• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Risiko Obesitas pada Anak Sekolah Dasar di Kota Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor Risiko Obesitas pada Anak Sekolah Dasar di Kota Bogor"

Copied!
196
0
0

Teks penuh

(1)

Children in Bogor. Supervised by FAISAL ANWAR and SRI ANNA MARLIYATI. The purpose of this study was to find out the influence of food consumption pattern, physical activity, heredity, infant feeding history, and dominant risk factors on obesity in elementary school children in Bogor. The observation was held between May and September 2011 at Insan Kamil Elementary School. The samples for this study were 80 students of 9 – 11 years old (40 obese students and 40 normal students) selected from grades IV and V by random sampling technique. Food consumption pattern, physical activity, parents nutritional status, and infant feeding history of the students were identified and measured by using questionnaire and interview technique. The obtained data then was analyzed by using bivariate and multivariate (logistic regression) statistics tests. The results of study showed that there were significant influences of birth weight (r = 0.253, p = 0.023), father nutritional status (r = 0.408, p = 0.000), energy adequacy level (r = 0.557, p = 0.000), fat consumption (r = 0.458, p = 0.000), soft drink consumption frequency (r = 0.314, p = 0.005), fast food consumption frequency (r = 0.311, p = 0.005), fatty food consumption frequency (r = 0.469, p = 0.000), playing time (r = -0.271, p = 0.015), on obesity of children. The result of logistic regression test showed that dominant and influential variables on the obesity were father nutritional status (OR = 1.494), mother nutritional status (OR = 1.446), energy adequacy level (OR = 1.073), fast food consumption frequency (OR = 4.028), and fatty food consumption frequency (OR = 9.071).

(2)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keberhasilan pembangunan nasional khususnya dalam bidang gizi dan kesehatan, beberapa tahun belakangan ini berdampak baik bagi penurunan jumlah penderita kasus gizi kurang di Indonesia dan dunia. Namun keberhasilan tersebut diikuti oleh peningkatan prevalensi gizi lebih pada masyarakat. Berdasarkan catatan Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2003, tidak kurang dari 1,2 miliar penduduk dunia mengalami obesitas. Data survei yang dikumpulkan oleh WHO sejak tahun 1983 hingga 2004 menggambarkan bahwa 17 dari 28 negara di dunia (dua negara di Afrika, satu negara di Amerika Utara, satu negara di Amerika Latin, 3 negara di Asia, 8 negara di Eropa, dan dua negara di Oceania), mengalami peningkatan prevalensi obesitas (Nishida & Mucavale 2005).

Obesitas merupakan suatu keadaan terjadinya kelebihan berat badan melebihi 20% dari berat badan normal. Obesitas ditandai dengan penimbunan lemak yang berlebihan pada berbagai bagian tubuh, terutama pada pinggang, pinggul, dan lengan atas (Siagian 2004). Obesitas mulai menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia, bahkan WHO menyatakan bahwa obesitas sudah merupakan suatu epidemi global, sehingga obesitas sudah merupakan suatu masalah kesehatan yang harus segera ditangani (WHO 2000).

Prevalensi obesitas meningkat dari tahun ke tahun, baik di negara maju maupun negara yang sedang berkembang. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan tahun 2007, prevalensi obesitas pada anak-anak usia 6 dan 14 tahun mencapai 9,5% untuk pria, sedangkan pada perempuan mencapai 6,4%. Kondisi ini meningkat dari tahun 1990-an yang berkisar 4% (RISKESDAS 2007).

Menurut RISKESDAS (2010) secara nasional masalah kegemukan pada anak umur 6-12 tahun masih tinggi yaitu 9,2% atau masih di atas 5,0%. Prevalensi kegemukan pada anak laki-laki umur 6-12 tahun lebih tinggi dari prevalensi pada anak perempuan yaitu berturut-turut sebesar 10,7% dan 7,7%. Berdasarkan tempat tinggal prevalensi kegemukan lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan prevalensi di perdesaan yaitu berturut-turut sebesar 10,4% dan 8,1%.

(3)

pada penyakit kardiovaskuler dan anak yang obesitas mempunyai risiko hipertensi lebih besar. Penelitian Syarif (2003) menemukan hipertensi pada 20– 30% anak yang obesitas, terutama obesitas tipe abdominal. Ancaman obesitas di kalangan anak-anak juga melanda Indonesia (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009).

Faktor utama terjadinya obesitas adalah adanya ketidakseimbangan asupan energi dengan keluaran energi. Asupan energi tinggi bila konsumsi makanan berlebihan, sedangkan keluaran energi menjadi lebih rendah bila metabolisme tubuh dan aktivitas fisik rendah (IOTF 2004). Hal tersebut banyak dialami oleh golongan masyarakat tingkat menengah ke atas. Di Indonesia, terutama di kota-kota besar, dengan adanya perubahan gaya hidup yang menjurus ke westernisasi dan sedentary berakibat pada perubahan pola makan atau konsumsi masyarakat yang merujuk pada pola makan tinggi kalori, tinggi lemak, dan kolesterol, terutama terhadap penawaran makanan siap saji (fast food) yang berdampak meningkatkan risiko obesitas (Heird 2002).

Salah satu penyebab obesitas pada anak dapat terjadi karena faktor genetik. Hal ini merupakan faktor keturunan dari orang tua yang sulit dihindari. Bila ayah atau ibu memiliki kelebihan berat badan, hal ini dapat diturunkan pada anak. Selain itu kebiasaan makan anak yang gemar terhadap makanan cepat saji (fast food) yang umumnya mengandung lemak dan minuman ringan (soft drink) yang mengandung gula yang tinggi juga merupakan penyebab obesitas pada anak.

(4)

Tujuan Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengkaji faktor risiko obesitas pada anak sekolah dasar obes di Kota Bogor serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Tujuan Khusus

1. Mempelajari karakteristik anak dan karakteristik keluarga anak sekolah dasar obes di Kota Bogor.

2. Mengidentifikasi riwayat makan dan kebiasaan makan anak sekolah dasar obes di Kota Bogor.

3. Mempelajari pola konsumsi anak sekolah dasar obes di Kota Bogor. 4. Mengukur aktivitas fisik anak sekolah dasar obes di Kota Bogor. 5. Menganalisis faktor risiko obesitas pada anak.

Kegunaan

(5)

TINJAUAN PUSTAKA

Obesitas

Pengertian kegemukan sering kali disamakan dengan obesitas, padahal kedua istilah tersebut memiliki arti yang berbeda, kegemukan (overweight) adalah kondisi berat tubuh melebihi berat tubuh normal, sedangkan obesitas adalah kondisi kelebihan berat tubuh akibat tertimbunnya lemak, untuk pria dan wanita masing-masing melebihi 20% dan 25% dari berat tubuh. Dijelaskan lebih lanjut bahwa kegemukan dan obesitas bisa terjadi pada berbagai kelompok usia dan jenis kelamin. Juvenil obesity adalah obesitas yang terjadi pada usia muda (anak-anak) (Rimbawan & Siagian 2004).

Penyebab obesitas belum diketahui secara pasti. Obesitas adalah suatu penyakit multifaktoral yang diduga bahwa sebagian besar obesitas disebabkan oleh karena interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan, antara lain aktivitas, gaya hidup, sosial ekonomi, dan gizi yaitu prilaku makan dan pemberian makanan padat terlalu dini pada bayi (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009).

Obesitas pada anak, disebabkan oleh masukan makanannya yang berlebih. Selain itu, pada waktu lahir anak tidak dibiasakan mengonsumsi air susu ibu (ASI), tetapi dibiasakan pakai susu formula dalam botol, padahal anak yang diberi ASI, biasanya asupan ASI-nya sesuai ketentuan berat badan bayi (Darmono 2006). Beberapa faktor penyebab obesitas diuraikan di bawah berikut:

Karakteristik Anak

Menurut WHO (2000), perempuan cenderung mengalami peningkatan penyimpanan lemak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan cenderung mengonsumsi sumber karbohidrat yang lebih kuat sebelum masa pubertas, sementara laki-laki lebih cenderung mengonsumsi makanan yang kaya protein. Tetapi penelitian yang dilakukan oleh Proper et al. (2006) menyatakan bahwa laki-laki secara signifikan lebih berkemungkinan untuk menjadi overweight atau obesitas daripada wanita, karena laki-laki cenderung untuk menghabiskan lebih bayak waktu untuk santai saat akhir minggu atau waktu senggang.

(6)

pertumbuhan cepat, hingga mencapai ukuran tertentu. Setelah tumbuh lebih besar, sistem tubuh meraka adalah sistem dengan “gaya hemat”. Istilah ini berarti janin yang kekurangan makanan pada saat berada dalam kandungan akan tumbuh sebagai individu yang mengatur tubuhnya untuk menyimpan lemak lebih banyak dan lebih efesien dalam penggunaannya (Parson et al. 2001).

