• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Pustaka

Kelapa sawit didatangkan ke Indonesia pada tahun 1848 dan mulai

dibudidayakan secara komersial dalam bentuk perusahaan perkebunan pada tahun 1911. Dalam perkembangannya, melalui salah satu produknya, yaitu minyak kelapa sawit, kelapa sawit mampu menggantikan peran kelapa (Cocos nucifera) sebagai sumber bahan baku/mentah bagi industri pangan maupun non pangan di dalam negeri dan ditetapkan sebagai salah satu primadona ekspor non migas Indonesia yang sangat dinantikan sumbangsih pemasukan devisanya (Tim Penulis, 1992).

Dalam perekonomian Indonesia komoditas kelapa sawit memegang peranan yang cukup strategis karena komoditas ini mempunyai prospek yang cerah sebagai sumber devisa. Di samping itu kelapa sawit merupakan bahan baku utama minyak goreng yang banyak dipakai di seluruh dunia, sehingga secara terus-menerus mampu pula menciptakan kesempatan kerja yang luas dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Rizsa, 1995).

Banyak faktor yang dapat dijadikan penentu dalam membentuk kadar dan kualitas SDM. Dalam hal ini faktor yang paling utama adalah pendidikan, karena dengan pendidikan seseorang dapat memanusiakan dirinya sendiri dan

tenaga kerja manusia yang berlebihan sebagai kekuatan pembangunan atau labour intensive dan menghindari terusirnya tenaga kerja akibat penggunaan teknologi yang belum mampu digunakan secara efisien (Soemartojo, 1993).

Peranan SDM dalam pembangunan tercermin pada jumlah angkatan kerja dari tahun ke tahun yang selalu meningkat. Berdasarkan data dari kantor Menteri Negara Kependudukan tahun 1995, tercatat di tahun 1990 sebanyak 74 juta orang. Pada tahun 2005 jumlah tersebut meningkat menjadi 112 juta orang dan pada tahun 2020 diperkirakan sebanyak 147 juta orang pekerja. Dari angka-angka tersebut terlihat ada peningkatan persentasi rata-rata sekitar 2,26 % per tahun (Sinuraya, 2001).

Peningkatan kualitas pekerja yang tercermin atas tingkat pendidikan rata-rata yang semakin membaik, memberi dampak positif terhadap produktivitas tenaga kerja. Begitu pula dalam upaya peningkatan keterampilan dan pelatihan tenaga kerja yang disertai penerapan teknologi yang sesuai, berdampak pula terhadap peningkatan produktivitas tenaga kerja (Subri, 2002).

Landasan Teori

Kondisi pengupahan di Indonesia selama ini boleh dikatakan tidak mengalami perubahan yang signifikan terhadap perubahan nasib buruh menjadi lebih baik. Pada sisi kebijakan, perubahan pengupahan selama puluhan tahun tidak mampu mendongkrak kesejahteraan buruh menjadi lebih tinggi

dibandingkan masa-masa ketika regulasi kebijakan perburuhan belum menjadi prioritas pemerintah. Malah yang terjadi saat ini, sistem pengupahan yang dibangun pemerintah bersifat mengisap dan tidak bertujuan sesuai dengan

kepentingan buruh dalam memperbaiki kondisi buruh, namun lebih pada kepentingan pengusaha ataupun investasi secara umum (Hutabarat, 2006).

Bentuk-bentuk pengupahan ialah disamping upah berupa uang, juga termasuk komponen tunjangan dan jaminan lainnya. Upah berbentuk uang terdiri dari upah pokok, upah tunjangan keluarga dan tunjangan jabatan, termasuk jaminan-jaminan antara lain : jaminan kesehatan dan kecelakaan kerja, jaminan pensiun, jaminan tempat tinggal atau perumahan, jaminan konsumsi/makan di tempat kerja, jaminan pakaian kerja, jaminan kesegaran jasmani dan rohani (Sulaiman, 2008)

Agar pegawai dan pekerja yang menerima gaji atau upah merasa puas, maka perlu diperhatikan prinsip-prinsip pemberian gaji dan upah sebagai berikut :

1. Gaji atau upah yang diberikan harus cukup untuk hidup pegawai dan keluarganya. Dengan kata lain, besarnya gaji dan upah harus memenuhi kebutuhan pokok minimum.

