• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klasifikasi Kuda

Kuda digolongkan kedalam hewan dalam filum Chordata yaitu hewan yang bertulang belakang, kelas Mamalia yaitu hewan yang menyusui anaknya, ordo Perissodactyla yaitu hewan berteracak tak memamah biak, famili Equidae, dan spesies Equus caballus. Para pakar percaya bahwa dahulu kala terdapat hewan pra-kuda dengan teracak jari kaki sebanyak lima buah yang disebut Paleohippus. Hewan tersebut kemudian berkembang dengan empat jari teracak dan satu penunjang (split), sedangkan kaki belakangnya terdiri atas tiga jari teracak dan satu split (Ephippus). Evolusi berlanjut dengan terbentuknya Mesohippus dan Meryhippus yang memiliki teracak kaki depan dan belakang sebanyak tiga buah. Pliohippus menjadi hewan berteracak tunggal pertama yang selanjutnya berkembang menjadi kuda saat ini (Equus caballus) (Blakely dan Bade, 1991).

Populasi kuda diseluruh dunia mencapai 62 juta ekor , yang terdiri dari lima ratus bangsa, tipe dan varietas. Bangsa kuda pada awalnya dianggap sebagai hewan yang berkaitan dengan lokasi geografis tempatnya dikembang biakan untuk memenuhi kebutuhan manusia secara spesifik. Kini bangsa kuda seringkali ditentukan oleh komunitas atau lembaga yang melakukan pencatatan keturunan dan mambuat buku silsilah kuda hasil seleksi berdasar pada daerah asal, fungsi dan ciri fenotipik (Bowling dan Ruvinsky, 2004).

Kuda dapat diklasifikasikan menjadi kuda tipe ringan, tipe berat maupun kuda poni sesuai dengan ukuran, bentuk tubuh dan kegunaan. Kuda tipe ringan mempunyai tinggi 1.45-1.7 m saat berdiri, bobot badan 450-700 Kg dan sering digunakan sebagai kuda tunggang, kuda tarik atau kuda pacu. Kuda tipe ringan secara umum lebih aktif dan lebih cepat dibanding kuda tipe berat. Kuda tipe berat mempunyai tinggi 1.45-1.75 m saat berdiri, dengan bobot badan lebih dari 700 Kg dan biasa digunakan untuk kuda pekerja. Kuda poni memiliki tinggi kurang dari 1.45 m jika berdiri dan bobot badan 250-450 Kg, beberapa kuda berukuran kecil biasanya juga terbentuk dari keturunan kuda tipe ringan (Ensminger, 1962). Tabel 1. menyajikan tipe, kegunaan, jenis, tinggi, bobot badan dan habitat asli dari kuda-kuda yang ada di Dunia.

Tabel 1. Tipe, Kegunaan, Jenis, Tinggi, Bobot Badan dan Habitat Asli

Tipe Kegunaan Jenis Tinggi Bobot badan Habitat Asal

………(m)…… …..(Kg)…. Kuda Kuda tunggang Kuda Albino Amerika 1.45-1.7 450-700 Amerika Serikat

Tunggang berlari cepat- Kuda Sadel Amerika Amerika Serikat Tiga Kuda Arab Arab Saudi Kuda Appalossa Amerika Serikat Kuda Morgan Amerika Serikat Kuda Spotted Maroko Amerika Serikat Kuda Palomino Amerika Serikat Kuda Thoroughbred Inggris

Kuda tunggang Kuda Sadel Amerika 1.45-1.7 450-700 Amerika Serikat Berlari cepat-

Lima

Kuda untuk Kuda Tennesse Walking 1.5-1.6 500-600 Amerika Serikat berjalan

Stock horse Tingkatan, persilangan Atau hasil Biak dalam dari :

Kuda Appalossa 1.5-1.55 500-550 Amerika Serikat Kuda Arab Arab Saudi Kuda Morgan Amerika Serikat Kuda Spotted Maroko Amerika Serikat Kuda Palomino Amerika Serikat Kuda Quarter Amerika Serikat Kuda Thoroughbred Inggris

