• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketersediaan Lahan dan Penggunaan Lahan

Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi, di mana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk di dalamnya adalah akibat-akibat kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun sekarang, seperti reklamasi daerah-daerah pantai, penebangan hutan, dan akibat-akibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam. Faktor-faktor sosial dan ekonomi secara murni tidak termasuk dalam

konsep lahan ini (Hardjowigeno et al.1999).

Pengertian lahan dalam literatur ekonomi, lahan dipandang sebagai suatu

sumberdaya, yaitu sumberdaya lahan (Barlowe, 1987 dalam Saefulhakim, 1994).

Dalam pengertian ini, lahan dipandang sebagai komoditas yang dapat menghasilkan barang dan jasa untuk dikonsumsi sehingga memiliki biaya, nilai dan harga.

Mengingat fungsi lahan yang demikian penting, maka manusia harus membangun hubungan yang saling menguntungkan antara manusia dengan lahan, sehingga lahan dapat digunakan dengan sebaik-baiknya. Agar tercapai hubungan tersebut, harus dilakukan berbagai upaya agar penggunaan lahan sesuai dengan kemampuannya (Hardjowigeno, 1983). Namun, di Indonesia, tidak selalu demikian, karena keterbatasan lahan dan kompetisi antar sektor, seringkali lahan digunakan untuk penggunaan lahan tertentu tanpa memperhatikan kesesuaian dan kemampuannya. Banyak lahan yang sebenarnya subur dan sesuai untuk pertanian, tetapi digunakan untuk pengunaan lain selain pertanian. Di sisi lain, banyak juga pertanian yang diusahakan di lahan yang tidak sesuai untuk penggunaan lahan pertanian. Hal ini banyak terjadi di Pulau Jawa dan wilayah Indonesia lainnya, padahal kesesuaian dan kemampuan lahan untuk penggunaan lahan tertentu, sangat mempengaruhi produktivitas penggunaan lahan tersebut.

Penggunaan lahan adalah salah satu wujud aktivitas manusia dari suatu

daerah yang dapat dibagi atas industri, pertanian atau pemukiman (Marsh dalam

Saefulhakim, 1994). Pengelolaan tidak terlepas dari karakteristik lahan itu sendiri, karena setiap bidang lahan mempunyai karakteristik: (1) tetap pada lokasinya atau

tidak dapat dipindahkan, maka setiap kebijakan haruslah spesifik sesuai dengan

tempat, dan karena lahan: (2) supply/penawaran tidak bertambah atau berkurang

(dengan pengecualian kecil seperti reklamasi), kualitas lahan yang hilang karena erosi tidak tergantikan, maka setiap kebijakan haruslah berorientasi pada

konservasi lahan (Linchfield dan Darin-Drabkin, 1980 dalam Saefulhakim, 1994).

Selain itu, penggunaan lahan sebagai sumberdaya alam juga harus dilakukan atas dasar: (1) efisiensi dan efektivitas penggunaan lahan yang optimum dalam batas kelestariannya, (2) tidak mengurangi kelestarian sumberdaya alam lainnya, (3) memberikan kemungkinan untuk mempunyai pilihan penggunaan lahan di masa depan.

Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001) menyatakan bahwa perencanaan penggunaan lahan merupakan rencana pemanfaatan lahan di suatu daerah agar lahan dapat digunakan secara optimal, yaitu memberikan hasil yang tertinggi dan tidak merusak lahan dan lingkungan.

Terkait dengan lahan, pengembangan usahatani padi sawah dihadapkan pada berbagai masalah, antara lain: (1) terbatasnya sumberdaya lahan yang sesuai untuk padi sawah, (2) sempitnya lahan sawah per kapita penduduk Indonesia, (3) makin banyaknya jumlah kepala keluarga petani gurem, dan (4) cepatnya konversi lahan pertanian menjadi non pertanian (Isa, 2006).

