• Tidak ada hasil yang ditemukan

Radiasi Gelombang Elektromagnetik

Dalam fisika, radiasi diartikan sebagai proses perjalanan sebuah partikel atau gelombang melalui suatu medium atau ruang (Anonim 2011). Radiasi dibagi menjadi dua tipe, yaitu radiasi ion dan radiasi non-ion. Radiasi ion merupakan radiasi yang memiliki cukup energi untuk mengionisasi sebuah atom. Partikel alfa, partikel beta, sinar gamma, radiasi X-ray dan neutron termasuk contoh radiasi ion. Sementara radiasi non-ion mengacu pada energi radiasi yang selain memproduksi ion ketika melewati suatu medium, juga memiliki energi yang hanya cukup untuk perangsangan (Kwan-Hoong 2003).

Radiasi non-ion dibagi ke dalam dua bagian, yaitu radiasi optik dan medan elektromagnetik. Radiasi optik dibagi menjadi beberapa subdivisi antara lain sinar ultraviolet, sinar tampak, dan sinar inframerah. Sementara medan elektromagnetik terdiri dari gelombang radio yang dapat dibagi menjadi gelombang mikro, gelombang radio frekuensi tinggi, dan gelombang radio frekuensi rendah. Berdasarkan sumbernya, radiasi non-ion dibagi menjadi dua yaitu natural (sinar matahari, petir) dan buatan manusia (alat-alat komunikasi, aplikasi dalam berbagai bidang seperti medis dan industri).

Gelombang elektromagnetik merupakan gelombang yang terdiri dari gelombang elektrik dan energi magnetik yang bergerak secara bersamaan melalui ruang dengan kecepatan cahaya (http://www.fcc.gov/oet/rfsafety/rf- faqs.html). Gelombang mikro yang merupakan bagian dari gelombang radio yang diemisikan oleh antena transmisi merupakan salah satu bentuk energi elektromagnetik. Gelombang inilah yang akhirnya disebut sebagai radiofrequency atau radiasi. Radiofrequency atau radiasi merupakan gelombang elektromagnetik yang memiliki frekuensi antara 10 MHz sampai dengan 300 GHz (Lee et al. 2005).

Secara umum, gelombang elektromagnetik dikarakterisasi oleh perbedaan panjang gelombang dan frekuensi. Panjang gelombang merupakan jarak yang diperlukan oleh gelombang elektromagnetik untuk menempuh satu siklus atau satu putaran. Sedangkan frekuensi merupakan jumlah atau banyaknya paparan gelombang elektromagnetik dalam satu detik. Satuan yang digunakan untuk frekuensi adalah hertz (Hz).

Unit satuan lain yang digunakan untuk menggambarkan total medan gelombang elektromagnetik adalah power density. Unit satuan ini digunakan jika jarak antara antena pemancar dan lokasi yang terpapar cukup jauh. Power density didefinisikan sebagai kekuatan pancaran per unit area atau dapat digambarkan sebagai intensitas paparan. Satuan yang digunakan adalah Watt per meter kuadrat (W/m2).

Radiasi gelombang elektromagnetik merupakan suatu bentuk energi (elektrik dan magnetik) yang menunjukkan sifat-sifat gelombang yang merambat melalui ruang (Anonim 2011). Radiasi gelombang elektromagnetik yang berasal dari telepon seluler termasuk dalam radiasi non-ion (gelombang mikro). Radiasi non-ion, dalam kondisi normalnya, tidak dapat dirasakan oleh indra perasa manusia. Namun menjadi mungkin untuk ditangkap indra manusia jika terpapar dalam intensitas tinggi. Salah satu sensasi yang dirasakan adalah panas (Kwan- Hoong 2003).