Seorang anak yang terlahir akan memiliki kriteria berat badan saat dilahirkan. Bayi dikatakan lahir dengan berat normal jika berat badannya antara 2500-3800 gram. Bayi dikatakan lahir dengan BBLR jika berat badannya kurang dari 2500 gram. Penelitian yang dilakukan di Australia, terdapat hubungan yang signifikan antara berat badan lahir rendah (BBLR) dan berat lahir lebih dengan risiko kejadian obesitas pada anak usia 4 sampai 5 tahun. Peneliti menemukan bahwa berat lahir rendah (BBLR) memiliki risiko yang lebih rendah menjadi obesitas pada anak perempuan yang berusia 4 sampai 5 tahun (OR: 0,50; Cl 95%: 0,32-0,77) dibandingkan dengan berat lahir lebih, namun tidak terdapat hubungan antara berat badan lahir rendah (BBLR) dengan kejadian obesitas pada anak laki-laki. Berat lahir lebih memiliki hubungan dan risiko yang lebih tinggi untuk menjadi obesitas pada anak perempuan (OR: 1,76; Cl 95%: 1,12,-2,78) dan anak laki-laki (OR: 2,42; Cl 95%: 2,06-2,86) (Oldroyd et al. 2010). Faktor Keturunan

Parenteral fatness merupakan faktor genetik yang berperan besar, bila kedua orang tua obesitas, 80% anaknya menjadi obesitas, bila salah satu orang tua obesitas, kejadian obesitas menjadi 40% dan bila kedua orang tua tidak obesitas, prevalensi menjadi 14% (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009).

Orang tua yang gemuk cenderung memiliki anak yang gemuk pula. Faktor genetik turut menentukan jumlah sel lemak dalam lemak yang berjumlah besar dan melebihi ukuran normal, secara otomatis akan diturunkan kepada bayi selama dalam kandungan. Tidak heran bila bayi yang lahir memiliki jumlah sel yang relatif sama besar (Zainun 2002).

Effendi (2003) menyatakan bila kedua orang tua mengalami kegemukan, maka kemungkinan anaknya mengalami obesitas mencapai 66–80%. Bila salah satu orang tua mengalami kegemukan maka kemungkinan anak mengalami obesitas sekitar 20–51%. Bahkan bila kedua orangtuanya memiliki status gizi normal, anak memiliki kemungkinan gemuk sebesar 7-14%.

(7)

hasil yang berbeda, bahwa faktor genetik hanya berpengaruh 1% dari kejadian obesitas pada anak, sedangkan 99% disebabkan faktor lingkungan (Darmono 2006).

Karaktersitik Keluarga

Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan

seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan

mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan wanita mempengaruhi derajat kesehatan (Atmarita & Fallah 2004).

Pendidikan ayah diduga berkaitan dengan tingkat status ekonomi keluarga, karena pendidikan orang tua berhubungan dengan tingkat pendapatan orang tua. Tingkat pendidikan orang tua sangat berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi anaknya. Makin tinggi tingkat pendidikan maka pendapatan pun akan semakin tinggi. Pendapatan keluarga yang tinggi berarti kemudahan dalam membeli dan mengonsumsi makanan enak dan mahal yang mengandung energi tinggi seperti fast food (Padmiari & Hadi 2001).

Perubahan pengetahuan sikap, perilaku dan gaya hidup, pola makan, serta peningkatan pendapatan mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Suatu data menunjukkan bahwa beberapa tahun terakhir terlihat adanya perubahan gaya hidup yang menjurus pada penurunan aktifitas fisik, seperti ke sekolah dengan naik kendaraan dan kurangnya aktivitas bermain dengan teman serta lingkungan rumah yang tidak memungkinkan anak-anak bermain diluar rumah, sehingga anak-anak lebih senang bermain komputer atau

games, menonton televisi atau video dibanding melakukan aktivitas fisik. Selain itu juga ketersediaan dan harga dari junk food yang mudah terjangkau akan berisiko menimbulkan obesitas (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009).

Menurut Soekirman (2000), Bannet menemukan bahwa peningkatan pendapatan akan mengakibatkan individu cenderung meningkatkan kualitas konsumsi pangannya dengan harga yang lebih mahal per unit zat gizinya. Peningkatan pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik.

(8)

merupakan faktor yang menuntukan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Pendapatan yang tinggi akan menigkatkan daya beli sehingga keluarga mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan dan akhirnya berdampak positif terhadap status gizi.

Menurut hasil penelitian Yueniwati dan Rahmawati (2001), terdapat hubungan antara pendidikan terakhir ibu dengan pengetahuan ibu tentang obesitas pada anak. Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak karena dengan pendidikan yang baik maka orangtua dapat menerima segala informasi dari luar, terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anak dan sebagainya. Dijelaskan lebih lanjut pengetahuan ibu tentang obesitas pada anak juga berhubungan dengan status pekerjaan ibu, yaitu apakah ibu bekerja atau tidak.

Riwayat Makan Anak

Menurut Darmono (2006), obesitas pada anak disebabkan oleh masukan makanannya yang berlebih. Selain itu, pada waktu lahir anak tidak dibiasakan mengonsumsi air susu ibu (ASI), tetapi dibiasakan mengonsumsi susu formula dalam botol. Padahal anak yang diberi ASI, biasanya asupan ASI-nya sesuai dengan kebutuhannya. Anak yang biasa meminum susu dalam botol, jumlah masukan makanan pada anak tidak dapat dihitung dengan tepat, bahkan para orang tua cenderung memberikan susunya lebih kental, sehingga melebihi porsi yang dibutuhkan anak.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Kries dan Rudiger (1999) yang melibatkan 9357 anak sekolah di Bavaria Jerman ditemukan prevalensi kejadian obesitas lebih tinggi pada anak yang tidak pernah mendapat ASI, yakni sekitar 4,5%, tidak setinggi prevalensi obesitas pada anak yang pernah mendapat ASI pada masa bayinya yakni hanya 2,8%. Anak yang diberi ASI pada masa bayinya akan memiliki kemungkinan 0,75 kali (yang berarti lebih kecil) untuk menjadi obes dibandingkan anak yang tidak diberi ASI pada masa bayinya. Ini berarti pemberian ASI sejak bayi memiliki faktor protektif pada kejadian obesitas pada masa anak. Secara keseluruhan dapat ditarik kesimpulan bahwa pemberian ASI pada masa bayi dapat menurunkan risiko anak menjadi obes, baik pada masa kanaknya ataupun setelah ia menjadi dewasa.

(9)

Cl 0,61-0,80). Peranan faktor gizi dimulai sejak dalam kandungan di mana jumlah lemak tubuh dan pertumbuhan bayi dipengaruhi berat badan ibu. Kenaikan berat badan dan lemak anak dipengaruhi oleh waktu pertama kali mendapat makanan padat, asupan tinggi energi dari karbohidrat dan lemak, serta kebiasaan mengonsumsi makanan yang mengandung energi tinggi (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009).

Kebiasaan Makan

Kebiasaan adalah pola perilaku yang diperoleh dari pola yang terjadi berulang-ulang. Sedangkan kebiasaan makan adalah suatu pola perilaku konsumsi pangan yang diperoleh karena terjadi berulang-ulang. Kebiasaan makan juga dikaitkan dengan cara-cara individu dan kelompok individu memilih, mengonsumsi, dan menggunakan makanan yang tersedia, yang didasarkan pada faktor-faktor psikologi, fisiologi, sosial, dan budaya di mana ia hidup (Suhardjo 2003). Selain itu, menurut Khumaidi (1989) kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan meliputi sikap, kepercayaan, dan pemilihan makanan.

Kebiasaan makan yang tergesa-gesa, termasuk kurang mengunyah akan membawa efek yang kurang menguntungkan bagi pencernaan dan mengakibatkan cepat merasa lapar kembali. Rasa lapar yang sering muncul akan befakibat pada konsumsi makan yang tidak pada waktunya dan berlebihnya

intake makanan. Begitu pula jika frekuensi makan tidak teratur. Jarak antara dua waktu makan yang terlalu panjang menyebabkan adanya kecenderungan untuk makan labih banyak dan melebihi batas (Wirakusumah 1994).

Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan energi yang dikeluarkan sehingga terjadilah kelebihan energi yang selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Sebagian besar obesitas terjadi akibat makan yang berlebihan. Pola makan tidak teratur, sering ngemil atau makan camilan, sementara aktivitas kurang (Hartoyo 2007).

(10)

Dijelaskan lebih lanjut, makanan berlemak juga mempunyai rasa yang lezat sehingga akan meningkatkan selera makan yang akhirnya terjadi konsumsi yang berlebihan. Selain itu, kapasitas penyimpanan makronutrien juga menentukan keseimbangan energi. Protein mempunyai kapasitas penyimpanan sebagai protein tubuh dalam jumlah terbatas dan metabolisme asam amino diregulasi dengan ketat, sehingga bila intake protein berlebihan dapat dipastikan akan dioksidasi, sedangkan karbohidrat mempunyai kapasitas penyimpanan dalam bentuk glikogen hanya dalam jumlah kecil. Bila cadangan lemak tubuh rendah dan asupan karbohidrat berlebihan, maka kelebihan energi dan karbohidrat sekitar 60-80% disimpan dalam bentuk lemak tubuh. Lemak mempunyai kapasitas penyimpanan yang tidak terbatas. Kelebihan asupan lemak tidak diiringi peningkatan oksidasi lemak sehingga sekitar 96% lemak akan disimpan dalam jaringan lemak (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009).

Menurut Popkin (2007), camilan sebenarnya penting bagi anak, sebab perutnya kecil dan ia perlu ngemil lebih sering. Namun apapun camilannya dalam sehari, seharusnya hanya memberikan 20 persen dari total energinya. Kebiasaan mengonsumsi camilan biasanya dilakukan saat anak menonton televisi, bermain game, dan saat belajar. Ketiga kegiatan tersebut merupakan aktivitas fisik yang sangat rendah, namun dalam waktu bersamaan anak mengonsumsi makanan yang mengandung cukup banyak energi. Tidak seimbangnya antara konsumsi energi dengan aktivitas fisik yang dilakukan merupakan salah satu penyebab obesitas pada anak.

