• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PENAMBAHAN PELET IKAN KOI KE DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMA LANDAK JAWA

TINJAUAN PUSTAKA Landak

Landak merupakan salah satu satwa yang saat ini dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai penghasil daging alternatif dan obat tradisional khususnya di daerah Jawa Timur. Daerah penyebaran landak di Indonesia terbagi atas tiga pulau yaitu landak raya (Hystrix brachyura) di pulau Sumatera dan Kalimantan, landak jawa (Hystrix javanica) endemik di pulau Jawa dan landak butun (Hystrix crassispinis) di pulau Kalimantan. Bagian tubuh dari landak banyak ditumbuhi oleh duri yang berbentuk pipih dan agak membulat, kasar dan berdiri tegak (Gambar 1). Bulu landak ini berfungsi sebagai alat pertahanan diri. Pada umumnya seekor landak mampu berlari kencang untuk menghindari pemangsa. Namun jika terdesak, landak akan berhenti dan mengembangkan bulu-bulunya yang menyerupai duri yang terdapat pada kulit bagian atas. Duri pada landak merupakan rambut yang termodifikasi menjadi besar dan mengeras yang tersusun dari bahan yang sama dengan rambut yaitu keratin, sejenis protein (Sastrapradja, 1996).

Gambar 1. Landak Jawa (Hystrix javanica).

Menurut International Union For The Conservation of Nature/IUCN (2011), taksonomi dari landak jawa diklasifikasikan menjadi :

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Rodentia Familia : Hystricidae Genus : Hystrix

Spesies : Hystris Javanica F. Cuvier, 1823.

Morfologi

Landak jawa secara umum memiiki ukuran panjang tubuhnya 37 sampai 47 cm, panjang ekor 23 sampai 36 cm dengan berat antara 5-16 kg, bentuk tubuhnya agak bulat dan bergeraknya lambat. Satwa ini mempunyai tubuh yang tegap, berkepala kecil, telinga kecil, kaki pendek, serta ekor pendek dan tebal. Kaki depan landak jawa memiliki empat jari dan kaki belakang memiliki lima jari. Pada habitat aslinya landak mampu bertahan hidup hingga 27 tahun (Yong, 2008). Landak memiliki ciri tubuh yang berduri panjang pada bagian belakang jika dibandingkan dengan bagian lain. Bagian tubuh dari landak banyak ditumbuhi oleh duri yang berbentuk pipih termasuk sedikit yang bulat, kasar dan berdiri tegak.

Landak memiliki sisik pada ekor bagian tengah dan bagian ujung ekornya terdapat banyak duri yang agak kasar. Pada bagian kepala, kaki dan bawah badannya terdapat duri-duri yang halus serta lembut. Bagian atas badan landak berwarna kelabu gelap dan ujung durinya berwarna putih. Ujung ekornya berwarna putih kuning kehitaman. Ekor pendek dengan dua tipe duri. Pertama adalah duri lancip, panjang, berwarna hitam dan putih. Kedua adalah duri bagian ekor yang menggerincing, yang di dalamnya berlubang ujung terbuka dan berbentuk silinder (Suwelo et al., 1978).

Secara morfologi tubuh landak dibedakan menjadi 5 bagian yaitu caput, cerviks, thorax, abdomen dan glutea. Pada caput (kepala) terdapat nares (hidung), fibrisae (kumis), organon visus (mata), auriculae (daun telinga), porus acusticus externus (lubang telinga) dan rima oris (mulut) dimana terdapat lingua dan dentes. Gigi (dentes) pada landak memiliki formula 1/1, 0/0, 1/1, 3/3, sehingga berjumlah

20 gigi (Sukiya. 2005). Cerviks pada landak terdapat rambut dan belum ditumbuhi duri. Pada kulit thorak, selain ditumbuhi rambut juga mulai tumbuh duri-duri yang pendek. Pada kulit bagian abdomen, duri-duri cukup panjang-panjang dan tebal. Sedangkan pada bagian glutea, duri-duri pendek, namun tebal dan cenderung patah. Landak memiliki kaki yang relatif pendek seperti marmut. Bagian abdomen terdapat papilla mamae (puting susu) (Vaughan, 1978).

