• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biologi Kumbang Tanduk (O. rhinoceros).

Sistematika kumbang tanduk menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insekta Ordo : Coleoptera Famili : Scarabaeidae Genus : Oryctes Spesies : O. rhinoceros L.

Kumbang betina mampu memproduksi telur sebanyak 35 sampai 140 butir. Telur-telur akan diletakkan pada sampah-sampah, pada pucuk kelapa yang mati, dan ada pula yang diletakkan pada kotoran-kotoran yang terdapat diantara pelepah-pelepah. Imago betina menghasilkan telur 30 - 70 butir dan menetas setelah ± 12 hari. Telur berwarna putih dengan garis tengah ± 3 mm, lalu bewarna agak kelam dan mendekati penetasan akan bewarna coklat (Kartasapoetra, 1993).

Larva berada di daerah yang membusuk. Ukuran badannya mencapai 7.5 mm dan panjangnya mencapai 60 - 105 mm. Warna larva keputih-putihan tetapi kepalanya bewarna kehitaman dan bagian belakang perutnya bewarna biru keabuan. Tubuhnya samar-samar melengkung membentuk setengah lingkaran. Larva O.

rhinoceros berkaki tiga pasang. Larva hidup dari memakan bahan organik yang

ada di dekatnya. Larva terdiri dari tiga instar. Masa larva instar pertama 12 - 21 hari, instar kedua 21 - 60 hari, dan instar ketiga 60 - 165 hari (Lever, 1969).

Gambar 2: Larva O. rhinoceros

Pupa berada di dalam tanah, berwarna coklat kekuningan berada dalam kokon yang dibuat dari bahan-bahan organik disekitar tempat hidupnya. Pupa jantan berukuran sekitar 3 - 5 cm, yang betina agak pendek. Masa prapupa 8 - 13 hari. Masa pupa berlangsung 18 - 23 hari. Kumbang yang baru muncul dari pupa akan tetap tinggal di tempatnya antara 5 - 20 hari, kemudian terbang keluar (Prawirosukarto dkk, 2003).

Kumbang berwarna hitam, ukuran badan panang 40 mm lebar 20 mm. Kumbang jantan mempunyai cula yang lebih panjang dari yang betina. Kumbang yang baru keluar terbang menuju pohon kelapa memakan dan sambil mencari pasangan kemudian terjadi perkawinan, dan setelah itu kumbang-kumbang betina terbang menuju sampah-sampah/tumpukan limbah untuk bertelur. Telur yang dihasilkan dapat mencapai 35- 70 butir/ekor kumbang betina. Kumbang aktif pada

sore hari sekitar jam 6 - 7 malam dan tertarik pada cahaya. Umur kumbang 4 – 4.5 bulan (Siswanto, 2003).

Gambar 4: Imago O. rhinoceros

Gejala Serangan Kumbang Tanduk (O. rhinoceros)

Pada tanaman yang berumur antara 0 - 1 tahun, kumbang dewasa (baik jantan maupun betina) melubangi bagian pangkal batang yang dapat mengakibatkan titik tumbuh atau terpuntirnya pelepah daun yang dirusak. Pada tanaman dewasa kumbang dewasa akan melubangi pelepah termuda yang belum terbuka. Jika yang dirusak adalah pelepah daun yang termuda (janur) maka ciri khas bekas kerusakannya adalah janur seperti digunting berbentuk segitiga.

Stadium hama yang berbahaya adalah stadium imago (dewasa) yang berupa kumbang (Suhardiyono, 1988).

Kumbang dewasa masuk ke dalam daerah titik tumbuh dan memakan bagian yang lunak. Bila serangan mengenai titik tumbuh, tanaman akan mati, tetapi bila makan bakal daun hanya menyebabkan daun dewasa rusak seperti terpotong gunting (Darmadi, 2008).

Tampak guntingan-guntingan/potongan-potongan pada daun yang baru terbuka seperti huruf “V”, gejala ini disebabkan kumbang menyerang pucuk dan pangkal daun muda yang belum membuka yang merusak jaringan aktif untuk pertumbuhan. Serangan ini dapat dilakukan oleh serangga jantan maupun betina (Prawirosukarto dkk, 2003).