Menurut RISKESDAS (2007), penduduk dikategorikan ‘cukup’ konsumsi sayur dan buah apabila makan sayur dan/atau buah minimal 5 porsi per hari selama 7 hari dalam seminggu. Dikategorikan ’kurang’ apabila konsumsi sayur dan buah kurang dari ketentuan di atas. Secara keseluruhan, penduduk umur 10-14 tahun yang kurang mengonsumsi buah dan sayur sebesar 93,6% (<5 porsi per hari). Berdasarkan tingkat pengeluaran per kapita, dengan meningkatnya strata juga tampak pengurangan prevalensi kurang konsumsi buah dan sayur, dengan perkataan lain, semakin tinggi tingkat pengeluaran per kapita perbulan, semakin tinggi konsumsi buah dan sayur.

(11)

mengurangi makanan utama yang dimakan dan ditambah dengan peningkatan kalori yang berasal dari minuman tersebut. Semakin banyak minuman yang dikonsumsi, maka semakin besar asupan kalori dan semakin tinggi pertambahan berat badannya.

Fast food atau ready-to-eat-food jadi pilihan utama orang tua yang sibuk atau konsumsi ketika menghabiskan waktu bersama keluarga pada masyarakat modern. Hal ini disebabkan karena pengolahannya yang cenderung cepat karena menggunakan tenaga mesin, terlihat bersih karena penjamahnya adalah mesin, restoran yang mudah ditemukan serta karena pelayanannya yang selalu sedia setiap saat, bagaimanapun cara pemesanannya (Worthington & William 2000).

Menurut WHO (2000), perkembangan food industry yang salah satunya berkembangnya makanan cepat saji, yaitu makanan yang tinggi lemak tetapi rendah karbohidrat kompleks merupakan salah satu faktor risiko obesitas. Banyaknya jenis fast food yang dikonsumsi merupakan faktor risiko terjadinya obesitas (OR = 11,0). lni berarti mengonsumsi fast food akan berisiko 11 kali mengalami obesitas jika dibandingkan dengan mereka yang tidak mengonsumsinya.

Lemak memiliki kandungan energi dua kali lebih banyak dibandingkan dengan protein. Makan makanan berlemak dengan jumlah yang sama dengan protein akan memberikan energi yang lebih besar. Selain itu, makanan berlemak terasa lezat dan memiliki “mouth-feel” yang enak. Makanan berlemak biasanya rendah serat, sehingga lebih lembut dan hanya memerlukan sedikit waktu untuk dikunyah dan ditelah daripada jenis makanan lain (Atkinson 2005).

Penelitian lain mengemukakan bahwa konsumsi makanan yang digoreng berhubungan positif dengan kegemukan (baik itu general maupun central obesity) hal ini terjadi pada subjek di mana asupan tertinggi dari energi berasal dari makanan gorengan. Seseorang yang mengonsumsi makanan gorengan lebih banyak berisiko 1,26 kali (pria) dan 1,25 kali (wanita) lebih tinggi untuk mengalamin kegemukan (Castillon et al. 2007).

(12)

prevalensi sering mengonsumsi makanan berlemak dan jeroan cenderung meningkat sesuai dengan meningkatnya pendidikan. Menurut tipe daerah, pola prevalensi sering mengonsumsi makanan berlemak ditemukan lebih tinggi di perkotaan dibanding perdesaan. Menurut tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita, pola prevalensi sering mengonsumsi makanan berlemak dan jeroan cenderung meningkat sesuai dengan peningkatan kuintil ekonomi (RISKESDAS 2007).

Aktivitas Fisik

Menurut Almatsier (2003) ativitas fisik merupakan salah satu bentuk penggunaan energi dalam tubuh, di samping metabolisme basal. Aktivitas fisik merupakan komponen utama dari energy expenditure, yaitu sekitar 20-50% dari total energi expenditure. Penelitian di negara maju mendapatkan hubungan antara aktvitas fisik yang rendah dengan kejadian obesitas. Individu dengan aktivitas fisik yang rendah mempunyai risiko peningkatan berat badan sebesar 5 kg. Penelitian di Jepang menunjukkan pada kelompok yang mempunyai kebiasaan olah raga berisiko 0,48 kali mengalami obesitas. Penelitian terhadap anak Amerika dengan tingkat sosial ekonomi yang sama menunjukkan bahwa mereka yang menonton televisi 5 jam perhari mempunyai risiko obesitas sebesar 5,3 kali lebih besar dibandingkan mereka yang menonton televisi 2 jam setiap harinya (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009).

Obesitas atau kegemukan yang parah terjadi karena tidak adanya keseimbangan energi, di mana energi intake jauh lebih besar dibandingkan energi expenditure atau energi yang terpakai dalam aktivitas fisik. Energy intake

ialah energi yang dikonsumsi sebagai makanan dan minuman yang dapat dimatabolisme dalam tubuh kita (WHO 2000).

(13)

anak yang menonton televisi kurang dari depalan jam perminggu (Reilly et al.

2005).

Dijelaskan lebih lanjut, menonton televisi merupakan salah satu bentuk bermain pasif yang membuat anak merasa bahagia dan senang. Kesenangan ini tidak selamanya berdampak positif bila dilakukan secara berlebihan. Menonton televisi berisiko menyebabkan obesitas karena aktivitas fisik ini telah mengambil waktu anak yang seharusnya bisa digunakan untuk melakukan aktivitas fisik. Berkurangnya aktivitas fisik pada akhirnya akan berakibat menurunkan energi yang digunakan (energy expenditure). Menonton televisi juga sangat berkaitan erat dengan kebiasaan makan makanan ringan (snacking) yang akan memberikan asupan energi yang tinggi pada anak. Ketidakseimbangan neraca energi inilah yang menyebabkan obesitas (Reilly et al. 2005).

Penelitian tersebut menyebutkan bahwa, aktivitas tidur menjadi salah satu aktivitas yang harus disoroti. Terdapat hubungan yang erat antara jumlah waktu tidur anak dengan kejadian obesitas. Selain itu, pendapat yang sama pada penelitian yang dilakukan tahun 1960-2000 menyebutkan, kejadian kegemukan meningkat dua kali lipat terjadi pada mereka yang memiliki kelebihan tidur 1 hingga 2 jam (Boyles 2005).

Menurut Yayasan Tidur Nasional, usia bayi dari satu hingga tiga tahun seharusnya tidur selama 12-14 jam, anak TK berusia 3-5 tahun seharusnya tidur 11-13 jam, dan usia 5-10 tahun seharusnya tidur selama 8,5-9,25 jam per malam. Beberapa penelitian telah menghubungkan tidur yang singkat dengan kelebihan berat badan pada anak dan remaja. Bell dan mitra peneliti Dr. Frederick Zimmerman dari Universitas California telah mencatat dalam laporan mereka. Tetapi, kebanyakan dari penelitian tersebut hanya melihat satu waktu saja, menyebabkan sulit untuk menentukan tidur yang cukup sehingga anak menjadi obesitas atau sebaliknya. Lebih lama tidak tidur berarti lebih banyak kesempatan untuk makan. Menurut Bell orang dewasa yang kurang tidur memiliki selera makan yang berbeda dan hormon yang berhubungan dengan rasa lapar, seperti leptin dan ghrelin, hal ini dapat terjadi pada anak (Priyambodo 2010).

(14)

Penelitian menunjukkan bahwa penurunan pengeluaran energi sehari-hari tanpa penurunan bersamaan dalam konsumsi energi total merupakan faktor yang mendasari dalam peningkatan obesitas. Pemeriksaan terakhir dari Department of Education’s Early Childhood Longitudinal Survey (ECLS-K) menemukan bahwa peningkatan satu jam dalam kegiatan aktivitas fisik per minggu menghasilkan penurunan 0,31 (sekitar 1,8%) dalam indeks massa tubuh pada anak perempuan

overweight, sedangkan ada penurunan yang lebih kecil untuk anak laki-laki. Studi ini menyimpulkan bahwa memperbanyak kegiatan aktivitas fisik (olah raga) di sekolah sampai setidaknya lima jam per minggu dapat mengurangi 9,8-5,6% anak perempuan yang overweight. Saat ini, sekolah mengurangi jumlah bermain atau aktivitas fisik yang diterima anak selama jam sekolah. Hanya sekitar sepertiga anak-anak SD memiliki kegiatan aktivitas fisik (olah raga) harian, dan kurang dari seperlima memiliki program ekstrakurikuler olah raga di sekolah mereka (Health & Human Services 2011).

Aktifitas fisik secara teratur bermanfaat untuk mengatur berat badan dan menguatkan sistem jantung dan pembuluh darah. Kegiatan aktifitas fisik dikategorikan ‘cukup’ apabila kegiatan dilakukan terus-menerus sekurangnya 10 menit dalam satu kegiatan tanpa henti dan secara kumulatif 150 menit selama lima hari dalam satu minggu. Menurut kelompok umur 10-14 tahun yang kurang melakukan aktifitas sebanyak 66,9% (<150 menit/minggu). Berdasarkan tingkat pendidikan, semakin tinggi pendidikan semakin tinggi prevalensi kurang aktifitas fisik. Prevalensi kurang aktifitas fisik penduduk perkotaan (57,6%) lebih tinggi di banding perdesaan (42,4%), dan semakin tinggi tingkat pengeluaran per kapita per bulan semakin meningkat prevalensi kurang aktifitas fisik (RISKESDAS 2007).

