• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Obesitas

Pengertian kegemukan sering kali disamakan dengan obesitas, padahal kedua istilah tersebut memiliki arti yang berbeda, kegemukan (overweight) adalah kondisi berat tubuh melebihi berat tubuh normal, sedangkan obesitas adalah kondisi kelebihan berat tubuh akibat tertimbunnya lemak, untuk pria dan wanita masing-masing melebihi 20% dan 25% dari berat tubuh. Dijelaskan lebih lanjut bahwa kegemukan dan obesitas bisa terjadi pada berbagai kelompok usia dan jenis kelamin. Juvenil obesity adalah obesitas yang terjadi pada usia muda (anak-anak) (Rimbawan & Siagian 2004).

Penyebab obesitas belum diketahui secara pasti. Obesitas adalah suatu penyakit multifaktoral yang diduga bahwa sebagian besar obesitas disebabkan oleh karena interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan, antara lain aktivitas, gaya hidup, sosial ekonomi, dan gizi yaitu prilaku makan dan pemberian makanan padat terlalu dini pada bayi (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009).

Obesitas pada anak, disebabkan oleh masukan makanannya yang berlebih. Selain itu, pada waktu lahir anak tidak dibiasakan mengonsumsi air susu ibu (ASI), tetapi dibiasakan pakai susu formula dalam botol, padahal anak yang diberi ASI, biasanya asupan ASI-nya sesuai ketentuan berat badan bayi (Darmono 2006). Beberapa faktor penyebab obesitas diuraikan di bawah berikut: Karakteristik Anak

Menurut WHO (2000), perempuan cenderung mengalami peningkatan penyimpanan lemak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan cenderung mengonsumsi sumber karbohidrat yang lebih kuat sebelum masa pubertas, sementara laki-laki lebih cenderung mengonsumsi makanan yang kaya protein. Tetapi penelitian yang dilakukan oleh Proper et al. (2006) menyatakan bahwa laki-laki secara signifikan lebih berkemungkinan untuk menjadi overweight atau obesitas daripada wanita, karena laki-laki cenderung untuk menghabiskan lebih bayak waktu untuk santai saat akhir minggu atau waktu senggang.

Berat badan pada saat lahir sangat berpengaruh pada berat badan anak kemudian. Bayi yang lahir dengan berat badan lebih atau rendah berisiko menjadi obesitas di kemudian harinya. Bayi yang di dalam kendungan menderita kekurangan gizi akan membutuhkan asupan energi dan lemak yang tinggi setelah berada di luar kandungan. Bayi-bayi ini akan melalui proses

pertumbuhan cepat, hingga mencapai ukuran tertentu. Setelah tumbuh lebih besar, sistem tubuh meraka adalah sistem dengan “gaya hemat”. Istilah ini berarti janin yang kekurangan makanan pada saat berada dalam kandungan akan tumbuh sebagai individu yang mengatur tubuhnya untuk menyimpan lemak lebih banyak dan lebih efesien dalam penggunaannya (Parson et al. 2001).

Seorang anak yang terlahir akan memiliki kriteria berat badan saat dilahirkan. Bayi dikatakan lahir dengan berat normal jika berat badannya antara 2500-3800 gram. Bayi dikatakan lahir dengan BBLR jika berat badannya kurang dari 2500 gram. Penelitian yang dilakukan di Australia, terdapat hubungan yang signifikan antara berat badan lahir rendah (BBLR) dan berat lahir lebih dengan risiko kejadian obesitas pada anak usia 4 sampai 5 tahun. Peneliti menemukan bahwa berat lahir rendah (BBLR) memiliki risiko yang lebih rendah menjadi obesitas pada anak perempuan yang berusia 4 sampai 5 tahun (OR: 0,50; Cl 95%: 0,32-0,77) dibandingkan dengan berat lahir lebih, namun tidak terdapat hubungan antara berat badan lahir rendah (BBLR) dengan kejadian obesitas pada anak laki-laki. Berat lahir lebih memiliki hubungan dan risiko yang lebih tinggi untuk menjadi obesitas pada anak perempuan (OR: 1,76; Cl 95%: 1,12,- 2,78) dan anak laki-laki (OR: 2,42; Cl 95%: 2,06-2,86) (Oldroyd et al. 2010). Faktor Keturunan

Parenteral fatness merupakan faktor genetik yang berperan besar, bila kedua orang tua obesitas, 80% anaknya menjadi obesitas, bila salah satu orang tua obesitas, kejadian obesitas menjadi 40% dan bila kedua orang tua tidak obesitas, prevalensi menjadi 14% (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009).

