• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Mitigasi Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berbasis Sistem Informasi Geografis di Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Mitigasi Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berbasis Sistem Informasi Geografis di Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian No. Responden : :

Kuisioner Penelitian

Dengan Hormat,

Saya yang bernama : Juang Abdul Halim Siregar, mahasiswa tingkat akhir Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Menyatakan sedang melaksanakan penelitian dalam rangka untuk menyelesaikan tugas akhir/skripsi. Dengan judul : Studi Sistem Informasi Geografis Bagi Penilaian Mitigasi Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser.

Kuisioner ini merupakan alat pengumpul data yang diperlukan untuk melengkapi penulisan skripsi yang saya kerjakan. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati saya memohon kesediaan Saudara/i untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada pada kuisioner ini dengan jelas dan lengkap. Demikianlah atas kesediaan saudara/i saya ucapkan terima kasih.

Hormat Peneliti

(2)

A. Informasi Pribadi Responden Lama tinggal di desa ini:

Penghasilan perbulan :

B. Informasi Orangutan

1. Apakah saudara mengenal orangutan? a.Ya b. Tidak

2. Apakah orangutan mengganggu tanaman pada kebun/ladang saudara? a.Ya b. Tidak

3. Menurut saudara tanaman apa yang sering diganggu/dimakan orangutan? a.Karet b. Sawit c. Durian d. Nangka e. Pinang f. Pisang g. Lain-lain……….

4. Pada bulan berapa menurut saudara gangguan orangutan sering terjadi? a. Jan-Mar b. Apr-Jun c. Jul-Sep d. Okt-Des e. Tidak Tentu 5. Menurut saudara, mengapa pada bulan tersebut sering terjadi gangguan? a. Tidak ada makanan di hutan

b. Tanaman sedang berbuah di ladang c. Tidak tahu

d. Lain-lain……….. 6. Menurut yang saudara ketahui biasanya berapa jumlah orangutan yang masuk

ke ladang/kebun ketika panen?

(3)

a. Ya b. Tidak

8. Kepada siapa saudara melaporkan kejadian tersebut?

a. Kepala Desa b. Dep.Kehutanan c. LSM d. lainnya………. 9. Menurut saudara, apakah orangutan dilindungi oleh Undang-undang?

a. Ya b. Tidak

10. Menurut saudara, siapakah pihak yang bertanggung jawab atas masalah ini? a. Masyarakat b. Kehutanan c. Kepala Desa d. LSM e. lainnya…….. 11. Menurut saudara, apakah pihak kehutanan peduli dengan masalah ini?

a. Ya b. Tidak

C. Informasi Kerugian Ekonomi Masyarakat

12. Jenis tanaman hutan yang dirusak dan jumlah kerugiannya

Nama Tanaman Jumlah Pohon Jumlah Buah Kerugian (Rp)

13. Jenis tanaman pertanian yang dirusak dan jumlah kerugiannya

(4)

14. Rinician biaya pengeluaran dari awal menanam sampai panen pada jenis tanaman yang dirusak

Jenis Tanaman Jenis Biaya Perawatan Jumlah Biaya Perawatan (Rp)

15. Apakah masih ada keuntungan yang saudara dapatkan setelah orangutan tersebut masuk ke kebun/ladang dan merusak tanaman saudara?

a. Ya b. Tidak

16. Jika Ya, berapa keuntungan yang masih saudara dapatkan dari kejadian itu? Jawaban : ……….. 17. Berapa penghasilan yang biasa saudara dapatkan jika tidak ada orangutan

yang masuk ke kebun/ladang saudara setiap panennya?

Jawaban : ……….. 18. Berapa penghasilan yang biasa saudara dapatkan jika orangutan tersebut

masuk ke kebun/ladang saudara setiap panennya?

Jawaban : ………... 19. Berapa biaya yang saudara keluarkan untuk mengusir orangutan yang masuk

dan merusak kebun/ladang saudara?

Jawaban : ………... 20. Apakah ada waktu-waktu tertentu dalam setiap tahunnya terjadi kerusakan

tanaman yang lebih parah? a. Ya b. Tidak

21. Apakah keruskan tanaman yang di kebun/ladang saudara alami hanya berasal dari orangutan, atau ada satwa lain?

(5)

22. Pada waktu bulan berapa saudara panen?

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

23. Apakah pada waktu panen di saat itu pula orangutan masuk dan merusak kebun/ladang saudara?

a. Ya b. Tidak

D. Informasi Metode Pencegahan

24. Bagaimana tanggapan saudara tentang masuknya orangutan ke kebun/ladang saudara?

Jawaban:………. ……… 25. Menurut saudara apa faktor penyebab konflik orangutan di tempat ini?

Jawaba:………... ……… 26. Metode/cara apa yang saudara gunakan untuk melindungi tanaman dari kerusakan yang dilakukan orangutan di kebun/ladang saudara?

Jawaban:………. ……… 27. Apa yang saudara lakukan ketika orangutan berada di kebun/ladang saudara? a. Membiarkan b. Menangkap c. Mengusir d. Menembak e. lain-lain ……… 28. Jika saudara melihat orangutan di kebun/ladang tetangga saudara apa yang saudara lakukan?

a. Membiarkan b. Menangkap c. Mengusir d. Menembak e. lain-lain ……… 29. Jika saudara melihat orangutan di desa/dusun, apa yang anda lakukan orangutan tersebut?

a. Membiarkan b. Menangkap c. Mengusir d. Menembak e. lain-lain ……… 30. Menurut pendapat saudara solusi apakah yang baik untuk mengurangi perusakan tanaman yang dilakukan orangutan di daerah ini?

(6)

d. Tidak melakukan apa-apa e. Menanam tanaman di daerah penyangga

f. Lain-lain……….. 31. Berapa baiaya yang saudara keluarkan dari kegiatan yang dilakukan saat mengusir orangutan dari kebun/ladang saudara?

E. Informasi Penanggulangan Oleh Pihak Pemerintah dan LSM

32. Apakah sudah ada penanggulangan dari petugas kehutanan atau LSM terhadap permasalahan konflik orangutan dengan masyarakat? Bagaiamana tindakan penanggulannya?

Jawaban:………..………... ……… 33. Menurut saudara apakah pihak pemerintah dan LSM peduli dengan masalah yang saudara hadapi terhadap konflik orangutan yang saudara rasakan?

Jawaban:………. 34. Jika ya, apakah pihak pemerintah atau LSM pernah melakukan sosialisasi/penyuluhan mengenai orangutan?

Jawaban:………. 35. Jika tidak, mengapa?

(7)

36. Lembaga apa saja yang pernah masuk ke desa ini untuk membantu menanggulangi konflik orangutan?

Jawaban:………. 37. Bentuk mitigasi apa yang ditawarkan pihak LSM kepada masyarakat terkait konflik orangutan tersebut?

Jawaban:………. ……… 38. Apakah ada ganti rugi yang diberikan oleh pemerintah atau LSM kepada masyarakat yang kebun/ladangnya mengalami kerusakan?

Jawaban:………. 39. Menurut saudara apa yang harus dilakukan pihak pemerintah dalam menangani masalah konflik orangutan dengan masyrakat, apakah sudah efektif? Jika belum efektif megapa menurut saudara?

(8)

Lampiran 2. Data Responden Desa Ujuang Padang, Kec. Bakongan, Kab. Aceh Selatan

No Nama Alamat Usia Jenis

Kelamin Agama Suku

Pend.

Terakhir Pekerjaan Status Kependudukan

(9)

Data Responden Desa Se Serdang, Kec. Batang Serangan, Kab. Langkat

No Nama Alamat Usia Jenis

Kelamin Agama Suku

Pend.

Terakhir Pekerjaan Status Kependudukan

Penghasilan 18 Suprayitno Dusun I Namu Unggas 39 tahun Laki-laki Islam Jawa SMA Petani Pendatang menetap Rp. 1.500.000 19 Untung Dusun I Namu Unggas 51 tahun Laki-laki Islam Jawa SD Petani Penduduk asli Rp. 2.000.000 20 Edi Wijaya Dusun I Namu Unggas 34 tahun Laki-laki Islam Jawa SMP Petani Penduduk asli Rp. 500.000 21 Safan Dusun I Namu Unggas 43 tahun Laki-laki Islam jawa SMP Petani Penduduk asli Rp. 2.000.000 22 Dariani Batang Serangan 42 tahun Perempuan Islam Jawa SMA Petani Penduduk asli Rp. 2.500.000

(10)

Lampiran 3. Perhitungan Kerugian Kedua Desa No Responden 01. Nama : Mayaki

Jenis Tanaman : Sawit

1 batang sawit rata-rata menghasilkan 80 kg

1 Ha rata-rata menghasilkan 1,3 ton (15 batang sawit) Diketahui,

n = 4 batang a = 30 batang

b = diperoleh dari a x 80 kg = 30 batang x 80 kg = 2400 kg = 2,4 ton c = a – n

= 30 batang – 4 batang = 26 batang = 26 batang x 80 kg

= 2080 kg = 2,08 ton d = Rp. 1500/kg Ditanya?

Kerugian 1 Sawit (K1S)…??? Penyelesaian

K1S = (b – c) d

= (2400 kg – 2080 kg) Rp.1500 = (320 kg) Rp.1500

= Rp.480.000,-

(11)

Jenis Tanaman : Pisang

1 batang tanaman pisang menghasilkan 1 tandan buah yang memiliki isi 12 sisir Diketahui,

n = 40 batang a = 50 batang

b = 50 batang x 12 sisir = 600 sisir

c = a – n

= 50 batang – 40 batang = 10 batang x 12 sisir = 120 sisir

d = Rp. 5000/sisir Ditanya ?

Kerugian 1 Pisang (K1P)…??? Penyelesaian

K1P = (b – c) d

= (600 sisir – 120 sisir) Rp.5000 = (480 sisir) Rp.5000

= Rp.2.400.000,-

(12)

No Responden 07. Nama : Jasmanidar Jenis Tanaman : Jagung

Dalam 1 batang jagung diperkirakan dapat menghasilkan ½ kg jagung. n = 1000 batang

a = 70.000 batang

b = 70.000 batang x ½ kg = 35.000 kg = 35 ton c = a – n

= 70.000 batang – 1000 batang = 69.000 batang x ½ kg

= 34.500 kg = 34.5 ton d = Rp. 3200/kg

Ditanya ?

