• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Posyandu di Indonesia

Upaya perbaikan gizi di Indonesia telah dirintis sejak tahun 1950-an yang dimulai dengan pembentukan panitia perbaikan makanan rakyat di Jawa Tengah. Pada tahun yang hampir bersamaan dilaksanakan kegiatan serupa di berbagai negara lain. FAO dan WHO merumuskan suatu program yang dinamakan Applied Nutrition Program (ANP) yaitu upaya yang bersifat edukatif untuk meningkatkan gizi rakyat terutama golongan rawan gizi dengan peran serta masyarakat setempat dengan dukungan dari berbagai instansi secara terkordinasi.

Tahun 1969 melalui pertemuan berbagai instansi dilahirkan nama UPGK dengan menggunakan konsep ANP (Applied Nutrition Program) dari FAO-WHO. Dalam perkembangannya pada tahun 1984 dicanangkan oleh masyarakat dengan bantuan alat dan tenaga khusus dari pemerintah. Posyandu merupakan salah satu bentuk Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD). PKMD merupakan suatu pendekatan yang kekuatannya terletak pada pelayanan kesehatan dasar, kerjasama lintas sektoral dan peran serta msyarakat.

Tujuan dari Posyandu adalah:

1) Mempercepat penurunan angka kematian bayi dan anak balita serta penurunan angka kelahiran.

2) Mempercepat penerimaan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS).

3) Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengembangkan kegiatan kesehatan dan kegiatan-kegiatan lain yang menunjang sesuai dengan kebutuhan (Depkes 1986,1997).

Posyandu digolongkan menjadi 4 tingkatan yaitu :

1. Posyandu tingkat pratama adalah posyandu yang masih belum optimal kegiatannya dan belum bisa melaksanakan kegiatan rutinnya tiap bulan dan kader aktifnya masih terbatas.

2. Posyandu tingkat madya adalah posyandu yang sudah dapat melaksanakan kegiatan lebih dari 8 kali per tahun, dengan rata-rata jumlah kader 5 atau

lebih, tetapi cakupan program utamanya (KB,KIA,GIZI dan Imunisasi) masih rendah yaitu kurang dari 50%. Kelestarian dari kegiatan posyandu ini sudah baik tetapi masih rendah cakupannya.

3. Posyandu tingkat purnama adalah posyandu yang frekuensi pelaksanaannya lebih dari 8 kali per tahun, rata-rata jumlah kader yang bertugas 5 orang atau lebih, cakupan program utamanya (KB, KIA, GIZI dan Imunisasi) lebih dari 50% sudah dilaksanakan, serta sudah ada program tambahan bahkan sudah ada Dana Sehat yang masih sederhana.

4. Posyandu tingkat mandiri adalah posyandu yang sudah bisa melaksanakan programnya secara mandiri, cakupan program utamanya sudah bagus, ada program tambahan Dana Sehat dan telah menjangkau lebih dari 50% Kepala Keluarga (KK).

Pelayanan Posyandu

Posyandu merupakan lanjutan dari Taman Gizi/Pos Penimbangan, selama ini dilaksanakan oleh PKK yang kemudian dilengkapi dengan pelayanan KB dan Kesehatan. Posyandu sebagai pusat kegiatan masyarakat dalam bidang kesehatan melaksanakan pelayanan KB, gizi, imunisasi, penanggulangan diare dan KIA. Upaya keterpaduan pelayanan ini merupakan salah satu cara untuk meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Dengan keterpaduan 5 program tersebut baik dari segi lokasi, sarana maupun kegiatan dalam diri petugas, akan sangat memudahkan dalam memberikan pelayanan. Oleh sebab itu, sebaiknya Posyandu berada pada tempat yang mudah didatangi masyarakat dan ditentukan oleh masyarakat sendiri seperti ditempat pertemuan RT/RW atau tempat khusus yang dibangun masyarakat (Harianto 1992).

Kodyat (1998) menjelaskan bahwa pelayanan gizi di posyandu diupayakan dan dikelola oleh lembaga swadaya masyarakat setempat dan berakar pada msyarakat pedesaan terutama oleh organisasi wanita termasuk PKK. Dengan semakin meluasnya Posyandu di hampir semua desa, maka pelayanan gizi di pedesaan makin dekat dan makin terjangkau oleh keluarga. Keterpaduan

pelayanan kesehatan dasar khususnya untuk ibu dan anak, posyandu akan menjadi ujung tombak dalam penanggulangan masalah kurang gizi.