Orang tua yang gemuk cenderung memiliki anak yang gemuk pula. Faktor genetik turut menentukan jumlah sel lemak dalam lemak yang berjumlah besar dan melebihi ukuran normal, secara otomatis akan diturunkan kepada bayi selama dalam kandungan. Tidak heran bila bayi yang lahir memiliki jumlah sel yang relatif sama besar (Zainun 2002).

Effendi (2003) menyatakan bila kedua orang tua mengalami kegemukan, maka kemungkinan anaknya mengalami obesitas mencapai 66–80%. Bila salah satu orang tua mengalami kegemukan maka kemungkinan anak mengalami obesitas sekitar 20–51%. Bahkan bila kedua orangtuanya memiliki status gizi normal, anak memiliki kemungkinan gemuk sebesar 7-14%.

Penelitian yang dilakukan Badan Internasional Obesity Tak Force (IOTF) dari badan WHO yang mengurusi masalah kegemukan pada anak menyebutkan

hasil yang berbeda, bahwa faktor genetik hanya berpengaruh 1% dari kejadian obesitas pada anak, sedangkan 99% disebabkan faktor lingkungan (Darmono 2006).

Karaktersitik Keluarga

Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan

seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan

mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan wanita mempengaruhi derajat kesehatan (Atmarita & Fallah 2004).

Pendidikan ayah diduga berkaitan dengan tingkat status ekonomi keluarga, karena pendidikan orang tua berhubungan dengan tingkat pendapatan orang tua. Tingkat pendidikan orang tua sangat berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi anaknya. Makin tinggi tingkat pendidikan maka pendapatan pun akan semakin tinggi. Pendapatan keluarga yang tinggi berarti kemudahan dalam membeli dan mengonsumsi makanan enak dan mahal yang mengandung energi tinggi seperti fast food (Padmiari & Hadi 2001).

Perubahan pengetahuan sikap, perilaku dan gaya hidup, pola makan, serta peningkatan pendapatan mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Suatu data menunjukkan bahwa beberapa tahun terakhir terlihat adanya perubahan gaya hidup yang menjurus pada penurunan aktifitas fisik, seperti ke sekolah dengan naik kendaraan dan kurangnya aktivitas bermain dengan teman serta lingkungan rumah yang tidak memungkinkan anak- anak bermain diluar rumah, sehingga anak lebih senang bermain komputer atau

games, menonton televisi atau video dibanding melakukan aktivitas fisik. Selain itu juga ketersediaan dan harga dari junk food yang mudah terjangkau akan berisiko menimbulkan obesitas (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009).

Menurut Soekirman (2000), Bannet menemukan bahwa peningkatan pendapatan akan mengakibatkan individu cenderung meningkatkan kualitas konsumsi pangannya dengan harga yang lebih mahal per unit zat gizinya. Peningkatan pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik.

Selain itu, menurut Nasoetion dan Riyadi (1994) keluarga yang berpenghasilan cukup atau tinggi lebih mudah dalam menentukan pemilihan bahan pangan sesuai dengan syarat mutu yang baik. Tingkat pendapatan

merupakan faktor yang menuntukan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Pendapatan yang tinggi akan menigkatkan daya beli sehingga keluarga mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan dan akhirnya berdampak positif terhadap status gizi.

Menurut hasil penelitian Yueniwati dan Rahmawati (2001), terdapat hubungan antara pendidikan terakhir ibu dengan pengetahuan ibu tentang obesitas pada anak. Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak karena dengan pendidikan yang baik maka orangtua dapat menerima segala informasi dari luar, terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anak dan sebagainya. Dijelaskan lebih lanjut pengetahuan ibu tentang obesitas pada anak juga berhubungan dengan status pekerjaan ibu, yaitu apakah ibu bekerja atau tidak.