2. Pemberian gaji atau upah harus adil, artinya besar kecilnya upah tergantung pada berat ringannya kewajiban tanggung jawab yang dibebankan kepada pegawai yang bersangkutan. Pegawai yang pekerjaannya sulit, tanggung jawabnya berat, harus diberi gaji atau upah yang lebih banyak dari pada pegawai lain yang kewajiban dan tanggung jawabnya lebih ringan. Salah satu cara untuk menyusun skala gaji atau upah yang adil adalah dengan membuat klasifikasi atau pengelolaan jabatan.

3. Gaji atau upah harus diberikan tepat pada waktunya. Gaji atau upah yang terlambat diberikan dapat mengakibatkan kemarahan dan rasa tidak puas pegawa, yang pada gilirannya akan dapat mengurangi produktivitas pegawai.

4. Besar kecilnya gaji atau upah harus mengikuti perkembangan harga pasar. Hal ini perlu diperhatikan, karena yang penting bagi pegawai bukan banyaknya uang yang diterima, tetapi berapa banyak barang dan jasa yang dapat diperoleh dengan gaji atau upah tersebut. Jadi yang penting adalah gaji atau upah ril bukan gaji atau upah nominal.

5. Sistem pembayaran gaji atau upah harus mudah dipahami dan dilaksanakan, sehingga pembayaran dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat.

6. Perbedaan dalam tingkat gaji atau upah harus didasarkan atas evaluasi jabatan yang objektif

7. Struktur gaji atau upah harus ditinjau kembali dan kemungkinan harus diperbaiki apabila kondisi berubah (Moekijat, 1992).

Ketentuan upah minimum masih didasarkan kepada kebutuhan hidup minimum di setiap propinsi, seharusnya berdasarkan hidup layak terkebih dahulu, kemudian pertimbangan domisili, SDM kaum buruh, jenis-jenis usaha dan

lamanya waktu bekerja. Kebutuhan upah minimum sekarang ini belum berdasarkan pertimbangan di atas, karena baru 60% yang diberikan dari kehidupan layak (Sulaiman, 2008).

Hasil riset yang dilakukan di wilayah perkotaan, khususnya kota Medan, pengeluaran satu orang buruh lajang dalam satu bulan bisa mencapai Rp.

1.200.000,-, sedangkan untuk buruh yang sudah berkeluarga dan memiliki satu anak sebesar minimal Rp. 1.500.000,-. Jumlah nominal ini tentu saja sangat jauh dari Upah Minimum Propinsi (UMP) tahun 2009 sebesar Rp. 935.000,- dan Upah Minimum Kota sebesar Rp. 920.000,- per bulan. Sedangkan hasil investigasi di salah satu perkebunan di Asahan, pada satu keluarga diperoleh catatan belanja selama satu bulan buruh sebatas pengeluaran rutin (belum termasuk pengeluaran seperti pakaian dan peralatan rumah tangga) dan bahwa menu makanan paling sering adalah telor dan indomie (mie instant) total pengeluaran sebesar Rp. 1.296.700,- (Anonimus, 2011).

Upah bagi pekerja merupakan hak yang harus diperoleh karena nilai sumbangsihnya dalam proses produksi menciptakan nilai tambah. Upah harus

mencerminkan nilai jabatan yang dipangku seseorang di suatu perusahaan. Nilai jabatan yang lebih tinggi akan memberikan upah yang lebih tinggi. Tidak ada kenaikan upah tanpa kenaikan nilai jabatan kecuali bagi perusahaan yang mampu dapat melakukan penyesuaian atau pemberian insentif untuk mempertahankan karyawan yang baik. Mekanisme penyesuaian diatur dalam ketentuan perusahaan dengan mempertimbangkan prestasi kerja yang telah dicapai secara individu (Anonimus, 2011).

Berdasarkan UU, perhitungan upah lembur didasarkan pada upah bulanan, dengan cara perhitungan 1/173 kali upah sebulan. Dalam hal terjadinya perbedaan tentang bersarnya upah lembur ditetapkan oleh pegawai pengawas

ketenagakerjaan kabupaten/kota atau pegawai pengawas ketenagakerjaan propinsi atau oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan pusat. Untuk lebih jelasnya

Tabel 2. Perbandingan Pelaksanaan Upah Lembur.