Kegiatan pelayanan gizi di posyandu meliputi :

1. Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak balita antara lain dengan penimbangan berat badan secara teratur sebulan sekali.

2. Pemberian paket pertolongan gizi berupa tablet tambah darah untuk ibu hamil dan pemberian kapsul yodium untuk ibu hamil, ibu nifas (menyusui) dan anak balita pada daerah rawan GAKY serta pemeberian vitamin A pada bayi, balita dan ibu nifas (menyusui).

3. Pemberian makanan tambahan sumber energi dan protein bagi anak balita KEP, jenis makanan tambahan disesuaikan dengan keadaan setempat dan sejauh mungkin menjadi tanggung jawab keluarga dan masyarakat.

4. Pemantauan dini terhadap perkembangan kehamilan dan persiapan persalinan terutama mengenai pemanfaatan ASI untuk kebutuhan gizi bayi.

Penyelenggaraan Posyandu dilaksanakan dengan pola lima meja. Kegiatan Posyandu dilaksanakan oleh kader. Pola lima meja tersebut adalah :

Meja 1 : Pendaftaran

Meja 2 : Penimbangan bayi dan balita Meja 3 : Pencatatan (pengisian KMS) Meja 4 : Penyuluhan perorangan meliputi :

a. Informasi kesehatan tentang anak balita berdasarkan hasil penimbangan berat badan, diikuti pemberian makanan tambahan, oralit dan vitamin A dosis tinggi.

b. Memberikan informasi kepada ibu hamil yang termasuk risiko tinggi tentang kesehatannya diikuti dengan pemberian tablet tambah darah. c. Memberikan informasi kepada PUS (Pasangan Usia Subur) agar

menjadi anggota KB lestari diikuti dengan pemberian dan pelayanan alat kontrasepsi.

Meja 5 : Pelayanan oleh tenaga profesional meliputi pelayanan KIA,KB,imunisasi serta pelayanan lain sesuai kebutuhan setempat.

Kegiatan diatas dilaksanakan sebulan sekali, khusus meja 1 sampai meja 4 merupakan kegiatan UPGK di Posyandu. Sedangkan kegiatan UPGK di luar jadwal Posyandu seperti kegiatan pemanfaatan pekarangan, motivasi dan penggerakkan UPGK melalui jalur agama dan BKKBN, PMT dan pemberian ASI dalam keluarga dapat dilaksanakan sebagai kegiatan sehari-hari UPGK dalam keluarga.

Revitalisasi Posyandu

Revitalisasi Posyandu merupakan upaya pemenuhan kebutuhan kesehatan dasar dan peningkatan status gizi masyarakat yang secara umum terpuruk sebagai akibat langsung maupun tidak langsung adanya krisis multi dimensi di Indonesia. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kemampuan setiap keluarga dalam memaksimalkan potensi pengembangan kualitas sumber daya manusia diperlukan dalam upaya revitalisasi Posyandu sebagai unit pelayanan kesehatan dasar masyarakat yang langsung dapat dimanfaatkan untuk melayani pemenuhan kebutuhan dasar, pengembangan kualitas manusia dini, sekaligus merupakan salah satu komponen perwujudan kesejahteraan keluarga. Peran Posyandu sebagai salah satu sistem penyelenggaraan pelayanan kebutuhan kesehatan dasar dalam rangka peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Agar Posyandu dapat melaksanakan fungsi dasarnya maka perlu upaya revitalisasi terhadap fungsi dan kinerja Posyandu yang telah dilaksanakan sejak krisis ekonomi yang melanda bangsa kita. Upaya revitalisasi posyandu telah dilaksanakan sejak tahun 1999 di seluruh Indonesia, tetapi fungsi dan kinerja posyandu secara umum masih belum menunjukkan hasil yang optimal. Oleh karena itu pula, upaya revitalisasi posyandu perlu terus ditingkatkan dan dilanjutkan agar mampu memenuhi kebutuhan pelayanan terhadap kelompok sasaran rawan gizi. Secara umum revitalisasi posyandu bertujuan meningkatkan fungsi dan kinerja Posyandu sehingga bisa memenuhi kebutuhan tumbuh kembang anak sejak dalam kandungan dan mampu meningkatkan atau mempertahankan status gizi serta derajat kesehatan ibu dan anak.