Pendaki Tingkatan, persilangan 1.45-1.55 500-625 Atau hasil Biak dalam

Pemburu dan dari semua jenis kuda, Pelompat tapi didominasi oleh

keturunan Thoroughbred. 1.55-1.65 500-625

Kuda Poni Kuda Shetland & Welsh 0.9-1.45 250-450 Shetlnd isles untuk ditunggangi Inggris Kuda Kuda pacu Kuda Thoroughbred 1.55-1.65 450-575 Inggris Pacu Pelari

Kuda Pacu Kuda Standardbred 1.45-1.55 450-600 Amerika Serikat berpakaian

Kuda Quarter Kuda Quarter 1.45-1.55 500-600 Amerika Serikat

Kuda Kuda Berpakaian Kuda Cleveland Bay 1.45-1.65 450-650 Inggris Tarik Tipe Berat Kuda French Coach Prancis Kuda Jerman Coach Jerman Kuda Hackney Inggris Kuda Yorkshire Coach Inggris Kuda berpakaian Didominasi oleh

Tipe sedang Kuda Sadel Amerika 1.45-1.7 450-700 Amerika Serikat

Kuda Kuda Morgan & 1.45-1.55 450-600 Amerika Serikat Transportasi Standardbred

Kuda Poni Kuda Hackney 0.9-1.45 250-450 Inggris untuk menarik Kuda Shetland & Welsh Shetland isles Sumber : (Ensminger, 1962)

Kuda Lokal Indonesia

Penduduk asli Indonesia telah beternak kuda, sebelum kedatangan bangsa Eropa. Peternakan kuda pada saat itu belum memenuhi persayaratan teknis beternak kuda, karena kuda hidup di alam bebas dan sangat tergantung pada kebaikan alam. Akibatnya peternakan kuda rakyat menghasilkan kuda dengan kualitas rendah. Kedatangan bangsa Portugis dan Belanda ke Indonesia memberikan pengaruh yang besar terhadap usaha pemuliaan kuda di Indonesia untuk memperbaiki ras kuda lokal, memperbaiki cara beternak penduduk dengan dijelaskan secara sederhana bagaimana cara memberi makan, merawat kuda serta petunjuk-petunjuk lain yang berhubungan dengan beternak kuda. Kuda lokal di Indonesia terdiri atas kuda Gayo, kuda Batak, kuda Priangan, kuda Jawa, kuda Sulawesi, kuda Bali, kuda Sumbawa, kuda Flores, kuda Sandel dan kuda Timor. Sekitar tahun 1955 pemerintah mulai berusaha memperbaiki genetik kuda lokal dengan mendatangkan kuda non-pacu dari luar negeri. Sekitar tahun 1965 dikenal kuda pacu Thoroughbred yang kemudian disilang dengan kuda lokal (kuda Sumba) untuk menghasilkan kuda pacu Indonesia (Soehardjono, 1990).

Kegunaan kuda lokal Indonesia sebagian besar adalah sebagai sarana transportasi, pengangkut barang, sarana hiburan juga sebagai bahan pangan masyarakat lokal (Prabowo, 2003). McGregor (1980), menyatakan kuda poni di Indonesia merupakan salah satu sarana yang dapat digunakan untuk transportasi dan pengembangan peternakan. Pemerintah telah melakukan beberapa upaya untuk meningkatkan mutu genetik kuda-kuda lokal, diantaranya mengawinkan betina kuda Batak terbaik dengan kuda Arab serta mengawinkan betina kuda Sumba dengan kuda Thoroughbred Australia.

Kuda Sumba (Sandelwood)

Edwards (1994) menyatakan bahwa kuda Lokal Indonesia (termasuk kuda Sumba) digolongkan kedalam kuda poni. Roberts (1994), menyatakan seluruh kuda poni (termasuk kuda Sumba didalamnya) telah beradaptasi secara fisik dan merubah gaya hidup mereka untuk bertahan dari kondisi dimana mereka hidup.