Kerugian 1 Jagung (K1J)…??? Penyelesaian

K1J = (b – c) d

= (35.000 kg – 34.500 kg) Rp.3200 = (500 kg) Rp.3200

= Rp.1.600.000,-

(13)

No Responden 01. Nama : Supaman

(14)

Perhitungan Total Kerugian Ekonomi Desa Ujung Padang Rata – rata Rp. 5.520.000/KK/tahun

(Hal ini diperoleh dari perhitungan Ms.Excel

Kerugian Total Desa = Rata-rata Kerugian x ∑ Kepala Keluarga Konflik = Rp. 5.520.000 x 25 KK

= Rp. 138.000.000,-/tahun/desa

Jadi, Total Kerugian Desa Ujung Padang yang diperoleh sebesar Rp. 138.000.000,-/tahun/desa.

Perhitungan Total Kerugian Ekonomi Desa Sei Serdang Rata – rata Rp. 13.972.143/KK/tahun

(Hal ini diperoleh dari perhitungan Ms.Excel) Induksi Perhitungan Total Kerugian 1 desa

Kerugian Total Desa = Rata-rata Kerugian x ∑ Kepala Keluarga Konflik = Rp. 13.972.143 x 120 KK

= Rp. 1.676.657.160,-/tahun/desa

(15)

Lampiran 4. Gambar Kondisi Tutupan Lahan di Lapangan No Kelas Tutupan Lahan Gambar di Lapangan

1. Hutan

2. Kebun Sawit

(16)

4. Pemukiman

5. Semak

(17)

DAFTAR PUSTAKA

Alam, S. dkk. 2009. Ekonomi Sumber Daya Hutan. Buku Ajar Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Tamlanrea.

Alikodra, H, S. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Jilid I. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan. Bogor.

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta.

Badan Pusat Statistik, Kabupaten Langkat. 2015. Kabupaten Langkat dalam Angka 2015. BPS Kabupaten Langkat. Stabat.

Badan Pusat Statistik, Kabupaten Aceh Selatan. 2015. Kabupaten Aceh Selatan dalam Angka 2015. BPS Kabupaten Aceh Selatan. Tapaktuan.

Bafdal, N. 2011 dalam Kirom, M. 2014. Sistem Informasi Geografis Pemetaan Suara Pemilu Kada Berbasis Open Source di Kabupaten Jombang. Jurnal Ilmiah Edutic Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum. Jombang.

Bahruni. 1999. dalam Latifah, S. 2004. Penilaian Ekonomi Hasil Hutan Non Kayu. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan.

Batubara F, R Hasibuan. 2000. Sistem Informasi Geografi (Geographic

Information System-GIS). Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknik,

Universitas Sumatera Utara. http://library.usu.ac.id/download/ft/kimia-fatimah.htm.

Byamukama, J. dan Asuma, S. 2006. Human-Gorilla conflict resolution

(HuGo)-the Uganda experience. Gorilla Journal 32: 10-12.

Campbell-Smith, G, A. 2007. Bittersweet knowledge: Can people and orangutans live in harmony? Unpublished Raport to the Great Apes Conservation

Find, US Fish and Wildlife Service, Arlington. Virginia.

Chalise, M. K. 2001. Croop-raiding by wildlife, especially primates, and indigenous practices for crop protection in Lakwuna area, east Nepal. Asian Primates 7: 4-9.

(18)

Elisa, 2000. Aspek Ekologi dan Biodiversitas. Dari [25 September 2015] [21.00 WIB].

FORINA. 2014. Panduan Mitigasi Konflik Manusia Orangutan. Forum Orangutan Indonesia. Bogor.

Fortune, M. 2004. Implementation of Mauritius thom ‘live hedge’ as a tool to mitigate primate-human cinflicts around Bwindi Impernetrable National Park. Report to the Conservation and Rearch Small Grants project, Cleveland Metroparks Zoo/Cleveland Zoological Society, Cleveland, Ohio.

Groves, C. 2001. Primate Taxonomy. Smithsonian Institution Press. Washington. Hill, C, M. 2005. People, crops and primates: a conflict of intersts. In: J.D.

Peterson and J.Wallis (eds.), Commensalism and Conflict, pp.40-59. American Society of Primatologists, noman, Oklahoma.

Hockings, K. dan Humle T. 2010. Panduan Pencegahan dan Mitigasi Konflik Antara Manusia dan Kera Besar. IUCN. Gland.

Ismail. 2015. Laporan Akhir Program Pride Campaign Tahun 2008-2010 Taman Nasional Gunung Leuser Wilayah Besitang, Sumatera Utara Indonesia. YOSL-OIC. Medan.

Machal, V. 2005. “Primate crop-raiding: A study of local perception in four

villages in North Sumatera, Indonesia”. MSc thesis, Oxford Brookes

University. Oxford.

Maple, T.L. 1980.Orangutan Behaviour.Van Nostrad Reinhold Company. New York.

Menteri Lingkungan Hidup. 2008. Pedoman Umum Penyusunan Status Lingkungan Hidup Provinsi dan Kabupaten/Kota. Diakses dari

Nowak RM. 1999. Primates of The World. The John Hopkins University Press. Baltimore.

Nuwarsa, I. W. 2004. Mengolah Data Spasial dengan Map Info Profesional. Andi. Yogyakarta.

OIC. 2009. Buku Saku Menuju Taman Nasional Gunung Leuser. Diakses dari : [www.orangutansumaters.org] [25 Desember 2015].

(19)

Batang Toru, Khususnya Kawasan Koridor Orangutan Batang Toru Provinsi Sumatera Utara. Laporan Penelitian.

Osborn, F, V. and Hill, C, M. 2005. Techniques to reduce crop loss to elephants and primates in Africa; the human and technical dimension. In: R. Woodroffe, S. Thrigood and A. Rabinowitz (eds.), People and Wildlife:

Conflictand Coexistence?. Cambrige University Press, Cambridge.

Pp.72-85.

PERMENHUT RI. 2014. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.53/Menhut-II/2014 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.48/Menhut-II/2008 Tentang pedoman Penanggulangan Konflik Antara Manusia dan Satwa Liar. Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta.

Prahasta E. 2002. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung: Informatika.

Pujiyani, H. 2009. Karakteristik Pohon Tempat Bersarang Orangutan Sumatera

(Pongo abelii, Lesson 1827) Di Kawasan Hutan Batang Toru Kabupaten

Tapanuli Utara Sumatera Utara. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rahman, D. A. 2010. Karakteristik habitat dan preferensi pohon sarang orangutan

(Pongo pygmaeus wurmbii) di taman nasional tanjung puting (studi kasus

camp leakey). Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 7 No. 2, halaman 37-50. Ramdan, dkk. 2003 dalam Alam, S. dkk. 2009. Ekonomi Sumber Daya Hutan.

Buku Ajar Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Tamlanrea.

Rikjsen, et al. 1997. Menunjang Proses Rehabilitasi Orangutan, Kalimantan Tengah. Orangutan Care Center and Quarantine (OCCQ).

Rowe N. 1996. The Pictorial Guide To The Living Primates. Pogonias Press. Charlestown.

Salafsky, N. 1993. Mammalian use of a bufferzone agroforestry system bording

Gunung Palung National Park, West Kalimantan, Indonesia. Conservation

Biology 7:928-933.

Singleton, I., S. Wich, S. Husson, S. Stephens, S. Utami-Atmoko, M. Leighton, N. Rosen, K. Traylor-Holzer, R. Lacy dan O. Byers (eds.). 2004. Orangutan Population and Habitat Viability Assessment: Final Report. IUCN/SSC Conservation Breeding Specialist Group, Apple Valley, MN.

(20)

Supriatna J dan Edy HW. 2000. Panduan Lapang Primata Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Syukur, F. A. 2000. Estimasi Kepadatan Populasi dan Pola Bersarang (Pongo abelii, Lesson 1827) di Stasiun Penelitian Soraya, Kawasan Ekosistem Leuser. Skripsi. Fakultas Biologi, Universitas Nasional Jakarta. Aceh Selatan.

TFCA Sumatera, 2010 dalam Siregar, D, I. 2014. Pemetaan Daerah Rawan Konflik Orangutan Sumatera (Pongo Abelii) Dengan Manusia Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus : Desa Aek Nabara, Batu Satail, Bulu Mario, dan Sitandiang). Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan.

Turner, W., S. Spector, N. Gardiner, M. Fladeland, E. Sterling dan M. Steininger. 2003. Remote sensing for biodiversity science and conservation. Trends in

Ecology and Evolution18 : 306-314.

van Schaik C. 2004. Diantara Orangutan Kera Merah dan Bangkitnya Kebudayaan Manusia. Soetami, penerjemah. The Belknap Press of Harvard University Press. Cambridge.

WWF. 2013. Orangutan Sumatera (Pongo abelii). WWF-Indonesia. Jakarta.

Yuwono et al. 2007. Guidelinies for Better Management Practices on Advoidance, Mitigation and Management of Human-Orangutan Conflict in and Around

(21)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2016, Pengambilan titik koordinat lokasi konfik dilakukan di Desa Ujung Padang, dan pengambilan data kuisioner dilakukan di Desa Ujung Padang dan di Desa Sei Serdang. Kemudian pengolahan data Mei – Agustus 2016 dilakukan di Laboraturium Manajemen Hutan Terpadu Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara. Untuk mengetahui peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

(22)

Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Personal Computer (PC), perangkat lunak GIS (Geographic Information System) seperti ArcGIS 10.1, printer untuk mencetak data/peta, GPS (Global Positioning System), kamera digital, kalkulator dan alat tulis lainnya.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa peta tutupan lahan, peta jalan, peta administrasi Kabupaten Langkat dan Kabupaten Aceh Selatan, peta batasan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, data kejadian konflik orangutan dengan manusia, data penanggulangan konflik, dan kuisioner.