Gambar 5: Gejala serangan O. rhinoceros (a. lubang bekas gerekan kumbang) a

Jamur M. anisopliae

Menurut Alexopoulus dkk (1996), klasifikasi M. anasopliae adalah sebagai berikut : Kingdom : Fungi Phylum : Ascomycota Class : Sordariomycetes Ordo : Hypocreales Family : Clavicipitaceae Genus : Metarhizium Species : M. anisopliae.

M. anisopliae adalah salah satu jamur entomopatogen yang termasuk

dalam divisi Deuteromycotina: Hyphomycetes. Jamur ini biasa disebut dengan

green muscardine fungus dan tersebar luas di seluruh dunia. Koloni jamur M. anisopliae pada awal pertumbuhannya berwarna putih, kemudian berubah

menjadi hijau gelap dengan bertambahnya umur. Miselium bersekat, diameter 1,98 - 2,97 µm, konidiofor tersusun tegak, berlapis, dan bercabang yang dipenuhi dengan konidia. Konidia bersel satu berwarna hialin, berbentuk bulat silinder dengan ukuran 9,94 x 3,96 µm (Alexopoulus dkk,1996).

Gambar 6 : Jamur M. anisopliae pada media PDA a

Jamur ini bersifat parasit pada beberapa jenis serangga dan bersifat saprofit di dalam tanah dengan bertahan pada sisa-sisa tanaman. Cendawan ini pertama kali digunakan untuk mengendalikan hama kumbang kelapa lebih dari 85 tahun yang lalu, dan sejak itu digunakan di beberapa negara termasuk Indonesia.

M. anisopliae telah lama digunakan sebagai agen hayati dan dapat menginfeksi

beberapa jenis serangga, antara lain dari ordo Coleoptera, Lepidoptera, Homoptera, Hemiptera, dan Isoptera. M. anisopliae telah terbukti mampu mematikan Plutella xylostella dari ordo Lepidoptera yang menyerang tanaman kubis. M. anisopliae juga mampu mematikan Ostriania furnacalid Guenee pada tanaman jagung (Van den Bosch dkk, 1973).

Keberhasilan dalam pengendalian hama dengan menggunakan jamur

entomopatogen juga ditentukan oleh konsentari jamur yang diaplikasikan (Hall, 1980). Menurut penelitian yang telah dilakukan di Balai Penelitian

Tanaman kelapa dan Palma Lain, Manado, jamur M. anisopliae ini dapat dibiakkan di dalam media jagung yang dikemas dalam kantong plastik. Kemudian dalam pengaplikasiannya ke lapangan, jamur ini diaplikasikan dengan konsentrasi sekitar 15 gr / m2 sarang larva O. rhinoceros. Sedangkan menurut penelitian pengendalian hayati O. rhinoceros di Jawa Timur, jamur M. anisopliae dapat digunakan untuk mengendalikan larva O. rhinoceros dengan konsentrasi 15-20 gr/ sarang larva. Sedangkan konsentrasi konidia dalam biakan M. anisopliae yang baik adalah mengandung 500 juta ( 5 x 108 ) konidia atau lebih dalam setiap gram jagung (Mahmud, 1989).

Gambar 7 : Jamur M. anisopliae (a. konidia, b. konidiofor)

Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan M. anisopliae

Jamur M. anisopliae dipengaruhi oleh temperature yang optimum, yaitu berkisar antara 20 – 220C, walaupun beberapa laporan menyebutkan bahwa jamur dapat tumbuh pada temperatur yang sangat dingin. Konidia akan membentuk kecambah pada kelembapan diatas 90%. Namun demikian, konidia akan berkecambah dengan baik dan patogenitas akan meningkat bila kelembapan udara tinggi hingga 100%. Patogenitasnya bisa menurun apabila kelembapan udara di bawah 86 % ( Prayogo, 2006 ).

Jamur ini dinamakan sebagai muskardin hijau karena warna sporanya yang hijau terang. Sporanya tidak berkelamin memiliki konidia yang dapat menempel pada serangga, spora ini berkecambah dan hyphanya yang muncul menembus kulit jangat. M. anisopliae dapat berkembang di dalam sarang serangga yang dapat dengan cepat membunuh hanya dalam beberapa hari, efek mematikan sangat membantu dalam memproduksi pemberantas serangga. Kulit jangat serangga yang

a

membentuk akar segera melingkar pada bangkai serangga tersebut berupa spora berwarna hijau (Hosang, 1990).