Riwayat Makan Anak

Menurut Darmono (2006), obesitas pada anak disebabkan oleh masukan makanannya yang berlebih. Selain itu, pada waktu lahir anak tidak dibiasakan mengonsumsi air susu ibu (ASI), tetapi dibiasakan mengonsumsi susu formula dalam botol. Padahal anak yang diberi ASI, biasanya asupan ASI-nya sesuai dengan kebutuhannya. Anak yang biasa meminum susu dalam botol, jumlah masukan makanan pada anak tidak dapat dihitung dengan tepat, bahkan para orang tua cenderung memberikan susunya lebih kental, sehingga melebihi porsi yang dibutuhkan anak.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Kries dan Rudiger (1999) yang melibatkan 9357 anak sekolah di Bavaria Jerman ditemukan prevalensi kejadian obesitas lebih tinggi pada anak yang tidak pernah mendapat ASI, yakni sekitar 4,5%, tidak setinggi prevalensi obesitas pada anak yang pernah mendapat ASI pada masa bayinya yakni hanya 2,8%. Anak yang diberi ASI pada masa bayinya akan memiliki kemungkinan 0,75 kali (yang berarti lebih kecil) untuk menjadi obes dibandingkan anak yang tidak diberi ASI pada masa bayinya. Ini berarti pemberian ASI sejak bayi memiliki faktor protektif pada kejadian obesitas pada masa anak. Secara keseluruhan dapat ditarik kesimpulan bahwa pemberian ASI pada masa bayi dapat menurunkan risiko anak menjadi obes, baik pada masa kanaknya ataupun setelah ia menjadi dewasa.

Penelitian Bogen, Hanusa, dan Whitaker (2004) menyebutkan bahwa pembenan ASI pada anak bisa menurunkan risiko obesitas pada anak 0,70 (95%

Cl 0,61-0,80). Peranan faktor gizi dimulai sejak dalam kandungan di mana jumlah lemak tubuh dan pertumbuhan bayi dipengaruhi berat badan ibu. Kenaikan berat badan dan lemak anak dipengaruhi oleh waktu pertama kali mendapat makanan padat, asupan tinggi energi dari karbohidrat dan lemak, serta kebiasaan mengonsumsi makanan yang mengandung energi tinggi (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009).

Kebiasaan Makan

Kebiasaan adalah pola perilaku yang diperoleh dari pola yang terjadi berulang-ulang. Sedangkan kebiasaan makan adalah suatu pola perilaku konsumsi pangan yang diperoleh karena terjadi berulang-ulang. Kebiasaan makan juga dikaitkan dengan cara-cara individu dan kelompok individu memilih, mengonsumsi, dan menggunakan makanan yang tersedia, yang didasarkan pada faktor-faktor psikologi, fisiologi, sosial, dan budaya di mana ia hidup (Suhardjo 2003). Selain itu, menurut Khumaidi (1989) kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan meliputi sikap, kepercayaan, dan pemilihan makanan.

Kebiasaan makan yang tergesa-gesa, termasuk kurang mengunyah akan membawa efek yang kurang menguntungkan bagi pencernaan dan mengakibatkan cepat merasa lapar kembali. Rasa lapar yang sering muncul akan befakibat pada konsumsi makan yang tidak pada waktunya dan berlebihnya

intake makanan. Begitu pula jika frekuensi makan tidak teratur. Jarak antara dua waktu makan yang terlalu panjang menyebabkan adanya kecenderungan untuk makan labih banyak dan melebihi batas (Wirakusumah 1994).

Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan energi yang dikeluarkan sehingga terjadilah kelebihan energi yang selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Sebagian besar obesitas terjadi akibat makan yang berlebihan. Pola makan tidak teratur, sering ngemil atau makan camilan, sementara aktivitas kurang (Hartoyo 2007).

Penelitian di Amerika dan Finlandia menunjukkan bahwa kelompok dengan asupan tinggi lemak mempunyai risiko peningkatan berat badan 12 kali, selain itu peningkatan konsumsi daging akan meningkatkan risiko obesitas sebesar 1,46 kali. Keadaan ini disebabkan karena makanan berlemak mempunyai kandungan energi lebih besar dan mempunyai efek pembakaran dalam tubuh yang lebih kecil dibandingkan makanan yang banyak mengandung protein dan karbohidrat (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009).

Dijelaskan lebih lanjut, makanan berlemak juga mempunyai rasa yang lezat sehingga akan meningkatkan selera makan yang akhirnya terjadi konsumsi yang berlebihan. Selain itu, kapasitas penyimpanan makronutrien juga menentukan keseimbangan energi. Protein mempunyai kapasitas penyimpanan sebagai protein tubuh dalam jumlah terbatas dan metabolisme asam amino diregulasi dengan ketat, sehingga bila intake protein berlebihan dapat dipastikan akan dioksidasi, sedangkan karbohidrat mempunyai kapasitas penyimpanan dalam bentuk glikogen hanya dalam jumlah kecil. Bila cadangan lemak tubuh rendah dan asupan karbohidrat berlebihan, maka kelebihan energi dan karbohidrat sekitar 60-80% disimpan dalam bentuk lemak tubuh. Lemak mempunyai kapasitas penyimpanan yang tidak terbatas. Kelebihan asupan lemak tidak diiringi peningkatan oksidasi lemak sehingga sekitar 96% lemak akan disimpan dalam jaringan lemak (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009).