Kuda sumba berpinggang agak tinggi dan merupakan keturunan kuda Australia yang pernah diintroduksi ke pulau Sumba. Dijelaskan kemudian bahwa kuda Sumba dianggap sebagai jenis kuda yang baik sebagai kuda pacu, maka pada tahun 1841

pejantan-pejantan kuda unggul, diekspor ke pulau Jawa, Singapura dan Malaysia (Straits Settlements), Manila dan Mauritius (Afrika Timur). Sebagai akibatnya hanya disisakan pejantan yang berkualitas rendah, sehingga mutu peternakan merosot. Sampai akhir tahun 1918 jumlah kuda di pulau Sumba sekitar 16.000 ekor dan memperlihatkan dua jenis bentuk, yaitu kuda yang berbentuk kecil di daerah selatan dan timur serta kuda yang berbentuk agak besar di daerah utara dan barat (Soehardjono, 1990).

Kuda Priangan

Kuda Priangan dibentuk di pulau Jawa sekitar abad tujuh belas, dibentuk melalui persilangan antara kuda lokal dengan kuda Arab dan Barbarian. Pada saat ini kuda Priangan tidak memiliki konformasi yang sama dengan kuda Arab, akan tetapi menempati lokasi yang panas dan memiliki ketahan terhadap cuaca panas yang tingi seperti kuda Arab. Daya tahan serta stamina untuk berlari dalam jarak jauh juga diturunkan oleh kuda Arab, meskipun ukuran tubuhnya lebih kecil. Kuda Priangan dapat dikatakan tangguh dan kuat meskipun memiliki ukuran tubuh yang kecil, mempunyai kepala yang khas dengan telinga panjang dan mata yang cerdas, leher mereka pendek dan berotot serta dada mereka lebar dan dalam, pertulangan mereka dapat dikatakan baik akan tetapi kurang begitu berkembang dengan tulang cannon yang panjang. Kuda Priangan dapat mempunyai beberapa warna dengan tinggi pundak 112 cm-122 cm ( Kingdom, 2006)

Kuda Pacu Indonesia (KPI)

Kuda pacu Indonesia (KPI) merupakan ternak yang saat ini dibentuk untuk memenuhi permintaan kuda pacu. Proses pembentukan KPI dimulai dari G1 yang merupakan hasil persilangan betina lokal dengan pejantan Thoroughbred dengan darah lokal 50% dan darah Thoroughbred 50%. G2 merupakan hasil silang betina G1 pada umur 3 atu 4 tahun dengan pejantan Thoroughbred. Kuda betina G2 dikawinkan dengan jantan Thoroughbred akan menghasilkan G3 dengan komposisi, darah lokal 12,5% dan darah Thoroughbred 87,5% yang dirasa sudah cukup baik untuk dijadikan bibit pejantan (parent-stock) pembentukan kuda pacu Indonesia. G4 selanjutnya dibentuk untuk dijadikan sebagai betina indukan KPI, yang merupakan hasil persilangan antara betina G3 dan jantan Thoroughbred. Selanjutnya betina G4

disilangkan dengan jantan G4 atau G3 dan menghasilkan kuda pacu Indonesia saat ini (Soehardjono, 1990).

Kuda Thoroughbred

Kuda Thoroughbred terbentuk ketika kedatangan kuda-kuda Arab, Turki dan Barb ke Inggris pada abad XVII, kuda-kuda unggul seperti Byerley Turk, Darley Arabian dan Godolphin Barb disilangkan dengan betina lokal untuk kemudian menurunkan kuda pacu unggul yang dinamakan English Thoroughbred yang digunakan sebagai kuda pacu di seluruh dunia. Kuda Thoroughbred memiliki kondisi fisik yang memenuhi syarat untuk berpacu, seperti bentuk kepala kecil dan terlihat pintar, leher panjang, badan panjang, kaki langsing dan panjang, tulang yang ramping dengan panjang yang seimbang serta warna bulu yang halus dan terang (Kidd, 1995).

Morfometrik Kuda

Nozawa (1981), menyatakan bahwa kuda Indonesia secara keseluruhan memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dibandingkan kuda Sabah-Sarawak dari Malaysia timur yang dibentuk dari hasil hibridisasi dengan kuda Eropa. Kuda Indonesia, kecuali betina kuda Padang, menunjukkan tinggi pundak 115 cm-120 cm. Hal tersebut sama dengan ukuran tubuh kuda poni di Asia Tenggara dan kuda lokal jepang yang berukuran kecil. Sasimowski (1987) menambahkan, kepala kuda merupakan bagian tubuh yang menunjukkan karakteristik tertentu sesuai dengan jenis spesies, bangsa, jenis kelamin, habitat hidup dan kondisi kesehatan yang terlihat. Kuda yang hidup di daerah pegunungan dan dataran tinggi memiliki kepala yang relatif pendek dengan dahi yang lebih lebar dan panjang serta mempunyai moncong pendek.