No Kerja Lembur Waktu Kerja 7 Jam

sehari dan 40 Jam Seminggu

Waktu Kerja 8 Jam sehari, 5 Hari Kerja, dan 40 Jam Seminggu 1 Pada hari kerja biasa Kerja lembur dimulai

sesudah jam kerja ke 7

Kerja lembur dimulai sesudah jam kerja ke 8 2 Pada hari kerja

terpendek

Kerja lembur dimulai sesudah jam kerja ke 5

Tidak ada hari kerja terpendek

7 jam pertama untuk setiap jamnya dibayar 2 X upah sejam

8 jam pertama untuk setiap jamnya dibayar 2 X upah sejam

Jam pertama setelah 7 jam dibayar 3 X upah sejam

Jam pertama setelah 8 jam dibayar 3 X upah sejam

3 Pada hari istirahat mingguan

7 jam pertama, setiap jamnya dibayar 2 X upah sejam

8 jam pertama, setiap jamnya dibayar 2 X upah sejam

Jam kedelapan dibayar 3 X upah sejam

Jam kesembilan dibayar 3 X upah sejam

Jam kesembilan dan seterusnya dibayar 4 X upah sejam

Jam kesepuluh dan seterusnya dibayar 4 X upah sejam

4 Pada hari libur resmi yang jatuh pada hari biasa

7 jam pertama, setiap jamnya dibayar 2 X upah sejam

8 jam pertama, setiap jamnya dibayar 2 X upah sejam

Jam kedelapan dibayar 3 X upah sejam

Jam kesembilan dibayar 3 X upah sejam

Jam kesembilan dan seterusnya dibayar 4 X upah sejam

Jam kesepuluh dan seterusnya dibayar 4 X upah sejam

5 Pada hari libur resmi yang jatuh pada hari kerja terpendek

5 jam pertama untuk setiap jamnya dibayar 2 X upah sejam

Tidak ada hari kerja terpendek

Jam keenam dibayar 3 X upah sejam Jam ketujuh dan seterusnya dibayar 4 X upah sejam

Berdasarkan tabel di atas dapat di ketahui bahwa upah lembur waktu kerja 7 jam sehari dan 40 jam seminggu lebih besar bila dibandingkan dengan upah lembur waktu kerja 8 jam sehari, 5 hari kerja dan 40 jam seminggu.

Kesadaran buruh atas eksistensinya yang kini semakin meningkat harus benar-benar dijaga pertumbuhannya agar mampu membuahkan hasil berupa kesejahteraan buruh dalam arti lahir dan batin, meski kedua-duanya sangat sulit diperoleh sekaligus. Barangkali, yang pertama kali harus benar-benar

dikembangkan adalah kesadaran akan persoalan utama buruh, yaitu upah agar minimal sama dengan produktivitas yang dihasilkan untuk perusahaan.

keberadaan upah minimal ini harus benar-benar dijaga dan diperjuangkan pelaksanaannya, yang tidak hanya didasarkan semata pada mekanisme pasar, melihat berbagai kelemahan internal buruh untuk memperjuangkan sendiri, meski sudah ada kebebasan berserikat (Sudjana, 2002).

Pendapat yang menyatakan upah dapat digunakan sebagai pendorong produktivitas dapat dijelaskan antara lain dengan menggunakan teori upah efisiensi (efficiency wage theory). Menurut teori ini, produktivitas pekerja juga tergantung pada tingkat upah yang mereka terima. Ada banyak alasan empiris yang mendukung penjelasan ini, antara lain “dengan upah yang lebih tinggi, pekerja mampu mengkonsumsi makanan yang lebih baik, mereka menjadi lebih sehat dan mampu bekerja lebih keras”. Alasan ini biasanya dianggap relevan di negara-negara yang sedang berkembang, ketika status gizi penduduknya masih relatif rendah (Sudjana, 2002).

Dalam sistem pengupahan di perkebunan terdiri atas beberapa komponen, yakni: Upah pokok (Upah Minimum); tunjangan perumahan, catu terutama beras, premi, lembur, dan tunjangan pendidikan anak. Tujuh komponen upah tersebut berlaku baik perkebunan swasta Penanam Modal Asing (PMA) dan Penanam Modal Dalam Negri (PMDN), maupun Perkebunan Milik Negara (PTPN). Namun kenyataannya hanya sedikit perusahaan perkebunan yang memberikan seluruh komponen tersebut, bahkan masih banyak perkebunan yang hanya memberikan upah pokok atau upah minimum tanpa memberikan komponen lainnya (Anonimus, 2011).

Dari sisi politis, keberadaan upah buruh memiliki arti paling penting sebagai pembangun hubungan industrial yang harmonis. Ketika upah buruh semakin meningkat, kesenjangan antara manajemen dan buruh semakin tipis, sehingga semakin kecil pula alasan buruh untuk melakukan konflik industrial atas dasar persoalan pengupahan. Artinya, jika persoalan upah dapat ditangani dengan baik, dapat dikatakan separuh persoalan buruh telah dapat diselesaikan dengan baik, sementara persoalan lain tidak cukup kuat mengobarkan konflik industrial (Sudjana, 2002).