Selain panas, dampak negatif yang lain dapat timbul karena adanya penyerapan radiasi gelombang elektromagnetik oleh tubuh. Satuan ukuran yang menyatakan banyaknya gelombang elektromagnetik yang diserap tubuh adalah Spesific Absorption Rate (SAR). Satuan yang digunakan adalah Watt per kilogram (W/kg) atau miliwatt per centimeter kuadrat (mW/cm2). Dalam International Commision on Non-Ionizing Radiation Protection (ICNIRP) dinyatakan nilai maksimal SAR adalah 2 W/kg. Sementara Federal Communications Commision (FCC) menyatakan nilai maksimal untuk SAR adalah 1,6 W/kg. Kedua nilai ini digunakan pada daerah yang berbeda. Ketetapan dari ICNIRP digunakan di Eropa dan beberapa negara lain, termasuk Indonesia, sedangkan ketetapan dari FCC digunakan di Amerika Serikat (http://www.fcc.gov/oet/rfsafety/rf-faqs.html).

Dampak Radiasi Gelombang Elektromagnetik Telepon Seluler

Telepon seluler merupakan sumber radiasi gelombang elektromagnetik yang sangat potensial. Telepon seluler menghasilkan energi foton yang sangat besar dan potensi radiasinya lebih besar dibandingkan peralatan elektronik maupun jaringan listrik tegangan tinggi dan ekstra tinggi. Beberapa penelitian menyatakan bahwa gelombang elektromagnetik yang berasal dari telepon seluler memiliki dampak negatif baik terhadap tubuh manusia maupun hewan coba. Gangguan kesehatan akibat paparan gelombang elektromagnetik yang berasal

dari telepon seluler dapat terjadi pada berbagai sistem tubuh seperti sistem reproduksi, sistem saraf, sistem kardiovaskular, sistem endokrin, psikologis, dan hipersensitivitas.

Berikut adalah beberapa dampak negatif yang mungkin ditimbulkan oleh radiasi gelombang elektromagnetik antara lain penurunan kualitas semen baik yang terjadi pada manusia (Deepinder et al. 2007; Agarwal et al. 2008; Agarwal et al. 2009) maupun pada hewan coba yang dalam hal ini adalah tikus (Yan et al. 2007), peningkatan ketidakstabilan kromosom yang terjadi pada jaringan limpa mencit yang diberi paparan gelombang elektromagnetik (Sykes et al. 2001), peningkatan ketidakstabilan kromosom limfosit yang berasal dari pembuluh darah tepi pada manusia yang diberi paparan secara in vitro (Mashevich et al. 2003), serta perubahan morfologi, ekspresi gen, dan proliferasi dari sel-sel fibroblast pada manusia (Pacini et al. 2002). Penggunaan dalam jangka waktu yang lebih lama (10 tahun atau lebih) dapat menyebabkan timbulnya risiko pertumbuhan tumor. Jenis tumor yang timbul akibat radiasi bermacam-macam antara lain tumor otak (Hardell et al. 2007; Khurana et al. 2008; Schoemaker et al. 2005), tumor kelenjar ludah (Khurana et al. 2008), dan tumor kelenjar parotis (Sadetzki et al. 2008). Hal tersebut berdasarkan studi epidemiologi yang telah dilakukan terhadap manusia. Dampak negatif lain yang mungkin dirasakan pada manusia adalah pusing, sulit tidur, gangguan konsentrasi, elektrohipersensitifitas, dan tingkah laku yang abnormal (Agarwal et al. 2008; Khurana et al. 2008).

Efek Whitten

Kemampuan reproduksi pada mamalia melibatkan integrasi antara fisiologi, sosial, dan rangsangan lingkungan (Dogde et al. 2002). Stimulus yang berasal dari lingkungan sosial telah terbukti mampu mempengaruhi baik frekuensi maupun komposisi siklus estrus pada mencit (Mus musculus) (Jemiolo et al. 1986). Stimulus tersebut dapat berasal dari hewan betina maupun jantan. Pengelompokan beberapa ekor mencit betina dalam satu kandang akan menyebabkan sinkronisasi siklus estrus dengan perpanjangan siklus estrus pada masing-masing betina. Sementara keberadaan hewan jantan akan merangsang sinkronisasi estrus dan ovulasi pada beberapa hewan betina sehingga memiliki pola siklus estrus yang sama atau yang lebih dikenal sebagai “Efek Whitten” (Whitten et al. 1966 diacu dalam Gangrade dan Dominic 1984).