(15)

Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi secara langsung dibagi menjadi empat, yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan konsumsi pangan. Metode antropometri menggunakan pengukuran-pengukuran dimensi fisik dan komposisi tubuh. pengukuran tersebut bervariasi menurut umur dan derajat gizi sehingga bermanfaat terutama pada keadaan terjadinya ketidakseimbangan energi dan protein secara kronis. Antropometri dapat mendeteksi malnutrisi derajat sedang dan berat. Keuntungan lain dari pengukuran antropometri adalah memberikan informasi mengenai riwayat gizi masa lampau (Riyadi 2003).

Di dalam ilmu gizi status gizi tidak hanya diketahui dengan mengukur BB atau TB sesuai dengan umur secara sendiri-sendiri, tetapi juga merupakan kombinasi antara ketiganya. lndikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini karena mudah berubah. Namun indikator BB/U tidak spesifik karena berat badan tidak hanya dipengaruhi oleh umur tetapi juga oleh tinggi badan (TB). lndikator TB/U menggambarkan status gizi masa lalu, dan indikator BB/TB menggambarkan secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini (Soekirman 2000). Menurut WHO (2007) bahwa pengukuran status gizi pada anak usia 5-19 tahun sudah tidak menggunakan indikator BB/TB akan tetapi menggunakan indeks massa tubuh berdasarkan umur (IMT/U). Kategori status gizi berdasarkan IMT/U dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Kategori status gizi anak berdasarkan IMT/U

Variabel Kategori

=-3 SD Severe underweight

-3 SD < Z < -2 SD Underweight

-2 SD < Z < +1 SD Normal

+1 SD < Z < +2 SD Overweight

+2 SD < Z < +3 SD Obese

=+3 SD Severe obese

(16)

Tabel 2 Klasifikasi IMT menurut WHO

Status Gizi Klasifikasi cut-off points

Kurang

Kurus tingkat berat < 16.00 Kurus tingkat sedang 16.00-16.99 Kurus tingkat ringan 17.00-18.49

Normal Normal 18.50-24.99

Lebih

Overweight ≥25.00

Pra-obese 25.00-29.99

Obese ≥30.00

Obes kelas I 30.00-34.99

Obes kelas II 35.00-39.00

Obes kelas III ≥40.00

Sumber: WHO (2005)

Dampak Obesitas pada Anak

Obesitas mempunyai dampak terhadap tumbuh kembang anak (aspek organik dan psikososial), anak berisiko tinggi obesitas di masa dewasa dan berpotensi mengalami berbagai penyakit kardiovaskuler dan diabetes mellitus, kelainan metabolik seperti atherogenesis, resistensi insulin, gangguan trombogenesis, dan karsinogenesis (Yussac et al. 2007).

Anak-anak dengan kelebihan berat badan atau kegemukan dapat mengalami kesulitan bergerak dan terganggu pertumbuhannya karena timbunan lemak yang berlebihan pada organ-organ tubuh yang seharusnya berkembang. Obesitas pada anak juga perlu diwaspadai, karena jika berlanjut hingga dewasa biasanya lebih sulit diatasi, mungkin karena faktor penyebab yang sudah menahun dan sel-sel lemak yang sudah bertambah banyak dan bertambah besar ukurannya. Obesitas atau kegemukan di masa anak-anak bisa berisiko diabetes tipe 2, asma, darah tinggi, apnea, gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin, dislipidemia, gangguan hati, serta gangguan emosional di masa dewasa (Aini 2008). Menurut Hidayati, Irawan, Hidayat (2009), anak obes berisiko mengalami gangguan kesehatan seperti berikut ini:

Faktor Risiko Penyakit Kardiovaskuler

(17)

Diabetes Mellitus Tipe-2

Diabetes mellitus tipe-2 jarang ditemukan pada anak obesitas. Hampir semua anak obesitas dengan diabetes mellitus tipe-2 mempunyai IMT > + 3SD. Obstruktive Sleep Apnea

Sering dijumpai pada anak obesitas dengan kejadian 1/100 dengan gejala mengorok. Penyebabnya adalah penebalan jaringan lemak di daerah dinding dada dan perut yang mengganggu pergerakan dinding dada dan diafragma, sehingga terjadi penurunan volume dan perubahan pola ventilasi paru serta meningkatkan beban kerja otot pernafasan.

Gangguan Ortopedik

Pada anak obesitas cenderung berisiko mengalami gangguan ortopedik yang disebabkan kelebihan berat badan, yaitu tergelincirnya epifisis kaput femoris yang menimbulkan gejala nyeri panggul atau lutut dan terbatasnya gerakan panggul.

Pseudotumor Serebri

(18)

KERANGKA PEMIKIRAN

Prevalensi anak yang menderita obesitas di Indonesia semakin meningkat. Banyak faktor yang memicu semakin meningkatnya angka obesitas pada anak, di antaranya adalah pengaruh parenteral fatness, karakteristik anak, karakteristik keluarga, aktifitas fisik, dan kebiasaan makan pada anak.

Parenteral fatness berkaitan dengan status gizi orang tua yang diketahui dari IMT yang diukur berdasarkan berat badan dan tinggi badan. Seseorang mengalami obesitas dapat terjadi karena salah satu atau kedua orang tuanya mengalami obesitas pula. Menurut Effendi (2003) faktor keturunan berpengaruh terhadap gangguan keseimbangan energi. Bila kedua orang tua tidak gemuk, maka kemungkinan anak menjadi gemuk adalah 9%. Bila salah satu orang tua gemuk, maka kemungkinan anak menjadi gemuk adalah 41-51%, sedangkan bila kedua orang tua gemuk, maka kemungkinan anak menjadi gemuk sebesar 66-80%.

Karakteristik anak meliputi jenis kelamin, berat badan lahir, berat badan sekarang, dan tinggi badan sekarang. Karakteristik keluarga meliputi pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, pengetahuan gizi ibu, dan pola konsumsi keluarga. Pengetahuan gizi ibu diukur dengan memberikan pertanyaan pada kuesioner yang ditujukan untuk ibu. Aktivitas fisik lebih menyoroti pada banyaknya waktu yang dihabiskan anak untuk tidur, menonton televisi, dan bermain di luar rumah dalam satu hari.

(19)

Keterangan:

: Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti

: Hubungan yang dianalisis : Hubungan yang tidak dianalisis

Gambar 1 Kerangka pemikiran faktor-faktor yang berhubungan dengan obesitas pada anak sekolah dasar di Kota Bogor

Karakteristik Anak  Berat badan lahir  Jenis kelamin  Berat badan  Tinggi badan

Obesitas

Kebiasaan Makan Anak  Asupan zat gizi

 Frekuensi konsumsi sayur dan buah  Kebiasaan konsumsi cemilan  Frekuensi konsumsi fast food  Frekuensi konsumsi soft drink

 Frekuensi konsumsi makanan berlemak

Riwayat Makan Anak  Pemberian ASI

 Pemberian susu formula  Pemberian makanan

padat

Aktivitas Fisik Anak  Jumlah waktu tidur  Menonton televisi, main

game, dan internet  Bermain di luar rumah Karakteristik Keluarga

 Pendidikan orang tua  Pendapatan keluarga  Pengetahuan gizi ibu

Faktor Keturunan (Parenteral fatness)

(20)

METODE

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Penelitian diawali dengan survei pendahuluan dari beberapa Sekolah Dasar (SD) di Kota Bogor, dilanjutkan pengumpulan data lewat kuesioner pada bulan Mei sampai dengan September 2011. Penelitian dilakukan di SD Insan Kamil yang berada di Kota Bogor. Pemilihan SD yang dijadikan lokasi penelitian dilakukan secara

purposive dengan pertimbangan sekolah swasta yang rata-rata muridnya dari keluarga ekonomi menengah ke atas, peluang memperoleh anak obes cukup tinggi, dan merupakan sekolah dengan kategori SD favorit di Kota Bogor.

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

Populasi dalam penelitian ini adalah anak sekolah dasar (SD) kelas IV dan V yang memiliki status gizi obes dan normal. Contoh pada penelitian ini yaitu anak sekolah dasar kelas IV dan V yang bersekolah di Sekolah Dasar Insan Kamil Bogor dengan status gizi obes dan normal. Kriteria inklusi anak obes adalah 1) laki-laki atau perempuan berusia 9-11 tahun dengan kondisi sehat; 2) memiliki status gizi obes (indeks z-skor >+2); 3) contoh bersedia mengikuti penelitian. Kriteria inklusi anak dengan status gizi normal adalah 1) laki-laki atau perempuan berusia 9-11 tahun dengan kondisi sehat; 2) memiliki status gizi normal (-2 < z-skor ≤ +1); 3) contoh bersedia mengikuti penelitian. Adapun kriteria eksklusinya adalah 1) contoh tidak bersedia mengikuti penelitian; 2) pengisian kuesioner yang tidak lengkap.

Pemilihan anak sekolah dasar kelas IV dan V dilakukan secara purposive

(21)

awal anak yang memiliki status gizi normal saat penimbangan adalah 50 anak. Penentuan jumlah sampel minimal yang digunakan pada penelitian ini

menggunakan rumus: Keterangan :

Z = 1,96 ( = 0,05)

P = prevalensi gizi lebih pada anak di perkotaan (10,4%) d = toleransoi estimasi (10% atau 0,1)

Berdasarkan rumus, jumlah sampel minimal adalah 36 anak obes. Berdasarkan kelengkapan pengisian kuesioner, jumlah contoh yang dipilih dari 60 anak obes dan 50 anak dengan status gizi normal yaitu 40 anak obes dan 40 anak dengan status gizi normal.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer mencakup karakteristik anak (jenis kelamin, berat lahir anak, berat badan, dan tinggi badan anak), karakteristik keluarga (berat badan dan tinggi badan orang tua, pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, dan pengetahuan gizi ibu), riwayat makan anak (pemberian ASI, pemberian susu formula, dan pemberian makanan padat), kebiasaan makan anak (konsumsi energi, protein, dan lemak, frekuensi konsumsi sayur dan buah, cemilan, fast food dan soft drink, serta frekuensi konsumsi makanan berlemak), dan aktivitas fisik anak (waktu tidur, lama menonton televisi, bermain game, internet, dan bermain di luar rumah).