Nilai Ekonomi Sumberdaya Lahan

Menurut Fauzi (2010), sumberdaya didefinisikan sebagai sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi. Dapat juga dikatakan bahwa sumberdaya adalah komponen dari ekosistem yang menyediakan barang dan jasa bermanfaat bagi kebutuhan manusia. Dalam ekonomi klasik, sumberdaya diidentikkan dengan

input produksi. Penyetaraan ini tentu saja memiliki keterbatasan karena sumberdaya diartikan secara terbatas dalam peranannya untuk menghasilkan utilitas (kepuasan) melalui proses produksi. Dengan kata lain, sumberdaya diperlukan bukan karena dirinya sendiri, melainkan diperlukan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Padahal, sumberdaya bisa juga menghasilkan utilitas tanpa melalui proses produksi. Sumberdaya lahan misalnya, bisa saja tidak

dijadikan faktor produksi, namun memberikan utilitas karena fungsi ekologis yang dimilikinya.

Menurut Rustiadi et al. (2009), nilai suatu lahan merupakan gabungan dari

economic rent, environmental rent dan social rent. Economic rent adalah surplus pendapatan yang diperoleh atas penggunaan sebidang lahan yang nilainya ditentukan oleh kemampuan lahan pada lokasi tertentu untuk menghasilkan

penerimaan dan menutupi biaya produksi. Economic rent sebidang lahan atau

ruang dapat dibedakan atas: (1) nilai intrinsik yang terkandung dalam sebidang lahan, seperti kesuburan dan topografinya sehingga mempunyai keunggulan

produktivitas lahan (ricardian rent); dan (2) nilai yang disebabkan oleh perbedaan

lokasional (locational rent). Sedangkan, environmental rent adalah rente yang

timbul karena setiap bidang lahan mempunyai fungsi ekologis. Jika penggunaan suatu lahan mengganggu fungsi ekologis, maka akan terjadi biaya sosial yang ditanggung oleh orang lain.

Dalam kehidupan nyata, ricardian rent, locational rent dan environmental

rent seringkali ditemukan tidak berkorelasi secara positif serta sering menghadapi

trade off seperti antara kepentingan lingkungan dengan kepentingan ekonomi. Oleh karena itu maka dalam penyusunan persediaan dan peruntukan lahan perlu

disusun dan direncanakan dengan melihat keseimbangan antara tiga rent tersebut.

Perencanaan yang optimum adalah perencanaan yang dapat mengoptimalkan ketiga jenis rent tersebut.

Padi Sawah

Padi merupakan tanaman pangan berupa rumput berumpun. Tanaman pertanian kuno ini berasal dari dua benua, yaitu Asia dan Afrika Barat tropis dan subtropis. Bukti sejarah memperlihatkan bahwa penanaman padi di Zhejiang (Cina) sudah dimulai pada 3.000 tahun SM. Fosil butir padi dan gabah ditemukan di Hastinapur Uttar Pradesh India sekitar 100-800 SM. Selain Cina dan India, beberapa wilayah asal padi adalah Bangladessh Utara, Burma, Thailand, Laos dan Vietnam (Menegristek, 2008).

Terdapat dua jenis tanaman padi, yaitu padi kering (gogo) yang ditanam di dataran tinggi dan padi sawah di dataran rendah yang memerlukan penggenangan

air. Benih untuk padi gogo langsung ditanam di ladang, sedangkan untuk padi sawah disemai di persemaian dengan luasan tertentu. Padi sawah meliputi kira- kira 65% dari seluruh pertanaman padi di daerah tropika. Sawah yang sempit, biasanya luasnya kurang dari satu hektar atau bahkan jauh lebih kecil (Sanchez, 1993). Tanaman padi yang dikaji dalam penelitian ini adalah padi sawah.