Efek Whitten merupakan salah satu cara sinkronisasi siklus estrus dan ovulasi dengan menempatkan beberapa ekor mencit betina dan seekor mencit jantan dalam satu kandang dengan sekat pemisah. Perlakuan ini akan menyebabkan sinkronisasi siklus estrus tiga atau empat hari setelah penggabungan. Terjadinya sinkronisasi ini sebagai akibat pengaruh feromon yang berasal dari hewan jantan. Feromon yang dihasilkan ini bersifat volatile dan airborne (Whitten et al. 1968 diacu dalam Gangrade dan Dominic 1984). Feromon yang berasal dari hewan jantan tersebut kemudian dideteksi oleh organ vomeronasal hewan betina. Letak organ vomeronasal dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Vomeronasal organ (http://www.neuro.fsu.edu/~mmered/vomer/

index.htm)

Feromon yang telah ditangkap oleh organ vomeronasal kemudian kemudian diteruskan menuju bulbus olfaktorius asesorius. Rangsangan kemudian diteruskan menuju amigdala, yang kemudian dilanjutkan ke hipotalamus. Hipotalamus yang mendapatkan rangsangan kemudian memberikan respon pada sistem endokrin yang kemudian berpengaruh terhadap siklus estrus hewan betina (Tirindelli et al. 2009). Skema penerimaan feromon oleh organ vomeronasal sampai menghasilkan respon endokrin dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Skema penerimaan feromon oleh organ vomeronasal sampai menghasilkan respon endokrin

Jemiolo et al. (1986) menyatakan bahwa feromon berpengaruh terhadap pola sekresi hormon Luteinizing (LH), hormon prolaktin, dan steroid yang dalam sekresinya dipengaruhi oleh kedua hormon tersebut. Hal ini kemudian akan berpengaruh terhadap regulasi fungsi ovulasi yang selanjutnya mempengaruhi siklus estrus dan ovulasi.

Biologi Reproduksi Mencit

Mencit (Mus musculus albinus) merupakan hewan multipara, yang mampu menghasilkan beberapa sel telur (oosit) dalam satu siklus estrus. Mencit bersifat poliestrus dan mengalami estrus pasca melahirkan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi anak. Mencit betina mulai berahi pada umur 28-40 hari dan biasanya dikawinkan pada umur lebih dari 50 hari dengan berat badan berkisar 20-30 g. Siklus estrus terdiri atas fase proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus yang berlangsung selama 4-5 hari. Deteksi siklus estrus mencit betina, dapat dilakukan melalui ulas vagina dengan mengamati reruntuhan sel-sel pada selaput lendir vagina (Djuwita et al. 1989). Fase estrus terjadi pada malam hari dengan lama estrus sekitar 12 jam. Dalam satu kali ovulasi, mencit mampu menghasilkan 8-12 oosit, tergantung pada galurnya (Hogan et al. 1994). Ovulasi dapat dipengaruhi oleh kadar hormon, umur, berat, dan jenis mencit yang digunakan. Menurut Monk (1987), mencit umumnya dikawinkan secara single mating (satu jantan dengan satu betina), trios (satu jantan dengan dua betina), atau harems (satu jantan dengan lebih dari dua betina)

Tahap Perkembangan Embrio Mencit

Perkembangan embrio dimulai dari terfertilisasinya sel telur oleh sperma. Fertilisasi merupakan proses penggabungan sel gamet betina dengan sel gamet jantan yang terjadi di bagian ampula tuba Falopii (Sadler 2000). Fertilisasi terjadi pada pertengahan siklus gelap, sehingga hari terjadinya proses fertilisasi dianggap sebagai hari ke-0,5. Dua puluh empat jam setelah fertilisasi, embrio

