• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Umum Habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Pada Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini merupakan lokasi yang terletak di dua desa pada dua kecamatan dan provinsi yang berbeda yaitu di Desa Ujung Padang Kecamatan Bakongan Kabupaten Aceh Selatan dan di Desa Sei Serdang Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat. Lokasi penelitian ini merupakan lokasi yang sering terjadi konflik. Hal ini dikarenakan batas kawasan dekat dengan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Sehinggs sangat memungkinkan orangutan masuk ke kawasan pemukiman dan perladangan penduduk. Informasi yang didapatkan dari OIC bahwa dari hasil survei dan penanganan langsung mitigasi konflik orangutan yang pernah dilakukan tim OIC menunjukkan kedua lokasi penelitian ini terdapat orangutan yang sudah cukup lama terfragmentasi sehingga orangutan akan sering memasuki perladangan penduduk jika kehabisan pakan dari habitat asli orangutan dan ketika pakannya habis orangutan tersebut memakan tanaman milik masyarakat bahkan pucuk daun sawit yang masih muda juga dimakan orangutan, sehingga hal tersebut menimbulkan konflik dan keresahan bagi penduduk sekitar kawasan.

Menurut BPS Kabupaten Langkat (2015) Kecamatan Batang Serangan merupakan sebagai salah satu kecamatan di Kabupaten Langkat yang berada di daerah langkat hilir letaknya diapit oleh 6 kecamatan dan 1 provinsi. Sedangkan, Kecamatan Bakongan merupakan salah satu kecamatan di Aceh Selatan yang terdiri dari 7 desa (gampong) yaitu Ujung Mangki, Kuede Bakongan, Kampung Baru, Ujung Padamg, Kampung Drien, Darul Ikhsan, Padang Beurahan.

Masing-masing setiap desa (gampong) memiliki 3 dusun. Ibukota Kecamatan Bakongan berada di desa Keude Bakongan (BPS Kabupaten Aceh Selatan, 2015).

Kondisi Fisik Lokasi Penelitian Letak dan Geografis

Kabupaten Aceh Selatan terletak antara 0202324 – 0303624 Lintang Utara dan 9605426 – 9705124 Bujur Timur, dengan ketinggian wilayah rata-rata sebesar 25 meter diatas permukaan laut (mdpl). Hingga tahun 2015 Kabupaten Aceh Selatan terdiri dari 18 kecamatan. 260 desa, 43 mukim. Pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Selatan berada di Kecamatan Tapaktuan. Batas-batas wilayah Kabupaten Aceh Selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Barat Daya, sebelah selatan berbatasan dengan Kota Subulussalam dan Kabupaten Aceh Singkil, sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia, dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tenggara. Luas Kabupaten Aceh Selatan adalah 4.0005,10 km2(BPS Kabupaten Aceh Selatan, 2015).

Kabupaten Langkat sebagai salah satu kabupaten di ujung barat Provinsi Sumatera Utara yang berbatasan langsung dengan Provinsi Aceh dibagian utara dan barat, serta berbatasan dengan Selat Malaka di bagian utara. Sedangkan, di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Karo, Kota Binjai dan Kabupaten Deli Serdang di sebelah timur. Secara geografis berada antara 0301400’’ dan 0401300’’ Lintang Utara dan antara 9705200’’ dan 9804500’’ Bujur Timur. Luas wilayah Kabupaten Langkat 6.236,29 km2 atau 8,47 persen dari total luas Provinsi Sumatera Utara (BPS Kabupaten Langkat, 2015).

Topografi

Kondisi topografi sangat bervariasi, terdiri dari dataran rendah, bergelombang, berbukit, hingga pegunungan dengan tingkat kemiringan sangat curam/terjal. Dari data yang diperoleh, kondisi topografi dengan tingkat kemiringan sangat curam/terjal mencapai 63,45%, sedangkan berupa dataran hanya sekitar 34,66% dengan kemiringan dominan adalah pada kemiringan-kemiringan 40% dengan luas 254.138,39 ha dan terkecil kemiringan-kemiringan 8-15% seluas 175,04 ha, selebihnya tersebar pada berbagai tingkat kemiringan. Dilihat dari ketinggian tempat (diatas permukaan laut) ketinggian 0-25 meter memiliki luas terbesar yaitu 152.648 ha (38,11%) dan terkecil adalah ketinggian 25-100 meter seluas 39.720 ha (9,92%) (BPS Kabupaten Aceh Selatan, 2015).