Jenis pengairan lahan sawah, terdiri dari irigasi teknis, irigasi setengah teknis, irigasi sederhana/desa, irigasi bukan PU, tadah hujan, lebak, pasang surut, dan polder (BPS, 2009). Ketersediaan air untuk usahatani padi sawah tergantung pada kondisi cuaca setempat (lokal) atau dalam beberapa hal tergantung pada sistem pelembahan sungai besar atau pada cuaca di daerah aliran sungai (DAS) hulu yang seringkali cukup jauh jaraknya. Oleh karena itu, pada waktu dengan curah hujan rendah, luasan yang berhasil ditanami padi lebih sempit dibanding pada waktu dengan curah hujan tinggi. Pola yang sama juga terlihat pada sawah yang diratakan dan berpemalang, jika air irigasi tidak cukup tersedia.

Klasifikasi Kemampuan Lahan untuk Mendukung Usahatani Padi Sawah Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang banyak digunakan adalah sistem

dari United States Departement of Agricuture (USDA). Dalam sistem ini sifat

kimia tanah tidak digunakan sebagai pembeda karena sifat kimia tanah sangat mudah berubah sehingga kurang relevan untuk digunakan. Sifat-sifat tanah/lahan yang digunakan sebagai pembeda hanyalah sifat-sifat fisik/morfologi tanah dan lahan yang langsung dapat diamati di lapangan, sehingga sistem ini sangat praktis dan kelas-kelas kemampuan lahan dapat langsung ditentukan di lapangan pada saat survei dilakukan. Karena kelas-kelas kemampuan lahan didasarkan pada potensinya untuk pertanian umum tanpa menimbulkan kerusakan dalam jangka panjang, maka tanah-tanah subur tetapi di daerah berlereng sangat curam tidak termasuk tanah yang sangat sesuai untuk pertanian karena besarnya erosi

mengancam kelestarian penggunaan lahan tersebut untuk pertanian

(Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) juga menyatakan dalam tingkat kelas, kemampuan lahan menunjukkan kesamaan besarnya faktor-faktor penghambat. Tanah dikelompokkan ke dalam kelas I sampai dengan kelas VIII, di

mana semakin tinggi kelasnya, maka kualitasnya semakin jelek, berarti resiko kerusakan dan besarnya faktor penghambat bertambah dan pilihan penggunaan lahan yang dapat diterapkan semakin terbatas. Tanah kelas I sampai IV merupakan lahan yang sesuai untuk usaha pertanian, sedangkan kelas V sampai VIII tidak sesuai untuk usaha pertanian atau diperlukan biaya yang sangat tinggi untuk pengelolaannya.

Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), klasifikasi kelas kemampuan lahan adalah sebagai berikut:

1. Kelas I

Lahan kelas I sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian tanpa memerlukan tindakan pengawetan tanah yang khusus. Lahannya datar, solumnya dalam, bertekstur agak halus atau sedang, drainase baik, mudah diolah, dan responsif terhadap pemupukan. Lahan kelas I tidak mempunyai penghambat atau ancaman kerusakan, sehingga dapat digarap untuk usaha tani tanaman semusim dengan aman. Tindakan pemupukan dan usaha-usaha pemeliharaan struktur tanah yang baik diperlukan guna menjaga kesuburan dan mempertinggi produktivitas.

2. Kelas II

Lahan kelas II mempunyai beberapa penghambat yang dapat mengurangi pilihan jenis tanaman yang dapat diusahakan atau memerlukan usaha pengawetan tanah yang tingkatnya sedang, seperti pengolahan menurut kontur, pergiliran tanaman dengan tanaman penutup tanah atau pupuk hijau, pembuatan guludan, di samping tindakan-tindakan pemupukan. Faktor penghambat lahan kelas II adalah salah satu atau kombinasi dari sifat-sifat

berikut: (1) lereng melandai (gentle slope), (2) kepekaan erosi atau erosi yang

telah terjadi adalah sedang, (3) kedalaman tanah agak kurang ideal, (4) struktur tanah agak kurang baik, (5) sedikit gangguan salinitas atau Na tetapi mudah diperbaiki, (6) kadang-kadang tergenang atau banjir, (7) drainase yang