Habitat dan Penyebaran

Landak Jawa merupakan satwa liar yang memiliki habitat di daerah hutan. Landak memiliki kebiasaan membuat lubang di bagian bawah tanah dan di bawah akar pepohonan sebagai tempat hidupnya. Penyebaran landak Jawa yang ada di Indonesia meliputi pulau Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Hewan ini hidup di semua tipe hutan, di Kalimantan landak lebih senang tinggal di semak-semak atau padang rumput yang tinggi, dataran rendah maupun pegunungan, sedangkan di Sumatera hidup di hutan belukar (Suwelo et al., 1978).

Reproduksi

Landak merupakan salah satu hewan yang memiliki tingkat reproduksi yang sangat baik. Kematangan seksual dicapai pada waktu 11 bulan untuk betina dan satu tahun untuk jantan. Betina akan dibawa ke paddock jantan pada saat ingin dikawinkan. Kebuntingan landak berlangsung antara 100 dan 110 hari atau sekitar tiga setengah bulan (Rahm, 1962) dan betina yang gagal kawin dipisahkan dari jantan setelah kawin untuk mencegah kanibalisme keturunan. Kesuburan pada betina sangat tinggi, mencapai tingkat keberhasilan lebih dari 80% (Edderai dan Houben, 2000). Waktu yang diperlukan landak selama bunting sekitar 112 hari. Setelah anak itu lahir, tubuh anak sangat lemah sampai umur 10 hari. Induk landak akan mengasuh anaknya selama 3 bulan. Setelah lebih dari 3 bulan landak akan mulai belajar mencari makan (Orr, 1976). Selain itu, anak landak sangat aktif sejak satu jam pertama dilahirkan. Waktu menyapih dapat dilakukan pada usia 45 hari dan dapat mencapai berat komersial (2,5 sampai 12 kg) pada usia 10 bulan. Seperti halnya mamalia lain, landak memiliki organ urogenital berupa ren (ginjal), ureter, vesica urinaria, pada jantan terdapat : uterus masculine, ductus deferens, testis, epididymis, urethra, dan penis, sedangkan pada betina terdapat : oviduct, ovarium,

cervick, dan porus genetalia. Kedua ovarium pada landak betina berfungsi untuk menghasilkan ovum.

Pengelolaan Satwa Liar

Satwaliar adalah binatang yang hidup di dalam ekosistem alam (Bailey, 1984). Pemanfaatan satwaliar saat ini meliputi kegiatan penelitian, pendidikan, pariwisata dan rekreasi, bahkan jika memungkinkan untuk komoditi ekspor. Program perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan satwaliar seperti ini disebut konservasi. Kegiatan konservasi dapat dibedakan ke dalam konservasi in-situ dan konservasi ex-situ. Konservasi in-situ merupakan konservasi satwaliar yang dilakukan di habitat aslinya, dan konservasi ex-situ dilakukan di luar habitat aslinya, termasuk habitat buatan. Pengelolaan satwaliar berkepentingan dengan pengelolaan habitat, termasuk vegetasi, makanan, air dan penyakit. Tujuan dari semua pengelolaan satwaliar pada umumnya adalah untuk melakukan pengendalian terhadap kelimpahan dan penyebaran spesies.

Tingkah Laku Satwa

Tingkah laku satwa merupakan suatu kondisi penyesuain hewan terhadap lingkungannya. Setiap hewan atau satwa akan belajar tingkah lakunya sendiri untuk beradaptasi dengan lingkungan tertentu, hewan atau satwaliar yang telah didomestikasi akan mengalami perubahan tingkah laku, yaitu berkurangnya sifat liar dan agresif, musim kawin lebih panjang dan kehilangan sifat berpasangannya (Craig, 1981). Sifat alamiah dari landak yaitu banyak beraktifitas pada malam hari (nocturnal), sedangkan pada siang hari banyak dilakukan bersembunyi dalam lubang. Kebiasan yang dilakukan landak di alam liar yaitu mengendus-endus tanah dan mengelilingi sarang dengan maksud untuk mendapatkan sumber pakan atau mengantisipasi jika ada bahaya. Vaughan (1978) menyatakan bahwa landak akan menggunakan bulu duri-nya sebagai pelindung atau sebagai senjata apabila dalam keadaan terdesak. Landak merupakan hewan bertulang belakang yang memiliki ordo rodentia yang berarti salah satu hewan pengerat. Hewan pengerat sering kali menggerogoti batu untuk mengurangi pertumbuhan giginya. Landak merupakan hewan possorial sehingga pada saat mencari makan landak sering menggunakan kaki depannya untuk menggali tanah.