Sedangkan secara khusus bertujuan sebagai :

a. Meningkatkan kualitas kemampuan dan ketrampilan kader Posyandu. b. Meningkatkan pengelolaan dalam pelayanan Posyandu.

c. Meningkatkan pemenuhan kelengkapan sarana, alat, dan obat di Posyandu.

d. Meningkatkan kemitraan dan pemberdayaan masyarakat untuk

kesinambungan kegiatan Posyandu.

e. Meningkatkan fungsi pendampingan dan kualitas pembinaan Posyandu (Depdagri 2001).

Pelayanan Dasar Gizi

Menurut Soekirman (2000) pelayanan dasar adalah pelayanan utama yang harus diberikan kepada golongan masyarakat yang rawan terhadap risiko kurang gizi dan terserang penyakit. Kelompok tersebut adalah wanita, balita dan usia lanjut. Pelayanan untuk wanita meliputi pelayanan kepada wanita remaja calon ibu, wanita hamil, wanita nifas dan wanita menyusui.

Di negara berkembang seperti di Indonesia, apabila ditelusuri ke belakang, status gizi kurang dan buruk pada balita ada hubungannya dengan status gizi ibunya ketika masih remaja. Pada usia remaja terjadi perubahan fisik yang cepat. Oleh karena itu, mereka harus didukung oleh keadaan gizi kesehatan yang optimal. Menurut hasil Survey Kesehatan Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) dari Departemen Kesehatan tahun 1995; 39% remaja wanita menderita KEP tingkat ringan dan 15.8% KEP buruk. Angka tersebut lebih tinggi dibanding pada remaja laki-laki. Remaja wanita juga menderita anemi sebesar 49.2% dan infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) sebesar 29.6%.

Pelayanan dasar yang diberikan kepada wanita biasanya berupa pengetahuan tentang cara memelihara dan meningkatkan kesehatan diri dan keluarga, mengatur gizi seimbang dan pentingnya keluarga berencana. Selain itu, mereka disiapkan secara fisik dengan memberikan imunisasi pada waktu akan menikah dan jika perlu untuk penderita anemi besi diberikan suplemen pil zat besi atau tablet tambah darah (TTD), pelayanan pendidikan gizi, kesehatan dan Keluarga Berencaan (KB). Pelayanan ini dapat diberikan melalui berbagai program seperti usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK), program makanan

tambahan anak sekolah (PMT-AS), kesehatan sekolah, kesehatan keluarga dan melalui kegiatan rutin puskesmas.

Pelayanan dasar yang diberikan untuk ibu hamil dan meyusui terutama berupa pemeriksaan kehamilan dan sebelum persalinan (prenatal care), pertolongan persalinan dan pelayanan pasca persalinan (post-natal care). Pelayanan gizi dasar bagi ibu hamil dan menyusui dapat berupa penyuluhan gizi seimbang, pemantauan pertambahan berat badan waktu hamil, suplemen zat yodium, suplemen pil zat besi dan suplemen energi dan protein. Salah satu pengetahuan gizi yang harus ditanamkan kepada ibu hamil adalah mengenai pentingnya Air Susu Ibu (ASI) bagi bayi. Pada masa setelah melahirkan, selain pengetahuan tentang ASI, diperlukan pengetahuan tentang pentingnya makanan pendamping ASI (MP-ASI) sesudah bayi berumur 4 bulan. Pelayanan ini dapat dilaksanakan melalui program UPGK, Posyandu, Puskesmas dan kesehatan keluarga atau program khusus lainnya.

