lingkungan laut. Tekanan itu sebagian besar berhubungan dengan pertumbuhan populasi yang cepat dan kebutuhan ekspor pada kebijakan pertumbuhan makroekonomi selama tiga dekade terakhir (Fauzi dan Buchary, 2000). Contohnya selama rejim orde baru, diperkirakan lebih dari 700.000 ha. Mangrove di Indonesia telah dikonversi untuk berbagai penggunaan seperti tambak ikan air payau (Gomes, 1995 dalam Fauzi dan Buchary, 2000). Contoh degradasi sumberdaya yang lain adalah berkurangnya terumbu karang. Lira-kira 80% terumbu karang di bagian timur Indonesia rusak oleh penangkapan ikan yang merusak, seperti bom ikan. Penelitian terbaru oleh Pet-Soede, et al. (1999) memperlihatkan bahwa kerugian ekonomi akibat penangkapan ikan dengan bahan peledak setelah dua puluh tahun sekitar US$ 306,800 per km2. Jumlah ini menggambar biaya yang ditanggung masyarakat, yang jumlahnya empat kali lipat dari total keuntungan bersih yang diperoleh nelayan dari penangkapan ikan dengan bahan peledak (Fauzi dan Buchary, 2000).
Berdasarkan hasil penelitian Widodo dan Durand (1997) menyatakan bahwa di laut jawa sebaiknya tidak lagi diadakan perluasan jangkauan baik secara geografi maupun kuantitas. Indikasi adanya penurunan tingkat tangkapan ikan yang mengkhawatirkan menyebabkan diperlukan suatu investasi dalam bentuk perlindungan, untuk menghindari over kapitalisasi.
Sumberdaya perikanan pelagik di kawasan pantai utara jawa telah lama diperkirakan mengalami depresiasi, terlihat de ngan menurunnya tangkapan para nelayan di kawasan tersebut. Hal tersebut diperkuat oleh hasil penelitian Fauzi
dan Anna (2002), yang meneliti depresiasi sumberdaya perikanan di pantura, dengan pendekatan resource accounting (neraca sumberdaya), yang menunjukkan bahwa perikanan pelagik di pantura jawa telah mengalami overfishing dimana rasio input-output aktual jauh lebih besar dari rasio input-output optimal. Hipotesis economic overfishing juga dapat pula dilihat dari rendahnya rente ekonomi aktual dibanding dengan rente ekonomi optimal.Dari hasil penelitian tersebut perbedaan tersebut rata-rata sekitar 60% selama kurun waktu 20 tahun.
Menurut Purwanto (1999), kepulauan Karimunjawa memiliki daya tampung lingkungan cukup tinggi dengan daya dukung cukup peka, sehingga dalam pengelolaan wilayah perlu menerapkan konsepsi/paradigma: “Self Sustaining Technology”. Kawasan Karimunjawa merupakan merupakan perwakilan 5 tipologi sumberdaya hayati tropis, seperti 1) Ekosistem terumbu karang, 2) Ekosistem rumput laut/padang lamun, 3) Ekosistem mangrove, 4) Ekosistem hutan pantai, dan Ekosistem hutan dataran rendah. Kekayaan/daya tampung masing-masing untuk: terumbu karang (51 genera 91 spesies, 242 jenis ikan karang, 2 jenis penyu, 13 jenis biota laut yang dilindungi); rumput laut/padang lamun (14 genera); mangrove (9 genera); hutan pantai (3 genera) dan hutan tropis dataran rendah (43 jenis).
Ekosistem Kepulauan Karimunjawa menggambarkan ‘keunikan habitat’ sebagai akibat isolasi geografis dari Gunung Muria (P. Jawa) dengan terdapatnya berbagai jenis biota dilindungi dan vegetasi endemik, sebagai akibat keragaan ukuran pulau. Kedua ciri diatas memiliki makna ekologis: kerentanan/fragilitas akan pemanfaatan yang sangat berlebihan, keterbatasan sumberdaya air tawar, dan kecenderungan percepatan kerusakan bila terjadi perubahan yang berlebihan/bencana alam (Elnino, pencemaran).
Sesuai dengan fungsinya, berdasar Surat Keputusan Dirjen PHPA Nomor 53/Kpts/Dj-IV/1990, Taman Nasional Karimunjawa dibagi menjadi 4 mintakat/zonasi, yaitu:
1) Zona Inti. Seluas 1.299 Ha, peruntukan hanya untuk kegiatan penelitian, pendidikan dan ilmu pengetahuan secara terbatas. Fungsi zona ini untuk melindungi habitat terumbu karang, burung elang laut, dara laut, penyu sisik, penyu hijau dan sawo kecik.
2) Zona Rimba. Seluas 7.801 Ha, peruntukan sama dengan zona inti namun bisa dilakukan wisata terbatas. Meliputi P. Krakal Kecil, P. Krakal Besar, P. Menyawakan, P. Cemara besar, P, Cemara Kecil, P. Bengkoang serta sebagian P. Karimunjawa dan P. Kemujan.