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah Kepala Keluarga yang mengalami kerugian ekonomi akibat konflik orangutan pada Desa Ujung Padang dan Desa Sei Serdang. Sampel dalam penelitian ini adalah tanaman-tanaman atau hasil panen dari lahan perladangan/pertanian masyarakat yang dirusak akibat adanya konflik orangutan pada Desa Ujung Padang dan Desa Sei Serdang.

(23)

Metode dan Prosedur Penelitian 1. Tahap Persiapan

Menyiapkan seluruh kebutuhan penelitian untuk di lapangan, baik alat maupun bahan yang akan dibutuhkan di lapangan.

2. Survei Lapangan

Survei lapangan dilakukan untuk pengambilan data kejadian konflik, pengambilan data penggunaan lahan dan data lainnya sesuai dengan kebutuhan. Pada tahap survei ini dilaksanakan pula pengamatan kondisi lapangan dan penyebaran serta pengisian kuisioner.

3. Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri atas 2 kelompok, yaitu: Data primer, adalah data yang diperoleh berdasarkan hasil pengamatan di lapangan. Data primer yang dikumpulkan, yaitu:

− Data pengecekan lapangan daerah rawan konflik orangutan (Pongo abelii) dan masyarakat di sekitar Taman Nasional Gunung Leuser yang disajikan dalam bentuk gambar/foto,

− Data sebaran titik daerah konflik orangutan (Pongo abelii) dengan masyarakat di sekitar Taman Nasional Gunung Leuser Data jumlah kerusakan tanaman di ladang masyarakat di sekitar Taman Nasional Gunung Lauser yang disebabkan oleh orangutan (Pongo abelii), dan

(24)

instansi pemerintah dan swasta untuk menangani konflik orangutan yang terjadi di desa tersebut, kerugian-kerugian yang dialami masyarakat serta biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat, pemerintah dan LSM dalam melakukan mitigasi konflik orangutan.

− Pengumpulan data dilakukan dengan metode purposive sampling untuk mengetahui seberapa besar masyarakat mengetahui tentang orangutan dan kerusakan apa saja yang pernah terjadi. Metode purposive sampling ini disesuaikan dengan tujuan penelitian yaitu pemetaan yang menjadi daerah konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) dengan masyarakat di sekitar Taman Nasional Gunung Leuser yang merupakan desa-desa yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Leuser.

Data sekunder, merupakan data yang mendukung penelitian ini diperoleh dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah I Sumatera Utara, dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan Banda Aceh yaitu:

− Peta tutupan lahan, Peta administrasi, Peta batas kawasan TNGL dan Peta jarak jalan.

− Data kondisi umum wilayah penelitian, data kependudukan yang diambil dari Badan Pusat Statistik (BPS) serta data-data catatan kependudukan yang sudah tersedia di Kantor Balai Desa.

− Data konflik orangutan (Pongo abelii) dengan manusia yang diperoleh dari buku-buku, literatur, jurnal-jurnal dan sumber pustaka lainnya.

4. Pengolahan Data

(25)

GPS. Setelah itu digunakan software DNR Garmin untuk mengambil data yang terdapat pada GPS. Kemudian digunakan software ArcGIS 10.1 untuk memasukkan semua data titik daerah rawan konflik yang ditemukan di lokasi penelitian.

Data kuisioner yang didapatkan dilapangan di proses dengan menghitung rata-rata kerugian ekonomi masyarakat yang disebabkan konflik orangutan, dan biaya mitigasi yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah serta pihak LSM yang berkaitan.

5. Analisis Data

a. Pembuatan Peta Daerah Konflik Pengecekan Lapangan

Pengecekan lapangan dilakukan untuk mendapatkan data kondisi yang sebenarnya baik di citra maupun di lapangan adalah sebagai berikut:

a. Melakukan orientasi lapangan untuk memperoleh gambaran umum dari lokasi

yang akan pilih untuk training area.

b. Mengetahui penutupan lahan dan menambahkan informasi yang belum didapat dari interpretasi awal citra, pengujian dan verifikasi lebih lanjut kebenaran hasil interpretasi dan klasifikasi.

c. Menempatkan plot/training area di lapangan untuk mewakili tipe penutupan

lahan yang ada dengan menggunakan GPS. Pembuatan data spasial

(26)

sesuai luasan kawasan yang diteliti. Peta hasil digitasi dipakai sebagai batasan kawasan yang diteliti. Data penutupan lahan dan data ketinggian digunakan sebagai tambahan atribut untuk mengetahui kondisi lapangan dan merupakan suatu input dari pembuatan peta daerah rawan konflik orangutan di sekitar Taman Nasional Gunung Leuser.

Penutupan Lahan (Land Cover)

Penafsiran untuk penutupan lahan/vegetasi dibagi kedalam tiga klasifikasi utama yaitu Hutan, Non Hutan dan Tidak ada data, yang kemudian masing- masing diklasifikasikan lagi. Kelas-kelas penutupan lahan yaitu lahan bervegetasi (hutan, perkebunan, semak-belukar, rumput,), lahan terbuka, pemukiman dan air. Contoh kelas penutupan lahan:

1. Hutan, polanya dengan bentuk bergerombol diantara semak dan permukiman, ukurannya luas, berwarna hijau tua sampai gelap dengan tekstur relatif kasar.

2. Perkebunan, memiliki karakter bentuk dan pola bergerombol hingga

menyebar terletak diantara hutan dan lahan-lahan terbuka, terkadang bercampur dengan kawasan permukiman.

3. Pemukiman, memiliki tekstur halus sampai kasar, warna magenta, ungu kemerahan, pola di sekitar jalan utama.

4. Semak, tekstur yang relatif lebih halus daripada hutan lebat, berwarna hijau

agak terang dibandingkan hutan lebat, terdapat diantara perkebunan dan ada juga yang berbentuk spot.

5. Rumput mempunyai tekstur yang lebih halus daripada semak. Berwarna hijau

(27)

6. Lahan terbuka mempunyai bentuk dan pola yang menyebar di antara hutan, pemukiman, perkebunan dan jalan, berwarna putih hingga merah jambu dengan tekstur halus.

7. Tubuh air berwarna biru, untuk sungai dengan bentuk yang berkelok-kelok

(meander), danau dengan bentuk mengumpul dan relatif besar,

genangan-genangan air berbentuk spot. Penentuan Jarak

Fasilitas penentuan jarak ini banyak digunakan untuk membuat theme grid

continue yang nilai selnya merupakan jarak dari suatu objek. Objek tersebut dapat

berupa theme shape file titik, garis area, atau theme grid dengan nilai integer. Jumlah objek yang digunakan dalam proses ini dapat terdiri atas satu atau beberapa objek. Apabila kita menggunakan beberapa objek dalam penentuan jarak, arcview akan menghitung jarak dengan objek terdekat. Fasilitas buffer digunakan dalam penentuan jarak, dilakukan pada objek tersebut yang hasilnya merupakan shapefile (feature) atau objek grafis. Pada buffer kita dapat menentukan jarak yang kita inginkan. Buffer biasanya digunakan untuk mewakili suatu jangkauan pelayanan ataupun luasan yang diasumsikan dengan jarak tertentu untuk suatu kepentingan analisis spatial (Nuarsa, I. W, 2004).

b. Analisis Kerugian Ekonomi Masyarakat

(28)

petani. Data diperoleh dari wawancara secara langsung dengan petani yang dipilih sebagai responden dan pengamatan langsung di lapangan.

Untuk mengetahui kerugian total yang dialami masyarakat (pada satu responden) dapat diamati dari jumlah pohon yang berbuah per tahun, produksi tanaman yang tidak rusak per batang per tahun, produksi sisa tanaman yang utuh per batang per tahun. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada rumus dibawah ini:

Keterangan:

a : Produksi normal setiap panen b : Sisa produksi yang diperoleh

n : Jumlah tanaman yang dirusak (Batang) x : Jumlah tanaman yang berproduksi (Batang) d : Harga

Keterangan:

a : Jumlah pohon yang berbuah b : Produksi normal setiap panen c : Sisa produksi yang diperoleh d : Harga

Menghitung rata-rata kerugian ekonomi yang disebabkan oleh konflik orangutan yang masuk ke perladangan masyarakat dapat dihitung dengan rumus:

Rumus Rata-rata Kerugian = ∑ Kerugian Seluruh Sampel ∑ Sampel Responden K1 = (a – b) p

(29)

Menghitung total kerugian ekonomi pada satu desa dapat dihitung dengan rumus :

Menurut Sitorus (2013) Setelah didapatkan hasil rata-rata kerugian per Kepala Keluarga (KK) per bulan, kerugian tersebut kemudian dikategorikan kedalam kriterian. Adapun kriteria kerugian dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Kriteria Kerugian Ekonomi

No Total kerugian ekonomi/KK/Bulan Kriteria

1. < Rp. 1.000.000 Rendah

2. Rp. 1.000.000 - < Rp. 5.000.000 Sedang

3. ≥ Rp. 5.000.000 Tinggi

c. Menghitung Biaya Pengeluaran Mitigasi

Biaya yang dikeluarkan pemerintah dan LSM dalam menangani mitigasi juga dapat diperoleh dari data primer, data kuisioner serta pengamatan langsung di lapangan. Untuk mengetahui berapa besar biaya pengeluaran dari kegiatan mitigasi ini dapat diketahui dari setiap tahapan-tahapan kegiatan yang dilakukan dari setiap instansi ataupun LSM yang sudah sering melakukan penanggulangan mitigasi konflik orangutan. Adapun tahapan kegiatan dilakukan salah satu LSM sebagai berikut: Sosialisai, Evakuasi, dan Pengembalian. Dari ketiga tahapan tersebut biasanya proses evakuasi yang paling besar pengeluarannya dan merupakan jalan terakhir yang diambil dengan pertimbangan resiko untuk orangutan itu sendiri.