Menurut Popkin (2007), camilan sebenarnya penting bagi anak, sebab perutnya kecil dan ia perlu ngemil lebih sering. Namun apapun camilannya dalam sehari, seharusnya hanya memberikan 20 persen dari total energinya. Kebiasaan mengonsumsi camilan biasanya dilakukan saat anak menonton televisi, bermain game, dan saat belajar. Ketiga kegiatan tersebut merupakan aktivitas fisik yang sangat rendah, namun dalam waktu bersamaan anak mengonsumsi makanan yang mengandung cukup banyak energi. Tidak seimbangnya antara konsumsi energi dengan aktivitas fisik yang dilakukan merupakan salah satu penyebab obesitas pada anak.

Menurut RISKESDAS (2007), penduduk dikategorikan ‘cukup’ konsumsi sayur dan buah apabila makan sayur dan/atau buah minimal 5 porsi per hari selama 7 hari dalam seminggu. Dikategorikan ’kurang’ apabila konsumsi sayur dan buah kurang dari ketentuan di atas. Secara keseluruhan, penduduk umur 10- 14 tahun yang kurang mengonsumsi buah dan sayur sebesar 93,6% (<5 porsi per hari). Berdasarkan tingkat pengeluaran per kapita, dengan meningkatnya strata juga tampak pengurangan prevalensi kurang konsumsi buah dan sayur, dengan perkataan lain, semakin tinggi tingkat pengeluaran per kapita perbulan, semakin tinggi konsumsi buah dan sayur.

Penelitian yang dilakukan oleh Cornell University (2003) menyatakan bahwa anak-anak yang minum lebih dari 12 ons soft drink meningkat berat badannya secara signifikan dibandingkan dengan anak-anak dengan konsumsi kurang dari 6 ons per hari. Hal ini disebabkan karena anak-anak tidak

mengurangi makanan utama yang dimakan dan ditambah dengan peningkatan kalori yang berasal dari minuman tersebut. Semakin banyak minuman yang dikonsumsi, maka semakin besar asupan kalori dan semakin tinggi pertambahan berat badannya.

Fast food atau ready-to-eat-food jadi pilihan utama orang tua yang sibuk atau konsumsi ketika menghabiskan waktu bersama keluarga pada masyarakat modern. Hal ini disebabkan karena pengolahannya yang cenderung cepat karena menggunakan tenaga mesin, terlihat bersih karena penjamahnya adalah mesin, restoran yang mudah ditemukan serta karena pelayanannya yang selalu sedia setiap saat, bagaimanapun cara pemesanannya (Worthington & William 2000).

Menurut WHO (2000), perkembangan food industry yang salah satunya berkembangnya makanan cepat saji, yaitu makanan yang tinggi lemak tetapi rendah karbohidrat kompleks merupakan salah satu faktor risiko obesitas. Banyaknya jenis fast food yang dikonsumsi merupakan faktor risiko terjadinya obesitas (OR = 11,0). lni berarti mengonsumsi fast food akan berisiko 11 kali mengalami obesitas jika dibandingkan dengan mereka yang tidak mengonsumsinya.

Lemak memiliki kandungan energi dua kali lebih banyak dibandingkan dengan protein. Makan makanan berlemak dengan jumlah yang sama dengan protein akan memberikan energi yang lebih besar. Selain itu, makanan berlemak terasa lezat dan memiliki “mouth-feel” yang enak. Makanan berlemak biasanya rendah serat, sehingga lebih lembut dan hanya memerlukan sedikit waktu untuk dikunyah dan ditelah daripada jenis makanan lain (Atkinson 2005).

Penelitian lain mengemukakan bahwa konsumsi makanan yang digoreng berhubungan positif dengan kegemukan (baik itu general maupun central obesity) hal ini terjadi pada subjek di mana asupan tertinggi dari energi berasal dari makanan gorengan. Seseorang yang mengonsumsi makanan gorengan lebih banyak berisiko 1,26 kali (pria) dan 1,25 kali (wanita) lebih tinggi untuk mengalamin kegemukan (Castillon et al. 2007).