Wardi et al. (2011) menyatakan bahwa tingkah laku istirahat merupakan tingkah laku yang paling dominan yang dilakukan pada siang hari. Tingkah laku kawin diperlihatkan dengan ciri-ciri landak jantan mendekati dan berputar mengelilingi betina. Saat sedang kawin landak jantan akan lebih aktif dan agresif dengan cara memutar-mutar ke segala arah di sekitar landak betina dan ekor landak jantan akan bergerak-gerak, sedangkan landak betina cenderung lebih pasif dan jarang bergerak saat kawin, dan hanya sesekali mengikuti gerak landak jantan. Kemudian keduanya saling bergerak dan seolah-olah seperti sedang berkelahi dan keduanya akan menjilati tubuh pasangannya, terutama di bagian leher. Setelah itu landak jantan bergerak dari arah belakang landak betina untuk menungganginya atau yang dikenal dengan istilah mounting (Orr, 1976).

Bahan Pakan dan Pencernaan

Pemilihan pakan yang digunakan harus sesuai dengan sistem pencernaan ternak karena hal ini akan menunjukkan tingkat palatabilitas dan konsumsinya. Church (1976) menyatakan bahwa hewan sangat selektif dalam menentukan jenis pakannya, sehingga landak akan lebih banyak memakan jenis pakan yang paling disukainya. Faktor tersebut akan dipengaruhi oleh palatabilitas pakan yang menurut Kartadisastra (1997) bahwa palatabilitas pakan dipengaruhi oleh suhu lingkungan, status fisiologi (umur dan jenis kelamin), konsentrasi nutrisi, bentuk pakan, dan bobot tubuh serta produksi.

Keterangan : 1. Stomach 2. Small intestine 3. Caecum 4. Ascending colon 5. Transverse colon 6. Descending colon

Gambar 2. Saluran Pencernaan Landak Afrika (Hystrix africaeaustralis) Sumber : van Jaarsveld (1983)

Salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam penentuan pakan bagi satwa liar adalah tipe saluran pencernaannya. Landak merupakan satwa monogastrik herbivora (Gambar 2). Monogastrik adalah hewan berperut tunggal dan sederhana. Secara umum alat pencernaannya terdiri dari mulut, oesophagus, perut, usus halus, usus besar dan rektum sehingga disebut simple monogastric system. Berdasarkan jenis makanannya maka landak termasuk hewan herbivora atau pemakan tanaman, sehingga jenis pakan yang diberikan dapat berupa daun-daunan, umbi-umbian dan buah-buahan. Selain itu, landak akan sesekali memakan tulang dari bangkai satwa lain untuk mendapatkan kalsium dan mineral untuk pertumbuhan tulang dan duri- durinya (Bartos, 2004).

Alat pencernaan landak lebih pendek dan kurang kompleks serta mengalami modifikasi yang memungkinkan landak dapat menggunakan serat dalam jumlah relatif banyak dibandingkan kelinci. Modifikasi tersebut terletak pada saluran pencernaan setelah usus yaitu cecum yang mengalami pembesaran dan dihuni oleh mikroba yang berfungsi sebagai pencernaan fermentatif. Berdasarkan letak mikroba maka landak termasuk herbivora hindgut fermentor, karena terletak setelah usus halus. Hasil dari fermentasi sebagian besar adalah VFA dan amonia (Sastrapradja, 1996).

Penyusunan ransum hewan harus memperhatikan beberapa aspek penting seperti kebutuhan ternak, ekonomis, applicable (mudah diterapkan atau terpakai), dan batas penggunaan pakan. Pakan dapat dibedakan menjadi konsentrat dan hijauan. Hijauan ditandai dengan jumlah serat kasar yang relatif banyak pada bahan keringnya, sedangkan konsentrat mengandung serat kasar lebih sedikit dibandingkan hijauan dan mengandung karbohidrat, protein dan lemak yang relatif banyak, tetapi jumlahnya bervariasi dengan jumlah air yang relatif sedikit (Williamson dan Payne, 1993). Menurut Vaughan (1978) bahwa pakan diberikan dengan kuantitas berat pakan sebesar 10% dari berat badannya.

