• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanaman buah makasar (Brucea

javanica (L.) Merr.) tergolong famili

Simaroubaceae, divisi Magnoliophyta, ordo Sapindales, kelas Magnoliopsida, bangsa Geraniales, serta marga Brucea (Kumala 2007). Penyebaran tanaman obat buah makasar di Indonesia masih tergolong jarang, tanaman ini banyak ditemukan di pulau Jawa dan Madura, sebagian orang pun masih banyak yang belum mengenal tanaman ini padahal tanaman ini merupakan salah satu jenis tanaman yang sering dipakai untuk mengobati berbagai macam penyakit, seperti demam, hipertensi, kanker, malaria, stroke, dan diabetes. Selain di Indonesia, buah makasar juga banyak ditemukan di Srilanka, India, Cina, Taiwan, Thailand, Malaysia, dan Australia utara (Wijayakusuma 2004).

Tanaman tersebut (Gambar 2) terdiri atas batang, daun, bunga, biji, dan akar. Batang tanaman ini memiliki ciri berkayu, bulat dan berbintik-bintik, sedangkan daunnya berbentuk majemuk lonjong, tepi bergerigi, ujung runcing dan lebar daun sekitar 1.5-5 cm, dan buahnya yang umum digunakan sebagai bahan obat tradisional berbentuk bulat, berwarna hijau hingga kehitaman. Tanaman tersebut dapat tumbuh pada ketinggian 0.5-550 meter di atas permukaan laut, dapat ditemukan dalam hutan jati, belukar, hutan sekunder, maupun pada tepi sungai (Kumala 2007).

Gambar 1 Tanaman buah makasar.

Buah makasar mengandung berbagai senyawa kimia diantaranya alkaloid, glukosida, bruceosida A dan B, phenol (brucenol dan asam bruceolat), brusatol, bruceine A, dan quassin. Senyawa brucein yang ditemukan dalam ekstrak buah makasar bersifat antimalaria dan antikanker. Senyawa tersebut bukan hanya memberikan efek sitotoksik akan tetapi juga bersifat menghambat pertumbuhan strain

Plasmodium fasciperum K1 secara in vitro.

Senyawa kimia lainnya yang terkandung dalam buah makasar dilaporkan juga mempunyai aktivitas melawan leukemia limfotik dan kanker paru-paru (Wijayakusuma 2004).

Diabetes Melitus

Diabetes melitus didefinisikan sebagai suatu penyakit kelainan metabolik kronis secara serius yang memiliki dampak signifikan tehadap kesehatan yang ditandai dengan tingginya kadar gula dalam darah. Salah satu penyebab diabetes melitus yaitu ditandai dengan menurunnya hormon insulin yang diproduksi oleh sel beta pulau langerhans dalam kelenjar pankreas. Insulin merupakan hormon yang berperan dalam metabolisme glukosa khususnya sebagai perantara masuknya glukosa di dalam darah ke sel-sel jaringan tubuh lainnya seperti otot dan jaringan lemak (Garrett & Grisham 2002).

Hiperglikemia merupakan keadaan saat konsentrasi kadar gula dalam darah melewati batas normal. Keadaan ini dapat terjadi akibat adanya defisiensi insulin sehingga penyerapan glukosa ke dalam sel menjadi terhambat (Ohta 2002). Kadar gula dalam darah normal kurang dari 100 mg/dL, sesaat setelah makan kadar gula dalam darah dapat meningkat hingga 120 mg/dL dan dapat kembali normal 2 jam setelah makan (Soegondo 2004).

Gejala umum yang timbul pada diabetes melitus diantaranya, sering haus, sering buang air kecil, kesemutan, penglihatan mulai terganggu, banyak makan akan tetapi berat badan menurun, cepat merasa lelah dan sering mengantuk (Purwakusumah 2003). Penyakit diabetes melitus dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya pola makan, obesitas, faktor genetik, bahan kimia dan obat-obatan serta infeksi pada pankreas (Wijayakusuma 2004).

Hipotesis penelitian ini adalah fraksi air memiliki potensi sebagai antidiabetes dengan mekanisme penghambatan terhadap

aktivitas enzim α-glukosidase secara in

vitro. Hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan informasi kepada masyarakat mengenai manfaat tanaman buah makasar, sehingga dapat dijadikan sebagai alternatif pengobatan diabetes melitus.

