• Tidak ada hasil yang ditemukan

Budidaya Sagu

Tanaman sagu (Metroxylon sago Rottb.) merupakan salah satu tanaman penghasil karbohidrat yang sangat potensial dalam mendukung program ke-tahanan pangan nasional (Tarigans, 2001). Pati sagu telah digunakan sejak dahulu sebagai bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia bagian ti-mur yaitu di Maluku dan Papua. Pati sagu dapat digunakan sebagai bahan baku in-dustri seperti untuk mie, roti, biskuit, sirup berkadar fluktosa tinggi, plastik ter-urai hayati, pakan ternak, perekat, bio etanol, dan produk turunan lainnya (Flach, 1997).

Luas areal sagu dunia diperkirakan sekitar 2.47 juta ha dengan luas areal sagu di Indonesia 1.4 juta ha, Papua Nugini 1.02 juta ha, dan sisanya di Malaysia, Thailand, Filipina, dan lainnya (Flach, 1997). Areal sagu di Indonesia sebagian besar merupakan tegakan alami terutama di Papua dan Maluku, sedangkan di Su-lawesi, Kalimantan, Sumatera, Kepulauan Riau dan Mentawai merupakan per-tanaman semi budidaya. Penggunaan sagu dalam sektor industri yang beragam dan bernilai ekonomi tinggi sangat mendukung program pengembangan sagu secara komersial.

Keragaman sagu di Indonesia sangat luas. Sagu digolongkan menjadi dua jenis, yaitu sagu yang hanya berbunga dan berbuah sekali dan sagu yang berbunga dan berbuah dua kali atau lebih (Haryanto dan Pangloli, 1992). Tanaman Sagu berbunga dan berbuah sekali terdiri atas sagu berduri dan tidak berduri (Bintoro, 2008). Sagu berduri antara lain M. rumphii Mart., M. microcanthum Mart., M. sil-vestre Mart., dan M. longispinum Mart. Sagu tidak berduri adalah M. sagu Rottb. Tanaman sagu yang berbunga dan berbuah dua kali atau lebih adalah M. filarae

Mart. dan M. elatum Mart.

Sagu dapat diperbanyak melalui generatif maupun vegetatif. Perbanyakan generatif mengunakan biji yang diperoleh dari pohon sagu yang sudah berumur lebih dari 8 tahun. Bibit sagu dari biji lambat dalam pertumbuhannya dan tidak

efisien. Perbanyakan vegetatif mengunakan anakan sagu atau abut banyak di-gunakan petani sagu di Indonesia.

Akumulasi pembentukan pati sagu dimulai pada 0-2 tahun setelah batang terbentuk dan nilai kandungan pati maksimum pada batang 4 tahun setelah aku-mulasi tersebut, kandungan pati tersebut akan stabil sampai tanaman memasuki fase pembentukan bunga dan akan menurun pada fase pembentukan buah sampai biji terbentuk (Yamamoto et.al, 2003).

Ekologi Sagu

Sagu dapat tumbuh pada berbagai kondisi hidrologi dari yang terendam sepanjang tahun sampai lahan yang tidak terendam (Bintoro, 2008). Sagu di wila-yah pesisir timur Provinsi Riau, sebagian besar tumbuh di atas lahan gambut. La-han gambut merupakan areal yang cocok untuk pertumbuLa-han sagu karena me-miliki pH rendah dan terdapat banyak bahan organik (Flach, 1977).

Sagu tumbuh dengan baik di daerah antara 60 LU-110 LS dan 90o-180oBT yang menerima energi cahaya matahari sepanjang tahun. Sagu dapat tumbuh pada ketinggian 0-700 m di atas permukaan laut (dpl) dengan jumlah curah hujan yang optimal bagi pertumbuhan antara 2 000-4 000 mm/tahun, yang tersebar merata se-panjang tahun. Pertumbuhan optimum sagu dicapai pada ketinggian dibawah 400 m dpl, jika ketinggian tempat lebih dari 400 m dpl pertumbuhan sagu menjadi lambat dan kadar gulanya rendah (Bintoro, 2008).

Sagu tumbuh di daerah-daerah rawa yang berair tawar atau daerah rawa yang bergambut dan di daerah-daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air, atau di hutan-hutan rawa yang kadar garamnya tidak terlalu tinggi (Haryanto dan Pangloli, 1992). Lahan gambut dengan ketebalan > 1 m termasuk lahan marginal dengan kelas kesesuaian lahan S3 (Marginal Suitable).

Kelas S3 (Marginal Suitable) merupakan lahan yang mempunyai pem- batas yang sangat berat untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus dilakukan. Pembatas akan mengurangi produktivitas dan keuntungan sehingga perlu ditingkatkan input-input yang diperlukan (Hardjowigeno, 1992). Tanaman yang cocok dibudidayakan di lahan gambut sangat sedikit dan umumnya tanaman tahunan.