akan berada pada tahap dua sel. Embrio akan membelah secara perlahan tanpa disertai pertambahan massa. Dua hari setelah fertilisasi, embrio membelah menjadi delapan sel yang dinamakan dengan morula. Morula kemudian akan mengalami kompaksi menjadi morula kompak (compacted morula). Selanjutnya embrio akan berkembang menjadi blastosis. Pada tahap ini terjadi diferensiasi sel-sel blastomer menjadi trofoblas dan Inner Cell Mass (ICM). Sel-sel trofoblas terletak di bagian luar di sekeliling embrio dan selanjutnya berkontribusi pada pembentukan selaput ekstraembrionik dan plasenta. Selain itu, sel-sel trofoblas juga berperan dalam memfasilitasi penyerapan nutrisi pada tahap perkembangan awal. Sementara ICM merupakan sekelompok sel blastomer yang terletak di bagian dalam (blastodisk). Sel-sel ICM merupakan bagian utama yang akan membentuk tubuh hewan.

Pada mencit, implantasi pada dinding uterus terjadi pada hari ke-4,5 pasca fertilisasi (Hogan et al. 1994). Setelah implantasi, kecepatan perkembangan embrio meningkat dengan pesat. Embrio kemudian memasuki proses gastrulasi yang dimulai pada hari ke-6,5 pasca fertilisasi. Proses gastrulasi merupakan titik kritis dari tahap perkembangan awal karena pada tahap ini terjadi pembentukan tiga lapis sel kecambah (sel ektoderm, sel mesoderm,dan sel endoderm) dan terjadi penurunan potensi dari sel-sel blastomernya. Selain itu, proses gastrulasi juga terkait erat dengan proses pembentukan garis primitif dan pembentukan buluh saraf.

Setelah proses gastrulasi, embrio akan memasuki proses neurulasi. Proses neurulasi terjadi pada hari ke-7,5 pasca fertilisasi yang dimulai dengan induksi sel-sel epitelium ektoderm untuk melakukan diferensiasi membentuk lempeng saraf. Induksi ini dikenal dengan Primary Embryonic Induction. Selanjutnya bagian tepi lempeng saraf menebal dan membentuk lipatan saraf, sementara bagian tengah lempeng saraf membentuk suatu lekukan yang disebut dengan alur saraf. Lipatan saraf kemudian bergerak ke arah tengah dan bersatu sehingga terbentuk buluh saraf. Embrio yang telah memiliki struktur buluh saraf dikenal juga dengan sebutan neurula.

Tahap perkembangan embrio selanjutnya adalah organogenesis. Organogenesis atau proses pembentukan organ terjadi secara bertahap sesuai dengan induksi dan pengaruh dari lingkungan sekitar. Organ yang telah terbentuk tidak selalu diikuti dengan berfungsinya organ tersebut. Ada organ yang dibentuk dan langsung berfungsi seperti jantung, namun ada juga organ

yang dibentuk dan tidak langsung berfungsi. Organogenesis berlangsung selama sisa waktu kebuntingan. Pada mencit, fetus lahir pada hari ke-19 atau hari ke-20 pasca fertilisasi (Hogan et al. 1994; http://www.emouseatlas.org/emap/home/ html; Djuwita et al. 2000; Fahrudin et al. 2008).

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Embriologi, Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi dan UPT Hewan Laboratorium Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan dari bulan Oktober 2010 sampai dengan bulan Februari 2011.

Metode Penelitian

a. Sinkronisasi Siklus Estrus dengan Metode Efek Whitten

Sinkronisasi siklus estrus dilakukan secara alami dengan metode Efek Whitten. Mencit betina (strain DDY, umur 2-3 bulan) yang akan disinkronisasi ditempatkan dalam kandang bersekat untuk memisahkan mencit betina dari mencit jantan (strain DDY, umur 2-3 bulan). Jumlah mencit yang ditempatkan dalam masing-masing kandang adalah empat ekor betina dan satu ekor jantan. Sekat pada kandang memungkinkan mencit jantan dan betina berinteraksi tanpa terjadi perkawinan. Sinkronisasi dilakukan selama tiga hari. Pada hari keempat masing-masing mencit betina dipindahkan ke dalam kandang individu untuk dikawinkan dengan mencit jantan dengan perbandingan 1:1 (single mating). Pemeriksaan sumbat vagina dilakukan pada pagi hari berikutnya untuk memastikan mencit tersebut telah kawin. Mencit betina dengan sumbat vagina positif dipisahkan dari mencit jantan dan ditempatkan dalam kandang individu. Hari terlihat adanya sumbat vagina ditandai sebagai hari kebuntingan pertama (H-0,5).