Dalam melakukan kegiatan mitigasi konflik orangutan terdapat kriteria-kriteria yang menyatakan biaya pengeluaran yang sudah dikeluarkan oleh

(30)

pemerintah, masyarakat dan LSM. Adapun kriteria tersebut dapat dilihat Tabel 3 sesuai pendapat Sitorus (2013).

Tabel 2. Kriteria Biaya Mitigasi Konflik Orangutan

No Biaya mitigasi konflik orangutan Kriteria

1. < Rp. 3.000.000 Rendah

2. Rp. 3.000.000 - < Rp. 6.000.000 Sedang

3. ≥ Rp. 6.000.000 Tinggi

Gambar 2. Bagan Alur Penelitian Tahap Persiapan

Survei Lapangan

Pengumpulan Data

Data Primer Data Sekunder

Pengolahan Data

Analisis Data Pembuatan Peta Daerah

Konflik Orangutan (Pongo

abelii) dengan Masyarakat

(31)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden

Dalam penelitian ini yang menjadi responden ialah masyarakat desa yang langsung mengalami konflik dengan Orangutan Sumatera (Pongo abelii). Penjelasan analisis karakteristik responden dapat dilihat melalui Tabel 3.

Tabel 3. Informasi Karakteristik Responden

(32)

1. Desa Ujung Padang

Berdasarkan Tabel 3 mengenai analisis karakteristik responden pada Desa Ujung Padang dapat dilihat jumlah responden di desa ini lebih banyak jumlah responden laki-laki daripada perempuan. Dari total keseluruhan berjumlah 25 responden dari masing-masing kepala keluarga yang di wawancarai, jumlah responden laki-laki sebanyak 22 orang dan perempuan sebanyak 3 orang. Hal ini dikarenakan pada umumnya laki-laki lebih baik mencari nafkah sebagai kepala kelurga dan bekerja di lapangan sebagai petani sedangkan perempuan lebih baik dan cocok untuk mengurus rumah. Untuk kategori usia responden, dari hasil wawancara peneliti dengan petani, usia 20-40 tahun sebanyak 9 orang, usia 41-60 tahun sebanyak 13 orang dan usia > 60 tahun sebanyak 3 orang. Usia 41-60 tahun merupakan usia yang paling banyak dijumpai di lapangan total persentasinya yaitu 52%. Hal ini dikarenakan usia tersebut merupakan usia produktif bekerja. Dan untuk kategori agama responden, agama islam merupakan agama mayoritas di Desa Ujung Padang berjumlah sebanyak 25 orang (100%).

(33)

status pekerjaan yaitu sebanyak 22 orang, wiraswasta sebanyak 1 orang dan PNS sebanyak 2 orang.

2. Desa Sei Serdang

Untuk Desa Sei Serdang berdasarkan Tabel 3 diatas tentang analisis karakterisk responden dapat dilihat total persentasi responden laki-laki sebanyak 80% dan responden perempuan sebanyak 20% ini menujukkan responden laki-laki lebih banyak dibanding responden perempuan. Karakteristik usia responden dilihat dari Tabel 4 total persentasi usia tertinggi terlihat pada usia 41-60 tahun hal sama dengan Desa Ujung Padang usia tersebut merupakan usia produktif yang bekerja. Usia >60 tahun merupakan total persentasi yang terendah yakni 10%. Dari 30 orang sebagai sampel responden yang diwawancari, 97% dengan frekuensi 29 orang menganut agama islam dan merupakan agama mayoritas di desa ini.

(34)

Tabel 4. Data Pemilik Lahan Responden di Desa Ujung Padang, Kec. Bakongan

No Pemilik Lahan Luas

Lahan Status Lahan Bersertifikat Alasan tidak bersertifikat Jarak dari TNGL

(35)

Tabel 5. Data Pemilik Lahan Responden di Desa Sei Serdang, Kec. Batang Serangan

No. Pemilik Lahan Luas Lahan Status Lahan Bersertifikat Alasan Tidak Bersertifikat Jarak dari TNGL

(36)

Berdasarkan Tabel 4 dan Tabel 5 dapat dilihat dari seluruh sampel responden dari kedua desa, berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian di lapangan, untuk luasan lahan dari masing-masing yang dimiliki responden menujukkan perbedaan yang sangat kecil. Luasan lahan yang dimiliki masing-masing responden untuk Desa Ujung Padang dari hasil wawancara dengan responden menyatakan lahan yang mereka miliki dahulunya ialah hutan yang kemudian dibuka menjadi areal kebun untuk kesejahteraan masyarakat desa ini.

Pembagian luasan lahan pada masing-masing kepala keluarga sudah sesuai dan dibagi secara merata dengan kesepakatan bersama. Berbeda dengan Desa Sei Serdang dari hasil wawancara dilapangan responden menyatakan lahan yang mereka miliki dari turunan keluarga namun ada beberapa responden menyatakan dahulunya desa ini berada di sekitar kawasan hutan, dan dibuka menjadi areal perkebunan PTPN. Sebagian lahan yang berada disekitar desa merupakan lahan perekebunan milik masyarakat, sedangkan kawasan hutan yang dahulunya tempat habitat Orangutan Sumatera kini terdegradasi. Hal inilah yang menyebabkan orangutan sumatera terisolir karena habitat aslinya hilang berubah menjadi fungsi yang lain.

(37)

tersebut bukanlah kepemilikan mereka. Tetapi, lebih besar jumlah responden yang memiliki lahan sendiri.

Untuk kedua desa yang menjadi sampel penelitian ini, seluruh responden menyatakan lahan yang mereka miliki tidak bersertifikat. Beberapa diantaranya menyatakan alasannya karena biaya mengurusnya mahal, sebagian dari responden lainnya menyatakan alasannya karena belum ada arahan atau izin dari kepala desa untuk membuat sertifikat kepemilikan lahan. Ada juga dari responden yang tidak memahami sehingga mereka menjawab tidak mengetahui tentang sertifikat bukti kepemilikan lahan. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena masyarakat belum menyadari betul akan kesadaran pentingnya kelegalan kepemiliki lahan. Karena dengan kelegalan kepemilikan lahan itulah yang nantinya akan dilindungi oleh undang-undang atau tidak dapat diganggu gunggat pihak lain. Tetapi, jika masyarakat tidak memiliki bukti kepemilikan lahan yang sah sewaktu-waktu lahan yang dimiliki masyarakat bisa menjadi masalah bagi masyarakat itu sendiri.

(38)

kepemilikan lahan jika sudah ada hasil ladang atau perkebunan yang dimiliki masyarakat desa. Mengacu pada pernyataan Ismail diatas, mengenai alasan sebagian dari responden yang menyatakan belum ada sosialisasi dari kepala desa ataupun belum adanya izin dari kepala desa hal tersebut tidaklah tepat. Penghasilan perbulan responden dari kedua desa dapat dilihat melalui Gambar 3.

Desa Ujung Padang Desa Sei Serdang

< 1.000.000

1.000.000-5.000.000

> 5.000.000

Gambar 3. Persentasi Jumlah Penghasilan Perbulan Respoden dari Kedua Desa

(39)

diluar hasil kebun. Sedangkan pada Desa Sei Serdang penghasilan perbulan petani semua responden memperoleh hasil dari perkebunan karet, karena semua responden di desa ini merupakan bermata pencarian dari perkebunan dan berstatus pekerjakaan sebagai petani.

Analisa Daerah Konflik Orangutan di Lapangan

Desa Ujung Padang berada di Kecamatan Bakongan, Kabupaten Aceh Selatan. Dari pengamatan langsung di lapangan selama penelitian, sangat jelas terlihat penggunaan lahan yang dimanfaatkan masyarakat desa. Menurut beberapa responden seperti Lahmuddin dan Ismail mereka mengatakan dahulunya di sekitar desa tempat mereka tinggal merupakan kawasan hutan, lebih tepatnya sebelum konflik yang terjadi di aceh sampai selesai. Kawasan hutan inilah yang merupakan habitat asli orangutan.

Menurut Ismail ia sejak lahir tinggal di desa ini, ia mengatakan jumlah spesies orangutan yang ada di kawasan hutan baik di sekitar desa sampai kawasan TNGL jumlahnya sangatlah banyak. Orangutan yang jumlahnya sangat banyak itu dahulunya tidak pernah sama sekali masuk ke desa mereka. Namun pada saat konflik aceh selesai, kawasan yang dahulunya hutan ini dibuka menjadi kawasan penggunaan lahan yang bisa dimanfaatkan untuk masyarakat desa. Ismail juga mengatakan banyak pengusaha kayu yang sering lewat melalui desa mereka, dan ia pernah menelusuri daerah kawasan hutan yang menjadi perambahan kayu yang dilakukan oknum-oknum yang tidak dikenal mereka, dan daerah itu sangat dekat dengan kawasan TNGL.

(40)

orangutan di sekitar desa ini beralih fungsi sehingga orangutan tidak memiliki pakan yang banyak di habitatnya yang tersisa. Orangutan yang dahulunya berada di kawasan hutan kini merasa terganggu karena pembukaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat dan sebagian besar orangutan masih terisolir di sekitar kawasan. Pembukaan lahan oleh masyarakat tidak serentak dilakukan sehingga sebagian lahan yang berada dikawasan ini masih ada tertinggal kawasan hutannya. Hal inilah yang menyebabkan orangutan masih terisolir sampai saat ini.

(41)

Gambar 4. (a) Keadaan lapangan yang baru dibuka menjadi lahan perkebunan; (b) Keadaan lapangan perkebunan milik masyarakat.

Desa Sei Serdang berada di Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat, merupakan desa kedua yang menjadi lokasi penelitian. Dari pengamatan langsung di lapangan pada saat penelitian, sangat terlihat jelas kondisi wilayah di sekitar desa di dominasi perkebunana kelapa sawit dan hanya sebahagian kecil terlihat perkebunan jenis tanaman lain seperti karet, durian dan cempedak.