Daun Jaat Hutan (Phaseolus sp.)

Suku polong-polongan atau Fabaceae merupakan salah satu tumbuhan dikotil yang terpenting dan terbesar. Banyak tumbuhan budidaya penting termasuk ke dalam suku ini, dengan bermacam-macam kegunaan, sebagai bahan makanan, minuman, zat pewarna, pupuk hijau, pakan ternak, dan bahan pengobatan. Anggota

suku ini dikenal karena kemampuannya mengikat (fiksasi) nitrogen langung dari udara (tidak melalui cairan tanah) karena bersimbiosis dengan bakteri tertentu pada akar atau batangnya. Hasil analisis proksimat daun jaat hutan berupa bahan kering 90,39%, kadar abu 8,85%, kadar protein kasar 30,92%, kadar lemak kasar 1,41%, kadar serat kasar 20,02% dan nilai bruto energi sebesar 3928,55 kal/g (Apriyani, 2010).

Bengkuang (Pachyrhizus erosus)

Daging umbi bengkuang berwarna putih, tidak berubah warna jika terkena sinar matahari dan memiliki tekstur renyah berair serta rasa manis (Rubatzsky dan Yamaguchi,1998). Komposisi nutisi bengkuang per 100 gram berupa energy 55 kkal, protein 1,4 g, lemak 0,2 g, karbohidrat 12,8 g, kalsium 15 mg, phosphor 18 mg, besi 0,6 mg, vitamin C 20 mg, vitamin B1 0,04 mg, dan air 85,1 gr. Kandungan kimianya adalah pachyrhizon, rotenone, vitamin B1, dan vitamin C. Selain itu, mineral yang terkandung dalam bengkuang yang paling dominan adalah fosfor, dan zat besi, serta kalsium. Umbinya mengandung gula dan fosfor serta kalsium. Umbi ini juga memiliki efek pendingin karena mengandung kadar air 86% - 90%. Rasa manis berasal dari suatu oligosakarida yang disebut inulin, yang tidak dapat dicerna tubuh manusia.

Jagung Manis (Zea mays)

Jagung dengan nama latin Zea mays termasuk ke dalam sub family Panicodeae dalam family Poaceae pada ordo Tripsaceae (Fisher dan Palmer, 1992). Biji jagung kaya akan karbohidrat, sebagian besar berada pada endospermium. Endosperma biji adalah tempat menyimpan gula dan pati. Gula endosperma utama adalah sukrosa dengan sedikit glukosa, fruktosa dan maltose (Rubatzsky dan Yamaguchi, 1998). Menurut Skerman dan Riveros (1990), tanaman jagung menghasilkan 10-50 ton bahan segar per hektar, dengan kandungan nutrien hijauan jagung pada umur 10 minggu yaitu bahan kering 18,1%, protein kasar 8,8%, serat kasar 30,9%, abu 10,5%, ether ekstrak 2,2%, bahan organik tanpa nitrogen 47,6%.

Talas Belitung (Colocasia esculenta)

Taksonomi tumbuhan talas diklasifikasikan ke dalam kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Monocotyledone, ordo Arales, famili Araceae, genus Colocasia, spesies Colocasia esculenta. Menurut Ali (1996), komposisi kimia talas bervariasi tergantung pada jenis, usia dan tingkat kematangan. Komposisi kimia talas per 100 g bahan berupa kadar air 77,5 g, kadar abu 1,17 g, kadar protein 8,90 g, kadar lemak 0,20 g, kadar serat kasar 0,80 g, kadar karbohidrat 19 g, kadar pati 77,9 g, phosphor 64 mg, kalsium 32 mg, vitamin C 10 mg, vitamin B1 0,18 mg, dan vitamin A 20 mg. Bagian tanaman talas berupa umbi berpotensi sebagai sumber karbohidrat yang cukup tinggi yaitu sebesar 19 g per 100 g talas mentah. Umbi talas juga mengandung lemak sebesar 0,20 g per 100 g bahan, kadar protein 8,90 g per 100 g bahan, kadar vitamin dan mineral dalam jumlah sedikit. Kadar air umbi talas cukup tinggi yakni sebesar 77,5 g per 100 g bahan.

