• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gangguan Jiwa

2.1.1 Pengertian Gangguan Jiwa

Gangguan jiwa adalah adanya perubahan fungsi jiwa yang menyebabkan gangguan pada fungsi jiwa, sehingga menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial baik peran di keluarga maupun masyarakat (Keliat, dkk., 2005).

Kriteria umum untuk mendiagnosis gangguan jiwa mencakup ketidakpuasan dengan karakteristik, kemampuan dan pengakuan terhadap seseorang, hubungan tidak efektif atau tidak puas, ketidakpuasan dengan keberadaannya, koping terhadap peristiwa hidup tidak efektif, dan kurangnya pertumbuhan personal. Selain itu, perilaku seseorang secara kultural tidak diharapkan atau disangsikan. Perilaku menyimpang tidak selalu mengindikasi gangguan jiwa (APA, 2000 dalam Videbeck, 2011).

2.1.2 Penyebab Gangguan Jiwa

Faktor yang berkontribusi terhadap gangguan jiwa dapat dilihat berdasarkan kategori individual, interpersonal dan sosial/kultural. Faktor individu mencakup biologis, ketakutan atau kekhawatiran intolerabel atau tidak realistik, ketidakmampuan untuk membedakan realitas dengan fantasi,

intoleransi ketidakpastian hidup, ketidakharmonisan dalam hidup, dan kehilangan makna hidup. Faktor interpersonal mencakup komunikasi tidak efektif, ketergantungan atau menarik diri berlebihan dari hubungan, tidak ada perasaan saling memiliki, dukungan sosial tidak adekuat, dan kehilangan kontrol emosi. Faktor sosial/kulturan mencakup kurangnya sumber-sumber, kekerasan, tuna wisma, kemiskinan, dan pandangan negatif orang lain dan diskriminasi seperti stigma, rasisme, strata, usia dan gender. Biasanya tidak terdapat penyebab tunggal, akan tetapi beberapa penyebab sekaligus dari berbagai unsur itu yang saling mempengaruhi atau kebetulan terjadi bersamaan, lalu timbulah gangguan somatik ataupun jiwa.

2.1.3 Tipe Gangguan Jiwa

a. Skizofrenia, merupakan suatu sindroma klinis yang bervariasi, tetapi sangat destruktif, psikopatologinya mencakup aspek-aspek kognisi, emosi, persepsi dan aspek-aspek perilaku lainnya. Ekspresi dari manifestasi gangguan ini bervariasi di antara pasien, tapi efeknya selalu berlangsung lama dan berat. Gangguan ini biasanya dimulai sebelum usia 25 tahun, dapat mengenai siapa saja dari kelompok sosial ekonomi manapun (Sadock dan Sadock, 2007). Merupakan bentuk psikosa fungsional paling berat, dan menimbulkan disorganisasi personalitas yang terbesar. Skizofrenia juga merupakan suatu bentuk psikosa yang sering dijumpai dimana-mana sejak dahulu kala. Dalam kasus berat, klien tidak mempunyai kontak dengan realitas, sehingga pemikiran dan perilakunya abnormal. Perjalanan penyakit ini secara bertahap akan menuju ke arah

kronisitas, tetapi sekali-kali bisa timbul serangan. Jarang bisa terjadi pemulihan sempurna dengan spontan dan jika tidak diobati biasanya berakhir dengan personalitas yang rusak ”cacat.”

b. Depresi. Merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri (Sadock & Sadock, 2007). Depresi adalah suatu perasaan sedih dan yang berhubungan dengan penderitaan. Dapat berupa serangan yang ditujukan pada diri sendiri atau perasaan marah yang mendalam (Nugroho, 2000). Depresi adalah gangguan patologis terhadap mood mempunyai karakteristik berupa bermacam-macam perasaan, sikap dan kepercayaan bahwa seseorang hidup menyendiri, pesimis, putus asa, ketidak berdayaan, harga diri rendah, bersalah, harapan yang negatif dan takut pada bahaya yang akan datang. Depresi menyerupai kesedihan yang merupakan perasaan normal yang muncul sebagai akibat dari situasi tertentu misalnya kematian orang yang dicintai. Sebagai ganti rasa ketidaktahuan akan kehilangan, seseorang akan menolak kehilangan dan menunjukkan kesedihan dengan tanda depresi. Individu dengan gangguan alam perasaan (mood) depresi biasanya akan kehilangan minat dan kegembiraan, dan berkurangnya energi yang menuju keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktifitas. Depresi dianggap normal terhadap banyak stress kehidupan dan abnormal hanya jika ia tidak sebanding

dengan peristiwa penyebabnya dan terus berlangsung sampai titik dimana sebagian besar orang mulai pulih (Atkinson, 2000).