Menurut teori Abraham Maslow, kebutuhan dan kepuasan pekerja/buruh identik dengan kebutuhan biologis dan psikologis, yaitu berupa materil dan non material. Dasar teori ini adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang

keinginannya tak terbatas atau tanpa henti, alat motivasinya adalah kepuasan yang belum terpenuhi serta kebutuhannya berjenjang (Umar, 1998).

Kerangka Pemikiran

Buruh/pekerja merupakan salah satu faktor produksi yang berperan penting dalam proses produksi serta dapat mempengaruhi proses produksi itu sendiri. Faktor buruh akan menghasilkan produktivitas sumber daya manusia yang akan mempengaruhi faktor-faktor produksi secara keseluruhan. Produktivitas merupakan perbandingan antara hasil yang dicapai (keluaran) dengan keseluruhan sumber daya (masukan) yang digunakan persatuan waktu.

Tenaga kerja/buruh digolongkan menjadi 2 golongan yakni pegawai dan karyawan harian tetap. Penggolongan antara pegawai dan karyawan harian tetap ditetapkan karena prestasi kerja dan tingkat pendidikan yang dimiliki buruh. pegawai memiliki prestasi kerja lebih tinggi atau baik bila dibandingkan dengan karyawan harian tetap.

Keberhasilan suatu proses kerja tergantung pada keterampilan dan keahlian yang dimiliki oleh buruh. Pemakaian tenaga kerja/buruh yang memiliki keahlian yang baik akan menghasilkan produksi yang tinggi dan membuat perusahaan mendapatkan tingkat keuntungan yang besar.

Upah yang diberikan kepada buruh dihitung berdasarkan Upah Minimum Regional (UMR) beserta lembur ataupun premi yang diperoleh buruh selama bekerja. Besar upah yang diperoleh buruh dari perusahaan harus memenuhi kebutuhan pokok para buruh dan keluarganya. Kesejahteraan buruh harus diperhatikan sehingga buruh dapat bekerja dengan optimal seperti yang diharapkan oleh perusahaan.

Kepuasan buruh terhadap sistem pengupahan yang ditetapkan oleh perusahaan dapat dilihat dari tingkat kesejahteraan buruh dalam memenuhi kebutuhan pokok, hidup layak dan loyalitas buruh terhadap perusahaan. Loyalitas buruh terhadap perusahaan yakni merupakan kinerja buruh yang baik dan tetap setia dalam menjalankan pekerjaannya. Sehingga dapat menguntungkan bagi kedua belah pihak antara perusahaan (peningkatan produksi) dan buruh (peningkatan kesejahteraan).

Tingkaat kepuasan buruh di perkebunan terhadap sistem pengupahan dan upah yang diterima juga dipengaruhi oleh jaminan kesehatan dan kecelakaan kerja,jaminan pensiun,jaminan perumahan,jaminan pakaian kerja dan jaminan kesegaran jasmani, rohani. Uraian diatas dapat dijabarkan secara sistematis dalam skema kerangka pemikiran berikut.

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran FFFFFFFFFFFF Keterangan : = berpengaruh langsung KEBUN PT SOCFINDO MATAPAO TENAGA KERJA/ BURUH KARYAWAN HARIAN TETAP PEGAWAI JUMLAH DAN SPESIFIKASI TENAGA KERJA/BURUH UPAH TENAGA KERJA/BURUH ANALISIS KEPUASAN BURUH TERHADAP UPAH Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepuasan 1. Jaminan kesehatan dan kecelakaan kerja, 2. Jaminan pensiun, 3. Jaminan perumahan, 4. Jaminan pakaian kerja 5. Jaminan kesegaran jasmani, rohani.

Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis penelitian adalah sistem pengupahan buruh di perkebunan PT SOCFINDO Kebun Matapao belum sesuai dengan peraturan pengupahan secara umum, faktor-faktor seperti jaminan kesehatan dan kecelakaan kerja, jaminan pensiun, jaminan tempat tinggal atau perumahan, jaminan pakaian kerja, jaminan kesegaran jasmani dan rohani berpengaruh

terhadap tingkat kepuasan buruh perkebunan PT SOCFINDO Kebun Matapao dan tingkat kepuasan buruh di perkebunan PT SOCFINDO Kebun Matapao masih rendah.

Dokumen terkait