TINJAUAN PUSTAKA

Buah Makasar

Tanaman buah makasar (Brucea

javanica (L.) Merr.) tergolong famili

Simaroubaceae, divisi Magnoliophyta, ordo Sapindales, kelas Magnoliopsida, bangsa Geraniales, serta marga Brucea (Kumala 2007). Penyebaran tanaman obat buah makasar di Indonesia masih tergolong jarang, tanaman ini banyak ditemukan di pulau Jawa dan Madura, sebagian orang pun masih banyak yang belum mengenal tanaman ini padahal tanaman ini merupakan salah satu jenis tanaman yang sering dipakai untuk mengobati berbagai macam penyakit, seperti demam, hipertensi, kanker, malaria, stroke, dan diabetes. Selain di Indonesia, buah makasar juga banyak ditemukan di Srilanka, India, Cina, Taiwan, Thailand, Malaysia, dan Australia utara (Wijayakusuma 2004).

Tanaman tersebut (Gambar 2) terdiri atas batang, daun, bunga, biji, dan akar. Batang tanaman ini memiliki ciri berkayu, bulat dan berbintik-bintik, sedangkan daunnya berbentuk majemuk lonjong, tepi bergerigi, ujung runcing dan lebar daun sekitar 1.5-5 cm, dan buahnya yang umum digunakan sebagai bahan obat tradisional berbentuk bulat, berwarna hijau hingga kehitaman. Tanaman tersebut dapat tumbuh pada ketinggian 0.5-550 meter di atas permukaan laut, dapat ditemukan dalam hutan jati, belukar, hutan sekunder, maupun pada tepi sungai (Kumala 2007).

Gambar 1 Tanaman buah makasar.

Buah makasar mengandung berbagai senyawa kimia diantaranya alkaloid, glukosida, bruceosida A dan B, phenol (brucenol dan asam bruceolat), brusatol, bruceine A, dan quassin. Senyawa brucein yang ditemukan dalam ekstrak buah makasar bersifat antimalaria dan antikanker. Senyawa tersebut bukan hanya memberikan efek sitotoksik akan tetapi juga bersifat menghambat pertumbuhan strain

Plasmodium fasciperum K1 secara in vitro.

Senyawa kimia lainnya yang terkandung dalam buah makasar dilaporkan juga mempunyai aktivitas melawan leukemia limfotik dan kanker paru-paru (Wijayakusuma 2004).

Diabetes Melitus

Diabetes melitus didefinisikan sebagai suatu penyakit kelainan metabolik kronis secara serius yang memiliki dampak signifikan tehadap kesehatan yang ditandai dengan tingginya kadar gula dalam darah. Salah satu penyebab diabetes melitus yaitu ditandai dengan menurunnya hormon insulin yang diproduksi oleh sel beta pulau langerhans dalam kelenjar pankreas. Insulin merupakan hormon yang berperan dalam metabolisme glukosa khususnya sebagai perantara masuknya glukosa di dalam darah ke sel-sel jaringan tubuh lainnya seperti otot dan jaringan lemak (Garrett & Grisham 2002).

Hiperglikemia merupakan keadaan saat konsentrasi kadar gula dalam darah melewati batas normal. Keadaan ini dapat terjadi akibat adanya defisiensi insulin sehingga penyerapan glukosa ke dalam sel menjadi terhambat (Ohta 2002). Kadar gula dalam darah normal kurang dari 100 mg/dL, sesaat setelah makan kadar gula dalam darah dapat meningkat hingga 120 mg/dL dan dapat kembali normal 2 jam setelah makan (Soegondo 2004).

Gejala umum yang timbul pada diabetes melitus diantaranya, sering haus, sering buang air kecil, kesemutan, penglihatan mulai terganggu, banyak makan akan tetapi berat badan menurun, cepat merasa lelah dan sering mengantuk (Purwakusumah 2003). Penyakit diabetes melitus dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya pola makan, obesitas, faktor genetik, bahan kimia dan obat-obatan serta infeksi pada pankreas (Wijayakusuma 2004).