buruk (wetness) yang mudah diperbaiki dengan saluran drainase, dan (8) iklim

3. Kelas III

Lahan kelas III mempunyai penghambat yang agak berat, yang mengurangi pilihan jenis tanaman yang dapat diusahakan, atau memerlukan usaha pengawetan tanah yang khusus atau kedua-duanya, di samping usaha-usaha untuk memelihara dan meningkatkan kesuburan tanah. Faktor penghambat lahan kelas III adalah salah satu atau kombinasi dari sifat-sifat berikut: (1) lereng agak curam, (2) kepekaan erosi agak tinggi atau erosi yang telah terjadi cukup berat, (3) sering tergenang banjir, (4) permeabilitas sangat lambat, (5) masih sering tergenang meskipun drainase telah diperbaiki, (6) dangkal, (7) daya menahan air rendah, (8) kesuburan tanah rendah dan tidak mudah diperbaiki, (9) salinitas atau kandungan Na sedang, (10) penghambat iklim sedang.

4. Kelas IV

Lahan kelas IV mempunyai penghambat yang berat yang membatasi pilihan tanaman yang diusahakan, memerlukan pengelolaan yang sangat berhati-hati atau kedua-duanya. Penggunaan lahan kelas IV sangat terbatas karena salah satu atau kombinasi dari penghambat berikut: (1) lereng curam, (2) kepekaan erosi besar, (3) erosi yang telah terjadi berat (4) tanah dangkal, (5) daya menahan air rendah, (6) sering tergenang banjir yang menimbulkan kerusakan berat pada tanaman, (7) drainase terhambat dan masih sering tergenang meskipun telah dibuat saluran drainase, (8) salinitas atau kandungan Na agak tinggi, (9) penghambat iklim sedang.

5. Kelas V

Lahan kelas V mempunyai sedikit atau tanpa bahaya erosi, tetapi mempunyai penghambat lain yang praktis sukar dihilangkan, sehingga dapat membatasi penggunaan lahan ini. Akibatnya, lahan ini hanya cocok untuk tanaman rumput ternak secara permanen atau dihutankan. Lahan ini datar, akan tetapi mempunyai salah satu atau kombinasi sifat-sifat berikut: (1) drainase yang sangat buruk atau terhambat, (2) sering kebanjiran, (3) berbatu-batu, dan (4) penghambat iklim cukup besar.

6. Kelas VI

Lahan kelas VI mempunyai penghambat yang sangat berat sehingga tidak sesuai untuk pertanian dan hanya sesuai untuk tanaman rumput ternak atau dihutankan. Lahan ini mempunyai penghambat yang sulit sekali diperbaiki karena salah satu atau lebih sifat-sifat berikut: (1) lereng sangat curam, (2) bahaya erosi atau erosi yang telah terjadi sangat berat, (3) berbatu-batu, (4) dangkal, (5) drainase sangat buruk atau tergenang, (6) daya menahan air rendah, (7) salinitas atau kandungan Na tinggi, dan (9) penghambat iklim besar.

7. Kelas VII

Lahan kelas VII sama sekali tidak sesuai untuk usahatani tanaman semusim dan hanya sesuai untuk padang gembalaan atau dihutankan. Faktor penghambatnya lebih besar dibandingkan kelas VI, yaitu salah satu atau kombinasi dari sifat-sifat berikut: (1) lereng terjal, (2) erosi sangat berat, (3) tanah dangkal, (4) berbatu-batu, (5) drainase terhambat, (6) salinitas atau kandungan Na sangat tinggi, dan (7) iklim sangat menghambat.

8. Kelas VIII

Lahan kelas VIII tidak sesuai untuk produksi pertanian dan harus dibiarkan dalam keadaan alami atau di bawah vegetasi hutan. Lahan ini dapat dipergunakan untuk daerah rekreasi cagar alam atau hutan lindung. Penghambat yang tidak dapat diperbaiki lagi dari lahan ini adalah salah satu atau lebih sifat berikut: (1) erosi atau bahaya erosi sangat berat, (2) iklim sangat buruk, (3) tanah selalu tergenang, (4) berbatu-batu, (5) kapasitas menahan air sangat rendah, (6) salinitasnya atau kandungan Na sangat tinggi,

dan (7) sangat terjal. Bad land, batuan singkapan, pasir pantai, bekas-bekas

penambangan dan lahan yang hampir gundul termasuk dalam kelas ini.