Pelayanan dasar bagi balita (0-5 tahun) terutama ditujukan untuk menjaga agar pertumbuhan potensional (berat badan dan tinggi badan) anak sejak lahir dapat berlangsung normal, demikian juga daya tahannya terhadap penyakit. Dengan pertumbuhan fisik yang normal, perkembangan mental dan kecerdasan anak juga dapat dipicu dengan lingkungan hidup yang baik dan pola pengasuhan yang mendukung. Untuk itu pelayanan dasar bagi balita meliputi pemberian imunisasi, pendidikan dan penyuluhan gizi pada ibu, menciptakan lingkungan yang bersih, penyediaan fasilitas stimulasi perkembangan mental dan kecerdasan anak dan penyediaan oralit untuk mengurangi bahaya penyakit diare.

Pelayanan dasar gizi dan kesehatan untuk anak balita dapat dilaksanakan melalui Posyandu, Puskesmas, program kesehatan keluarga dan program lain. Berbagai lembaga pelayanan dasar tersebut harus bisa terjangkau baik secara fisik (mudah dicapai) maupun ekonomi (sesuai daya beli) oleh setiap keluarga, termasuk mereka yang miskin dan tinggal di daerah terpencil.

Status Gizi dan Pengukurannya

Menurut Hermana (1993) status gizi merupakan hasil masukan zat gizi makanan dan pemanfaatannya di dalam tubuh. Sedangkan Riyadi (1995) mendefinisikan status gizi sebagai keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorpsi) dan penggunaan (utilization) zat gizi makanan yang ditentukan berdasarkan ukuran tertentu.

Pencapaian status gizi yang baik, didukung oleh konsumsi pangan yang mengandung zat gizi cukup dan aman untuk dikonsumsi. Bila terjadi gangguan kesehatan, maka pemanfaatan zat gizi pun akan terganggu. Bayi yang berstatus gizi lebih baik dan sehat, lebih berpeluang mempunyai kemampuan mental dan intelektual yang lebih baik dan mempunyai usia harapan hidup dan waktu produktif yang lebih tinggi (FNB-NAS 1990). Oleh karena itu, perhatian akan pemenuhan kecukupan gizi dan kesehatan pada bayi menjadi semakin penting. Cukup beralasan bahwa salah satu tujuan kebijakan pangan dan gizi di Indonesia adalah perbaikan mutu gizi makanan penduduk, khususnya golongan rawan gizi seperti anak dibawah lima tahun termasuk bayi dan ibu menyusui

Status gizi pada saat bayi dapat memberi andil terhadap status gizi anak- anak bahkan masa dewasa (Winarno 1990). Mengingat pentingnya status gizi masa bayi, maka orang tua dalam hal ini ibu mempunyai peran yang penting untuk dapat mengendalikan agar status gizi anaknya dapat mencapai optimal.

Kebutuhan nutrisi pada saat menyusui jauh lebih besar dibandingkan pada saat kehamilan. Pada 4-6 bulan pertama melahirkan, berat seorang bayi menjadi dua kali lipat dibandingkan pada saat umur sembilan bulan di dalam kandungan. Susu yang dihasilkan selama 4 bulan mengandung energi yang ekuivalen dengan energi total pada waktu kehamilan. Tetapi, meskipun demikian sejumlah energi dan banyak dari nutrien yang dimakan selama kehamilan dipergunakan untuk mendukung produksi dari ASI. Jumlah ASI yang diproduksi pada masa menyusui, energi dan kandungan dari nutrisi, jumlah energi yang dibutuhkan ibu serta nutrisi yang tersedia. Kebutuhan nutrisi pada masa menyusui meningkat hingga 500 kal/hari yang disertai dengan peningkatan kebutuhan protein, vitamin dan mineral. Masa menyusui yang cukup lama merupakan masa drainase zat-zat makanan bagi

ibu, karena melalui ASI, sang ibu memberikan kepada bayinya zat-zat gizi yang cukup untuk pertumbuhan bayi normal. Oleh karena itu ibu menyusui memerlukan sejumlah zat-zat gizi yang lebih banyak dari ibu yang sedang hamil, apalagi bila ibu itu tetap bekerja secara aktif di rumah atau di luar rumah. Bila ibu tidak mendapat tambahan gizi yang cukup, maka ibu akan menjadi kurus dan mudah letih, karena zat-zat makanan yang diperlukan untuk ASI diambil dari jaringan tubuh ibu. Oleh karena itu selama masa ASI ekslusif atau sebelum bayi mendapatkan makanan pendamping, tidak dianjurkan untuk melakukan diet penurunan berat badan.