Diabetes melitus terbagi menjadi dua tipe yaitu diabetes tipe I (Insulin Dependent

Diabetes Mellitus) dan diabetes tipe II

(Insulin Independent Diabetes Mellitus).

DM tipe I dapat didefenisikan sebagai tipe diabetes yang tergantung pada insulin. Pada tipe ini sel pankreas yang menghasilkan insulin mengalami kerusakan, akibatnya sel- sel βpada pankreas tidak dapat mensekresi insulin atau apabila dapat mensekresi insulin hanya dalam jumlah yang sedikit. Kerusakan pada sel-sel β disebabkan oleh adanya peradangan pada pankreas. Akibat sel-sel β tidak dapat membentuk insulin maka penderita DM tipe I selalu tergantung pada insulin. DM tipe II merupakan tipe diabetes yang tidak tergantung pada insulin. Hal tersebut terjadi karena sel β-pankreas yang tidak mengalami kerusakan, akan tetapi insulin yang disekresikan jumlahnya menurun. Penurunan tersebut disertai defisiensi insulin hingga resistensi insulin (Murray 2003). DM tipe II ini umumnya disebabkan oleh obesitas atau kelebihan berat badan. Pengobatan terhadap diabetes tipe ini dilakukan dengan pengaturan pola makan dan olahraga, namun dapat pula diobati dengan obat-obat antidiabetes tertentu (Matsumoto et al. 2002).

Menurut Wijayakusuma (2004), selain DM tipe I dan II terdapat satu tipe diabetes melitus yang terjadi pada saat kehamilan. Penyakit tersebut umumnya dialami oleh wanita hamil dan akan kembali normal setelah melahirkan. Seorang wanita hamil membutuhkan lebih banyak insulin untuk mempertahankan metabolisme karbohidrat. Jika tidak menghasilkan lebih banyak insulin, wanita hamil dapat menderita penyakit diabetes yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan metabolisme glukosa (karbohidrat) dan metabolisme yang terjadi dalam tubuh lainnya.

Pengobatan Diabetes Melitus Pengobatan diabetes melitus umumnya dilakukan dengan pengaturan diet, pemberian obat antidiabetik oral, dan terapi insulin. Akan tetapi pemberian obat-obat antidiabetik oral dapat menimbulkan efek samping yang berbahaya. Efek tersebut dapat berupa gangguan mekanisme dalam tubuh hingga kematian (Tuyet & Chuyen 2007).

Pemberian obat secara oral merupakan cara pemberian obat yang paling umum

dilakukan karena mudah, murah, dan aman. Pada umumnya pemberian obat antidiabetik oral hanya dilakukan untuk penderita DM tipe II, obat tersebut terbagi menjadi dua jenis diantaranya obat sintetik dan obat tradisional (Mathur & Shiel 2003).

Obat sintetik yang memiliki aktivitas antidiabetik dibagi menjadi 4 kelas menurut mekanisme kerjanya. Pertama, golongan sulfonilurea yang memiliki mekanisme kerja utama pada peningkatan insulin. Obat dari golongan ini yang banyak digunakan dalam pengobatan diabetes adalah glimepiride. Kedua, golongan biguanida yang dapat mengurangi produksi glukosa hati sehingga dapat meningkatkan sensitivitas periferal dan mengurangi penyerapan glukosa intestinal, contoh obat golongan ini adalah

glucophage, diabex, glucotika,dan lain-lain.

Ketiga, golongan inhibitor α-glukosidase salah satunya adalah Acarbose (Gambar 2). Obat ini dapat menghambat enzim spesifik yang menguraikan pati dalam usus halus sehingga menunda penyerapan glukosa hasil pemecahan karbohidrat di dalam usus. Keempat, merupakan insulin eksogen yang berperan dalam meningkatkan sensitivitas insulin secara tidak langsung dan menekan produksi glukosa hati. Obat lainnya yang sering digunakan dalam terapi diabetes adalah pioglitazone, yang termasuk ke dalam golongan thiazolidinedione.

Poiglitazone bekerja dengan cara

meningkatkan sensitivitas insulin pada jaringan target, seperti menurunkan glukoneogenesis di hati (Tuyet & Chuyen 2007).