Berat badan anak diukur langsung menggunakan timbangan injak yang telah dikalibrasi dengan ketelitian 0,5 kg, dan pengukuran tinggi badan anak menggunakan microtoise dengan ketelitian 0,1 cm. Data status gizi anak diperoleh dengan menggunakan indeks massa tubuh berdasarkan umur (IMT/U) dengan menggunakan software WHO Anthroplus 2007. Nama, umur, dan tanggal lahir anak diperoleh dengan pengisian kuesioner olah anak.

Data berat lahir anak, karakteristik keluarga (berat badan dan tinggi badan orang tua, pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, dan pengetahuan gizi ibu) dan riwayat makan anak (pemberian ASI, pemberian susu formula, dan pemberian makanan padat) diperoleh dari kuesioner yang diisi oleh orang tua anak di rumah.

2 2

2 /

1 (1 )

d P P z

(22)

Konsumsi pangan anak diketahui dengan pencatatan makanan (food record) selama 1x24 jam pada hari libur dan food recall selama 1x24 jam pada hari sekolah. Konsumsi pangan anak pada hari libur (food record) diperoleh dari kuesioner yang diisi oleh contoh, disertai dengan keterangan lengkap cara pengisian dan contoh pengisian. Konsumsi pangan anak pada hari sekolah (food recall) diperoleh dari pencatatan kuesioner dengan metode wawancara. Pola konsumsi anak yang terdiri dari frekuensi konsumsi sayur dan buah, cemilan, fast food dan soft drink, serta frekuensi konsumsi makanan berlemak diperoleh menggunakan kuesioner yang diisi oleh anak yang sebelumnya telah mendapat penjelasan tentang cara pengisiannya dari peneliti.

Data aktivitas fisik anak yang terdiri dari alokasi waktu tidur; lama menonton televisi, bermain game, dan internet; dan bermain di luar rumah diperoleh dari pencatatan kuesioner mengenai alokasi waktu kegiatan yang dilakukan dalam waktu 2x24 jam, yaitu satu hari sekolah dan satu hari libur dengan metode wawancara. Secara lengkap kuesioner penelitian untuk orang tua dan anak disajikan pada Lampiran 1.

(23)

Tabel 3 Jenis dan cara pengumpulan data

No. Variabel Jenis Data Cara Pengumpulan Data

1. Karakteristik anak

- Jenis kelamin - Berat lahir anak - Berat badan

- Tinggi badan

- Pengisian kuesioner (jenis kelamin dan berat lahir anak) - Timbangan injak dengan

ketelitian 0.5 kg

- Microtoise dengan ketelitian 0.1 cm

2. Karakteristik keluarga

- Berat badan dan tinggi badan orang tua - Pendidikan orang tua - Pendapatan keluarga - Pengetahuan gizi ibu

- Pengisian kuesioner (berat badan, tinggi badan,

pendidikan, dan pendapatan keluarga)

- Pengisisan kuesioner yang berisikan pertanyaan tentang pengetahuan gizi seimbang dan obesitas (pengetahuan gizi ibu)

3. Riwayat makan anak

- Pemberian ASI

- Pemberian susu formula - Pemberian makanan

padat

- Pengisian kuesioner oleh orang tua anak

4. Kebiasaan makan anak

- Pangan harian

Pola konsumsi: - Cemilan

- Sayur dan buah - Fast food - Soft drink

- Makanan berlemak

- Food Record 1x24 jam pada hari libur dan food recall 1x24 pada hari sekolah

- Food frequency questionnaire (FFQ) (konsumsi sayur, buah, cemilan, makanan berlemak, makanan manis, fast food, dan soft drink)

5. Aktifitas fisik anak

- Waktu tidur

- Lama menonton televisi, bermain game, dan internet

- Bermain di luar rumah

- Pengisian kuesioner dengan metode pencatatan dan wawancara 2 x 24 jam selama 1 hari sekolah dan 1 hari libur

Pengolahan dan Analisis Data

(24)

Data status gizi anak diperoleh dengan menggunakan indeks massa tubuh berdasarkan umur (IMT/U) dengan menggunakan software WHO Anthroplus 2007. Hasil yang diperoleh berdasarkan indikator IMT/U dikategorikan ke dalam status serve underweight (=-3SD), underweight (-3SD<Z<-2SD), normal (-2SD<Z<+1SD), overweight (+1SD<Z<+2SD), obese (+2SD<Z<+3SD) dan severeobese (>+3SD) (Soekirman 2000).

Data berat badan dan tinggi badan orang tua digunakan untuk menghitung IMT orang tua anak. IMT dihitung dengan cara membagi berat badan (kg) dengan kuadrat tinggi badan (m2). Hasil yang diperoleh kemudian dikategorikan ke dalam status gizi kurus (≤18,50), normal (18,50-24,99),

overweight (25,00-29,99), dan obes (≥30,00) (WHO 2005).

(25)

Tabel 4 Pengkategorian variabel penelitian

No. Variabel Kategori

1. Jenis kelamin 1. Laki-laki

2. Perempuan

2. Berat badan lahir 1. Normal

2. BBLR/Lebih

3. Status gizi ayah (WHO 2005)

1. Kurus 2. Normal 3. Overweight

4. Obes

4. Status gizi ibu (WHO 2005)

1. Kurus 2. Normal 3. Overweight

4. Obes

5. Pendidikan orang tua

1. SD/sederajat 2. SMP/sederajat 3. SMA/sederajat

4. Perguruan tinggi/sederajat

6. Pendapatan keluarga perbulan

1. < 3.000.000

2. 3.000.000–5.000.000 3. 5.000.000–10.000.000 4. > 10.000.000

7. Pengetahuan gizi ibu (Khomsan 2000)

1. Kurang : <60% 2. Sedang : 60%-80% 3. Baik : >80%

8. Tingkat kecukupan energi (TKE) (Depkes 1996)

1. Defisit tingkat berat : <70% AKG 2. Defisit tingkat sedang : 70-79% AKG

3. Kurang : 80-89 % AKG

4. Cukup : 90-119% AKG

5. Lebih : ≥120% AKG

9. Tingkat kecukupan protein (TKP) (Depkes 1996)

1. Defisit tingkat berat : <70% AKG 2. Defisit tingkat sedang : 70-79% AKG

3. Kurang : 80-89 % AKG

4. Cukup : 90-119% AKG

5. Lebih : ≥120% AKG

10. Konsumsi sayur

1. Setiap hari 2. 4-6 kali/minggu 3. 1-3 kali/minggu 4. Tidak pernah

11. Konsumsi buah

1. Setiap hari 2. 4-6 kali/minggu 3. 1-3 kali/minggu 4. Tidak pernah

12. Konsumsi cemilan 1. Ya

2. Tidak

13. Konsumsi fast food

1. Tidak pernah 2. 1-3 kali/minggu 3. 4-6 kali/minggu 4. Setiap hari

14. Konsumsi soft drink

1. Tidak pernah 2. 1-3 kali/minggu 3. 4-6 kali/minggu 4. Setiap hari

15. Konsumsi makanan berlemak

1. Tidak pernah 2. 1-3 kali/minggu 3. 4-6 kali/minggu 4. Setiap hari

16. Waktu tidur 1. ≤8 Jam

2. >8 Jam

17. Menonton televisi, bermain game, dan internet

1. ≤2 Jam

2. >2 Jam

(26)

Data konsumsi pangan berupa jenis dan jumlah makanan dalam gram/URT dikonversi ke dalam nilai zat gizi dengan menggunakan Daftar Konsumsi Bahan Makanan sehingga dapat diketahui kandungan gizi masing-masing bahan pangan. Kemudian dilakukan perhitungan tingkat kecukupan gizi untuk energi dan protein. Adapun rumus umum yang digunakan untuk mengetahui kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi adalah:

KGij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100)

Keterangan:

KGij = Penjumlahan zat gizi i dari setiap bahan makanan/pangan yang dikonsumsi

Bj = Berat bahan makanan j (gram)

Gij = Kandungan zat gizi i dari bahan makanan j BDDj = % bahan makanan j yang dapt dimakan (Sumber: Hardinsyah & Briawan 1994)

Pengukuran tingkat kecukupan energi dan protein merupakan tahap lanjutan dari penghitungan konsumsi pangan. Tingkat kecukupan konsumsi merupakan persentase konsumsi aktual anak dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan berdasarkan WNPG tahun 2004. Secara umum tingkat kecukupan zat gizi dapat dirumuskan sebagai berikut:

TKGi = (Ki/AKGi) x 100%

Keterangan:

TKGi = Tingkat kecukupan zat gizi i

AKGi = Kecukupan zat gizi i yang dianjurkan Ki = Konsumsi zat gizi i (Sumber : Hardinsyah & Briawan 1994)

Analisis data yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Analisis univariat meliputi :

a. Karakteristik anak (umur, jenis kelamin, berat badan, dan tinggi badan, dan berat badan lahir).

b. Karakteristik keluarga (berat badan dan tinggi badan orang tua, pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, dan pengetahuan gizi ibu). c. Riwayat makan anak (pemberian ASI, pemberian susu formula, dan

(27)

d. Asupan zat gizi anak (konsumsi energi, protein, dan lemak, tingkat kecukupan energi, protein, dan % kontribusi lemak).

e. Kebiasaan makan anak (frekuensi konsumsi sayur dan buah, cemilan,

fast food dan soft drink, serta frekuensi konsumsi makanan berlemak). f. Aktivitas fisik anak (alokasi waktu tidur, lama menonton televisi, bermain

game, internet, dan lama bermain di luar rumah).