Mekanisme Infeksi Jamur M. anisopliae

Mekanisme infeksi M. anisopliae menurut Ferron (1985) dapat digolongkan menjadi empat tahapan etologi penyakit serangga yang disebabkan oleh jamur. Tahap pertama adalah inokulasi, yaitu kontak antara propagul jamur dengan tubuh serangga. Propagul jamur M. anisopliae berupa konidia karena merupakan cendawan yang berkembang baik secara tidak sempurna. Dalam proses ini, senyawa mukopolisakarida memegang peranan penting. Tahap kedua adalah proses penempelan dan perkecambahan propagul jamur pada integumen serangga. Kelembapan udara yang tinggi dan bahkan kadang-kadang air diperlukan untuk perkecambahan propagul jamur. Jamur pada tahap ini dapat memanfaatkan senyawa-senyawa yang terdapat pada integumen. Tahap ketiga yaitu penetrasi dan invasi. Jamur dalam melakukan penetrasi menembus integumen dapat membentuk tabung kecambah (appresorium) (Bidochka, 2000). Titik penetrasi sangat dipengaruhi oleh konfigurasi morfologi integumen. Penembusan dilakukan secara mekanis atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim dan toksin. Tahap keempat yaitu destruksi pada titik penetrasi dan terbentuknya blastospora yang kemudian beredar ke dalam hemolimfa dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan lainnya. Setelah serangga mati, jamur akan terus malanjutkan siklus dalam fase saprofitik, yaitu jamur kan membentuk koloni di sekitar tubuh inang. Setelah tubuh serangga inang dipenuhi oleh koloni jamur, maka spora infektif akan diproduksi.Enam senyawa enzim dikeluarkan oleh

M. anisopliae yaitu lipase, khitinase, amilase, proteinase, pospatase, dan esterase

(Freimoser dkk, 2003).

Gambar 8: Mekanisme Infeksi Jamur M. anisopliae Sumber :

Gejala Serangan Jamur M. anisopliae

Serangga juga mengembangkan sistem pertahanan diri dengan cara fagositosis dengan membentuk granuloma. Pada waktu serangga mati, fase perkembangan saprofit jamur dimulai dengan penyerangan jaringan dan berakhir dengan pembentukan organ reproduksi. Pada umumnya semua jaringan dan cairan tubuh seranggga habis digunakan oleh jamur, sehingga serangga mati dengan tubuh yang mengeras seperti mumi. Pertumbuhan jamur diikuti dengan pengeluaran pigmen atau toxin yang dapat melindungi serangga dari serangan mikroorganisme lain terutama bakteri. Tidak selalu jamur tumbuh ke luar menembus integumen serangga. Apabila keadaan kurang mendukung, perkembangan saprofit hanya berlangsung di dalam jasad serangga tanpa ke luar menembus integumen. Dalam hal ini jamur membentuk struktur khusus untuk dapat bertahan, yaitu arthrospora (Ferron, 1985).

Jamur C. militaris

Menurut Holliday dkk (2005), jamur C. militaris dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Fungi Filum : Ascomycota Klass : Ascomycetes Ordo : Hypocreales Famili : Clavicipitaceae Genus : Cordyceps

Spesies : C. militaris Fries.

Cordyceps sp. adalah genus jamur ascomycetes (jamur kantung) yang

mencakup sekitar 750 spesies. Semua jenis Cordyceps adalah endoparasitoid, terutama pada serangga, sehingga mereka disebut sebagai jamur entomopatogen. Jamur ini bersifat soil borne karena infeksi mulai terjadi pada saat larva turun ke tanah untuk berkepompong (Wibowo dkk, 1994).