Gulma di Perkebunan Sagu

Gulma merupakan tumbuh-tumbuhan yang tumbuh pada tempat yang tidak diinginkan sehingga menimbulkan kerugian bagi kehidupan manusia. Keru-gian yang ditimbulkan antara lain pengaruh persaingan (kompetisi), mengurangi ketersediaan unsur hara tanaman, dan mendorong efek alelopati (Nasution, 1986). Tumbuhan yang lebih lazim disebut sebagai gulma biasanya cenderung mem-punyai sifat-sifat atau ciri khas tertentu yang memungkinkanya untuk mudah ter-sebar luas dan mampu menimbulkan kerugian dan gangguan (Anderson, 1977).

Kerugian-kerugian akibat gulma dapat dilihat dari segi kualitas, kuantitas, dan aspek praktek pertanian. Adanya gulma dapat menurunkan kualitas karena biji gulma tersebut tercampur pada saat pengolahan tanah. Aspek kuantitas juga akan menurun, karena terjadi kompetisi dalam sarana tumbuh (hara, air, udara, ca-haya, ruang kosong) dalam jumlah terbatas, tergantung dari varietas, kesuburan, jenis, kerapatan, dan lamanya tumbuh tanaman utama. Segi praktek pertanian, mi-salnya : biaya meningkat dalam pengolahan tanah, aliran air turun karena adanya gulma, dan sebagai inang hama penyakit tanaman utama.

Gulma mempunyai daya saing yang bervariasi, tetapi ada beberapa sifat umum yang dimiliki gulma yaitu mempunyai penyebaran yang cepat, luas, per-kembangan akar ekstensif dan menghasilkan biji dalam jumlah besar serta tahan pada lingkungan yang tidak menguntungkan (Muzik, 1970). Kompetisi dalam suatu komunitas tanaman terjadi karena terbatasnya ketersediaan sarana tumbuh yang dibutuhkan oleh tanaman untuk tumbuh normal (Cardenas dan Cruz, 1973

dalam Zimdahl, 1980).

Gulma pada pertanaman sagu lebih didominansi oleh jenis paku-pakuan seperti Nephrolepis biserrata Schott, Nephrolepis acuminate dan Nephrolepis ra-dicans (Amarilis, 2009). Penebangan pohon di sekitar kebun sagu dapat mem- percepat pertumbuhan pohon sagu sebagai akibat dari perbaikan proses fotosin-tesis. Pertumbuhan sagu juga dapat dipercepat dengan menyiangi gulma sehingga dengan berkurangnya persaingan, sagu akan cepat besar (Atmawidjaja, 1992).

Efektivitas Herbisida

Herbisida adalah bahan kimia yang dapat mematikan tumbuhan atau menghambat pertumbuhan normalnya (Tjitrosoedirjo et al., 1984). Penggunaan herbisida memberikan keuntungan bagi pengusaha budidaya pertanian, misalnya sagu. Efektivitas pengendalian gulma dengan menggunakan herbisida dapat menghemat jumlah tenaga kerja, biaya, waktu, dan hasil yang lebih baik.

Jenis-jenis bahan kimia dipandang mempunyai prospek yang baik untuk mengendalikan gulma, akan tetapi efektif tidaknya suatu herbisida yang diguna- kan bergantung pada jenis dan dosis herbisida yang suatu diberikan serta besar ke-cilnya pengaruh lingkungan (Akobundu, 1987).

Paraquat adalah herbisida kontak pascatumbuh yang diaplikasikan lang-sung pada gulma yang telah tumbuh dan bersifat tidak selektif. Paraquat diper-dagangkan dengan nama Gramoxone, Paracol, Herbatop, Noxone, dan Sankuat. Herbisida paraquat digunakan untuk mengendalikan gulma yang dapat mem-berikan pengaruh kompetisi dan menghalangi serta mempersulit operasi pemeliha-raan tanaman diantara barisan (Utomo dan Roesmanto. 2005).

Glifosat adalah herbisida sistemik purna tumbuh berbentuk larutan dalam air berwarna kuning jerami, sangat efektif untuk mengendalikan alang-alang pada lahan tanpa tanaman, gulma berdaun lebar dan gulma berdaun sempit pada tanam-an belum menghasilktanam-an (TBM) maupun ttanam-anamtanam-an menghasilktanam-an (TM).

Metil metsulfuron termasuk golongan herbisida sulfonilurea, efektif terha-dap gulma berdaun lebar, semak dan pakis (Siregar et.al, 1990). Perlakuan metil metsulfuron dosis 15 g/ha berpengaruh nyata terhadap kematian gulma Steno-chlaena palustris (Tampubolon, 2010).

Pemilihan jenis herbisida dan waktu aplikasi sangat menentukan keberha-silan pengendalian gulma. Sifat herbisida yang mematikan gulma adalah gabung-an dari toksisitas dgabung-an persistensinya. Perpadugabung-an sifat toksik dgabung-an persistensi herbi-sida apabila dikelola dengan baik akan dapat membantu upaya pengendalian gul-ma dalam jangka waktu yang panjang. Aplikasi herbisida yang dikombinasikan memiliki suatu keuntungan yang lebih yakni selain dapat meningkatkan spektrum pengendalian, juga dapat menurunkan dosis herbisida (Moenandir, 1990).

METODE MAGANG

Dokumen terkait