Menurut kelompok umur 10-14, terdapat 13,5% anak yang sering mengonsumsi makanan berlemak dan 2,1% anak yang sering mengonsumsi jeroan. Penduduk yang “sering” makan makanan berlemak dan jeroan dianggap sebagai berperilaku konsumsi makanan berisiko. Perilaku konsumsi makanan berisiko dikelompokkan “sering” apabila penduduk mengonsumsi makanan tersebut satu kali atau lebih setiap hari. Menurut tingkat pendidikan, pola

prevalensi sering mengonsumsi makanan berlemak dan jeroan cenderung meningkat sesuai dengan meningkatnya pendidikan. Menurut tipe daerah, pola prevalensi sering mengonsumsi makanan berlemak ditemukan lebih tinggi di perkotaan dibanding perdesaan. Menurut tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita, pola prevalensi sering mengonsumsi makanan berlemak dan jeroan cenderung meningkat sesuai dengan peningkatan kuintil ekonomi (RISKESDAS 2007).

Aktivitas Fisik

Menurut Almatsier (2003) ativitas fisik merupakan salah satu bentuk penggunaan energi dalam tubuh, di samping metabolisme basal. Aktivitas fisik merupakan komponen utama dari energy expenditure, yaitu sekitar 20-50% dari total energi expenditure. Penelitian di negara maju mendapatkan hubungan antara aktvitas fisik yang rendah dengan kejadian obesitas. Individu dengan aktivitas fisik yang rendah mempunyai risiko peningkatan berat badan sebesar 5 kg. Penelitian di Jepang menunjukkan pada kelompok yang mempunyai kebiasaan olah raga berisiko 0,48 kali mengalami obesitas. Penelitian terhadap anak Amerika dengan tingkat sosial ekonomi yang sama menunjukkan bahwa mereka yang menonton televisi 5 jam perhari mempunyai risiko obesitas sebesar 5,3 kali lebih besar dibandingkan mereka yang menonton televisi 2 jam setiap harinya (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009).

Obesitas atau kegemukan yang parah terjadi karena tidak adanya keseimbangan energi, di mana energi intake jauh lebih besar dibandingkan energi expenditure atau energi yang terpakai dalam aktivitas fisik. Energy intake

ialah energi yang dikonsumsi sebagai makanan dan minuman yang dapat dimatabolisme dalam tubuh kita (WHO 2000).

Sebuah penelitian yang diadakan di Inggris oleh tim peneliti dari ALSPAC (Avon Longitudinal Study of Parents and Children) yang meneliti anak sejak dalam kandungan hingga usia 7 tahun, menemukan kaitan antara menonton televisi dengan kejadian obesitas. Odds ratio kemungkinan menjadi obesitas meningkat linier dengan bertambahnya waktu menonton televisi. Anak yang menonton televisi 4 sampai 8 jam perminggu di usia 3 tahun, maka kemungkinan untuk menjadi obes (odds ratio) pada usia 7 tahun adalah 1,37 kali lebih besar. Secara keseluruhan anak yang menonton televisi lebih dari delapan jam seminggu memiliki kemungkinan menjadi obes 1,55 kali lebih besar dibandingkan

anak yang menonton televisi kurang dari depalan jam perminggu (Reilly et al.

2005).

Dijelaskan lebih lanjut, menonton televisi merupakan salah satu bentuk bermain pasif yang membuat anak merasa bahagia dan senang. Kesenangan ini tidak selamanya berdampak positif bila dilakukan secara berlebihan. Menonton televisi berisiko menyebabkan obesitas karena aktivitas fisik ini telah mengambil waktu anak yang seharusnya bisa digunakan untuk melakukan aktivitas fisik. Berkurangnya aktivitas fisik pada akhirnya akan berakibat menurunkan energi yang digunakan (energy expenditure). Menonton televisi juga sangat berkaitan erat dengan kebiasaan makan makanan ringan (snacking) yang akan memberikan asupan energi yang tinggi pada anak. Ketidakseimbangan neraca energi inilah yang menyebabkan obesitas (Reilly et al. 2005).

Penelitian tersebut menyebutkan bahwa, aktivitas tidur menjadi salah satu aktivitas yang harus disoroti. Terdapat hubungan yang erat antara jumlah waktu tidur anak dengan kejadian obesitas. Selain itu, pendapat yang sama pada penelitian yang dilakukan tahun 1960-2000 menyebutkan, kejadian kegemukan meningkat dua kali lipat terjadi pada mereka yang memiliki kelebihan tidur 1 hingga 2 jam (Boyles 2005).