Kabupatenn Langkat dibedakan atas 3 bagian. Bagian-bagian tersebut antara lain : pesisir pantai dengan ketinggian 0-4 meter diatas permukaa n laut (mdpl), dataran rendah dengan ketinggian 0-30 meter diatas permukaan laut

(mdpl), dataran tinggi dengan ketinggian 30-1200 meter permukaan laut (mdpl) (BPS Kabupaten Langkat, 2015).

Iklim

Kondisi iklim di Aceh hampir seluruhnya tropis. Pada wilayah pesisir pantai suhu udara rata-rata 26,90C, suhu udara maksimum mencapai 32,50C dan minimum 22,90C. Kelembaban relatif daerah ini berkisar antara 7 dan persen. Antara bulan Maret sampai Agustus Aceh mengalami fase musim kemarau, kondisi ini dipengaruhi oleh massa udara benua Australia. Sementara musim hujan berlangsung antara bulan September hingga Februari yang dihasilkan dari massa udara daratan Asia dan Samudera Pasifik. Aceh memiliki curah hujan yang

bervariasi pada setiap daerah-daerah yang berada di Aceh, berkisar antara 1.500-2.500 mm per tahun (BPS Kabupaten Aceh Selatan, 2015).

Kabupaten Langkat termasuk daerah yang beriklim tropis, sehingga daerah ini memiliki 2 musim yaitu musim kemarau yang terjadi pada bulan Februari sampai dengan bulan Agustus dan musim hujan terjadi pada bulan September sampai dengan bulan Januari. Musim kemarau dan musim hujan biasanya ditandai dengan sedikit banyaknya hari hujan dan volume curah hujan pada bulan terjadinya musim (BPS Kabupaten Langkat 2015).

Tanah

Sebagian besar jenis tanah di Kabupaten Aceh Selatan adalah podzolik merah kuning seluas 161,022 ha dan yang paling sedikit adalah jenis tanah regosol hanya 5,213 ha (BPS Kabupaten Aceh Selatan, 2015). Jenis-jenis tanah yang berada di Kabupaten Langkat antara lain : sepanjang pantai pesisir dari jenis tanah Aluvial yang sesuai untuk jenis tanaman pertanian pangan, dataran rendah dengan jenis tanah glei humus rendah, hidromofil kelabu dan plarosal, dataran tinggi jenis tanah podsolid berwarna merah kuning (BPS Kabupaten Langkat, 2015).

Sosial Ekonomi

Kecamatan Bakongan yang berada di Kabupaten Aceh Selatan memiliki luas wilayah sebesar 27.415 ha, dan memiliki 7 desa (gampong). Luas masing-masing kampung menurut penggunaan lahan pada tahun 2013 berupa lahan sawah seluas 290,00 ha, ladang seluas 675,00 ha, perkebunan seluas 445,00 ha, bangunan seluas 142,00 ha, lainnya seluas 6.281,00 ha, dan luas seluruh 7 kampung seluas 7.833,00 ha. Kepadatan penduduk dan jumlah rumah tangga pada tahun 2014 jumlah penduduk sebanyak 5.601 jiwa, kepadatan penduduk 68

jiwa/km, jumlah rumah tangga 1.362 jiwa yang terdiri atas 2.751 jiwa laki-laki dan 2.850 jiwa perempuan. Dari jumlah penduduk yang ada sebagian besar penduduk bekerja sebagai petani sebanyak 266 jiwa, nelayan sebanyak 540 jiwa, pedagang sebanyak 187 jiwa, bidang indusri RT sebanyak 11 jiwa, PNS sebanyak 187 jiwa, dan buruh/pegawai swasta sebanyak 171 jiwa. Adapun jumlah bangunan sekolah pada tahun 2014 di Kecamatan Bakongan yaitu SD ada 5, SMP ada 1, MTs ada 1, SMA ada 1, dan MAN ada 1 (BPS Kabupaten Aceh Selatan, 2015).