Konflik orangutan ada di desa ini bermula sejak kawasan hutan beralih fungsi menjadi kawasan perkebunan. Bukan hanya pihak perusahaan perkebunan yang membuka lahan tetapi banyak juga masyarakat mulai membuka lahan mereka untuk dijadikan perkebunan. Hal inilah yang menyebabkan konflik orangutan di desa ini, karena habitat asli orangutan dibuka menjadi areal perkebunan milik perusahaan. Hanya sebagian kecil lahan hutan yang tersisa, hal ini yang membuat orangutan yang dahulunya masih berada di dalam hutan ketika hutan berubah fungsi menjadi kawasan perekebunan orangutan yang berada didalam hutan tidak tahu harus kemana sehingga orangutan terisolir di kawasan hutan.

Masyarakat desa ini dahulunya suka menanam tanaman karet, durian dan cempedak. Hal ini juga yang menjadi daya tarik bagi orangutan, karena

(42)

tanaman yang menjadi pakan orangutan tersedia di dalam perkebunan masyarakat Desa Sei Serdang. Menurut Parakkasi (1999) tingkat kesukaan satwa liar terhadap suatu jenis tanaman merupakan salah satu faktor menyebabkan konflik satwa liar dengan petani. Pakan mempunyai peran yang sangat penting karena konsumsi makanan merupakan fungsi esensial yang menjadi dasar untuk hidup dan menentukan produksi.

Konflik yang terjadi di kebun/ladang masyarakat cukup lama terjadi. Konflik berakhir pada akhir tahun 2013 ketika tim HOCRU dari OIC membantu menangani kasus konfik orangutan dengan masyarakat di desa ini. Namun semenjak konflik orangutan sudah dianggap selesai dari tim HOCRU OIC kondisi yang terlihat di lapangan pada saat penelitian berlangsung perkebunan/ladang yang ditanam masyarakat yang tampak hanyalah tanaman karet dan sawit.

(43)

Pemetaan Lokasi Konflik Orangutan Dengan Manusia

Sistem Informasi Geografis (SIG) atau Geographic Information System (GIS) merupakan gabungan dari tiga unsur pokok yaitu sistem, informasi dan geografis. SIG lebih menekankan pada unsur informasi geografis yaitu suatu kesatuan formal yang terdiri dari berbagai sumber daya fisik dan logika yang berkenaan dengan objek-objek yang terdapat di permukaan bumi. SIG dapat juga dikatakan sebagai sejenis perangkat lunak yang dapat digunakan untuk pemasukan, penyimpanan, manipulasi, menampilkan dan keluaran informasi geografis berikut atribut-atributnya (Bafdal, 2011).

Dalam penelitian ini, Studi Sistem Informasi Geografis (SIG) digunakan untuk mengentahui lokasi konflik orangutan dengan manusia. Pengambilan titik pengamatan lokasi konflik orangutan dengan manusia dilakukan di satu tempat yaitu di Desa Ujung Padang, Kecamatan Bakongan, Aceh Selatan. Alasan pemilihan lokasi titik di tempat ini karena masih berstatus rawan konflik orangutan dengan manusia. Penelitian dilakukan dengan studi Sistem Informasi Geografis dengan parameter faktor-faktor fisik dilapangan.

(44)
(45)

Sesuai dengan Gambar 5 berdasarkan klasifikasi citra pada peta dapat diketahui bahwa konflik yang paling banyak terjadi pada tipe tutupan perkebunan (pada legenda bersimbolkan warna merah muda). Hal ini sesuai dengan kondisi dilapangan saat penelitian pengambilan titik koordinat tutupan lahan didaerah konflik orangutan pada umumnya ialah perkebunan milik masyarakat desa yang dominan tampak dilapangan tanaman kelapa sawit dan jenis tanaman perkebunan campuran seperti jagung, pisang, timun, dan umbi-umbian. Perubahan tutupan lahan yang ada di kawasan daerah konflik ini berubah akibat degradasi hutan. Fungsi ekologis, ekonomis, dan sosial hutan tidak terpenuhi dan tidak seimbang. Selain degradasi hutan, fragmentasi habitat yang terjadi di lapangan juga merupakan salah satu pemicu konflik orangutan dengan manusia di Desa Ujung Padang.

Menurut (Elisa, 2000) Dampak fragmentasi pada satwaliar, khususnya spesies adalah : pengurangan jumlah individu, pengurangan ukuran populasi karena individu terbatas fragmen kecil, isolasi spasial populasi sisa. Sedangkan dampak genetik dari fragmentasi adalah kehilangan diversitas genetik, perubahan dalam struktur antarpopulasi, peningkatan kawin kerabat (inbreeding). Fragmentasi menyebabkan kepunahan spesies didalam populasi lokal. Oleh karena itu usaha untuk menjaga atau memulihkan spesies pada batang alam

(landscape) yang terfragmentasi adalah mengurangi kesempatan untuk kepunahan

(46)

(47)

Dalam penentuan jarak lokasi konflik dari batas kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dalam pengolahan peta pada peneletian ini digunakan fasilitas buffer yang merupakan salah satu operasi dalam ArcGIS. Buffer bukanlah bagian dari Geoprocessing, namun buffer merupakan salah satu analisis spasial. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Nuwarsa (2004) bahwa buffer biasanya digunakan untuk mewakili suatu jangkauan pelayanan ataupun luasan yang diasumsikan dengan jarak tertentu untuk suatu kepentingan analisis spasial.

(48)

(49)

Pembuatan buffer bertujuan untuk mengetahui jarak lokasi konflik terhadap jalan. Berdasarkan Gambar 7 sebaran lokasi konflik orangutan dengan manusia berdasarkan jarak titik konflik dari jalan untuk sebaran terdapat 2 titik konflik yakni pada jarak 1201-1500 meter dari jalan utama terhadap lokasi titik konflik. Sebagian besar titik konflik berada tidak jauh dari pemukiman, dari hasil penelitian dan pada kenyataan dilapangan titik konflik terbanyak berada di daerah perkebunan masyarakat yang lokasinya sangatlah dekat dengan pemukiman maka dari itu jarak 0-300 meter merupakan jarak yang terbanyak terdapat titik tempat kejadian konflik orangutan. Hal ini berhubungan dengan lokasi perkebunan masayarakat Desa Ujung Padang. Lokasi perkebunan masyarakat yang dahulunya lahan hutan. Dari hasil Gambar 5 juga menunjukkan lokasi konflik yang didominasi perkebunana masyarakat sesuai dengan hasil klasifikasi tutupan lahan yang merupakan didominasi tutupan lahan perkebunan. Alih fungsi lahan hutan menjadi perkebuanan merupakan pembukaan jalan yang dilakukan masyarakat menyebabkan fragmentasi habitat orangutan yang pada akhirnya menyebabkan isolasi pada sub-populasi orangutan misalnya dan kompetisi dalam habitat tidak dapat dihindari.

(50)

Tabel 6. Data Pengambilan Titik Tempat Terjadinya Konflik Orangutan dengan Manusia

No Koordinat Keterangan Lokasi Konflik

N E dilakukan pihak LSM disekitar kebun

4. 2055’49’’ 97029’16’’ Titik lokasi 2 rescue orangutan yang dilakukan pihak LSM disekitar kebun

5. 2055’53,5’’ 97029’21,6’’

Titik lokasi 3 rescue orangutan yang

dilakukan pihak LSM disekitar kebun

dibelakang desa

6. 2056’37,8’’ 97029’31,5’’

Titik lokasi 4 rescue orangutan yang

dilakukan pihak LSM di sekitar hutan

didalam kebun masyarakat yang sedang mencari makan di batang sagu

12. 2056’31,6’’ 97029’43,7’’ Titik lokasi konflik ditemukan sarang orangutan yang kondisinya tidak lama

13. 2056’31’’ 97029’45’’

Titik lokasi konflik ditemukan banyak

sarang di sekitar areal hutan yang dibuka

oleh masyarakat untuk dijadikan kebun

14. 2057’17,5’’ 97029’47,4’’ Titik lokasi konflik ditemukan sarang baru

(51)

Analisis Kerugian Ekonomi Masyarakat

Untuk mengetahui data kerugian yang dirasakan oleh masyarakat Desa Ujung Padang dalam setiap tahun dapat dilihat melalui Tabel 7.

Tabel 7. Kerugian Ekonomi Masyarakat Desa Ujung Padang dalam 1 Tahun

(52)

Rata-rata 5.520.000

NB: Nomor responden 1 dan 9 tidak termasuk dalam perhitungan Keterangan:

n : Tanaman Yang Dirusak a : Jumlah Tanaman Berproduksi b : Produksi Normal Tanaman c : Sisa Produksi

KE1 : Kerugian Ekonomi 1

Harga (d) Nilai hitungan

1 Kg Sawit : Rp. 1500,- 1 batang sawit : 80 kg

1 Sisir Pisang : Rp. 5000,- 12 sisir pisang : 1 tandan/pohon 1 Kg Jagung : Rp. 3200,- 1 batang jagung : 1/2 kg (2 buah).

Jumlah responden di desa ini sebanyak 25 orang dari masing-masing kepala keluarga. Dari seluruh jumlah masyarakat desa ini, hanya ada 25 kepala keluarga yang kebunnya diganggu orangutan. Tanaman yang di ganggu orangutan di kebun/ladang masyarakat di desa ini ada 3 jenis tanaman yaitu : sawit, pisang dan jagung. Tanaman yang di tanam masyarakat desa ini bukan hanya 3 jenis tanaman itu saja, tetapi ada jenis tanaman lain yang ditanam, namun dalam hal ini tanaman tersebut tidak dirusak orangutan. Kerusakan tanaman yang dilakukan orangutan di kebun masyarakat desa paling banyak mendominasi tanaman sawit dan pisang.

Kerusakan yang dilakukan orangutan dikebun masyarakat desa ujung padang sangatlah ganas. Dari hasil pengamatan langsung di lapangan sangat banyak terdapat bekas-bekas kerusakan tanaman yang baru dilakukan orangutan. Seperti sawit sangat jelas terlihat umbut atau isi dalaman pada sawit yang masih berumur muda di rusak orangutan dan jumlah tanamannya sangatlah banyak. Begitu juga halnya dengan pisang, sangat banyak terlihat bekas kerusakan tanaman yang dilakukan orangutan.