Umbi talas merupakan bahan pangan yang memiliki kandungan protein yang baik, kandungan pati yang mudah dicerna, bebas gluten, kaya akan tiamin, niacin, riboflavin dan vitamin C. Bentuk granula pati yang kecil pada pati talas yang menyebabkan talas menjadi mudah dicerna. Vitamin yang terkandung pada umbi talas adalah vitamin A, B1 dan sedikit vitamin C (Muchtadi dan Sugiyono, 2002). Umbi talas tidak mengandung gluten sehingga merupakan sumber karbohidrat yang baik (Aprianita et al., 2009).

Pisang (Musa sp.)

Pisang merupakan bahan pangan sumber karbohidrat (Adeniji dan Tenkuano, 2008). Pati yang terdapat pada pisang dapat digunakan sebagai bahan substitutisi untuk pati yang bersumber dari bahan lain seperti kentang, jagung dan gandum. Karbohidrat yang terdapat pada pisang sebagian besar merupakan glukosa, fruktosa dan sukrosa (Simmonds, 1966). Perbandingan glukosa, fruktosa dan sukrosa pada buah yang telah matang adalah 20, 15, dan 65. Fruktosa merupakan karbohidrat dengan indeks glikemik rendah yang dapat menyediakan cadangan energi bagi tubuh karena tidak cepat dicerna. Selain itu, pisang juga merupakan bahan pangan yang kaya akan sumber mineral seperti kalium, fosfor, besi, magnesium dan kalsium serta vitamin, seperti vitamin C, A, dan golongan vitamin B. Menurut Adeniji dan Tenkuano (2008), pisang merupakan tanaman yang banyak mengandung provitamin

A. Komponen zat makanan per 100 gram bahan pisang musa yaitu energi 268 kkal, protein 4,3 g, lemak 12,6 g, karbohidrat 58,1 g, kalsium 20,4 g, fosfor 44,2 g, besi 1,6 g, dan vitamin A 17 IU (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan, 1972).

Tomat (Lycopersicum esculentum)

Berdasarkan ilmu botani, tanaman tomat (Lycopersicum esculentum) termasuk ke dalam famili Solanaceae dan ordo Tubiflorae dari kelas Dicotyledonae dalam divisi Spermatophyta (sub divisi Angiospermae). Buah tomat adalah buah buni (beri) berdaging, permukaannya agak berbulu ketika masih muda, tetapi halus ketika matang. Warna buah matang biasanya merata adalah merah, merah jambu, jingga muda, jingga kuning, atau belum berwarna. Warna merah disebabkan oleh pigmentasi likopen, warna kuning disebabkan karotenoid. Warna pertengahan disebabkan oleh perbedaan nisbah pigmen ini dalam kombinasi dengan warna kulit buah (Rubatzsky et al., 1999).

Pelet Ikan Koi

Ransum dalam bentuk pelet merupakan ransum yang terdiri dari bahan-bahan baku yang diolah melalui proses mekanik, yaitu dipadatkan dan ditekan oleh roller dan die, sehingga membentuk silinder atau batangan kecil. Dozier (2001) menyatakan bahwa ransum dalam bentuk pelet dapat meningkatkan ketersediaan nutrisi dalam pakan, mempermudah penanganan sehingga menurunkan biaya produksi dan mengurangi penyusutan. Pengolahan pakan menjadi pelet dapat meningkatkan konsumsi pakan karena pelet merupakan pakan yang telah mengalami proses pemotongan dan penggilingan sehingga ukuran partikel berkurang. Pakan dalam bentuk pelet menyediakan komposisi nutrien yang lebih lengkap bagi ternak karena diformulasikan dari campuran beberapa bahan pakan. Proses pemanasan memicu timbulnya gelatinasi pati yang membantu pengikatan partikel dalam pembentukan pelet, hal ini dapat meningkatkan kecernaan pati (Cheeke, 2005).