Kendala dan Efisiensi Usahatani Padi Sawah

Pengembangan usahatani padi sawah saat ini dihadapkan pada berbagai kendala, seperti meningkatnya permintaan akan beras, berkurangnya ketersediaan lahan dan air, pertumbuhan produktivitas yang relatif lambat, kepemilikan lahan

yang sempit, keterbatasan investasi dan pemodalan, tingkat pendidikan petani yang relatif rendah, dan lambatnya penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Tingkat kesuburan lahan mempengaruhi produktivitas hasil, sehingga tidak mengherankan apabila produktivitas lahan di Jawa jauh lebih tinggi (rata- rata 50,65 kw/ha dari tahun 1991 sampai 2001) dibanding di luar Jawa (rata-rata

36,77 kw/ha dari tahun 1991 sampai 2001). Berdasarkan hasil penelitian Barus et

al. (2011), rata-rata produktivitas usahatani padi sawah di Kabupaten Garut pada

tahun 2011 mengalami peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yaitu 61,48 kw/ha. Sehubungan dengan hal tersebut, terjadinya alih fungsi lahan pertanian pangan terutama sawah ke penggunaan lahan lain, adalah sangat disayangkan, apalagi sistem pertanian lahan sawah di Jawa yang pada umumnya memiliki sistem irigasi teknis sehingga memungkinkan dilakukan penanaman dua

kali dalam setahun (Rustiadi dan Wafda dalam Arysad dan Rustiadi, 2008).

Karama (1999) berpendapat bahwa masih terdapat peluang besar untuk membangun sektor pertanian yang tangguh, modern dan efisien, misalnya masih tersedianya areal pertanian dan lahan potensial yang belum dimanfaatkan secara optimal, adanya kesenjangan hasil antara produktivitas riil dengan produktivitas potensial, masih besarnya kehilangan dan kerusakan hasil pada waktu panen dan pasca panen serta meningkatnya daya saing hasil-hasil pertanian akibat depresi nilai rupiah.

Terkait dengan kendala tersebut di atas, maka dalam upaya meningkatkan produktivitas usahatani padi sawah, petani diharapkan dapat memilih dan menggunakan input yang terbatas ketersediaannya secara tepat dan efisien. Keputusan memilih dan menggunakan berbagai input, seperti lahan, air, benih, pupuk, tenaga kerja, serta alat dan teknologi yang efisien atau optimal akan mendapatkan hasil yang maksimal. Menurut Soekartawi (2002), usahatani pada hakekatnya adalah perusahaan, maka seorang petani atau produsen sebelum mengelola usahataninya akan mempertimbangkan biaya dan pendapatan dengan cara mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien, guna memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan efektif bila petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki

dengan sebaik-baiknya, dan dikatakan efisien bila pemanfaatan sumberdaya

tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input).

Menurut Simkin (1998) dalam Fauzi dan Anna (2005), berbagai metode

telah diaplikasikan oleh para peneliti untuk mengukur efisiensi, di antaranya

dengan metode Atkinson, metode utilitarian, metode Daltoni, dan lain-lain.

Metode-metode tersebut pada dasarnya lebih bersifat penilaian mengenai seberapa efisien suatu kebijakan terhadap perubahan kesejahteraan masyarakat dalam

konteks ketidakmerataan (inequality). Penilaian terhadap kebijakan yang

menyangkut efisiensi, pada dasarnya dapat dilakukan juga dengan Data

Envelopment Analysis (DEA), juga biasa disebut Frontier Analysis (Charnes, Cooper, dan Rhodes, 1978). Teknik yang dikenal juga sebagai CCR (dari nama

depan ketiga penemunya), merupakan pengukuran/penilaian terhadap

performance untuk mengevaluasi efisiensi relatif dari unit pengambil keputusan (decision making units, DMU) dalam suatu aktivitas. Penelitian ini juga akan menganalisis efisiensi usahatani padi sawah dengan menggunakan metode DEA tersebut.