(53)

bernama Ahmad, jenis tanaman yang dirusak orangutan adalah sawit dengan total kerugian sebesar Rp.24.000.000,-/KK. Kerugian ekonomi yang paling rendah dialami oleh responden bernama Haslina, jenis tanaman yang dirusak orangutan adalah sawit dengan total kerugian sebesar Rp.240.000,-/KK. Kerugian per responden didapatkan dari hasil perhitungan dengan menggunakan rumus Kerugian Ekonomi 1 (KE1) yaitu (a-b) d. Untuk mendapatkan total kerugian di desa ini menggunakan beberapa tahap perhitungan. Sebelum mencari total kerugian terlebih dahulu mencari rata-rata kerugian dengan rumus yaitu : ∑ Kerugian seluruh sampel per ∑ Sampel responden. Dari perhitungan mencari

rata-rata kerugian hasil yang diperoleh pada desa ini adalah sebesar Rp. 5.520.000,-/KK/tahun. Setelah ditemukan hasilnya selanjutnya menghitung

total kerugian ekonomi pada satu desa, adapun hasil dari perhitungan total kerugian ekonomi pada Desa Ujung Padang adalah sebesar Rp. 138.000.000,-/tahun/desa diperoleh dari perhitungan Ms.Excel (Lampiran 3). Untuk mengetahui data kerugian ekonomi masyarakat di Desa Sei Serdang dapat dilihat melalui Tabel 8.

Tabel 8. Kerugian Ekonomi Masyarakat Desa Sei Serdang dalam 1 Tahun

(54)

No Nama

a : Jumlah Tanaman Berproduksi b : Produksi Normal Tanaman c : Sisa Produksi

KE1 : Kerugian Ekonomi 1 Harga (d)

1 Buah Durian : Rp. 10.000,- 1 Buah Cempedak : Rp.

(55)

umumnya masyarakat desa ini bermata pencaharian dari perkebunan. Tanaman yang menjadi komoditas utama di desa ini ialah sawit dan karet. Tapi kebanyakan dari masyarakat desa ini berkebun karet. Dari pengamatan langsung di lapangan di kebun karet milik warga yang dahulunya tempat konflik orangutan, terlihat jelas tanaman karet merupakan jenis tanaman utama yang dibudidayakan masyarakat dan menjadi penghasil utama masyarakat desa ini.

Dari hasil wawancara di kebun, menurut beberapa orang responden, mereka mengatakan tanaman selain karet dan sawit merupakan tanaman tambahan saja tidak dibudidayakan secara luas dan bukan hasil utama dari kebun pada setiap masyarakat. Tetapi, tanaman yang paling sering dirusak masyarakat ialah durian dan cempedak. Sekitar 60% makanan orangutan adalah buah-buahan seperti durian, nangka, leci, mangga, dan buah ara, sementara sisanya adalah pucuk daun

muda, serangga, kulit pohon, dan kadang-kadang telur serta vertebrata kecil (WWF, 2013).

(56)

memakan berbagai jenis makanan lain seperti daun, tunas, bunga, epifit, liana, zat pati kayu, dan kulit kayu.

Berdasarkan Tabel 8 hasil analisis kerugian ekonomi di Desa Sei Serdang ialah kerugian ekonomi yang paling tinggi dialami oleh responden bernama Pranoto, jenis tanaman yang dirusak orangutan adalah durian dengan total kerugian sebesar Rp.52.000.000,-/KK. Kerugian ekonomi yang paling rendah dialami oleh responden bernama Yani, jenis tanaman yang dirusak orangutan adalah cempedak dengan total kerugian sebesar Rp.1.140.000,-/KK. Kerugian per responden didapatkan dari hasil perhitungan dengan menggunakan rumus Kerugian Ekonomi 2 (KE2) yaitu [(a.b) – (c.a)] d. Pada Desa Sei Serdang, untuk mendapatkan total kerugian di desa ini menggunakan beberapa tahap perhitungan, sebelum mencari total kerugian terlebih dahulu mencari rata-rata kerugian dengan rumus yaitu : ∑ Kerugian seluruh sampel per ∑ Sampel responden. Dari perhitungan mencari rata-rata kerugian hasil yang diperoleh pada Desa Ujung Padang sebesar Rp. 13.972.143,-/KK/tahun Setelah ditemukan hasilnya selanjutnya menghitung total kerugian ekonomi pada satu desa dan dapat dihitung dengan rumus : Rata-rata Kerugian x ∑ KK. Setelah tahap demi tahap perhitungan dikerjakan adapun total kerugian yang didapatkan di Desa Sei Serdang sebesar 1.676.657.160/tahun/desa (Lampiran 3).

Metode Mitigasi Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) 1. Mitigasi Yang Dilakukan Pihak Masyarakat

(57)

mereka membuat sarang dan hidupnya berpindah-pindah. Ukuran orangutan yang diketahui masyarakat bervariasi ada yang induk (dewasa), sedang dan anakan. Ukuran tubuh orangutan yang induk (dewasa) sangatlah di takuti masyarakat sehingga ketika masuk ke ladang mereka, masyarakat tidak memiliki metode apapun untuk mengusir orangutan dari ladang mereka.

Dari kedua desa yang menjadi lokasi penelitian dan rata-rata responden yang mengatakan hal yang sama. Mereka mengatakan, lebih baik mereka pergi dari kebun mereka daripada mengusir orangutan dari kebun mereka karena orangutan yang induk (dewasa) tubuhnya sangatlah besar. Pada saat tim HOCRU dari OIC mulai membantu menangani konflik orangutan di kedua desa, orangutan dewasa yang berukuran paling besar setelah di rescue barulah masyarakat mulai memiliki keberanian untuk mengusir orangutan yang masuk ke kebun mereka. Namun, ada juga masyarakat yang masih membiarkan orangutan masuk ke ladang mereka dan ada juga yang sekedar mengusir dengan cara melemparnya.

(58)

Metode penghalau eksperimental dengan menggunakan meriam karbit digunakan masyarakat ketika pertama kali tim dari OIC melakukan sosialisasi penanganan orangutan di desa ini. Metode ini sangat membantu untuk mengusir orangutan dari ladang mereka. Tapi konflik orangutan masih ada sampai saat ini. Metode ini sudah efektif digunakan akan tetapi kesadaran masyarakat yang belum sepenuhnya sadar akan pentingnya orangutan. Dalam hal ini seharusnya sangatlah penting peranan serta kesadaran manusia disekitar daerah tempat terjadinya konflik, guna untuk mengurangi dampak negatif yang berlebih dari kejadian konflik yang ada. Jika manusia tidak menyadari peranannya maka kerugian yang dialami dari kejadian konflik akan semakin besar.

Orangutan yang masih terisoir di sebagian kawasan hutan di sekitar perladangan masyarakat masih saja mengganggu tanaman-tanaman di kebun masyrakat. Konflik orangutan dengan masyarakat di Desa Ujung Padang belum selesai sampai saat ini. Masyarakat Desa Ujung Padang masih meresahkan keberadaan orangutan di sekitar perladangan mereka. Dari data laporan tim HOCRU OIC menyebutkan sejak tahun 2012 sampai sekarang total orangutan yang berhasil dievakuasi ada 7 ekor, dan diperkirakan masih banyak lagi jumlah orangutan yang terisolir ditempat ini.

(59)

Sedangkan konflik orangutan di Desa Sei Serdang sudah dianggap selesai oleh tim HOCRU OIC karena pada umumnya masyarakat desa sudah tidak merasa dirugikan dan tidak terganggu dengan keberadaan orangutan, total orangutan yang berhasil dievakuasi tim HOCRU OIC ada 6 ekor orangutan dan diperkirakan secara estimasi masih ada 3 ekor orangutan yang masih terisoir disekitar perkebunan masyarakat Desa Sei Serdang. Kondisi orangutan tidak meresahkan masyarakat, pihak OIC sampai sejauh ini masih tetap selalu melakukan monitoring di habitat orangutan. Pihak OIC menyebutkan sumber pakan dan luasan wilayah daya jelajah masih cukup untuk 3 ekor orangutan yang diperkirakan mereka secara estimasi terisolir di kawasan sekitar perkebunan masyarakat desa.

2. Mitigasi yang Dilakukan Pihak LSM dan Pemerintah

(60)

dilakukan langkah-langkah penyelamatan. Mengingat potensi risikonya, sangat diharapkan segera dilakukan upaya penyelamatan terhadap kelompok/individu orangutan yang terlibat konflik.

Penanganan manusia dan asetnya, beberapa hal yang perlu dilakukan dalam upaya penanganan manusia yang terlibat konflik dengan orangutan : Penyelamatan dan penanganan korban, Pengamanan masyarakat dan aset ekonomi dan Kompensasi. Pelaksanaan penyelamatan (rescue) orangutan di mulai dari tahap persiapan sampai tahapan relokasi/translokasi (pemindahan) ke habitat baru yang diharapkan lebih aman dan lebih baik dari kondisi sebelumnya. Dalam hal penanganan konflik orangutan dengan manusia sangatlah perlu adanya pertimbangan, karena jika hal itu dilakukan dengan tepat akan menentukan keberhasilan dalam pengendalian gangguan. Beberapa kriteria pertimbangan antara lain : secara teknis, secara ekonomi, dan secara ekologi. Pengembalian keputusan yang bijaksana akan menggabungkan ketiga kriteria ini.

(61)

Biaya Pengeluaran Mitigasi oleh Pihak LSM, Pemerintah, dan Masyarakat Mitigasi konflik orangutan merupakan bentuk atau cara penyelamatan orangutan secara kompleks dilakukan. Tahap demi tahap yang dilakukan hingga sampai akhirnya penanganan oleh pihak-pihak yang terlibat yang bertanggung jawab dalam menanganinya dan harus sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 48/Menhut-II/2008 tentang pedoman penanggulangan konflik antara manusia dan satwa liar. Dalam menangani setiap kegiatan penanggulangan/mitigasi konflik orangutan, pihak LSM memiliki biaya pengeluaran dalam setiap tahap/proses yang dilakukan. Untuk mengetahui biaya yang dikeluarkan oleh pihak LSM untuk hal mitigasi konflik orangutan dapat dilihat melalui Tabel 9.