b. Perlakuan Pemaparan Gelombang Elektromagnetik Telepon Seluler pada Hewan Coba secara In Vivo

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL). Mencit betina yang berjumlah 24 ekor dibagi menjadi empat kelompok sehingga terdapat enam ekor mencit dalam setiap kelompoknya. Mencit dalam masing-masing kelompok merupakan mencit yang telah dipastikan kawin sebelumnya dengan melakukan pengecekan sumbat vagina. Kelompok perlakuan dibedakan berdasarkan waktu paparan gelombang elektromagnetik yang berasal dari telepon seluler. Waktu paparan untuk masing- masing kelompok adalah 15 menit, 30 menit, dan 60 menit yang dilakukan secara tidak kontinu. Sementara kelompok kontrol tidak diberi paparan.

Kandang pertama berisi enam ekor mencit yang kemudian diberi paparan selama 15 menit per hari yang dilakukan pada pukul 12.00 WIB. Kandang kedua berisi enam ekor mencit yang kemudian diberi paparan selama 30 menit per hari yang dilakukan dua kali dalam sehari dengan lama paparan masing-masing 15 menit, yaitu pada pukul 09.00 WIB dan pukul 15.00 WIB. Kandang ketiga berisi enam ekor mencit yang kemudian diberi paparan selama 60 menit per hari yang dilakukan empat kali dalam sehari dengan lama paparan masing-masing 15 menit, yaitu pada pukul 09.00 WIB, pukul 12.00 WIB, pukul 15.00 WIB, dan pukul 18.00 WIB. Kandang keempat yang berisi enam ekor mencit digunakan sebagai kontrol (tanpa perlakuan pemaparan gelombang elektromagnetik). Paparan dilakukan dengan menggunakan telepon seluler GSM (Global System for Mobile Communications) berfrekuensi 900 MHz dengan nilai SAR (Spesific Absorption Rate) 1,48 W/kg pada jarak 10 cm dari objek selama tujuh hari pasca kawin.

c. Pengamatan dan Pengambilan Data

Pengamatan dilakukan terhadap jumlah implantasi dan jumlah anak mencit dari induk yang terpapar gelombang elektromagnetik yang berasal dari telepon seluler. Selain itu, sebagai data penunjang, dilakukan penimbangan bobot badan anak mencit pra sapih. Data jumlah implantasi diambil dari tiga ekor mencit yang berasal dari masing-masing kelompok. Sementara tiga ekor mencit yang tersisa dari masing-masing kelompok dibiarkan sampai melahirkan.

Penghitungan jumlah implantasi dilakukan pada hari ke-9,5 dengan metode pembedahan. Jumlah implantasi yang terdapat pada uterus masing-masing mencit dihitung, setelah dilakukan bedah laparotomi. Data jumlah anak mencit

setelah pemaparan diambil dari tiga ekor mencit yang tersisa pada setiap kelompoknya. Setelah perlakuan, mencit dibiarkan sampai melahirkan. Jumlah anak yang lahir kemudian dihitung. Penimbangan bobot badan anak pra sapih dilakukan pada saat anak mencit berumur 7 hari, 14 hari, dan 21 hari. Penimbangan dilakukan pada setiap anak mencit dari masing-masing kelompok.

d. Pengukuran Daya Pancar dan Gelombang Elektromagnetik Telepon Seluler

Pengukuran daya pancar telepon seluler dilakukan terhadap tiga jenis provider dalam mode panggilan dan mode bicara. Pengukuran dilakukan di Laboratorium Jaringan Telekomunikasi Multimedia, Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh November dengan menggunakan alat field strength dan spectrum analyzer. Pengukuran dilakukan pada beberapa titik dari sumber, yaitu 0 cm, 5 cm, 10 cm, 30 cm, dan 50 cm untuk mode panggilan. Sementara pengukuran untuk mode bicara dilakukan pada jarak 0 cm, 10 cm, dan 50 cm. Hasil pengukuran disajikan dalam satuan dBm.