Kecamatan Batang Serangan yang terletak di Kabupaten Langkat memiliki luas wilayah 89.938 ha dan memiliki 8 desa/kelurahan. Luas lahan pertanian terbagi atas luas sawah sebesar 118 ha, dan luas bukan sawah sebesar 88.552 ha. Luas lahan non pertanian sebesar 1.298 ha. Jumlah Penduduk di kecamatan ini sebanyak 36.375 jiwa, yang terdiri atas 18.561 jiwa laki-laki dan 17.814 jiwa perempuan. Adapun jumlah rumah tangga sebanyak 8.953 kepala keluarga di antaranya bekerja pada bidang pertanian, industri/kerajinan, PNS dan ABRI, Pedagang dan Buruh. Terdapat 21 sekolah berstatus negeri, dan 12 sekolah berstatus swasta. Dilihat dari jumlah penduduk yang bekerja dan memiliki penghasilan sesuai pekerjaannya Kecamatan Batang serangan dapat dikategorikan masyarakat yang berpenghasilan rendah dan masih tergolong miskin dilihat dari angka penduduk keluarga sejahtera (BPS Kabupaten Langkat, 2015).

Taman Nasional Gunung Leuser

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) terletak di Provinsi Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam. Area seluas 1.094.692 ha ini ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai taman nasional pada tahun 1980. Nama TNGL diambil dari Gunung Leuser yang membentang dikawasan tersebut dengan

ketinggian mencapai 3.404 meter (m) diatas permukaan laut (dpl). Bersama dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan Taman Nasional Kerinci Sebiat, TNGL ditetapkan UNESCO pada tahun 2004 sebagai situs warisan dunia,

Tropical Rainforest Heritage of Sumatera pada tahun 2004. Sebelumnya, TNGL

juga telah ditetapkan UNESCO sebagai Cagar Biosfer pada tahun 1981, dan ASEAN Heritage Park pada tahun 1984. TNGL berada di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang luasnya mencapai 2.6 juta ha dan dianggap sebagai rumah terakhir bagi orangutan Sumatera yang sangat terancam punah. KEL merupakan habitat yang kompleks dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, namun sekaligus rentan (OIC, 2009).

Kawasan TNGL Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI Besitang yang luasnya ± 126.000 ha berada di wilayah Kabupaten Langkat terletak di Kecamatan Besitang, Sei Lepan, dan Batang Serangan dan sebagian di Kabupaten Aceh Tamiang. Untuk pemangkuan wilayah kerja dibagi dalam 6 (enam) Resort, yaitu Resort Trenggulun, Sei Betung, Sekoci, Sei Lepan, Cinta Raja, dan Tangkahan. Pengelolaan kawasan TNGL di SPTN VI Besitang menghadapi permasalahan yang sangat kompleks bermuara pada terjadinya kerusakan kawasan TNGL. Untuk data luas kerusakan kawasan TNGL di wilayah Kabupaten Langkat sendiri menurut hasil penafsiran Citra Landsat tahun 2002 menunjukkan kerusakan seluas 43.623 ha termasuk kawasan bukan berupa hutan seluas 20.688 ha. Sedangkan menurut pantauan Yayasan Leuser Internasional (YLI) menunjukkan kerusakan seluas 22.000 ha, tanpa menyebutkan luas kawasan tak berhutan. Penyelesaian secara menyeluruh terhadap permasalahan kerusakan kawasan TNGL menjadi agenda utama dari pengelolaan kawasan oleh Balai

TNGL bekerja sama dengan semua pihak terkait dan pelibatan masyarakat (OIC, 2015).

Seperempat abad sejak Leuser ditunjuk sebagai Taman Nasional, telah banyak terjadi perubahan-perubahan geopolitik dan tata guna lahan akibat intervensi pembangunan diseluruh kabupaten sekitar Leuser. Di wilayah Sumatera Utara Leuser dikepung oleh perkebunan kelapa sawit. Peningkatan luas perkebunan sawit tersebut cukup signifikan. Pada tahun 1992, luas perkebunan sawit rakyat, swasta dan milik pemerintah tersebut 513.101 ha dan meningkat pada tahun 1998 menjadi seluas 697.553 ha, dengan demikian peningkatannya rata-rata 30.742 ha pertahun (Balai TNGL, 2006).