Pada awal ditemukannya, tampak struktur stromata yang timbul dari badan ulat api. Stromata merupakan jalinan hifa yang membentuk tangkai, dimana pada bagian fertile disebut peritesia yang mengandung askus dan askospora. Ukuran stromata 8 – 70 × 1.5 – 6 mm, peritesium 500 – 720 × 300 – 480 μm, askus 300 – 510 × 3.5 – 5 μm, askospora 280 – 390 × 1 μm, askospora mempunyai banyak septa, ukuran partspore 2 – 4.5 × 1 – 1.5 μm, dan warna koloni kuning keputih-putihan (Kuo, 2006).

Gambar 9 : Jamur C. militaris pada media PDA

(a. Koloni jamur C. militaris putih; b. fruiting body jamur)

Stroma dan sinemata Cordyceps berasal dari endosklerotium dan biasanya keluar dari mulut dan anus serangga dan dapat berkembang dengan bantuan cahaya. Stroma dan sinemata terdiri dari bundel-bundel yang tersusun rapi dan membentuk garis-garis membujur atau terdiri dari hifa yang saling berjalin dan peritesia yang berkembang semakin ke atas. Struktur badan buahnya dapat mencapai panjang kira-kira 30 cm, dan bewarna kuning, jingga, merah, cokelat, kuning tua, abu-abu, hijau, atau hitam. Peritesia mengandung askus yang panjang dan sempit dengan askospora yang multisepta yang dapat berubah bentuk menjadi semakin besar dalam satu bagian sel tersebut (Tanada dan Harry, 1993).

Gambar 10: Jamur C. militaris (a. septa ; b. askus) a b a b

Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan C. militaris

Hasil penelitian di Balai Penelitian Marihat menunjukkan bahwa pada kondisi kelembapan yang cukup perkembangan Cordyceps dari mumifikasi sampai terjadinya emisi askospora sekitar 24 hari. Keadaan yang sedikit gelap akan berpengaruh terhadap evolusi stromata tetapi cahaya akan merangsang keluarnya peritesia. Waktu yang diperlukan untuk pembentukan stromata berkisar antara 2 – 4 minggu setelah inokulasi (Wibowo dkk, 1994).

Media yang dipakai untuk menumbuhkan jamur entomopatogen sangat menentukan laju pembentukan koloni dan jumlah konidia selama pertumbuhan. Jumlah konidia akan menentukan keefektifan jamur entomopatogen dalam mengendalikan serangga. Jamur entomopatogen membutuhkan media dengan kandungan gula yang tinggi di samping protein. Media dengan kadar gula yang tinggi akan meningkatkan virulensi jamur entomopatogen. Media dari jagung manis atau jagung lokal + gula 1% menghasilkan jumlah konidia dan persentase daya kecambah konidia yang lebih tinggi dibandingkan media yang lain (Prayogo dkk, 2006).

Mekanisme Infeksi Jamur C. militaris

Askospora yang berada pada integument dari larva dan pupa melakukan penetrasi melalui pembuluh, dan mempunyai kemampuan untuk menghidrolisa lapisan kitin dari larva maupun pupa tersebut. Setelah infeksi, muncul badan hifa berbentuk silindris pada haemocoel pupa, kemudian badan hifa meningkat dan menyebar pada tubuh serangga (Schgal dan Sagar, 2006).

Gejala Serangan Jamur C.militaris

C. militaris dapat menyerang larva instar akhir maupun kepompong yang

ditandai dengan munculnya miselium berwarna putih dan mengalami mumifikasi.

Kepompong yang terinfeksi menjadi keras (mumifikasi), berwarna krem sampai coklat muda, miselium berwarna putih membalut tubuh kepompong di dalam kokon. Miselium berkembang keluar dinding kokon dan terjadi diferensiasi membentuk rizomorf dengan beberapa cabang, berwarna merah muda. Ujung – ujung rizomorf berdiferensiasi membentuk badan buah berisi peritesia dengan askus dan askospora. Infeksi pertama terjadi pada saat larva tua akan berkepompong, tetapi lebih banyak pada fase kepompong. Pada kondisi lapangan,

C. militaris tumbuh baik pada tempat-tempat lembab di sekitar piringan kelapa

sawit dan di gawangan. Menurut hasil penelitian kepompong terinfeksi cukup tinggi dan bervariasi tergantung pada keadaan lingkungan dan media terutama kelembapan (Purba dkk, 1989).

Dokumen terkait