Pengukuran gelombang elektromagnetik telepon seluler dilakukan terhadap tiga jenis provider dalam mode panggilan dan mode bicara. Pengukuran dilakukan di UPT Hewan Laboratorium Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dengan menggunakan program Electromagnetic Wave (EMW) meter yang terdapat pada iPhone. Pengukuran dilakukan pada beberapa titik seperti pada pengukuran daya pancar. Hasil pengukuran disajikan dalam satuan µT.

e. Analisis Data

Data jumlah implantasi dan jumlah anak mencit disajikan dalam bentuk tabel. Hasil yang diperoleh selanjutnya diolah dengan Uji Sidik Ragam (ANOVA) kemudian dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan untuk melihat ada tidaknya perbedaan secara nyata (P<0.5). Apabila hasil tidak menunjukkan adanya perbedaan secara nyata maka analisis dilakukan secara deskriptif kualitatif berdasarkan data yang tersedia.

HASIL

Pengaruh Efek Whitten terhadap Siklus Estrus dan Perkawinan pada Mencit Pada penelitian ini dilakukan sinkronisasi siklus estrus dengan metode Efek Whitten. Efek Whitten diyakini sebagai salah satu metode sinkronisasi siklus estrus secara alami. Pengamatan terhadap pengaruh Efek Whitten dilihat dari jumlah mencit yang melakukan perkawinan setelah disinkronisasi dengan metode tersebut. Hasil sinkronisasi menggunakan Efek Whitten disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Persentase jumlah mencit yang kawin setelah perlakuan Efek Whitten Kelompok Mencit Jumlah mencit betina

(ekor)

Jumlah mencit betina yang kawin setelah perlakuan (%)

1 12 8 (66.67) 2 8 6 (75.00) 3 6 6 (100) 4 6 4 (66.67) Total 32 24 (75.00)

Sinkronisasi siklus estrus dengan menggunakan metode tersebut menunjukkan hasil yang baik ditandai dengan tingginya jumlah mencit yang kawin setelah diperlakukan dengan metode tersebut. Jika dilihat dari persentase mencit betina yang kawin setelah diperlakukan dengan metode Efek Whitten, tingkat keberhasilannya berkisar antara 66.67% sampai dengan 100%, dengan efektivitas rata-rata mencapai 75%.

Nilai persentase diperoleh dari membandingkan jumlah mencit betina yang kawin setelah perlakuan dengan jumlah mencit betina yang diperlakukan dengan metode tersebut. Nilai persentase tersebut merupakan nilai yang diperuntukkan bagi kelompoknya masing-masing sehingga lebih menunjukkan adanya variasi respon dari masing-masing kelompok.

Pengaruh Paparan Gelombang Elektromagnetik Telepon Seluler terhadap Jumlah Implantasi dan Jumlah Anak Mencit

Gelombang elektromagnetik yang berasal dari telepon seluler diketahui mempunyai berbagai macam dampak negatif, salah satunya terhadap sistem

reproduksi. Pada penelitian ini diamati jumlah implantasi dan jumlah anak mencit yang dihasilkan jika induk diberi paparan gelombang elektromagnetik yang berasal dari telepon seluler selama tujuh hari setelah kawin dengan jumlah waktu paparan yang berbeda-beda pada tiap kelompok perlakuan. Data hasil pengamatan terhadap jumlah implantasi dan jumlah anak mencit disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan jumlah implantasi dan jumlah anak mencit setelah perlakuan Kelompok

Perlakuan Jumlah Implantasi Jumlah Anak Mencit

Kontrol 8.66 ± 1.52 10.00 ± 1.73

15 menit 10.00 ± 1.00 10.33 ± 2.30

30 menit 8.66 ± 3.78 10.00 ± 1.00

60 menit 8.66 ± 0.57 12.33 ± 3.21

Keterangan: Uji statistik terhadap hasil di atas menunjukkan tidak berbeda nyata (p<0.05)