Orangutan Sumatera (Pongo abelii)

Menurut Groves (1972) klasifikasi dari Orangutan Sumatera adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Kelas : Mamalia Ordo : Primata Famili : Pongoidea Genus : Pongo

Morfologi

Ciri fisik famili Pongoidea adalah lengannya 200% dari panjang tubuh, kaki pendek hanya 116% dari panjang tubuh. Jari telunjuk lebih kecil daripada ibu jari. Ukuran rata-rata kepala dan tubuh jantan 956 mm serta betina 776 mm. Tinggi saat berdiri tegak adalah 1.366 mm pada jantan dan 1.149 mm pada betina. Berat badan rata-rata adalah 75 kg pada jantan dan 37 kg pada betina (Maple, 1980).

Menurut Supriatna dan Edy (2000), jika dibandingkan dengan orangutan di Kalimantan, rambut Orangutan Sumatera lebih terang yaitu berwarna coklat kekuningan serta lebih tebal dan panjang. Berat badan rata-rata Orangutan jantan di alam yaitu berkisar antara 50-90 kg. Orangutan jantan memiliki kantung suara untuk mengeluarkan suara yang berupa seruan panjang.

Habitat

Orangutan di Sumatera hidup di dalam hutan yang daunnya lebih rindang daripada Orangutan yang hidup di hutan Kalimantan (van Schaik, 2004). Orangutan mampu beradaptasi pada berbagai tipe hutan primer, mulai dari hutan rawa, hutan dataran rendah/hutan Dipterocarpaceae sampai pada tipe hutan pegunungan dengan batas ketinggian 1.800 m dpl. Namun ada pendapat lain yang menyatakan bahwa Orangutan Sumatera hidup di dataran rendah aluvial (lowland

aluvial plains), daerah rawa dan daerah lereng perbukitan. Kepadatan Orangutan

yang ada di daerah pada ketinggian 1.000 sampai 1.200 m dpl terus menurun (Singleton et. al., 2004).

Orangutan dapat hidup pada berbagai tipe hutan, yaitu hutan dataran rendah, perbukitan, hutan rawa air tawar, rawa gambut, tanah kering diatas rawa,

bakau dan nipah, serta pada hutan pegunungan. Hoeve (1996) menyatakan bahwa habitat Orangutan Sumatera dilaporkan dapat mencapai hutan pegunungan pada ketinggian 1.000 mdpl.

Hutan hujan tropis di Sumatera memiliki sejarah, iklim dan ekologi yang unik. Kekayaan spesies tertinggi adalah di hutan dataran rendah Dipterocarpaceae yang memang didominasi oleh pohon-pohon dari keluarga Dipterocarpaceae (Ashton, dkk, 1998 dalam Pujiyani, 2009). Pohon-pohon Dipterocarpaceae menyediakan buah yang secara bersamaan pada setiap dua atau lima tahun sekali. Hal tersebut mengakibatkan pada masa tertentu buah tersedia sangat banyak namun pada waktu yang lainnya buah tersebut sama sekali tidak tersedia. Hal yang berbeda terjadi pada hutan gambut Sumatera yang memiliki sedikit jenis tumbuhan endemik namun memiliki kepadatan yang tinggi, sehingga buah akan tersedia setiap tahun. Orangutan berperan penting dalam ekosistem, baik pada hutan dataran rendah Dipterocarpaceae ataupun di hutan gambut. Kebiasaan orangutan dalam makan dan pola pergerakannya menyebabkan orangutan

merupakan penyebar biji/benih tumbuhan hutan yang sangat baik (Nellemann et. al.,2007).

Hasil survei Singleton dan Wich (2011) melaporkan bahwa di sepanjang transek blok timur dan blok barat TNGL, termasuk di areal dengan ketinggian sekitar 1.500 mdpl ditemukan sarang orangutan. Hal ini menunjukkan pada areal TNGL yang lebih tinggi, kehadiran Orangutan Sumatera lebih sering dibandingkan dengan laporan survei sebelumnya. Selain itu, daerah yang sudah ditebangi, ketika survey menunjukkan kecenderungan memiliki kepadatan populasi orangutan yang rendah dibandingkan daerah areal hutan primer, tapi

populasinya masih mendukung baik dari segi kelayakan kepadatan populasi maupun dari jumlah keseluruhan orangutannya.