Menurut Yayasan Tidur Nasional, usia bayi dari satu hingga tiga tahun seharusnya tidur selama 12-14 jam, anak TK berusia 3-5 tahun seharusnya tidur 11-13 jam, dan usia 5-10 tahun seharusnya tidur selama 8,5-9,25 jam per malam. Beberapa penelitian telah menghubungkan tidur yang singkat dengan kelebihan berat badan pada anak dan remaja. Bell dan mitra peneliti Dr. Frederick Zimmerman dari Universitas California telah mencatat dalam laporan mereka. Tetapi, kebanyakan dari penelitian tersebut hanya melihat satu waktu saja, menyebabkan sulit untuk menentukan tidur yang cukup sehingga anak menjadi obesitas atau sebaliknya. Lebih lama tidak tidur berarti lebih banyak kesempatan untuk makan. Menurut Bell orang dewasa yang kurang tidur memiliki selera makan yang berbeda dan hormon yang berhubungan dengan rasa lapar, seperti leptin dan ghrelin, hal ini dapat terjadi pada anak (Priyambodo 2010).

Penelitian menunjukkan ada hubungan yang bertolak belakang antara IMT dan aktivitas fisik. Menurun dan rendahnya tingkat aktivitas fisik dipercaya sebagai salah satu hal yang menyebabkan obesitas. Tren kesehatan terkini juga menunjukkan prevalensi obesitas meningkat bersamaan dengan meningkatnya perilaku sedentary dan berkurangnya aktivitas fisik (WHO 2000).

Penelitian menunjukkan bahwa penurunan pengeluaran energi sehari-hari tanpa penurunan bersamaan dalam konsumsi energi total merupakan faktor yang mendasari dalam peningkatan obesitas. Pemeriksaan terakhir dari Department of Education’s Early Childhood Longitudinal Survey (ECLS-K) menemukan bahwa peningkatan satu jam dalam kegiatan aktivitas fisik per minggu menghasilkan penurunan 0,31 (sekitar 1,8%) dalam indeks massa tubuh pada anak perempuan

overweight, sedangkan ada penurunan yang lebih kecil untuk anak laki-laki. Studi ini menyimpulkan bahwa memperbanyak kegiatan aktivitas fisik (olah raga) di sekolah sampai setidaknya lima jam per minggu dapat mengurangi 9,8-5,6% anak perempuan yang overweight. Saat ini, sekolah mengurangi jumlah bermain atau aktivitas fisik yang diterima anak selama jam sekolah. Hanya sekitar sepertiga anak-anak SD memiliki kegiatan aktivitas fisik (olah raga) harian, dan kurang dari seperlima memiliki program ekstrakurikuler olah raga di sekolah mereka (Health & Human Services 2011).

Aktifitas fisik secara teratur bermanfaat untuk mengatur berat badan dan menguatkan sistem jantung dan pembuluh darah. Kegiatan aktifitas fisik dikategorikan ‘cukup’ apabila kegiatan dilakukan terus-menerus sekurangnya 10 menit dalam satu kegiatan tanpa henti dan secara kumulatif 150 menit selama lima hari dalam satu minggu. Menurut kelompok umur 10-14 tahun yang kurang melakukan aktifitas sebanyak 66,9% (<150 menit/minggu). Berdasarkan tingkat pendidikan, semakin tinggi pendidikan semakin tinggi prevalensi kurang aktifitas fisik. Prevalensi kurang aktifitas fisik penduduk perkotaan (57,6%) lebih tinggi di banding perdesaan (42,4%), dan semakin tinggi tingkat pengeluaran per kapita per bulan semakin meningkat prevalensi kurang aktifitas fisik (RISKESDAS 2007).

Perilaku kurang mengonsumsi sayur dan/atau buah (<5 porsi per hari), kurang aktifitas fisik (<150 menit/minggu), dan merokok setiap hari merupakan perilaku yang menjadi faktor risiko untuk penyakit tidak menular utama (penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus, kanker, stroke, penyakit paru obstruktif kronik) (RISKESDAS 2007).

Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi secara langsung dibagi menjadi empat, yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan konsumsi pangan. Metode antropometri menggunakan pengukuran-pengukuran dimensi fisik dan komposisi tubuh.

Dokumen terkait