Ukuran kepala amat berkorelasi dengan ukuran tubuh. Jika bobot kepala terlalu berat untuk leher, maka akan membebani kaki depan dan mengganggu keseimbangan. Namun jika ukuran kepala terlalu kecil juga akan mengganggu keseimbangan(Edwards, 1991). Dyce (2002), menambahkan bahwa proporsi yang baik antara kepala dan tubuh (badan serta leher) untuk seekor kuda pacu adalah sebesar 10%-11% : 89%-90%.

Ensminger (1962) menyatakan bahwa kepala kuda yang baik memiliki mata yang agak menonjol dan letaknya cukup terpisah satu sama lain, jarak antara dua mata yang lebar memudahkan kuda untuk melihat ke depan dan ke belakang tanpa harus memalingkan kepala (visual latitude). Lubang hidung (nosetrill) yang dimiliki seekor kuda pacu harus besar agar dapat meghirup udara secara maksimal. Lubang hidung kecil tidak dapat memenuhi paru-paru dengan maksimal sehingga daya tahan seekor kuda pacu akan menurun. Suherman (2007), menyatakan bahwa penciri untuk ukuran (size) tubuh seekor kuda adalah panjang badan, tinggi pundak dan tinggi panggul; sedangkan penciri untuk bentuk (shape) tubuh seekor kuda hanya panjang badan.

Tulang dan Otot

Tulang mempunyai fase darah, fase limfatik dan nervus. Tulang mampu memperbaiki diri dan menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan karena terdapat suatu tekanan. Sepertiga berat tulang terdiri atas kerangka organik berupa jaringan dan sel-sel, yang menyebabkan sifat elastis dan keras pada tulang. Duapertiga berat tulang terdiri atas komponen anorganik (paling banyak adalah garam-garam kalsium dan fosfat) yang menyebabkan sifat keras dan kaku pada tulang (Frandson, 1992).

Thomson (1995) menyatakan tinggi pundak dan tinggi panggul berkembang secara bersama-sama dengan proporsi yang berbeda, yaitu tinggi pundak 2cm-3cm lebih tinggi dibanding tinggi panggul. Pola pertumbuhan dari tinggi pundak, tinggi panggul dan panjang tubuh relatif sama pada setiap masa pertumbuhan. Pertumbuhan pada lutut dan persendian kaki bagian bawah mencapai kondisi stabil saat kuda berumur ±140 hari, waktu tersebut bersamaan dengan berhentinya pertumbuhan dari tulang kaki yang membujur.

Keseluruhan kerangka mempunyai perototan yang terdiri atas tiga jenis urat syaraf utama. Pertama adalah urat syaraf dengan kejangan pelan (slow twitch fiber), yang berpengaruh pada kekuatan dan daya tahan otot. Kedua adalah urat syaraf dengan kejangan menengah (intermediate twitch fiber), yang mempengaruhi kemampuan slow dan fast twitch fiber. Ketiga adalah urat syaraf dengan kejangan cepat (fast twitch fiber), yang mempengaruhi kecepatan kontraksi otot. Otot dengan

fast twitch fiber akan memberikan seekor kuda kecepatan, kegesitan, ketangkasan dan kekuatan saat berlari (Quickness, 2006). Graham-Thiers (2005), menyatakan bahwa untuk mempertahankan ukuran otot seekor kuda tanpa memperhatikan berapa umur kuda tersebut diperlukan tambahan makanan berupa asam amino. Ukuran otot tidak akan berkurang meskipun kuda melakukan sedikit exercise, sedangkan apabila tanpa tambahan pakan otot akan banyak menyusut.

Perbaikan Mutu Genetik Kuda

Persilangan

Perkawinan pada ternak terdiri atas dua macam, yaitu perkawinan secar acak (random mating) dan tidak secara acak. Perkawinan ternak disebut kawin secara acak apabila peluang yang dimiliki jantan maupun betina untuk kawin dan dikawini sama. Perkawinan tidak secara acak pasangan kawin dari ternak telah ditentukan oleh manusia. Perkawinan tidak secara acak dapat berupa perkawinan antara dua individu yang masih mempunyai hubungan keluarga (perkawian silang dalam), atau antara dua individu yang tidak memiliki hubungan keluarga (perkawinan luar).