DEA merupakan pengukuran efisiensi yang bersifat bebas nilai (value

free) karena didasarkan pada data yang tersedia tanpa harus mempertimbangkan

penilaian (judgement) dari pengambil keputusan (Korhumen et al. 1998 dalam

Fauzi dan Anna, 2005). Teknik ini didasarkan pada pemrograman matematis atau

mathematical programming untuk menentukan solusi optimal yang berkaitan dengan sejumlah kendala. DEA bertujuan untuk mengukur keragaan relatif (relative performance) dari unit analisis pada kondisi keberadaan multiple inputs

dan outputs (Dyson, Thanassoulis, dan Boussofiane, 1990 dalam Fauzi dan Anna, 2005). Keistimewaan DEA yang lain adalah kemampuannya dalam

mengakomodasi multiple inputs dan outputs; serta tingkat input atau output yang

nil maupun nondiskret. DEA juga dapat menentukan tingkat potensial maksimum

dari effort atau variabel input secara umum dan laju utilisasi optimalnya.

Pengukuran efisiensi dengan DEA, sebagaimana pengukuran efisiensi lain, terkait dengan aspek produksi dari aktivitas ekonomi yang diamati. Dari sisi

teoritis, fungsi produksi berkaitan erat dengan return to scale yang

model DEA yang dikembangkan oleh CCR, efisiensi diukur dengan asumsi bahwa

fungsi produksi bersifat constant return to scale (CRS). Artinya, jika input

dinaikkan dua kali lipat, misalnya, output juga meningkat secara proporsional

(dua kali lipat). Namun, model yang didasarkan pada return to scale ini tidak

selalu tepat bila diaplikasikan pada aktivitas produksi yang mengalami non-

constant return to scale. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, model asal dari CCR ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Banker, Charnes dan Cooper (1984), dan dikenal dengan model BCC DEA, yang memungkinkan kita

melakukan analisis efisiensi bagi aktivitas ekonomi yang bersifat variable return

to scale (VRS). Kedua pendekatan DEA tersebut merupakan pendekatan dasar yang digunakan dalam analisis DEA (Fauzi dan Anna, 2005).

Valuasi Ekonomi Usahatani Padi Sawah Berdasarkan Analisis Kelayakan Finansial

Tujuan dilakukan analisis kelayakan finansial adalah untuk

menggambarkan keuntungan yang sesungguhnya bagi para petani dan merupakan salah satu aspek yang dipertimbangkan terkait kebijakan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Salah satu cara untuk melihat kelayakan finansial adalah dengan

metode cash flow analysis (Gittinger, 1986). Alasan dari penggunaan metode ini

adalah adanya pengaruh waktu terhadap nilai uang selama umur kegiatan usaha.

Cash flow analysis dilakukan setelah komponen-komponennya ditentukan dan diperoleh nilainya. Komponen-komponen tersebut dikelompokkan dalam dua

bagian, yaitu penerimaan atau manfaat (benefit; inflow) dan pengeluaran atau

biaya (cost; outflow). Selisih antara keduanya disebut manfaat bersih (net benefit).

Nilai-nilai manfaat dan biaya tersebut kemudian dijadikan nilai sekarang (present

value) dengan mengalikannya dengan discount rate (tingkat diskonto) yang berlaku.

Gittinger (1986), menetapkan kriteria yang digunakan dan dapat dipertanggungjawabkan untuk mengetahui tingkat kelayakan finansial usahatani

padi sawah, yaitu net present value (NPV), benefit cost ratio (BCR), dan internal

rate of return (IRR). NPV menghitung nilai sekarang dari aliran kas yang

biaya. Nilai bersih sekarang menggambarkan keuntungan dan layak dilaksanakan jika mempunyai nilai positif. Apabila NPV sama dengan nol, maka usaha tersebut tidak untung dan tidak rugi, sehingga terserah kepada penilaian pengambil keputusan untuk dilaksanakan atau tidak. Apabila NPV kurang dari nol, maka usaha tersebut merugikan sehingga lebih baik tidak dilaksanakan.