c. Kecemasan. Kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan, pengalaman baru atau yang belum pernah dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup. Kecemasan adalah reaksi yang dapat dialami siapapun. Namun cemas yang berlebihan, apalagi yang sudah menjadi gangguan akan menghambat fungsi seseorang dalam kehidupannya (Sadock & Sadock, 2007). Penyebabnya maupun sumber biasanya tidak diketahui atau tidak dikenali. Intensitas kecemasan dibedakan dari kecemasan tingkat ringan sampai tingkat berat. Laraia (2009) mengidentifikasi rentang respon kecemasan ke dalam empat tingkatan yang meliputi, kecemasan ringan, sedang, berat dan kecemasan panik.

d. Gangguan Kepribadian. Gangguan kepribadian merupakan suatu varian dari sifat karakter yang ditemukan pada sebagian besar orang dimana kepribadiannya tidak fleksibel dan megalami maladaptif. Faktor genetik, psikoanalitik, biologi dan faktor temperamental mempengaruhi timbulnya gangguan kepribadian. Berdasarkan DSM-IV, gangguan kepribadian dikelompokkan atas tiga kelompok yaitu kelompok A terdiri dari gangguan kepribadian paranoid, skizoid, dan skizotipal; kelompok B terdiri dari gangguan kepribadian antisosial, ambang, histrionik, dan narsistik; kelompok C terdiri dari gangguan kepribadian menghindar,

dependen, obsesif-kompulsif dan kategori gangguan kepribadian yang tidak ditentukan (Kaplan & Sadock, 2005).

Terdapat banyak jenis gangguan kepribadian yang dapat menyerang mental seseorang, salah satunya adalah gangguan kepribadian paranoid yaitu kesalahan dalam mengartikan perilaku orang lain sebagai suatu hal yang bertujuan menyerang atau merendahkan dirinya. Gangguan ini biasa muncul pada masa dewasa awal yang mana merupakan manifestasi dari rasa tidak percaya dan kecurigaan yang tidak tepat terhadap orang lain sehingga menghasilkan kesalahpahaman atas tindakan orang lain sebagai sesuatu yang akan merugikandirinya (Kaplan & Sadock, 2005).

e. Gangguan Mental Organik. Gangguan mental organik didefinisikan sebagai gangguan dimana terdapat suatu patologi yang dapat diidentifikasi (contohnya tumor otak. penyakit cerebrovaskuler, intoksifikasi obat (Kaplan & Sadock, 2005).

Didalam DSM IV diputuskan bahwa perbedaan lama antara gangguan organik dan fungsional telah ketinggalan jaman dan dikeluarkan dari tata nama. Bagian yang disebut “Gangguan Mental Organik” dalam DSM III-R sekarang disebut sebagai Delirium, Demensia, Gangguan Amnestik Gangguan Kognitif lain, dan Gangguan Mental karena suatu kondisi medis umum yang tidak dapat diklasifikasikan di tempat lain (Kaplan & Sadock, 2005).

Bila bagian otak yang terganggu itu luas, maka gangguan dasar mengenai fungsi mental sama saja, tidak tergantung pada penyakit yang menyebabkannya bila hanya bagian otak dengan fungsi tertentu saja yang

terganggu, maka lokasi inilah yang menentukan gejala dan sindroma, bukan penyakit yang menyebabkannya.

f. Gangguan Psikosomatik. Gangguan psikosomatik adalah gangguan yang melibatkan pikiran dan tubuh. Beberapa penyakit fisik diperkirakan cenderung diperburuk dengan factor mental seperti stress dan ansietas. Status mental saat ini dapat menyebabkan seberapa berat penyakit fisik pada saat itu (Punnose, 2010).