Syukur (2000) menyatakan bahwa kepadatan orangutan dipengaruhi oleh ketinggian wilayah yang menjadi habitat orangutan, tipe hutan dan tingkat gangguan atau ancaman. Kepadatan orangutan semakin menurun dengan meningkatnya ketinggian suatu tempat. Rata-rata kepadatan orangutan untuk setiap tipe hutan adalah sebagai berikut : 5 indvidu/km2 pada hutan rawa (ketinggian sekitar 30 mdpl), 2,5 individu/km2 pada ketinggian ˂ 500 mdpl, 1,85

individu/km2 pada ketinggian 500-1000 mdpl dan akan jarang atau sama sekali tidak ditemukan pada ketinggian ˃ 1.800 mdpl.

Perilaku

Kera besar memiliki otak yang lebih besar daripada primata lain. Pada umumnya kera besar lebih banyak yang hidup secara terestrial namun pada Orangutan hidupnya arboreal (Rowe, 1996). Kehidupan Orangutan dihabiskan diatas pohon dan jarang sekali turun ke lantai hutan, kecuali untuk memakan rayap. Orangutan berpindah dengan menggunakan keempat anggota tubuhnya, berpindah dari cabang ke cabang lain. Daerah jelajah Orangutan adalah berkisar antara 2-10 km dengan luas wilayah jelajah hariannya berkisar antara 800-1200 m2 (Supriatna & Edy, 2000). Rijksen (1978) menyatakan bahwa ada 13 vokalisasi Orangutan sedangkan Nowak (1999) vokalisasi Orangutan terdiri dari 15 suara. Orangutan relatif lebih pendiam dibandingkan dengan primata besar lainnya. Suara yang paling banyak tercatat adalah berupa panggilan panjang (long call) dari jantan dewasa yang mungkin terdengar dari jarak lebih dari 1 km, hal ini

mungkin merupakan mekanisme dalam mengatur jarak bagi antar individunya (Pujiyani, 2009).

Pada saat melakukan aktifitas orangutan dipengaruhi oleh faktor musim berbuah dan cuaca. MacKinnon (1974) telah menjumpai saat buah sedang sulit didapat di hutan, Orangutan akan menghabiskan waktu menjelajah lebih banyak daripada waktu untuk makan. Demikian pula saat hari sedang kering (panas) orangutan akan lebih banyak beristirahat pada siang hari. Pembagian penggunaan waktu oleh orangutan adalah pada pagi hari digunakan untuk makan, siang hari untuk menjelajah dengan diselingi waktu istirahat siang. Orangutan akan mulai istirahat malam antara pukul 15.00-18.00 dengan aktivitas malam hari yang sangat sedikit. Persentase aktivitas harian orangutan menurut Rijksen (1978) adalah 47 % untuk makan, 40% untuk istirahat, 12 % untuk menjelajah dan sisa waktunya untuk aktivitas sosial.

Penggunaan ruang bagi aktivitas orangutan yaitu pada lapisan antara 15-25 m diatas permukaan tanah hampir 70% dari waktu aktivitas hariannya, Orangutan menggunakan 20% waktu aktivitas hariannya pada lapisan lebih dari 25 m dan pada lapisan dibawah 15 m Orangutan hanya menggunakan kurang dari 10% waktu aktivitas hariannya. Orangutan biasanya selalu membuat sarang tidur di tepi sungai pada ketinggian 20-40 m diatas tanah (Pardede, 2000 dalam Ginting, 2006). Populasi Orangutan Sumatera sebagian besar sebarannya terbatas pada hutan hujan dataran rendah, sebagian besar Orangutan Sumatera berada di daerah yang memiliki ketinggian di bawah 500 m dpl dan jarang menjelajah ke tempat yang lebih tinggi dari 1.500 m dpl (Rijksen dan Meijaard, 1999).