3) Zona Pemanfaatan. Seluas 4.431 Ha, peruntukan hampir sama dengan zona inti dan zona rimba, namun dapat dilaksanakan kegiatan penunjang pengembangan karimunjawa, misalnya pariwisata. Meliputi P. Menjangan Besar, Menjangan Kecil, P. Kembang. P. Kembar, Karang Katang, Karang Kapal.
Menurut IUCN (2003), untuk perikanan, Marine Protected Area (Kawasan Konservasi Laut) secara umum dapat memberikan empat manfaat dasar, yaitu: • Mendukung pengelolaan stok, melalui:
o Perlindungan tingkat kehidupan spesifik (seperti nursery ground) o Perlindungan fungsi-fungsi penting (feeding ground, spawning
ground)
o Perlindungan bagi spill over spesies yang dieksploitasi o Penyedia pusat penyebaran suplay larva bagi perikanan
• Meningkatkan outcomes sosio-ekonomik bagi komunitas lokal • Mendukung stabilitas perikanan; dan
• Penyeimbang ekologi
o Trade-off bagi dampak ekosistem
o Pemahaman yang lebih baik atas dampak dan pilihan.
Menurut Purwanto (2003), Secara ekologis tropis, sistem kepulauan Kawasan Konservasi Laut (KKL) mempunyai daya tampung yang sangat tinggi terhadap struktur biodiversitas habitat seperti: terumbu karang, mangrove, teluk, laguna, estuaria, pesisir litoral, padang lamun/algae, up-welling/daerah umbulan laut yang menjadi penopang sumberdaya ikan dan non-ikan baik yang bernilai ekonomis tinggi serta mempunyai nilai pelayanan cukup besar untuk pariwisata. Dengan demikian KKL mempunyai nilai konservasional, sebagai perwakilan ekosistem perairan laut tropis Indonesia. Bahkan KKL-RI memiliki nilai konservasi internasional mengingat lokasi KKL-RI terletak tepat di pusat benua
ke-6 bersifat Maritim (Tagaroa) yanag keanekaragaman jenis biota laut dan ekosistemnya sangat tinggi.
Pembentukan sebuah kawasan konservasi laut atau disebut juga sebagai Marine Protected Area (MPA) harus dapat dirasakan masyarakat manfaatnya, sehingga partisipasi masyarakat dalam pengelolaan MPA dapat diharapkan. Dengan menggunakan metode MPAEM (Marine Protected Area Evaluation Method) Alder et al. (2002) telah mencatat adanya peningkatan biomass, kelimpahan, atau keanekaragaman hayati ikan di MPA. Manfaat MPA terhadap perikanan dibahas secara panjang lebar oleh Gell dan Roberts (2002). Mereka juga melaporkan pengaruh positif MPA terhadap perikanan lobster di Newfoundland, Kanada. Ukuran lobster di Leigh Marine Reserve (Selandia Baru) juga dilaporkan lebih besar dibandingkan dengan lobster di luar MPA tersebut (Kelly et al., 2002).
Penelitian mengenai nilai manfaat sosial ekonomi suatu kawasan konservasi laut telah pernah dilakukan oleh Hariyadi (2004) di Taman Nasional Kepulauan Seribu. Dalam penelitian tersebut dalam metode analisisnya menggunakan metode analisis MPAEM (Marine Protected Area Evaluation Model), MCA (Multi Criteria Analysis) dan analisis valuasi ekonomi. Ternyata metode-metode tersebut secara konsisten menghasilkan kesimpulan yang sama, yaitu adanya manfaat penetapan Tanaman Nasional Laut bagi masyarakat setempat khususnya nelayan. Namun hasil ini berbeda dengan hasil analisis persepsi masyarakat yang cenderung menganggap tidak ada manfaat dari keberadaa n Taman Nasional Kepulauan Seribu, sehingga degradasi sumberdaya alam disana tetap terjadi.
Menurut WIOMSA (2004), analisis ekonomi untuk menilai suatu kawasan perlindungan laut (MPA) akan bermanfaat dalam:
• Mengukur dan memperlihatkan nilai ekonomi MPA dalam hal barang dan jasa kasar, perlindungan sistem alam dan manusia, pemeliharaan pilihan produksi dan pertumbuhan ekonomi dimasa mendatang.
• Mengintegrasikan urusan bisnis dan ekonomi kedalam perencanaan dan praktek konservasi.
• Mengidentifikasi dan mengembangkan mekanisme pembiayaan potensial dan insentif ekonomi untuk pengelolaan
• Memperoleh pendanaan dari perusahaan-perusahaan asuransi untuk penanggulangan jika sumberdaya rusak karena suatu kecelakaan/kejadian, seperti tercemar minyak
• Mengembangkan mekanisme untuk meyakinkan bahwa manfaat dan biaya dari suatu MPA dapat equally shared.