Uji statistik yang dilakukan pada kedua parameter tersebut menunjukkan tidak ada perbedaan nyata (P<0.05) antara masing-masing kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol. Kisaran nilai jumlah implantasi, antara 8.66 sampai dengan 10.00, tidak berbeda nyata dengan nilai jumlah implantasi pada kelompok kontrol, yaitu 8.66. Hal tersebut juga berlaku bagi parameter jumlah anak mencit. Kisaran nilai jumlah anak mencit, 10.00 sampai dengan 12.33, tidak berbeda nyata dengan nilai jumlah anak mencit pada kelompok kontrol, yaitu 10.00.

Pengaruh Paparan Gelombang Elektromagnetik Telepon Seluler terhadap Anak Mencit yang berasal dari Induk yang Terpapar

Pada penelitian ini diamati pengaruh paparan gelombang elektromagnetik telepon seluler terhadap anak mencit yang berasal dari induk yang terpapar dengan parameter bobot badan anak. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh paparan dilakukan pengukuran bobot badan anak mencit. Pengukuran bobot badan dilakukan pada hari ke 7, 14, dan 21 pasca lahir. Bobot badan anak mencit pra sapih dari masing-masing kelompok perlakuan disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Rataan bobot badan anak mencit pra sapih setelah induk diberi paparan gelombang elektromagnetik telepon seluler

Kelompok

Perlakuan n

Rataan Bobot Badan Anak Mencit (gram) pada hari ke-

7 14 21

Kontrol 3 2.98 ± 0.15 4.50 ± 0.19 8.32 ± 0.99 15 menit 3 3.18 ± 0.19 4.16 ± 0.16 9.22 ± 0.14 30 menit 3 2.93 ± 0.21 3.72 ± 0.10 10.01 ± 0.23 60 menit 2* 2.54 ± 0.08 5.75 ± 0.01 10.9 ± 0.82 Keterangan: *rataan bobot badan anak mencit pada kelompok 60 menit berasal dari 2 ekor induk karena seluruh anak mencit dari induk ketiga mati; uji statistik terhadap hasil di atas menunjukkan tidak berbeda nyata (p<0.05)

Uji statistik yang dilakukan pada rataan bobot badan anak pada.masing- masing kelompok perlakuan tidak menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05) dengan rataan bobot badan anak pada kelompok kontrol. Rataan bobot badan anak kelompok perlakuan hari ke-7 yang berkisar antara 2.54 gram sampai dengan 3.18 gram tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan rataan bobot badan anak kelompok kontrol hari ke-7 yaitu 2.98 gram. Rataan bobot badan anak kelompok perlakuan hari ke-14 yang berkisar antara 3.72 gram sampai dengan 5.75 gram tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan rataan bobot badan anak kelompok kontrol hari ke-14 yaitu 4.50 gram. Rataan bobot badan anak kelompok perlakuan hari ke-21 yang berkisar antara 9.22 gram sampai dengan 10.9 gram tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan rataan bobot badan anak kelompok kontrol hari ke-21 yaitu 8.32 gram. Sehingga dapat dikatakan bahwa paparan gelombang elektromagnetik telepon seluler yang diberikan pada induk mencit dalam penelitian ini tidak mempunyai pengaruh nyata terhadap perkembangan anak mencit yang dihasilkan.

Pengukuran Daya Pancar dan Gelombang Elektromagnetik Telepon Seluler Pengukuran daya pancar yang dilakukan terhadap tiga jenis provider menunjukkan bahwa nilai daya pancar provider kedua pada jarak 10 cm dalam mode bicara merupakan nilai tertinggi (-31 dBm) jika dibadingkan dengan kedua provider lainnya. Sementara pengukuran gelombang elektromagnetik menunjukkan bahwa nilai gelombang elektromagnetik provider kedua pada jarak

10 cm dalam mode bicara merupakan nilai terendah (23,1 µT) jika dibandingkan dengan kedua provider lainnya. Hasil pengukuran daya pancar dan besar gelombang telepon seluler selengkapnya disajikan pada Tabel 4.

Dokumen terkait