g. Retardasi Mental. Retardasi mental dapat didefinisikan sebagai penurunan IQ secara keseluruhan di bawah 70 dan dihubungkan dengan adanya defisit fungsional pada perilaku adaptif seperti perilaku dalam kehidupan sehari-hari, kemampuan sosial, dan komunikasi (Gulati, dalam Argadi, 2008). Berdasarkan nilai IQ, derajat retardasi mental dapat dibedakan menjadi dua yaitu retardasi mental ringan dengan nilai IQ antara 50 dan 70, dan retardasi mental berat dengan nilai IQ di bawah 50.

h. Gangguan Perilaku Masa Anak dan Remaja. Dalam PPDGJ III, gangguan perilaku pada masa anak dan remaja merupakan suatu golongan yang disediakan untuk semua gangguan yang terjadi pada masa anak dan remaja yang bersifat lebih menetap, mendalam, dan lebih sukar diatasi dibandingkan dengan gangguan situasional sementara. Tetapi gangguan ini lebih ringan dari psikosa, nerosa, dan gangguan kepribadian. Keadaan seperti ini disebabkan karena perilaku pada usia tersebut masih berada dalam keadaan yang relatif mudah berubah-ubah (Maslim, 2004) Sedangkan berdasarkan DSM-IV, gangguan tingkah laku tergolongkan gangguan eksternalisasi yang termasuk dalam kategori DSM-IV-TR

bersama dengan Attention Deficit and Hyperactivity Disorder (ADHD) dan delinquency behavior.

2.2 Peran Keluarga

2.2.1 Konsep Keluarga a. Definisi

Keluarga merupakan dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan hidup dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain di dalam peranannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan (Baylon, et.al, 1989 dalam Setiawati & Dermawan, 2008). Duvall dan Logan (1986 dalam Setyawan, 2012), menyatakan bahwa keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran, dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, dan meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, serta sosial dari tiap anggota keluarga.

b. Fungsi Keluarga

Fungsi Keluarga menurut Friedman, 1986 ( dalam Setiawati & Dermawan 2008) adalah sebagai berikut :

1. Fungsi Afektif

Fungsi afektif adalah fungsi internal keluarga sebagai dasar kekuatan keluarga. Didalamnya terkait dengan saling mengasihi, saling mendukung dan saling menghargai antar anggota keluarga.

2. Fungsi Sosialisasi

Fungsi sosialisasi adalah fungsi keluarga yang mengembangkan proses interaksi dalam keluarga. Sosialisasi dimulai sejak lahir dan keluarga merupakan tempat individu untuk belajar bersosialisasi.

3. Fungsi Reproduksi

Fungsi reproduksi adalah fungsi keluarga untuk meneruskan kelangsungan keturunan dan menambah sumber daya manusia,

4. Fungsi Ekonomi

Fungsi ekonomi adalah fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarganya yaitu ; sandang, pangan dan papan.

5. Fungsi Perawatan Kesehatan

Fungsi perawatan kesehatan adalah fungsi keluarga untuk mencegah terjadinya masalah kesehatan dan merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan.

2.2.2 Peran Keluarga dalam Bidang Kesehatan

Sebuah peran didefinisikan sebagai kumpulan dari perilaku yang secara relative homogen dibatasi secara normative dan diharapkan dari seorang yang menempati posisi social yang diberikan. Peran berdasarkan pada pengharapan atau penetapan peran yang membatasi apa saja yang harus dilakukan individu didalam situasi tertentu agar memenuhi pengharapan diri atau orang lain terhadap mereka (Nye, 1976 , dalam Friedman 2010).

Anggota keluarga berperan penting dalam membantu memanajemen perawatan individu dengan satu atau lebih penyakit kronik. Banyak studi

yang menyebutkan bahwa keterlibatan keluarga bermanfaat besar dalam dukungan dalam penanganan penyakit kronis (Rosland, 2009).

Friedman (1981, dalam Ali, Zaidin, 2006) membagi lima tugas kesehatan yang harus dilakukan oleh keluarga yaitu :

a. Mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggota keluarganya.