Tabel 9. Biaya Mitigasi yang Dikeluarkan oleh LSM dalam 1 Tahun

No Jenis Pengeluaran Keterangan Harga Satuan (Rp)/kegiatan

Biaya Pengeluaran (Rp) 1. Perjalanan ke

lokasi

BBM selama kegiatan 1.000.000 x 24 24.000.000

2. Operasional tim Konsumsi selama kegiatan

1.000.000 x 24 24.000.000

3. Edukasi Sosialisasi dengan masyrakat selama

2.000.000 x 24 48.000.000

5. Biaya Translokasi Pemindahan orangutan ke habitatnya

1.000.000 x 24 24.000.000

6. Peralatan kegiatan Berang tidak habis pakai seperti senapan, jarring, kandang yang digunakan selama kegiatan dan biaya perbaikan alat

8.000.000 x 2 16.000.000

7. Biaya lain-lain Digunakan jika ada hal yang tidak terduga

1.000.000 x 24 24.000.000

(62)

Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat pengeluaran yang dikeluarkan oleh pihak YOSL-OIC sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terhadap mitigasi konflik orangutan yaitu adapaun biaya total yang dikeluarkan sebesar Rp. 14.500.000,-/tahun. Jenis-jenis pengeluaran seperti terlihat pada Tabel 9 diatas dapat dijelaskan bahwa dalam hal mitigasi konflik orangutan dari jenis barang tersebut ada yang sifatnya habis pakai dan ada barang yang sifatnya tidak habis pakai. Artinya, barang bersifat habis pakai masuk dalam kategori barang yang tidak dapat dipakai lagi untuk kegiatan berikutnya sudah pasti biaya untuk hal tersebut masih tetap dibuat, contohnya seperti biaya perjalanan, biaya operasional tim, dan obat-obatan. Barang yang bersifat tidak habis artinya barang tersebut dapat digunakan untuk kegiatan berikutnya contohnya seperti peralatan kegiatan. Untuk peralatan kegiatan biasanya tidak selalu dimasukan kedalam anggaran biaya mitigasi karena bersifat dapat dipakai untuk kegiatan berikutnya. Biasanya masuk dalam anggaran ketika peralatan tersbut sudah tidak layak pakai (rusak). Untuk mengetahui biaya mitigasi yang di keluarkan oleh pemerintah dapat dilihat Tabel 10.

Tabel 10. Biaya Mitigasi yang Dikeluarkan oleh Pemerintah dalam 1 Tahun

No Jenis Kegiatan Vol/

- Dokumentasi dan pelaporan 2 KEG 250.000 500.000

Honor output kegiatan - - 8.100.000

- Upah kerja buruh lapangan [3 orang x

18 hari x 2 keg] 108 OH 75.000 8.100.000

Belanja barang non operasional lainnya - - 6.000.000

- Perlengkapan tim 2 KEG 2.000.000 4.000.000

- Penggandaan peta sebaran orangutan 2 KEG 1.000.000 2.000.000

(63)

No Jenis Kegiatan Vol/

- Uang harian tim monitoring populasi

orangutan [5 orang x 20 hari x 2 keg] 200 OH 300.000 60.000.000

Penanganan Konflik Satwa Manusia - - 166.100.000

2. Evaluasi Penanganan Konflik Satwa - - 53.100.000

Belanja Bahan - - 7.500.000

- Dokumentasi dan pelaporan 6 KALI 250.000 1.500.000

- Konsumsi rapat 120 OH 50.000 6.000.000

Belanja perjalanan biasa - - 45.600.000

- Biaya perjalanan tim 18 OT 1.800.000 32.400.000

- Transport lokal peserta 120 OH 110.000 13.200.000

3. Penanganan Konflik Satwa dan Manusia - - 113.000.000

Belanja Bahan - - 5.000.000

- Dokumentasi dan pelaporan 20 KALI 250.000 5.000.000 Belanja Barang Non Operasioal Linnya - - 48.000.000 - Upah buruh [3 orang x 4 hari x 20 keg] 240 OH 75.000 18.000.000 - Perlengkapan penanganan konflik 20 KALI 1.500.000 30.000.000

Belanja perjalanan biasa - - 60.000.000

- Biaya perjalanan tim [2 orang x 5 hari x

20 keg] 200 OH 300.000 60.000.000

Total 888.200.000,-

Sumber: BBKSDA Sumut, 2016

(64)

Tabel 11. Biaya Mitigasi yang Dikeluarkan oleh Masyarakat dalam 1 Tahun

No Jenis Pengeluaran Biaya Pengeluaran (Rp)

1 Pembuatan Meriam 116.000

2 Konsumsi 30.000 X 6 Hari = 180.000

3 Perjalanan 10.000 X 6 Hari = 60.000

4 Rokok 20.000 X 6 Hari = 120.000

5 Lainnya 50.000

Biaya Total 526.000 X 52 Minggu = 27.352.000,-

(65)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini ialah :

1. Terdapat 15 titik sebaran lokasi konflik orangutan dengan manusia pada tempat yang terbaru mengalami konflik tepatnya di Desa Ujung Padang, terletak antara 2055’32,8’’ – 2057’17,5’’ Lintang Utara dan 97029’3’’ – 97030’38’’ Bujur Timur.

2. Kerugian rata-rata ekonomi masyarakat Desa Ujung Padang sebesar Rp. 5.520.000,-/KK/tahun sedangkan kerugian rata-rata ekonomi masyarakat

Desa Sei Serdang sebesar Rp. 13.972.143,-/KK/tahun. Untuk total kerugian

Desa Ujung Padang sesuai metode sensus diperoleh hasil sebesar Rp. 138.000.000,-/tahun/desa, sedangkan total kerugian Desa Sei Serdang

sesuai metode sampling diperoleh dari hasil induksi total kepala keluarga yang mengalami kerugian sebesar Rp. 1.676.657.160,-/tahun/desa.

3. Biaya mitigasi konflik orangutan yang dikeluarkan oleh pihak LSM sebesar

Rp. 172.000.000,- dalam satu tahun, dari pihak pemerintah sebesar Rp. 888.200.000,- dalam satu tahun, dan dari pihak masyarakat sebesar Rp. 27.352.000,- dalam satu tahun. Biaya Mitigasi yang dikeluarkan dari tiga

(66)

Saran

(67)

TINJAUAN PUSTAKA

Keadaan Umum Habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Pada Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini merupakan lokasi yang terletak di dua desa pada dua kecamatan dan provinsi yang berbeda yaitu di Desa Ujung Padang Kecamatan Bakongan Kabupaten Aceh Selatan dan di Desa Sei Serdang Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat. Lokasi penelitian ini merupakan lokasi yang sering terjadi konflik. Hal ini dikarenakan batas kawasan dekat dengan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Sehinggs sangat memungkinkan orangutan masuk ke kawasan pemukiman dan perladangan penduduk. Informasi yang didapatkan dari OIC bahwa dari hasil survei dan penanganan langsung mitigasi konflik orangutan yang pernah dilakukan tim OIC menunjukkan kedua lokasi penelitian ini terdapat orangutan yang sudah cukup lama terfragmentasi sehingga orangutan akan sering memasuki perladangan penduduk jika kehabisan pakan dari habitat asli orangutan dan ketika pakannya habis orangutan tersebut memakan tanaman milik masyarakat bahkan pucuk daun sawit yang masih muda juga dimakan orangutan, sehingga hal tersebut menimbulkan konflik dan keresahan bagi penduduk sekitar kawasan.

(68)

Masing-masing setiap desa (gampong) memiliki 3 dusun. Ibukota Kecamatan Bakongan berada di desa Keude Bakongan (BPS Kabupaten Aceh Selatan, 2015).

Kondisi Fisik Lokasi Penelitian Letak dan Geografis

Kabupaten Aceh Selatan terletak antara 02023’24” – 03036’24” Lintang Utara dan 96054’26” – 97051’24” Bujur Timur, dengan ketinggian wilayah rata-rata sebesar 25 meter diatas permukaan laut (mdpl). Hingga tahun 2015 Kabupaten Aceh Selatan terdiri dari 18 kecamatan. 260 desa, 43 mukim. Pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Selatan berada di Kecamatan Tapaktuan. Batas-batas wilayah Kabupaten Aceh Selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Barat Daya, sebelah selatan berbatasan dengan Kota Subulussalam dan Kabupaten Aceh Singkil, sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia, dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tenggara. Luas Kabupaten Aceh Selatan adalah 4.0005,10 km2(BPS Kabupaten Aceh Selatan, 2015).

(69)

Topografi

Kondisi topografi sangat bervariasi, terdiri dari dataran rendah, bergelombang, berbukit, hingga pegunungan dengan tingkat kemiringan sangat curam/terjal. Dari data yang diperoleh, kondisi topografi dengan tingkat kemiringan sangat curam/terjal mencapai 63,45%, sedangkan berupa dataran hanya sekitar 34,66% dengan kemiringan dominan adalah pada kemiringan-kemiringan 40% dengan luas 254.138,39 ha dan terkecil kemiringan-kemiringan 8-15% seluas 175,04 ha, selebihnya tersebar pada berbagai tingkat kemiringan. Dilihat dari ketinggian tempat (diatas permukaan laut) ketinggian 0-25 meter memiliki luas terbesar yaitu 152.648 ha (38,11%) dan terkecil adalah ketinggian 25-100 meter seluas 39.720 ha (9,92%) (BPS Kabupaten Aceh Selatan, 2015).

Kabupatenn Langkat dibedakan atas 3 bagian. Bagian-bagian tersebut antara lain : pesisir pantai dengan ketinggian 0-4 meter diatas permukaa n laut (mdpl), dataran rendah dengan ketinggian 0-30 meter diatas permukaan laut

(mdpl), dataran tinggi dengan ketinggian 30-1200 meter permukaan laut (mdpl) (BPS Kabupaten Langkat, 2015).