2. Analisis bivariat digunakan untuk mengtahui hubungan antara variabel independen dengan dependen. Uji yang digunakan adalah uji korelasi

Pearson dan Spearman. Variabel hubungan yang diteliti menggunakan uji korelasi Pearson di antaranya adalah:

a. Menganalisis hubungan karakteristik anak (berat badan lahir) dengan obesitas.

b. Menganalisis hubungan faktor keturunan (IMT ayah dan IMT ibu) dengan obesitas.

c. Menganalisis hubungan asupan zat gizi anak (TKE, TKP, dan konsumsi lemak) dengan obesitas.

d. Menganalisis hubungan aktivitas fisik anak (alokasi waktu tidur; lama menonton televisi, bermain game, internet; dan lama bermain di luar rumah) dengan obesitas.

Variabel hubungan yang diteliti menggunakan uji korelasi Spearman di antaranya adalah:

a. Menganalisis hubungan karakteristik anak (jenis kelamin) dengan obesitas.

b. Menganalisis hubungan kebiasaan makan anak (frekuensi konsumsi sayur dan buah, cemilan, fast food dan soft drink, serta frekuensi konsumsi makanan berlemak) dengan obesitas.

3. Uji beda t-test digunakan untuk menguji perbedaan karakteristik anak (berat lahir anak), faktor keturunan (IMT ayah dan IMT ibu), karakteristik keluarga (pengetahuan gizi ibu), konsumsi harian anak (konsumsi energi, protein, dan lemak), dan aktivitas fisik anak (waktu tidur; lama menonton televisi, bermain game, internet; dan bermain di luar rumah) antara anak berstatus gizi normal dan anak obes.

(28)

dan kebiasaan makan anak (frekuensi konsumsi sayur dan buah, fast food

dan soft drink, frekuensi konsumsi makanan berlemak, dan konsumsi cemilan) antara anak berstatus gizi normal dan anak obes.

5. Analisis multivariat digunakan untuk mengetahui nilai faktor risiko atau Odds Ratio (OR) variabel independen terhadap variabel dependen. Seluruh variabel independen yang berhubungan dengan obesitas dan diduga menjadi faktor risiko kejadian obesitas dianalisis bersama-sama untuk mengetahui variabel independen mana yang paling berpengaruh terhadap variabel dependen. Analisis ini menggunakan model multiple logistic regression dengan metode enter. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: nxn x x x x x nxn x x x x x

e

e

x

0 011112 22 23 33 34 45 55 56 66...6 ...

1

)

(

      

Keterangan :

(x) : Peluang kejadian obesitas (1=obes, 0=tidak obes) e : Eksponensial

β0 : Konstanta

β1 – βn : Koefisien regresi X1 : Berat lahir X2 : IMT ayah X3 : IMT ibu

X4 : Pengetahuan gizi ibu

X5 : Pemberian susu formula <6 bulan

X6 : TKE

X7 : Frekuensi konsumsi soft drink X8 : Frekuensi konsumsi fast food

(29)

Definisi Operasional

Obes adalah kondisi kelebihan berat tubuh akibat tertimbunnya lemak, yang berdasarkan standar WHO 2007, memiliki nilai z-skor untuk IMT menurut umur >+3 SD.

Anak Sekolah adalah anak yang menjalani pendidikan sekolah yang terdaftar di Dinas Pendidikan Kota Bogor yang berusia 9 sampai 11 tahun.

Karakteristik anak adalah data yang berisi jenis kelamin anak, berat lahir anak, berat badan, dan tinggi badan sekarang.

Pendidikan adalah jenjang pendidikan tertinggi yang pernah ditempuh yang dikategorikan menjadi tamat SD, tamat SMP, tamat SMA, dan tamat Perguruan Tinggi.

Pendapatan keluarga adalah bersarnya pendapatan atau penghasilan keluarga yang diperoleh dalam sebulan yang terdiri dari penghasilan ayah maupun ibu (bila bekerja) yang digunakan untuk memenuhi semua kebutuhan anggota keluarga.

Pengetahuan gizi ibu adalah pemahaman ibu terhadap gizi dan kesehatan secara umum dan tentang obesitas yang diketahui bedasarkan jawaban ibu terhadap pertanyaan pada kuesioner yang diberikan.

Riwayat makan adalah keterangan apakah anak diberikan ASI ekslusif dan pada usia berapa anak mulai diberikan susu formula. Riwayat makan juga mencakup keterangan pada usia berapa anak pertama kali diberikan makanan padat.

ASI eksklusif adalah pemberian air susu ibu saja tanpa tambahan susu atau makanan lain sampai bayi berusia 6 bulan.

Susu formula adalah susu selain ASI yang diberikan pada anak sebelum usia 6 bulan.

Makanan padat adalah makanan yang ditujukan untuk anak usia 6 bulan ke atas yang tidak berbantuk cair, seperti bubur dan biskuit.

Kebiasaan makan adalah mencakup asupan zat gizi yang diketahui dengan pencatatan makanan (food record) selama 2x24 jam, kebiasaan makan sayur dan buah, cemilan, fast food, soft drink, dan makanan berlemak. Konsumsi buah dan sayur adalah kebiasaan makan buah dan sayur pada anak

(30)

Konsumsi fast food dan soft drinkadalah kebiasaan makan fast food dan soft drink pada anak yang dinilai berdasarkan frekuensi selama satu minggu. Konsumsi makanan berlemak adalah kebiasaan seseorang makan makanan

berlemak yang dinilai berdasarkan frekuensinya selama satu minggu. Aktivitas fisik merupakan jenis kegiatan fisik anak (tidur; menonton televisi,

(31)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Sekolah

Sekolah Dasar (SD) Insan Kamil beralamat di Jalan Raya Dramaga Km. 6 Bogor. Sekolah ini pertama kali didirikan pada tahun 1986. SD Insan Kamil memiliki 2 gedung sekolah, yaitu Gedung A dan Gedung B. Gedung B ditempati oleh anak kelas 1 SD sampai kelas 4 SD, sedangkan Gedung A ditempati oleh anak kelas 5 dan 6 SD. Sekolah ini mendapatkan akreditasi A dari Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN S/M). SD Insan Kamil juga masuk dalam daftar 10 besar SD Negeri dan Swasta di Kota Bogor.

Sekolah Dasar Insan Kamil dengan status disamakan, dikembangkan dengan sistem Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang memadukan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Madrasah Diniyah. Perpaduah Kurikulum ini diimplementasikan menjadi program pendidikan yang berorientasi pada keterampilan hidup (life skill) yang berakar kuat pada konsep ‘ubudiyah (hidup adalah ibadah).

Visi sekolah ini yaitu dengan berlandaskan konsep ibadah, SD Insan Kamil unggul prestasi. Adapun misi dari sekolah ini adalah mendidik murid-murid agar menghayati dan mengamalkan bahwa hidup adalah ibadah, belajar adalah ibadah, dan prestasi adalah ibadah sehingga murid-murid memiliki: (1) penguasaan ilmu-ilmu diniyah, ilmu pengetahuan dan pengembangan teknologi, (2) motivasi yang kuat untuk memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya dan seluas-luasnya kepada masyarakat melalui amaliah, ubudiyah/muamalah, dan (3) kesadaran yang mendalam bahwa keberhasilan hanya disandarkan kepada pandangan dan penilaian Allah SWT.

Jumlah guru sekolah sebanyak 77 orang. Tingkat pendidikan guru diantaranya 52 orang sarjana dan 25 orang lainnya diploma. Jumlah staf tata usaha sekolah 5 orang. Jumlah murid sebanyak 1181 orang yang terdiri 662 laki-laki dan 519 perempuan. Kelas 1 sampai kelas 5 masing-masing terdiri dari 7 kelas, dan kelas 6 terdiri dari 8 kelas. Data lengkap jumlah kelas dan murid tiap kelas dapat dilihat di Lampiran 2.

(32)

lingkungan (saniter dengan 20 kamar mandi, WC keramik putih, air PDAM, dan lapangan parkir luas). Kantin yang dimiliki sebanyak 3 kantin, 1 kantin di Gedung A dan 2 kantin di Gedung B. Tiap kantin memiliki berbagai macam jenis makanan mulai dari makanan ringan, makanan kemasan, kue basah, gorengan, nasi paket, nasi uduk, bihun goreng, es krim, dan berbagai macam minuman.

Jam pelajaran di SD Insan Kamil pada hari Senin hingga Kamis dan Sabtu dimulai pada pukul 07.00 WIB hingga 11.30 WIB (Kelas 1 dan Kelas 2), sedangkan Kelas 3 sampai Kelas 6 sampai pukul 13.00 WIB. Hari Jumat jam pelajaran dimulai pada pukul 07.00 WIB dan selesai pada pukul 10.00 WIB (Kelas 1 hingga Kelas 6). Jam istirahat Kelas 1 dan Kelas 2 pada pukul 09.30 WIB sampai 10.00 WIB sedangkan Kelas 3 hingga Kelas 6 pada pukul 10.00 WIB hingga 10.30 WIB. Waktu istirahat biasanya digunakan murid untuk jajan, bermain, dan mengobrol dengan teman.