Keluarga bisa mendapatkan informasi mengenai gangguan jiwa ( pengertian, tipe, tanda dan gejala ) melalui media informasi atau konsultasi dengan tenaga kesehatan.

b. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat.

Kemampuan keluarga mengambil keputusan dalam menangani klien gangguan jiwa.

c. Memberikan perawatan kepada anggota keluarganya yang sakit dan tidak sakit.

Peran keluarga yang diharapkan dalam perawatan klien gangguan jiwa adalah memberi dukungan, pemberian obat dan pengawasan minum obat.

d. Memodifikasi suasana rumah yang mendukung kesehatan keluarga serta perkembangan kepribadian anggota keluarga.

Dalam hal ini peran keluarga adalah mengontrol ekspresi emosi keluarga seperti mengkritik, bermusuhan dapat mengakibatkan tekanan pada klien gangguan jiwa.

e. Mempertahankan hubungan timbal balik antara anggota keluarga dan lembaga-lembaga kesehatan, yang menunjukan kemanfaatan dengan baik fasilitas kesehatan yang ada.

Selain keluarga berperan dalam pengawasan minum obat, keluarga juga dapat memanfaatkan fasilitas kesehatan untuk kontrol ke dokter secara teratur atau segera membawa klien gangguan jiwa ke rumah sakit jika terjadi kekambuhan.

Keluarga dapat memberikan informasi kepada petugas kesehatan tentang riwayat masalah kesehatan pada anggota keluarganya saat pengkajian dilakukan.

Gangguan jiwa berat termasuk dalam kondisi penyakit kronis dimana diperlukan penanganan jangka panjang, sehingga dapat menyebabkan keluarga mengalami kelelahan dan ketegangan peran dalam merawat klien dengan gangguan jiwa berat. Dengan memahami peran dan tugasnya, keluarga dapat memanajemen perawatan klien baik di rumah dan di rumah sakit, sehingga dapat berbagi peran dan beban perawatan pada semua anggota keluarga untuk mencapai kestabilan perawatan dan emosi dalam keluarga itu sendiri.

2.3 Lama Hari Rawat

2.3.1 Pengertian Lama Rawat

Lama rawat atau Lama Hari Rawat atau Length of Stay (LOS) adalah suatu ukuran berapa hari lamanya seorang klien dirawat inap pada suatu periode

perawatan. Satuan lama hari rawat adalah hari. Kemudian, cara menghitung lama hari rawat ialah dengan menghitung selisih antara tanggal kepulangan (keluar dari rumah sakit, baik hidup atau meninggal) dengan tanggal masuk ke rumah sakit (Wartawan, 2012 dalam Prabandari, 2013). Klien yang masuk dan keluar pada hari yang sama, lama rawatnya dihitung sebagai 1 hari. Angka rerata lama rawat ini dikenal dengan istilah average Length of Stay (AvLOS). Mengukur rata-rata lama hari rawat yaitu membagi jumlah hari perawatan klien rawat inap (hidup dan mati) di rumah sakit pada periode tertentu dengan jumlah klien rawat inap yang keluar (hidup dan mati) di rumah sakit pada periode waktu yang sama. Dalam beberapa kasus tidak cukup hanya mencatat tanggal masuk dan keluar saja, tapi juga butuh mencatat jam klien tersebut masuk perawatan dan keluar perawatan, terutama jika klien tersebut keluar dalam keadaan meninggal (Subekti, dalam Prabandari, 2013).

Lama hari rawat ini berkaitan dengan indikator penilaian efisiensi pengelolaan rumah sakit bersama dengan tiga indikator lainnya yaitu lamanya rata-rata tempat tidur tidak terisi (Turn Over Interval =TOI), presentase tempat tidur yang terisi atau presentase tingkat hunian tempat tidur (Bed Occupancy

Rate=BOR), dan klien yang dirawat keluar dalam keadaan hidup dan mati per

tempat tidur yang tersedia dalam periode tertentu (Bed Turn Over = BTO). 2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Lama Rawat

Faktor-faktor yang mempengaruhi lama rawat seseorang terdiri dari factor internal maupun eksternal. Faktor internal berasal atau ada dalam rumah sakit, sedangkan faktor eksternal berasal dari luar rumah sakit atau berhubungan dengan klien (Wartawan, dalam Prabandari, 2013).

a. Faktor-faktor Internal

1. Jenis dan Derajat Penyakit

Penyakit yang akut dan kronis akan memerlukan lama hari rawat yang berbeda, dimana kasus yang kronis akan memerlukan lama hari rawat lebih lama daripada penyakit yang bersifat akut. Klien dengan gangguan jiwa berat umumnya akan mengalami peningkatan lama penyembuhan jika klien berulang kali mengalami kekambuhan.