Konsumsi Pakan

Tingkat konsumsi pakan (voluntari feed intake) adalah jumlah pakan yang dikonsumsi apabila bahan pakan tersebut diberikan ad libitum (Parakkasi, 1999). Konsumsi pakan merupakan faktor yang sangat penting untuk menentukan

kebutuhan hidup pokok dan produksi, karena dengan mengetahui tingkat konsumsi maka akan dapat ditentukan kadar zat suatu makanan dalam ransum guna memenuhi kebutuhan pokok dan produksi.

Pakan yang berkualitas baik akan memiliki tingkat konsumsi yang relatif tinggi bila dibandingkan dengan pakan berkualitas rendah. Kualitas pakan dapat dilihat dari kandungan zat makanan dan palatabilitasnya (Parakkasi, 1999).

Pertambahan Bobot Badan (PBB)

Anggorodi (1994) menyatakan bahwa pertumbuhan adalah pertambahan bentuk dan berat jaringan-jaringan seperti otot, tulang, jantung dan semua jaringan tubuh lainnya. Kemampuan untuk mengubah zat-zat nutrisi yang terdapat dalam ransum menjadi daging ditunjukkan dengan pertambahan bobot badan.

Pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu (1) Jenis pakan yang diberikan, pakan dengan jenis bahan segar akan lebih disukai oleh hewan jika dibandingkan jenis olahan sampingan atau bungkil; (2) Palatabilitas pakan atau tingkat kesukaan pakan, dipengaruhi oleh bentuk pakan (besar, kecil, bulat, panjang, lonjong), warna pakan, ketersediaan air di dalam pakan, bau pakan, tekstur pakan dan tingkat kesukaan dalam memakan; (3) Faktor toksin, hewan akan sangat peka dengan pakan yang mengandung toksin. Hewan tidak akan memakan pakan untuk kedua kalinya dengan pakan yang mengandung toksik; (4) Pakan yang voluminous/bulky, pakan yang mengandung serat kasar yang tinggi akan menurunkan jumlah konsumsi pakan; (5) Temperatur lingkungan, suhu lingkungan akan mempengaruhi pola pakan hewan. Suhu lingkungan dingin nafsu makan akan bertambah karena energi yang dibutuhkan oleh tubuh untuk menghasilkan panas dalam proses thermoregulasi tubuh akan lebih banyak jika dibandingkan pada saat suhu lingkungan dalam keadaan panas; (6) Status fisiologi (umur dan jenis kelamin), umur dan jenis kelamin juga mempengaruhi pola makan hewan. Hewan dalam masa pertumbuhan akan mengkonsumsi pakan dalam jumlah yang banyak karena hewan membutuhkan asupan energi yang cukup untuk pertumbuhan. Jenis kelamin juga berpengaruh, dimana hewan betina akan lebih banyak makan jika dibandingkan dengan hewan jantan karena betina akan membutuhkan banyak energi dan nutrisi dalam masa estrus dan kebuntingan; (7) Bobot tubuh, semakin besar bentuk tubuh maka jumlah pakan yang dikonsumsi akan semakin banyak; dan (8) Produksi, hewan

yang memiliki tingkat produksi tinggi akan mengkonsumsi pakan dalam jumlah besar karena membutuhkan energi untuk proses produksi (Church, 1976).

Efisiensi Penggunaan Ransum (EPR)

Efisiensi penggunaan ransum dapat dihitung berdasarkan perbandingan rata- rata pertambahan bobot badan (g/ekor/hari) dengan rata-rata konsumsi ransum (g/ekor/hari). Anggorodi (1994) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan makanan dapat mempengaruhi EFR adalah suhu, gerak laju makanan melalui alat pencernaan, bentuk fisik ransum, komposisi dan keseimbangan zat nutrisi ransum. Palatabilitas juga mempengaruhi efisiensi penggunaan ransum.

Konversi pakan sangat baik digunakan sebagai pegangan efisiensi produksi karena erat kaitannya dengan biaya produksi. Keefisienan ransum dapat dilihat dari nilai konversi pakan, semakin rendah angka konversi maka efisiensi penggunaan ransum semakin tinggi. Pertumbuhan yang baik belum tentu menjamin keuntungan yang maksimal, tetapi pertumbuhan yang baik dan biaya ransum yang minimum akan mendapatkan keuntungan yang maksimal (Anggorodi, 1984).

MATERI DAN METODE

Dokumen terkait