Pengukuran Konsentrasi Gula Darah Konsentrasi gula dalam darah dapat ditentukan atau diukur dengan berbagai macam cara seperti metode gugus amina, metode enzimatik, metode reduksi, dan metode pemisahan glukosa. Pengukuran dengan metode kondensasi gugus amina yaitu melalui mekanisme spektrofotometri dengan spektrofotometer. Berdasarkan intensitas warna yang terbentuk, prinsip metode ini adalah kondensasi aldosa dengan orto toluidin dalam suasana asam dan menghasilkan larutan berwarna hijau setelah dipanaskan.

Gambar 2 Struktur Acarbose.

Secara enzimatik kadar glukosa dapat ditentukan melalui penambahan enzim glukosa oksidase (GOD), glukosa dioksidasi oleh enzim menjadi asam glukoronat disertai dengan terbentuknya H2O2. Adanya enzim peroksidase (POD), H2O2 akan membebaskan O2 yang mengoksidasi akseptor kromogen yang sesuai serta menghasilkan intensitas warna yang dapat dideteksi dengan spektrofotometer (Widowati et al. 1997).

Metode reduksi merupakan metode pengukuran glukosa yang menggunakan suatu oksidan ferisianida yang direduksi menjadi ferosianida oleh glukosa dalam suasana basa dengan pemanasan, kemudian kelebihan garam feri dititrasi secara iodometri. Metode lainnya adalah metode pemisahan glukosa, metode tersebut merupakan metode yang sangat jarang dilakukan. Metode ini memperlihatkan adanya pemisahan glukosa dalam keadaan panas dengan antron atau timol dalam suasana asam dengan menggunakan asam sulfat pekat. Glukosa tersebut kemudian dipisahkan dengan metode kromatografi (Widowati et al.1997).

Aktivitas antidiabetes dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu dengan menghambat aktivitas enzim α-glukosidase dan menstimulasi sel β-Langerhans untuk menghasilkan insulin. Pengujian terhadap aktivitas antidiabetes yang umum digunakan adalah melalui mekanisme penghambatan terhadap kerja enzim α-glukosidase (Matsumoto et al.2002).

Enzim α-glukosidase dengan nama kimia α-D-glikosida glukohidrolase merupakan enzim yang berperan dalam usus halus manusia. Enzim tersebut merupakan enzim kunci pada proses akhir pemecahan karbohidrat. α-Glukosidase mengkatalisis hidrolisis terminal residu glukosa non pereduksi yang berikatan α-1,4 pada berbagai substrat dan dihasilkan α-D- glukosa. α-Glukosidase menghidrolisis

ikatan α-glikosidik pada oligosakarida dan

α-D-glikosida (Gao et al.2007).

Pengujian aktivitas daya hambat terhadap enzim α-glukosidase dapat dilakukan secara in vivo dan in vitro. Metode spektrofotometri banyak digunakan dalam pengujian secara in vitro dengan menggunakan pseudo-substrat, seperti p- nitrofenil-α-D-glukopiranosida (p-NPG) dan enzim α-glukosidase, sedangkan secara

pseudo in vivo menggunakan sel pankreas

penghasil enzim α-glukosidase. Pengujian in vivodilakukan dengan memberikan inhibitor dengan dosis tertentu pada hewan percobaan yang menderita diabetes dan kadar glukosa dalam hewan percobaan tersebut diamati secara berkala. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini, telah melahirkan suatu metode pengujian terhadap aktivitas antidiabetes terbaru yaitu dengan menggunakan biosensor (Matsumoto

et al.2002).

Daya hambat terhadap aktivitas α- glukosidase sendiri dipelajari secara pseudo- substrat dengan mengetahui kemampuan sampel untuk menghambat reaksi hidrolisis glukosa pada substrat p-nitrofenil-α-D- glukopiranosida (p-NPG). Setelah mengalami hidrolisis substrat akan terhidrolisis menjadi α-D-glukosa dan p- nitrofenol yang berwarna kuning (Gambar 3). Warna kuning yang dihasilkan oleh p- nitrofenol menjadi indikator kemampuan inhibitor untuk menghambat reaksi yang terjadi. Semakin besar kemampuan inhibitor untuk menghambat maka produk yang dihasilkan semakin sedikit atau warna larutan setelah inkubasi lebih cerah dibandingkan dengan larutan tanpa inhibitor (Sugiwati 2005).