BCR diperoleh dengan cara membagi jumlah hasil diskonto manfaat dengan jumlah hasil diskonto biaya. BCR menunjukkan manfaat yang diperoleh setiap penambahan satu rupiah pengeluaran. BCR akan menggambarkan keuntungan dan layak dilaksanakan jika mempunyai nilai lebih dari 1. Apabila BCR sama dengan 1, maka usaha tersebut tidak untung dan tidak rugi, sehingga terserah kepada penilaian pengambil keputusan usaha tersebut dilaksanakan atau tidak. Apabila BCR kurang dari 1, maka usaha tersebut merugikan sehingga lebih baik tidak dilaksanakan.

IRR adalah nilai diskonto yang membuat NPV dari kegiatan usaha sama dengan nol. Dengan demikian, nilai IRR adalah tingkat bunga maksimum yang dapat dibayar oleh kegiatan usaha tersebut untuk sumberdaya yang digunakan. Jika nilai IRR suatu usaha lebih besar dari tingkat diskonto yang dianggap relevan, maka usaha tersebut layak dilaksanakan. Apabila IRR sama dengan tingkat diskonto yang dianggap relevan, maka terserah kepada penilaian pengambilan keputusan untuk dilaksanakan atau tidak. Apabila IRR kurang dari tingkat diskonto, maka usaha tersebut merugikan sehingga lebih baik tidak dilaksanakan.

Valuasi Ekonomi Sumberdaya Lahan dalam Usahatani Padi Sawah dengan Menggunakan Pendekatan Surplus Produsen

Menurut Swinton (2005), pendekatan surplus ekonomi berakar dari teori mikro ekonomi, yaitu penawaran dan permintaan. Ide dasar pendekatan ini sederhana dan digambarkan pada Gambar 1. Permintaan konsumen ditunjukkan oleh kurva permintaan, yaitu garis miring ke bawah yang menggambarkan berapa konsumen bersedia membayar lebih dibandingkan yang lain untuk komoditas

tertentu. Pada harga keseimbangan pasar, p*, para konsumen yang bersedia

membayar lebih dari harga p* mendapatkan keuntungan dengan mendapatkan

seluruh konsumen, area yang berada di bawah kurva permintaan, D, dan berada di

atas harga keseimbangan, p*, merupakan nilai total surplus konsumen. Area

tersebut menunjukkan perbedaan agregat antara berapa yang bersedia dibayarkan oleh para konsumen dengan berapa yang dibayarkan. Tetapi, ada beberapa konsumen yang hanya bersedia membayar dengan harga yang lebih rendah dari

p*, sehingga mereka tidak membeli produk tersebut.

Gambar 1 Surplus ekonomi yang terdiri dari surplus konsumen dan surplus produsen

Penawaran produsen ditunjukkan oleh kurva miring ke atas yang menggambarkan beberapa produsen dapat menawarkan produk dengan harga yang lebih rendah dari produsen-produsen lain. Pada harga keseimbangan pasar,

p*, produsen-produsen yang dapat menawarkan produk dengan harga lebih rendah

mendapatkan tambahan keuntungan. Keuntungan agregat yang ditunjukkan oleh

area yang berada di atas kurva penawaran, S, dan berada di bawah harga

keseimbangan, p*, merupakan total surplus produsen. Penjumlahan surplus

konsumen dan surplus produsen dinamakan surplus ekonomi. Dalam penelitian ini, pendekatan surplus ekonomi yang akan digunakan untuk mengestimasi nilai ekonomi usahatani padi sawah dibatasi hanya dari sisi produsen saja, yaitu surplus

Dokumen terkait