Orangutan Sumatera sangat bervariasi dalam pemilihan jenis makanan. Secara alami orangutan adalah pemakan buah, tetapi juga memakan berbagai jenis makanan lain seperti daun, tunas, bunga, epifit, liana, zat pati kayu, dan kulit kayu. Sebagai sumber protein orangutan juga mengkonsumsi serangga dan telur burung (Supriatna dan Edy, 2000). Orangutan memiliki kebiasaan mencoba memakan segala sesuatu yang ia temui untuk dirasakan dan kemudian menentukan benda tersebut dapat dijadikan makanan atau tidak. Persentase jenis makanan orangutan adalah 53,8% berupa buah, 29% berupa daun, 14,2% kulit kayu, 2,2% bunga, dan 0,8% adalah serangga (Maple, 1980).

Fragmentasi Habitat

Fragmentasi habitat adalah pengurangan luas atau terbaginya habitat menjadi areal-areal yang sempit (MENLH, 2008). Salah satunya kondisi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) yang berada di ladang masyarakat. Satwaliar memiliki pola pergerakan tertentu dalam usaha individu maupun populasi untuk mendapatan sumber daya yang diperlukan agar dapat bertahan hidup dan berkembang biak (Alikodra, 2002).

Menurut (Elisa, 2000) Dampak fragmentasi pada satwaliar, khususnya spesies adalah : pengurangan jumlah individu, pengurangan ukuran populasi karena individu terbatas fragmen kecil, isolasi spasial populasi sisa. Sedangkan dampak genetik dari fragmentasi adalah kehilangan diversitas genetik, perubahan dalam struktur antarpopulasi, peningkatan kawin kerabat (inbreeding). Fragmentasi menyebabkan kepunahan spesies didalam populasi lokal. Oleh karena itu usaha untuk menjaga atau memulihkan spesies pada batang alam

atau meningkatkan kesempatan untuk rekolonisasi dengan peningkatan dan perluasan habitat populasi lokal.

Faktor Penyebab Konflik Manusia dengan Orangutan

Konflik antara manusia dan satwa liar adalah fenomena yang umum. Konflik antara manusia dan kera besar (Human-Great Apes Conflict) yang kemudian disingkat HGAC adalah salah satu bagian dari konflik antara manusia dan satwa liar. Secara luas dapat didefinisikan sebagai segala interaksi antara manusia dan kera besar yang mengakibatkan pengaruh negatif pada kondisi sosial, ekonomi atau budaya manusia, serta kondisi sosial, ekologi atau budaya kera besar atau konservasi kera besar dan lingkungannya.

HGAC sering kali melibatkan konflik diantara masyarakat yang memiliki sasaran, persepsi dan tingkat penguasaan yang berbeda. Saat ini kerusakan dan fragmentasi habitat di Afrika dan Asia Tenggara telah berada pada kondisi yang memprihatinkan, sehingga meningkatkan jumlah populasi kera besar yang terdesak mendekati pemukiman manusia. Sumber gangguan terhadap hutan disebabkan oleh berbagai macam hal, namun kebanyakan ditimbulkan oleh pertanian tanaman subsistem dan pertanian komersial berskala kecil maupun besar, perkebunan dan industri ekstraktif seperti industri pembalakan kayu dan

pertambangan, yang secara sigifikan mengancam hutan tropis (Collishaw dan Dunbar, 2000).

Konflik antara kera besar dan manusia dilatar belakangi oleh banyak hal dan sangat bervariasi disetiap lokasinya. Konflik yang secara langsung ditimbulkan oleh perilaku manusia meliputi: perusakan dan pencemaran sumber daya alam, konversi habitat untuk pertanian, kompetisi sumber daya alam

(misalnya: pohon buah-buahan dan air), penularan penyakit secara kebetulan (misalnya: dari feses, sisa makanan maupun makanan yang dicuri dari manusia), pencederaan ataupun pembunuhan kera besar dengan jerat dan perangkap (Hockings dan Humle, 2010).