Ektrakurikuler yang ada di sekolah ini di antaranya adalah Al-Qur,an,

english course, jarimatika, klub sains, klub olimpiade matematika, biola, seni lukis, komputer, robotics, futsal, tae kwon do, dan karate. Tiap ekstrakulikuler memiliki jadwal kegiatan masing-masing, jam kegiatan biasa dilakukan setelah jam sekolah berakhir. Setiap murid diwajibkan mengikuti minimal satu kegiatan ekstrakulikuler.

Karakteristik Anak

Murid dari penelitian ini adalah murid SD kelas 4 dan kelas 5 dengan kisaran umur 9-11 tahun. Rata-rata murid berumur 10,4 ± 0,6 tahun. Sebagian besar umur murid berada pada usia 10 dan 11 tahun. Karakteristik anak mencakup berat badan, tinggi badan, jenis kelamin, dan berat badan lahir. Berat badan dan tinggi badan digunakan untuk mengukur IMT anak. Rata-rata berat badan dari anak dengan status gizi obes adalah 53,7 ± 6,9 kilogram, dengan kisaran 40-66 kilogram. Kelompok anak dengan status gizi normal memiliki rata-rata berat badan 29,2 ± 3,6 kilogram, dengan kisaran 23-38 kilogram. Data umur, jenis kelamin, BB, TB, dan IMT anak terdapat pada Lampiran 3.

(33)
[image:33.595.94.512.75.813.2]

jauh dengan kelompok anak berstatus gizi normal yaitu sebanyak 65% adalah anak laki-laki.

Tabel 5 Sebaran anak berdasarkan jenis kelamin dan berat badan lahir

Karakteristik Anak

Status Gizi Anak

p value

Normal Obes Total

n % n % n %

Jenis Kelamin

Perempuan 14 35,0 12 30,0 26 32,5 - Laki-laki 26 65,0 28 70,0 54 67,5

Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0

Berat Badan Lahir

Normal 39 97,5 33 82,5 72 90,0

0,045

BBLR/Lebih 1 2,5 7 17,5 8 10,0

Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0

Menurut WHO (2000), perempuan cenderung mengalami peningkatan penyimpanan lemak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan cenderung mengonsumsi sumber karbohidrat yang lebih kuat sebelum masa pubertas, sementara laki-laki lebih cenderung mengonsumsi makanan yang kaya protein. Tetapi penelitian yang dilakukan oleh Proper et al. (2006) menyatakan bahwa laki-laki secara signifikan lebih berkemungkinan untuk menjadi overweight atau obesitas daripada wanita, karena laki-laki cenderung untuk menghabiskan lebih banyak waktu untuk santai saat akhir minggu atau waktu senggang.

Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa dari kelompok anak berstatus gizi normal dan obes sebagian besar lahir dengan berat badan normal. Sebanyak 97,5% anak dari kelompok anak dengan status gizi normal lahir dengan berat badan normal dan sebanyak 82,5% anak dari kelompok anak obes lahir dengan berat badan normal. Namun persentase anak yang lahir dengan BBLR/berat lebih cenderung lebih banyak pada kelompok anak obes, yaitu 17,5% anak obes yang lahir dengan BBLR/berat lebih, sedangkan hanya 1 dari 40 (2,5%) anak berstatus gizi normal yang lahir dengan BBLR/berat lebih. Anak yang lahir dengan BBLR/lebih adalah anak yang lahir dengan berat badan di luar kisaran 2500-3800 gram. Berdasarkan hasil uji statistik terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,045) berat badan lahir antara anak berstatus gizi normal dan anak obes.

(34)

bahwa berat lahir rendah (BBLR) memiliki risiko yang lebih rendah menjadi obesitas pada anak perempuan yang berusia 4 sampai 5 tahun (OR: 0,50; Cl 95%: 0,32-0,77) dibandingkan dengan berat lahir lebih, namun tidak terdapat hubungan antara berat badan lahir rendah (BBLR) dengan kejadian obesitas pada anak laki-laki. Berat lahir lebih memiliki hubungan dan risiko yang lebih tinggi untuk menjadi obesitas pada anak perempuan (OR: 1,76; Cl 95%: 1,12,-2,78) dan anak laki-laki (OR: 2,42; Cl 95%: 2,06-2,86) (Oldroyd et al. 2010).

Faktor Keturunan

Genetik atau parenteral fatness ditentukan dengan menghitung IMT orang tua dengan pengkategorian status gizi menjadi kurus, normal, overweight, dan obes. Rata-rata IMT ayah dari anak dengan status gizi obes adalah 26,6 ± 3,9 kg/m2, dengan kisaran 20,2-37,6 kg/m2. Kelompok anak dengan status gizi normal memiliki rata-rata IMT ayah 23,9 ± 2,7 kg/m2, dengan kisaran 18,6-29,4 kg/m2. Tabel 6 merupakan sebaran anak berdasarkan faktor keturunan yaitu berdasarkan status IMT ayah dan IMT ibu.

Tabel 6 Sebaran anak berdasarkan faktor keturunan

Faktor Keturunan

Status Gizi Anak

p value

Normal Obes Total

n % n % n %

IMT ayah

Kurus - - - -

0,001

Normal 25 62,5 13 32,5 38 47,5

Overweight 15 37,5 18 45,0 33 41,2

Obes 0 0,0 9 22,5 9 11,3

Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0

IMT ibu

Kurus 2 5,0 0 0,0 2 2,5

0,143

Normal 28 70,0 20 50,0 47 58,8

Overweight 7 17,5 18 45,0 25 31,2

Obes 3 7,5 2 5,0 6 7,5

Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0

Berdasarkan hasil yang disajikan pada Tabel 6 dapat diketahui bahwa dari kelompok anak obes sebagian besar berasal dari ayah yang status gizinya

(35)

Rata-rata IMT ibu dari anak dengan status gizi obes adalah 25,0 ± 2,8 kg/m2, dengan kisaran 18,7,2-32,5 kg/m2. Kelompok anak dengan status gizi normal memiliki rata-rata IMT ibu 23,8 ± 4,4 kg/m2, dengan kisaran17,1-38,9 kg/m2. Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa sebagian besar anak yang berstatus gizi normal dan obes masing-masing dari ibu yang berstatus gizi normal, yaitu 70% pada kelompok anak berstatus gizi normal dan 50% dari anak obes. Hampir separuh (45%) dari kelompok anak obes mimiliki ibu yang

overweight, sedangkan dari kelompok anak berstatus gizi normal hanya 17,5% ibu yang overweight. Terdapat 5% dari kelompok anak obes memiliki ibu obes, sedangkan 7,5% dari kelompok anak berstatus gizi normal memiliki ibu obes. Tidak ada dari kelompok anak obes memiliki ibu yang berstatus gizi kurus, sedangkan terdapat 5% ibu bersatatus gizi kurus dari kelompok anak berstatus gizi normal. Berdasarkan hasil uji t-test tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,143) IMT ibu antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes.

Menurut Hidayati, Irawan, Hidayat (2009), bila kedua orang tua obesitas, 80% anaknya menjadi obesitas, bila salah satu orang tua obesitas, kejadian obesitas menjadi 40% dan bila kedua orang tua tidak obesitas, prevalensi menjadi 14%. Perubahan lingkungan gizi ketika anak berada dalam kandungan menyebabkan gangguan perkembangan organ-organ tubuh terutama kerentanan terhadap pemrograman janin yang di kemudian hari bersama-sama dengan pengaruh diet dan stres lingkungan merupakan predisposisi timbulnya berbagai penyakit di kemudian hari. Berikut disajikan sebaran anak berdasarkan kombinasi antara IMT ayah dan IMT ibu yang terdapat pada Tabel 7.

Tabel 7 Sebaran anak berdasarkan kombinasi IMT ayah dan IMT ibu

IMT ayah dan IMT ibu

Status Gizi Anak

Normal Obes Total

n % n % n %

Kurus dan Normal 1 2,5 0 0,0 1 1,2

Normal dan Normal 19 47,5 6 15,0 24 30,0

Overweight dan Kurus 1 2,5 0 0,0 1 1,2 Overweight dan Normal 12 30,0 16 40,0 28 35,0 Overweight dan Overweight 4 10,0 7 17,5 11 13,8

Obes dan Normal 2 5,0 5 12,5 8 10,0

Obes dan Overweight 1 2,5 6 15,0 7 8,8

Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0

(36)

dan ibu yang overweight. Bahkan terdapat 15% anak obes yang berasal dari kedua orang tua yang normal. Penelitian yang dilakukan oleh Internasional Obesity Task Force (IOTF) dari badan WHO menyebutkan bahwa faktor genetik hanya berpengaruh 1% dari kejadian obesitas pada anak, sedangkan 99% disebabkan faktor lingkungan (Darmono 2006).

Effendi (2003) menyatakan bila kedua orang tua mengalami kegemukan, maka kemungkinan anaknya mengalami obesitas mencapai 66–80%. Bila salah satu orang tua mengalami kegemukan maka kemungkinan anak mengalami obesitas sekitar 20–51%. Bahkan bila kedua orangtuanya memiliki status gizi normal, anak memiliki kemungkinan gemuk sebesar 7-14%.