Iklim

(70)

bervariasi pada setiap daerah-daerah yang berada di Aceh, berkisar antara 1.500-2.500 mm per tahun (BPS Kabupaten Aceh Selatan, 2015).

Kabupaten Langkat termasuk daerah yang beriklim tropis, sehingga daerah ini memiliki 2 musim yaitu musim kemarau yang terjadi pada bulan Februari sampai dengan bulan Agustus dan musim hujan terjadi pada bulan September sampai dengan bulan Januari. Musim kemarau dan musim hujan biasanya ditandai dengan sedikit banyaknya hari hujan dan volume curah hujan pada bulan terjadinya musim (BPS Kabupaten Langkat 2015).

Tanah

Sebagian besar jenis tanah di Kabupaten Aceh Selatan adalah podzolik merah kuning seluas 161,022 ha dan yang paling sedikit adalah jenis tanah regosol hanya 5,213 ha (BPS Kabupaten Aceh Selatan, 2015). Jenis-jenis tanah yang berada di Kabupaten Langkat antara lain : sepanjang pantai pesisir dari jenis tanah Aluvial yang sesuai untuk jenis tanaman pertanian pangan, dataran rendah dengan jenis tanah glei humus rendah, hidromofil kelabu dan plarosal, dataran tinggi jenis tanah podsolid berwarna merah kuning (BPS Kabupaten Langkat, 2015).

Sosial Ekonomi

(71)

jiwa/km, jumlah rumah tangga 1.362 jiwa yang terdiri atas 2.751 jiwa laki-laki dan 2.850 jiwa perempuan. Dari jumlah penduduk yang ada sebagian besar penduduk bekerja sebagai petani sebanyak 266 jiwa, nelayan sebanyak 540 jiwa, pedagang sebanyak 187 jiwa, bidang indusri RT sebanyak 11 jiwa, PNS sebanyak 187 jiwa, dan buruh/pegawai swasta sebanyak 171 jiwa. Adapun jumlah bangunan sekolah pada tahun 2014 di Kecamatan Bakongan yaitu SD ada 5, SMP ada 1, MTs ada 1, SMA ada 1, dan MAN ada 1 (BPS Kabupaten Aceh Selatan, 2015).

Kecamatan Batang Serangan yang terletak di Kabupaten Langkat memiliki luas wilayah 89.938 ha dan memiliki 8 desa/kelurahan. Luas lahan pertanian terbagi atas luas sawah sebesar 118 ha, dan luas bukan sawah sebesar 88.552 ha. Luas lahan non pertanian sebesar 1.298 ha. Jumlah Penduduk di kecamatan ini sebanyak 36.375 jiwa, yang terdiri atas 18.561 jiwa laki-laki dan 17.814 jiwa perempuan. Adapun jumlah rumah tangga sebanyak 8.953 kepala keluarga di antaranya bekerja pada bidang pertanian, industri/kerajinan, PNS dan ABRI, Pedagang dan Buruh. Terdapat 21 sekolah berstatus negeri, dan 12 sekolah berstatus swasta. Dilihat dari jumlah penduduk yang bekerja dan memiliki penghasilan sesuai pekerjaannya Kecamatan Batang serangan dapat dikategorikan masyarakat yang berpenghasilan rendah dan masih tergolong miskin dilihat dari angka penduduk keluarga sejahtera (BPS Kabupaten Langkat, 2015).

Taman Nasional Gunung Leuser

(72)

ketinggian mencapai 3.404 meter (m) diatas permukaan laut (dpl). Bersama dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan Taman Nasional Kerinci Sebiat, TNGL ditetapkan UNESCO pada tahun 2004 sebagai situs warisan dunia,

Tropical Rainforest Heritage of Sumatera pada tahun 2004. Sebelumnya, TNGL

juga telah ditetapkan UNESCO sebagai Cagar Biosfer pada tahun 1981, dan ASEAN Heritage Park pada tahun 1984. TNGL berada di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang luasnya mencapai 2.6 juta ha dan dianggap sebagai rumah terakhir bagi orangutan Sumatera yang sangat terancam punah. KEL merupakan habitat yang kompleks dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, namun sekaligus rentan (OIC, 2009).

(73)

TNGL bekerja sama dengan semua pihak terkait dan pelibatan masyarakat (OIC, 2015).

Seperempat abad sejak Leuser ditunjuk sebagai Taman Nasional, telah banyak terjadi perubahan-perubahan geopolitik dan tata guna lahan akibat intervensi pembangunan diseluruh kabupaten sekitar Leuser. Di wilayah Sumatera Utara Leuser dikepung oleh perkebunan kelapa sawit. Peningkatan luas perkebunan sawit tersebut cukup signifikan. Pada tahun 1992, luas perkebunan sawit rakyat, swasta dan milik pemerintah tersebut 513.101 ha dan meningkat pada tahun 1998 menjadi seluas 697.553 ha, dengan demikian peningkatannya rata-rata 30.742 ha pertahun (Balai TNGL, 2006).

Orangutan Sumatera (Pongo abelii)

Menurut Groves (1972) klasifikasi dari Orangutan Sumatera adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Kelas : Mamalia Ordo : Primata Famili : Pongoidea Genus : Pongo

(74)

Morfologi

Ciri fisik famili Pongoidea adalah lengannya 200% dari panjang tubuh, kaki pendek hanya 116% dari panjang tubuh. Jari telunjuk lebih kecil daripada ibu jari. Ukuran rata-rata kepala dan tubuh jantan 956 mm serta betina 776 mm. Tinggi saat berdiri tegak adalah 1.366 mm pada jantan dan 1.149 mm pada betina. Berat badan rata-rata adalah 75 kg pada jantan dan 37 kg pada betina (Maple, 1980).

Menurut Supriatna dan Edy (2000), jika dibandingkan dengan orangutan di Kalimantan, rambut Orangutan Sumatera lebih terang yaitu berwarna coklat kekuningan serta lebih tebal dan panjang. Berat badan rata-rata Orangutan jantan di alam yaitu berkisar antara 50-90 kg. Orangutan jantan memiliki kantung suara untuk mengeluarkan suara yang berupa seruan panjang.

Habitat

Orangutan di Sumatera hidup di dalam hutan yang daunnya lebih rindang daripada Orangutan yang hidup di hutan Kalimantan (van Schaik, 2004). Orangutan mampu beradaptasi pada berbagai tipe hutan primer, mulai dari hutan rawa, hutan dataran rendah/hutan Dipterocarpaceae sampai pada tipe hutan pegunungan dengan batas ketinggian 1.800 m dpl. Namun ada pendapat lain yang menyatakan bahwa Orangutan Sumatera hidup di dataran rendah aluvial (lowland

aluvial plains), daerah rawa dan daerah lereng perbukitan. Kepadatan Orangutan

yang ada di daerah pada ketinggian 1.000 sampai 1.200 m dpl terus menurun (Singleton et. al., 2004).

(75)

bakau dan nipah, serta pada hutan pegunungan. Hoeve (1996) menyatakan bahwa habitat Orangutan Sumatera dilaporkan dapat mencapai hutan pegunungan pada ketinggian 1.000 mdpl.

Hutan hujan tropis di Sumatera memiliki sejarah, iklim dan ekologi yang unik. Kekayaan spesies tertinggi adalah di hutan dataran rendah Dipterocarpaceae yang memang didominasi oleh pohon-pohon dari keluarga Dipterocarpaceae (Ashton, dkk, 1998 dalam Pujiyani, 2009). Pohon-pohon Dipterocarpaceae menyediakan buah yang secara bersamaan pada setiap dua atau lima tahun sekali. Hal tersebut mengakibatkan pada masa tertentu buah tersedia sangat banyak namun pada waktu yang lainnya buah tersebut sama sekali tidak tersedia. Hal yang berbeda terjadi pada hutan gambut Sumatera yang memiliki sedikit jenis tumbuhan endemik namun memiliki kepadatan yang tinggi, sehingga buah akan tersedia setiap tahun. Orangutan berperan penting dalam ekosistem, baik pada hutan dataran rendah Dipterocarpaceae ataupun di hutan gambut. Kebiasaan orangutan dalam makan dan pola pergerakannya menyebabkan orangutan

merupakan penyebar biji/benih tumbuhan hutan yang sangat baik (Nellemann et. al.,2007).

Gambar

Gambar di Lapangan
Gambar 1.
Tabel 1. Kriteria Kerugian Ekonomi
Tabel 2. Kriteria Biaya Mitigasi Konflik Orangutan
+7

Referensi

Dokumen terkait

SEKRETARIAT JENDERAL UNIT LAYANAN PENGADAAN. KELOMPOK

Keempat peristiwa itu adalah pertanda bagi Pangeran Siddharta yang dilakukan oleh para dewa dalam rangka membantu Pangeran meninggalkan istana untuk menjadi petapa agar

Berdasarkan Berita Acara Hasil Pelelangan (BAHP) Nomor:BA-127/ULPD/WI.2/2016 Tanggal 16 Juli 2016 dan Penetapan Pemenang oleh Kelompok Kerja (Pokja) ULPD Kementerian Keuangan

Paket pengadaan ini terbuka untuk penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan Bidang Jasa Periklanan dengan terlebih dahulu melakukan registrasi pada Layanan

Panitia ULP/ Panitia Pengadaan pada Satker Direktorat Advokasi dan KIE akan melaksanakan Pelelangan Sederhana dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan

Dengan demikian, peneliti menyimpulkan bahwa ketrampilan menyimak cerita pendek perlu ditingkatkan lagi, karena pada hasil yang dicapai pada pembelajaran yang telah

Windmill Water Flow Top benefited from the force of gravity to the ater entering the turbine blade, so that power is generated not only from the kinetic energy comes

Tabel Hasil Output Uji Multikolinearitas Setelah Mengeluarkan Variabel Pengeluaran