2. Tenaga Medis yang menangani

Perbedaan keterampilan dan memutuskan melakukan suatu tindakan antar dokter yang berbeda akan mempengaruhi lama hari rawat klien. Selain itu, jumlah tenaga dokter maupun perawat juga berperan penting dalam menangani klien. Tenaga kesehatan yang memiliki komptensi yang baik dalam penanganan klien dengan gangguan jiwa akan mampu memberikan psikoterapi yang akan meningkatkan kemampuan pasien memperbaiki mekanisme koping yang dimilikinya sehingga mampu menghadapi stressor pencetus gangguan jiwa yang dialami, selanjutnya dapat menurunkan tingkat kekambuhan/relaps. 3. Tindakan yang dilakukan

Tindakan dokter termasuk pemeriksaan penunjang rumah sakit berpengaruh terhadap lama hari rawat. Klien yang memerlukan tindakan operasi akan memerlukan persiapan dan pemulihan lebih lama dibanding pasien dengan prosedur standar. Klien dengan gangguan jiwa berat dengan komorbiditas dapat menjalani

pemeriksaan yang lebih lama terkait dengan kondisi emosi dan fisik yang terganggu.

4. Administrasi Rumah Sakit

Dari sisi administrasi rumah sakit, prosedur penerimaan dan pemulangan pasien dapat menjadi hambatan yang menyebabkan lambatnya kepulangan pasien dari rumah sakit. Sebagai contoh, klien yang masuk rumah sakit hari Sabtu dan Minggu akan memperpanjang lama hari rawatnya. Hal ini dikarenakan pemeriksaan dokter dan pemeriksaan penunjang lain mungkin akan diundur sampai hari kerja. Klien masuk rumah sakit saat pergantian jaga atau di luar jam kerja rumah sakit, dan berbagai alasan administrasi lainnya.

b. Faktor eksternal 1. Umur Klien

Umur mempunyai hubungan dengan tingkat keterpaparan, besarnya risiko, dan sifat resistensi tertentu. Dengan bertambahnya usia maka kemampuan sistem kekebalan tubuh seseorang untuk menghancurkan organisme asing juga berkurang. Peningkatan umur berhubungan dengan pengurangan progresif terhadap kemungkinan pulang lebih awal dari rumah sakit baik pada hari ke 14 maupun hari ke 28.

2. Pekerjaan Klien

Walaupun pekerjaan tidak secara langsung mempengaruhi lama hari rawat, tapi mempengaruhi cara klien dalam membayar biaya

perawatan. Pekerjaan akan menentukan pendapatan dan ada atau tidaknya jaminan kesehatan untuk menanggung biaya perawatan. 3. Penanggung jawab biaya

Adanya kecenderungan klien yang biaya perawatannya ditanggung oleh perusahaan atau pihak asuransi mempunyai lama rawat yang lebih lama daripada klien yang menanggung sendiri biayanya. Hal ini dapat disebabkan karena proses penyelesaian administrasi yang memakan waktu dan kondisi sosial ekonomi pasien.

Kondisi sosioekonomi yang rendah dapat mengakibatkan seorang klien mempercepat lama rawatnya untuk menghindari mengeluarkan banyak biaya atau justru memperlama karena tidak memiliki biaya untuk memenuhi administrasi selama perawatan.

4. Alasan Pulang

Klien akan pulang atau keluar dari rumah sakit apabila telah mendapat persetujuan dari dokter yang merawatnya. Tetapi ada beberapa penderita yang walaupun dinyatakan sembuh dan boleh pulang harus tertunda pulangnya. Hal tersebut karena masih menunggu pengurusan pembayaran oleh pihak penanggung biaya (perusahaan/ asuransi kesehatan) atau surat keterangan tidak mampu, jamkesmas dari pihak yang berwenang bagi yang kurang mampu. Sehingga lama hari rawat menjadi memanjang. Sedangkan ada pula klien yang pulang atas permintaan sendiri/ keluarga (pulang paksa), sehingga lama rawat memendek.