Persilangan merupakan bagian dari sistem perkawinan luar yang dilakukan antara dua bangsa yag berbeda. Persilangan secara genetik bertujuan untuk menaikan persentase heterezigositas, sehingga dapat meningkatkan variansi genetik. Tujuan utama dari persilangan adalah menggabungkan dua sifat berbeda atau lebih yang terdapat pada dua bangsa ternak kedalam satu bangsa silangan. (Hardjosubroto, 1994). Pada ternak kuda terutama pada kuda friesian, kondisi inbreeding dapat menyebabkan terjadinya retained placenta saat melahirkan (Sevinga, 2004).

Grading Up dan Interse-Mating

Grading up merupakan sistem persilangan yang keturunannya selalu disilangbalikan (back crossing) dengan bangsa pejatan dengan tujuan mengubah bangsa induk (lokal) menjadi bangsa pejantan (impor). Grading up yang dilakukan harus mempunyai arah yang pasti dari persilangan tersebut, karena sistem perkawinan grading up dapat menyebabkan kepunahan pada ternak lokal.

Perkawinan intrese (interse-mating) merupakan perkawinan antara (F1 x F1), (F2 x F2) dan seterusya. Interse-mating menyebabkan terjadinya penurunan koefisien heterosis sebesar 50 % pada setiap generasi, sehingga apabila interse-mating terus dilakukan heterosis dapat hilang (Hardjosubroto, 1994).

Pemanfaatan Efek Heterosis

Efek heterosis sering juga disebut sebagai hybrid vigor merupakan suatu kejadian dalam persilangan. Efek heterosis menyebabkan performans hasil persilangan akan melampaui rata-rata performans kedua bangsa tetua. Penyebab terjadinya heterosis belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga karena adaya gen non additif yang juga menyebabkan dominan, over dominance dan epistasis.

Efek heterosis hanya ditimbulkan oleh sifat-sifat dengan angka pewarisan rendah, misalnya sifat reproduksi. Besar dari efek heterosis tidak dapat diramalkan atau diduga karena dikendalikan oleh gen non additif. Besar dari efek heterosis suatu sifat bergantung pada rata-rata derajat dominasi dan rata-rata perbedaan frekuensi gen antara kedua tetua untuk semua pasangan gen (Hardjosubroto, 1994).

Analisis Komponen Utama ( AKU)

Hollmen (1996) menyatakan bahwa analisis komponen utama (AKU) merupakan suatu metode statistik yang klasik, persamaan fungsi linier ini telah secara luas digunakan di dalam mereduksi dan menganalisis data. Analisis komponen utama didasarkan pada penyajian secara statistik dari suatu variabel acak. Jolliffe (2006) menambahkan bahwa AKU merupakan pusat dari studi multivariate data, dan juga merupakan salah satu teknik multivariate yang paling awal dan utama dalam banyak riset.

Analisis komponen utama (AKU) merupakan suatu metode pereduksi data yang dirancang untuk memperjelas hubungan antara dua karakter atau lebih dan untuk membagi keragaman total dari seluruh karakter ke dalam suatu variabel baru yang tidak berhubungan dan terbatas. AKU juga suatu tehnik multivariate yang digunakan untuk menemukan hubungan struktural antara dua variabel terpisah yang disebut komponen utama. Komponen utama pertama mencakup variabel yang mempunyai keragaman lebih besar dibanding variabel lain. Komponen utama kedua mencakup variabel dengan nilai keragaman besar yang tidak terdapat pada komponen utama pertama dan tidak berhubungan dengan komponen utama pertama, dan seperti itu seterusnya. Komponen utama diatas selanjutnya dibentuk sebuah diagram penyebaran. Sumbu yang pertama menghadirkan ukuran (size) data secara umum dan dapat menjelaskan keragaman sebesar lima puluh sampai 95 persen terhadap data yang diamati. Sumbu kedua merupakan bentuk (shape), dapat

menjelaskan keragaman sekecil-kecilnya satu persen atau lebih terhadap data yang diamati (Wiley, 1981).