Karakteristik Keluarga

Keluarga merupakan tempat pertama seorang anak berinteraksi. Keluarga juga yang menentukan jenis makanan yang akan dikonsumsi. Kondisi obesitas biasanya terjadi pada keluarga yang memiliki perekonomian di atas rata-rata, karena kemampuannya untuk memberikan makanan yang penuh gizi pada anaknya. Karakteristik keluarga mencakup pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, dan pengetahuan gizi ibu.

Pendidikan Orang Tua

Kualitas pendidikan dari orang tua mungkin saja mempengaruhi kualitas dari keluarga itu sendiri, karena pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan pengetahuan gizi seseorang. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Menurut Atmarita & Fallah (2004), tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan

seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan

(37)
[image:37.595.78.511.61.822.2]

Tabel 8 Sebaran anak berdasarkan pendidikan orang tua

Karakteristik Orang Tua

Status Gizi Anak

p value

Normal Obes Total

n % n % n %

Pendidikan Ayah

SMP 1 2,5 2 5,0 3 3,8

0,839

SMA 8 20,0 6 15,0 14 17,5

PT 31 77,5 32 80,0 63 78,7

Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0

Pendidikan Ibu

SMP 5 12,5 1 2,5 6 7,5

0,333

SMA 12 30,0 13 32,5 25 31,2

PT 23 57,5 26 65,0 49 61,3

Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0

Data pada Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar anak yang obes memiliki orang tua yang berpendidikan sampai ke perguruan tinggi (80%), 15% memiliki ayah yang berpendidikan SMA, dan hanya 5% memiliki ayah yang berpendidikan SMP. Hasil tersebut tidak berbeda jauh dengan kelompok anak yang berstatus gizi normal. Dari kelompok anak yang berstatus gizi normal, sebanyak 77,5% memiliki ayah yang berpendidikan perguruan tinggi (PT), 20% memiliki ayah yang berpendidikan SMA, dan hanya 2,5% memiliki ayah berpendidikan SMP. Namun persentase ayah yang berpendidikan perguruan tinggi lebih tinggi pada kelompok anak obes dibandingkan dengan anak berstatus gizi normal. Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,839) pendidikan ayah antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes. Hal ini diduga rata-rata tingkat pendidikan ayah antara dua kelompok tersebut sama.

Pendidikan ayah diduga berkaitan dengan tingkat status ekonomi keluarga, karena pendidikan orang tua berhubungan dengan tingkat pendapatan orang tua. Tingkat pendidikan orang tua sangat berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi anaknya. Makin tinggi tingkat pendidikan maka pendapatan pun akan semakin tinggi. Pendapatan keluarga yang tinggi berarti kemudahan dalam membeli dan mengonsumsi makanan enak dan mahal yang mengandung energi tinggi seperti fast food (Padmiari & Hadi 2001).

(38)

signifikan (p=0,333) pendidikan ibu antara anak berstatus gizi normal dengan anak obes.

Pendapatan Keluarga

Kondisi obesitas biasanya terjadi pada keluarga yang memiliki perekonomian di atas rata-rata. Hal ini dikarenakan kemampuannya untuk membeli dan memberikan makanan yang penuh gizi pada anaknya. Pendapatan keluarga adalah total dari pendapatan ayah dan ibu setiap bulannya. Tabel 9 merupakan sebaran anak berdasarkan pendapatan keluarga.

Tabel 9 Sebaran anak berdasarkan pendapatan keluarga

Karakteristik Orang Tua

Status Gizi Anak

Normal Obes Total

n % n % n %

Pendapatan Keluarga

<3 Juta 4 10,0 3 7,5 7 8,8

3-5Juta 14 35,0 10 25,0 24 30,0

5-10 Juta 14 35,0 17 42,5 31 38,7

>10 Juta 8 20,0 10 25,0 18 22,5

Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0

Tabel 9 menggambarkan dari kelompok anak obes, sebagian besar berasal dari keluarga yang pendapatannya antara 5-10 juta rupiah (42,5%) dan sebanyak 25% berasal dari keluarga dengan pendapatan di atas 10 juta rupiah per bulan. Pada kelompok anak dengan status gizi normal sebesar 20% berasal dari keluarga dengan pendapatan di atas 10 juta rupiah per bulan. Nilai ini tidak jauh berbeda, namun jika dikelompokkan lagi menjadi dua kategori pendapatan keluarga, yaitu di bawah 5 juta rupiah per bulan dan di atas 5 juta rupiah terdapat perbedaan yang semakin terlihat (Tabel 10).

Tabel 10 Sebaran anak berdasarkan dua kategori pendapatan keluarga

Karakteristik Orang Tua

Status Gizi Anak

p value

Normal Obes Total

n % n % n %

Pendapatan Keluarga

<5 Juta 18 45,0 13 32,5 31 38,8

0,306

≥5Juta 22 55,0 27 67,5 49 61,2

Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0

(39)

Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan. Menurut Soekirman (2000), Bannet menemukan bahwa peningkatan pendapatan akan mengakibatkan individu cenderung meningkatkan kualitas konsumsi pangannya dengan harga yang lebih mahal per unit zat gizinya. Peningkatan pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik.

Selain itu, menurut Nasoetion dan Riyadi (1994) keluarga yang berpenghasilan cukup atau tinggi lebih mudah dalam menentukan pemilihan bahan pangan sesuai dengan syarat mutu yang baik. Tingkat pendapatan merupakan faktor yang menuntukan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Pendapatan yang tinggi akan menigkatkan daya beli sehingga keluarga mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan dan akhirnya berdampak positif terhadap status gizi.

Pengetahuan Gizi Ibu

Pengetahuan gizi ibu pada penelitian ini diukur dengan menggunakan kuesioner yang diisi oleh ibu di rumah. Pertanyaan yang diajukan sebanyak 20 soal mengenai pengetahuan gizi umum dan pengetahuan mengenai obesitas. Rata-rata nilai pengetahuan gizi ibu dari anak dengan status gizi obes adalah 86,5 ± 10,9 dengan kisaran 50-100. Kelompok anak dengan status gizi normal memiliki rata-rata nilai pengetahuan gizi ibu 87,75 ± 11,9 dengan kisaran 35-100. Pengetahuan gizi ibu dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kurang (skor <60%), sedang (60-80%), dan baik (>80%) (Khomsan 2000). Sebaran anak berdasarkan pengetahuan gizi ibu dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Sebaran anak berdasarkan pengetahuan gizi ibu

Karakteristik Orang Tua

Status Gizi Anak

p value

Normal Obes Total

n % n % n %

Pengetahuan Gizi Ibu

Kurang 1 2,5 1 2,5 2 2,5

0,626

Sedang 8 20,0 10 25,0 18 22,5

Baik 31 77,5 29 72,5 60 75,0

Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0

(40)

dikatakan ada kecenderungan ibu yang berpengetahuan gizi baik memiliki anak yang berstatus gizi normal. Namun berdasarkan hasil uji t-test tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,626) pengetahuan gizi ibu antara anak berstatus gizi normal dan anak obes.

Menurut hasil penelitian Yueniwati dan Rahmawati (2001), terdapat hubungan antara pendidikan terakhir ibu dengan pengetahuan ibu tentang anak obes. Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik maka orang tua dapat menerima segala informasi dari luar, terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik, menjaga kesehatan anak, dan sebagainya. Dijelaskan lebih lanjut, pengetahuan ibu tentang obes pada anak juga berhubungan dengan status pekerjaan ibu, yaitu ibu bekerja atau tidak.

Riwayat Makan Anak

Riwayat makan anak yang dimaksud adalah kondisi konsumsi anak pada saat masih bayi. Riwayat makan anak terdiri dari pemberian ASI eksklusif, pemberian susu formula, dan pemberian makanan padat.

Pemberian ASI Eksklusif

ASI sangat penting ba

Gambar

Tabel 2 Klasifikasi IMT menurut WHO
Gambar 1 Kerangka pemikiran faktor-faktor yang berhubungan dengan obesitas
Tabel 3 Jenis dan cara pengumpulan data
Tabel 4  Pengkategorian variabel penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan perhitungan data yang diperoleh dari hasil pretest kedua kelompok, nilai rata-rata pretest kelompok eksperimen sebesar 36,675 dan kelompok kontrol sebesar

Pada penelitian ini dilakukan isolasi dan identifikasi struktur senyawa aktif dari buah kasturi yang mempunyai aktivitas sebagai penangkap radikal DPPH selanjutnya diuji

Model yang dilihat dapat diterapkan dalam proses pembelajaran karate adalah model cooperative learning tipe STAD.karena dalam model cooperative learning tipe STAD akan

Peneliti berharap penggunaan REA dalam perancangan basis data akan memberikan manfaat bagi PT Werkudara Nirwana Sakti dalam mengatasi masalah operasional

 New Public Service memandang keterlibatan citizen dalam proses administrasi dan pemerintahan lebih penting ketimbang pemerintahan yang digerakkan oleh semangat

Hingga saat ini, Kelas Inspirasi telah diselenggarakan oleh ribuan relawan di 119 kota di Indonesia dan menjadi salah satu pilar gerakan Indonesia Mengajar yaitu keterlibatan

Tujuan dari Kelas Inspirasi ini ada dua, yaitu menjadi wahana bagi sekolah dan siswa untuk belajar dari para profesional, serta agar para profesional, khususnya kelas

Furqon (1996:112) latihan half squat ini terutama dapat “ mengembangkan otot-otot paha bagian depan dan kaki bagian bawah “. Latihan half squat dipilih karena sampel penelitian