Komorbiditas yaitu terdapatnya 2 atau lebih diagnosis penyakit pada individu yang sama. 17 Komorbiditas yang tinggi pada klien UGD yang masuk kembali dalam 72 jam memiliki tingkat penerimaan yang lebih tinggi, prognosis yang lebih buruk, lebih lama tinggal di rumah sakit, dan kematian di rumah sakit yang tinggi.

6. Tingkat Kerapuhan Klien

Tingkat kerapuhan klien terutama pasien lanjut usia dapat menjadi salah satu petanda awal memanjangnya lama rawat. Pada penelitian sebelumnya, peningkatan skor kerapuhan pada Edmonton Frail Scale yang diberikan saat sebelum penerimaan operasi elektif non-kardiak dihubungkan dengan komplikasi post-operasi, peningkatan lama tinggal di rumah sakit dan ketidakmampuan untuk dipulangkan ke rumah, terlepas dari umur.

2.4 Penelitian Terkait

Penelitian yang dilakukan oleh Cohen et al, 2013 dengan judul Preferences for

Family Involvement in Care Among Consumers With Serious Mental Illness

(Preferensi Keterlibatan Keluarga dalam Perawatan pada Konsumen dengan Penyakit Mental Serius) melibatkan 232 konsumen kesehatan mental dengan penyakit mental yang serius yang memiliki kontak dengan keluarga tetapi tidak memiliki keluarga yang secara teratur terlibat dalam perawatan kesehatan mentalnya. Konsumen direkrut dari rawat jalan klinik kesehatan mental di tiga pusat medis dalam dua Layanan Jaringan Veterans Terpadu. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data karakteristik demografi, preferensi pengobatan dengan

keterlibatan keluarga, dan manfaat yang dirasakan dan hambatan dalam melibatkan keluarga dalam pengobatan. Data lain yang dikumpulkan termasuk grafik Diagnosis dan tindakan terhadap beratnya gejala, fungsi keluarga, dan hubungan keluarga. Hasil yang diperoleh sebanyak 78% (171 dari 219) menginginkan anggota keluarganya terlibat dalam perawatan melalui beberapa metode yang diinginkan. Konsumer khawatir dengan dampak keterlibatan keluarga baik pada dirinya atau anggota keluarganya. Derajat keterlibatan keluarga yang dirasakan oleh consumer secara signifikan memprediksi derajat keterlibatan keluarga setelah menganalisis kebutuhan pelayanan (konflik keluarga, kualitas hidup dan berat gejala), factor pemungkin (kontak dan kapasitas keluarga, variabel demografik (usia, gender, ras, tinggal dengan keluarga dan status pernikahan) serta hambatan yang dirasakan.

Penelitian yang dilakukan oleh Ruspawan dkk, 2011 dengan Judul Peran Keluarga dengan Frekuensi Kekambuhan Klien Skizofrenia. Penelitian ini termasuk penelitian

Deskriptif Analitik Korelasional dengan menggunakan pendekatan Cross Sectional.

Jumlah sampel yang diambil adalah 47 responden dengan tehnik pemilihan sampel nonprobability dengan consecutive sampling. Tehnik analisa data menggunakan Uji

Korelasi Product Moment dengan α = 0,05. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata

nilai peran keluarga sebesar 55,57 dan rata-rata kekambuhan klien skizofrenia sebesar 4,02 kali. Nilai p sebesar 0,0001 dan nilai r=0,610 dengan p<0,05, maka dapat dinyatakan ada hubungan yang kuat antara Peran Keluarga dengan Frekuensi Kekambuhan Klien Skizofrenia di poli klinik Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali.

Dari penelitian-penelitian tersebut dapat diambil suatu gambaran peran serta keluarga selama klien dirawat akan memberikan dampak pada proses pemulihan klien dan hari perawatan klien di rumah sakit.

 

Dokumen terkait