Gambar 3 Reaksi α-glukosidase dengan p- nitrofenil α-D-glukopiranosida.

H2O

Uji Fitokimia

Fitokimia atau kimia tumbuhan telah berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri, berada diantara kimia organik bahan alam dan biokimia tumbuhan, serta berkaitan erat dengan keduanya. Bidang perhatian dari fitokimia adalah keanekaragaman senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh tumbuhan, yaitu mengenai struktur kimia, biosintesis, perubahan serta metabolismenya, penyebaran secara ilmiah, dan fungsi biologisnya (Harborne 1987).

Analisis fitokimia atau uji fitokimia merupakan uji pendahuluan untuk mengetahui keberadaan senyawa kimia spesifik seperti alkaloid, senyawa fenol (termasuk flavonoid), steroid, saponin, dan triterpenoid. Uji tersebut sangat bermanfaat untuk memberikan informasi jenis senyawa kimia yang terkandung dalam tumbuhan, terutama tumbuhan obat yang digunakan. Senyawa-senyawa ini merupakan metabolit sekunder yang mungkin dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat. Senyawa metabolit sekunder sangat bervariasi jumlah dan jenisnya dari setiap tumbuh-tumbuhan, beberapa dari senyawa tersebut telah diisolasi dan sebagain diantaranya memberian efek fisiologis dan farmakologis yang lebih dikenal sebagai senyawa kimia aktif (Copriyadi 2005)

Analisis ini merupakan tahapan awal dalam isolasi senyawa bahan alam sehinga menjadi panduan bersama-sama dengan uji aktivitas biologis senyawa tersebut. Salah satu tujuan pengelompokan senyawa- senyawa aktif tersebut adalah untuk mengetahui hubungan biosintesis dan famili tumbuhan (Jenner 2005). Informasi ini sangat berguna oleh ahli sintesis kimia organik untuk memprediksi subsituen senyawa aktif tersebut sehingga dapat lebih berkhasiat. Tanaman yang diuji fitokimianya dapat berupa tanaman segar, kering, serbuk, ekstrak, maupun dalam bentuk sediaan (Harborne 1987).

Ekstraksi

Keanekaragaman flora (biodiversity) berarti pula keanekaragamn senyawa kimia

(chemodiversity) yang terkandung di

dalamnya. Hal tersebut memicu dilakukannya suatu analisis terhadap metabolit sekunder yang terkandung dalam tumbuh-tumbuhan melalui teknik

pemisahan, metode analisis, dan uji farmakologi (Simpen 2008).

Ekstraksi merupakan proses penarikan komponen atau zat aktif dari suatu campuran padatan atau cairan dengan menggunakan pelarut tertentu. Pelarut yang digunakan tidak bercampur atau hanya bercampur sebagian dengan campuran padatan atau cairan. Dengan kontak yang intensif, komponen aktif pada campuran akan berpindah ke dalam pelarut (Gamse 2002). Pemilihan pelarut merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan kesempurnaan proses ekstraksi. Pelarut yang digunakan pada proses ekstraksi harus dapat menarik komponen aktif dari campuran dalam sampel (Gamse 2002).

Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam memilih pelarut diantaranya, selektivitas, sifat pelarut dan kemampuan pelarut untuk mengekstraksi, tidak bersifat racun, mudah diuapkan, dan relatif murah (Gamse 2002). Pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi dapat menembus pori-pori bahan padat sehingga bahan yang ingin diekstrak dapat dengan mudah tertarik. Pelarut yang umum digunakan diantaranya, etil asetat, heksana, eter, benzena, toluena, etanol, isopropanol, aseton, dan air (Simpen 2008).

Metode ekstraksi dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus. Ekstraksi sederhana terdiri atas maserasi, perkolasi, reperkolasi, evakolasi, dan dialokasi. Ekstraksi khusus terbagi atas sokletasi, arus balik, dan ultrasonik (Harborne 1987). Penelitian ini menggunakan metode maserasi.

BAHAN DAN METODE

Dokumen terkait