Prinsip Dasar Penanganan Konflik Orangutan dengan Masyarakat

Sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.48/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Antara Manusia dan Satwa Liar, prinsip-prinsip dasar yang digunakan dalam kegiatan ini adalah :

1. Manusia dan orangutan merupakan bagian kepentingan manusia

Konflik manusia dan orangutan menempatkan kedua pihak pada situasi yang dirugikan. Dalam memilih solusi alternatif konflik yang akan diterapkan, pertimbangan langkah untuk mengurangi resiko kerugian yang diderita oleh manusia, secara bersamaan harus didasari pertimbangan terbaik untuk kelestarian orangutan yang terlibat konflik. Prinsip ini terutama digunakan pada saat proses evakuasi orangutan dari pihak perkebunan masyarakat. Satu sisi, kerugian dari pihak masyarakat menganggap orangutan sebagai hama perkebunan dari sisi lain kerugian dari pihak orangutan adalah terbatasnya ruang gerak bahkan sampai dengan ancaman terhadap hidup orangutan apabila orangutan diburu oleh masyarakat. Sehingga proses evakuasi merupakan solusi yang dapat mengurangi resiko kerugian terhadap kedua pihak.

2. Site specific

Secara umum konflik muncul antara lain karena ruskan atau menyempitnya habitat orangutan yang disebabkan aktivitas manusia atau bencana alam. Aktivitas manusia dapat berupa pembangunan di sekitar atau di dalam

kawasan hutan atau kegiatan yang bersifat illegal atau tanpa ijin. Karakteristik habitat, kondisi populasi orangutan, dan faktor ekologi lain menuntut intensitas dan solusi penanganan konflik bervariasi di masing-masing wilayah. Kombinasi solusi untuk masing-masing wilayah konflik sangat mungkin terjadi. Solusi yang efektif disuatu lokasi, belum tentu dapat diterapkan pada situasi konflik di daerah lain, demikian pula sebaliknya. Prinsip ini digunakan dalam pertimbangan penentuan lokasi reintroduksi dan pelepasliaran. Penilaian terhadap habitat asal serta potensi habitat pada lokasi reintroduksi dilakukan untuk penetapan lokasi pelepasliaran (dikembalikan ke habitat asal atau harus dipindahkan ke lokasi lain yang berpotensi sebagai habitat orangutan).

3. Tidak ada solusi tunggal

Konflik manusia – orangutan dan tindakan penanggulangannya merupakan sesuatu yang kompleks karena menuntut rangkaian kombinasi berbagai solusi potensial yang tergabung dalam sebuah proses penanggulangan konflik yang menyeluruh. Prinsip ini diterapkan pada saat penentuan mekanisme penanggulangan konflik. Beberapa solusi diusulkan dalam pertemuan teknis dan dibahas tentang kelebihan dan kekurangan dari masing-masing solusi, kemudian ditetapkan satu kombinasi solusi penanggulangan konflik yang efektif dan efisien. 4. Skala habitat

Upaya menanggulangan konflik yang komperhensif harus berdasarkan

penilaian yang menyeluruh dari keseluruhan daerah jelajahnya

(home range based mitigation). Untuk kasus penanggulangan konflik orangutan

dengan manusia, prinsip ini digunakan dalam penilaian calon lokasi introduksi orangutan. Penilaian terhadap komponen habitat dilakukan secara menyeluruh,

diantaranya kondisi cuaca, ketersediaan pakan, ketersediaan tempat bersarang, ancaman predator, resiko gangguan dari aktivitas manusia serta kapasitas populasi orangutan pada potensi habitat

5. Tanggungjawab multi pihak

Selain sebagai sebuah isu konservasi, konflik juga mempengaruhi dan memiliki dampak solusi dan ekonomi didaerah konflik. Sehingga penanggulangan konflik manusia – orangutan harus melibatkan sebagai pihak yang terkait. Prinsip ini digunakan dalam penentuan personil yang terlibat dalam kegiatan penanggulangan konflik. Para personil yang terlibat dalam kegiatan ini adalah Petugas Balai Besar TNGL, dokter hewan dari YEL-Program Konservasi Orangutan Sumatera, Pemerhati orangutan dari Yayasan Orangutan Sumatera Lestari – Orangutan Information Centre (YOSL – OIC) serta masyarakat sekitar

Dokumen terkait