Otsuka et al. (1982) menyatakan, AKU sering digunakan untuk membedakan antar populasi. Menurut Nishida et al. (1982) dan Everitt dan Dunn (1998), AKU digunakan untuk membedakan ukuran-ukuran tubuh. Pada aplikasi morfometrik, komponen utama dapat diterima sebagai vektor ukuran (size) dan komponen utama kedua sebagai vektor bentuk (shape). Hal tersebut akan menunjukkan tingkat variasi yang berbeda pada kondisi tubuh dari kelompok hewan yang dapat dijelaskan sebagai perbedaan ukuran seperti yang diperlihatkan pada komponen utama pertama.

Menurut Everitt dan Dunn (1998), metode multivariate yang paling tua dan paling banyak digunakan adalah Principle Component Analysis (PCA). PCA yang diterjemahkan sebagai Analisis Komponen Utama (AKU) (Gaspersz, 1992) pada dasarnya bertujuan untuk menerangkan struktur ragam-peragam melalui kombinasi linear dari peubah-peubah yang diamati. Menurut Everitt dan Dunn (1998) dasar metode ini untuk menggambarkan variasi dari rangkaian data multivariate yang berkenaan dengan rangkaian peubah yang masing-masing tidak berhubungan dengan kombinasi liniear khusus dari peubah yang asli. AKU menyajikan sedikit kombinasi linier dari peubah-peubah awal yang dapat digunakan untuk menyimpulkan rangkaian data.

Menurut Wigginton dan Dobson (2003), yang mengamati Lynx rufus, AKU digunakan untuk memperoleh perkiraan dari skor pada komponen utama pertama. Menurut Everitt dan Dunn (1998), pada morfologi hewan akan lebih dipentingkan pada komponen utama kedua yang mengindikasikan bentuk (shape) dari pada komponen utama pertama yang mengindikasikan ukuran (size) hewan. Hayashi et al. (1982) menyatakan bahwa ditemukan dua cara untuk mengolah komponen utama. Cara pertama diolah dengan matriks kovarian dan kedua dengan matriks korelasi. Kekuatan analisis menjadi lebih tinggi ketika komponen diolah dengan matriks kovarian. Pengolahan kovarian dan korelasi jika dilihat sepintas sama, namun komponen utama dari matriks kovarian lebih efektif untuk diskriminasi populasi, sedangkan komponen utama dari matriks korelasi saling melengkapi antar kedua kelompok. Hasil penelitian Hayashi et al. (1982) terhadap Banteng dan lima sapi (sapi Bali, Madura, Aceh, Leyte dan Korea), menunjukkan bahwa pengolahan

matriks kovarian pada komponen pertama dan kedua mencapai 64,7% dan 11,6% pada semua variasi. Jumlah dari kedua komponen ini mencapai 76,3%; sedangkan pengolahan matriks korelasi pada komponen pertama dan kedua mencapai 54,8% dan 14,4%, jumlah dari keduanya 69,2%. Gaspersz (1992), menyatakan bahwa secara umum metode AKU bertujuan untuk mereduksi data dan menginterpretasikannya.

Koefisien Korelasi (KK)

Menurut Gaspersz (1992), untuk mengukur keeratan hubungan (korelasi) antar peubah asal dan komponen utama dapat diketahui dengan koefisien korelasi antara peubah asal dan komponen utama itu. Menurut Everitt dan Dunn (1998), nilai koefisien korelasi antara -1 sampai dengan 1; dan memperlihatkan ukuran linear dari hubungan peubah xi dan xj. Koefisien korelasi bernilai positif jika xi bernilai tinggi diikuti dengan nilai xj yang juga tinggi dan kejadian sebaliknya; dan bernilai negatif jika nilai xi tinggi dan nilai xj rendah dan kejadian sebaliknya. Hal tersebut diperkuat dengan dinyatakan oleh Gaspersz (1992), bahwa nilai koefisien korelasi -1, menunjukkan hubungan negatif sempurna antar x dan y, sedangkan nilai koefisien korelasi 1, menunjukkan hubungan positif sempurna antar x dan y.

Dokumen terkait