Proses menyusui dapat dikatakan berhasil jika bayi berkembang dengan baik dan status biokimia yang normal. Jumlah ASI yang dikonsumsi bayi dan komposisi nutrisi dari ASI biasa digunakan sebagai dasar untuk melihat adekuatnya nutrisi dari ibu pada masa menyusui (As’ad 2002).

Menurut Nyoman et al. (2001) penilaian status gizi dapat diukur secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat dilakukan dengan cara : 1. Anthropometri yaitu diartikan secara umum ukuran tubuh manusia. Ditinjau

dari sudut pandang gizi, anthropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Penggunaan anthropometri ini secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh. Sedangkan menurut Jelliffe (1989) anthropometri merupakan metode pengukuran secara langsung dan yang paling umum digunakan untuk menilai dua masalah gizi utama yaitu masalah gizi kurang (terutama pada anak-anak dan wanita hamil) dan masalah gizi lebih pada semua kelompok umur. Menurut suhardjo dan Riyadi (1990) pengukuran status gizi dengan menggunakan anthropometri dapat memberikan gambaran tentang status konsumsi energi dan protein seseorang. Oleh karena itu, anthropometri sering digunakan sebagai indikator status gizi yang berkaitan dengan masalah kurang energi-protein. Indikator anthropometri yang sering dipakai ada tiga macam yaitu : berat badan untuk mengetahui massa tubuh, tinggi badan untuk mengetahui dimensi linear

panjang tubuh dan tebal lipatan kulit serta lingkar lengan atas untuk mengetahui komposisi dalam tubuh, cadangan energi dan protein. dalam penggunaan indikator anthropometri tersebut selalu dibandingkan dengan umur dari yang akan diukur. Atas dasar itu maka penentuan status gizi dengan menggunakan anthropometri adalah dengan indeks berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi (BB/TB), dan lingkar lengan atas menurut umur (LLA/U) (WHO 1995).

Berat badan mencerminkan masa tubuh, seperti otot dan lemak yang peka terhadap perubahan sesaat karena adanya kekurangan gizi dan penyakit. Oleh karena itu, indeks BB/U menggambarkan keadaan gizi saat ini. Tinggi badan menggambarkan skeletal yang bertambah sesuai dengan bertambahnya umur dan tidak begitu peka terhadap perubahan sesaat. Oleh karena itu indeks TB/U lebih banyak menggambarkan keadaan gizi seseorang pada masa lalu. Indeks BB/TB mencerminkan perkembangan massa tubuh dan pertumbuhan skeletal yang menggambarkan keadaan gizi saat itu. Indeks BB/TB sangat berguna apabila umur yang diukur sulit diketahui. lingkar lengan atas memberi gambaran tentang keadaan jaringan otot dan lapisan lemak bawah kulit. Seperti halnya dengan berat badan, indikator LLA dapat naik dan turun dengan cepat, oleh karenanya LLA/U merupakan indikator status gizi saat ini. Diantara indikator-indikator anthropometri yang telah disebutkan, indeks BB/U merupakan pilihan yang tepat untuk dipergunakan dalam rangka pemantauan status gizi sebab sensitif terhadap perubahan mendadak dan dapat menggambarkan keadaan gizi saat ini (Khumaidi 1997). Penilaian status gizi berdasarkan indikator BB/U, hasilnya kemudian dibandingkan dengan data anthropometri standar WHO-NCHS (National Center for Health Statistics) (WHO 1995), dengan kriteria adalah gizi lebih bila skor-z > 2; normal bila skor- z antara -2 dan 2, gizi kurang bila skor-z < -3 hingga -2 dan gizi buruk bila skor-z < -3.

2. Pemeriksaan secara klinis yaitu metode yang sangat penting untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel (supervicial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut

dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid. Penggunaan metode ini umumnya digunakan untuk survei klinis secara cepat (rapid clinical surveys). Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. Disamping itu digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) dan gejala (symptom) atau riwayat penyakit.

3. Biokimia yaitu penilaian status gizi dengan melakukan pemeriksaan specimen yang diuji secara laboratories yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain : darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Metode biokimia digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak gejala klinis yang kurang spesifik, maka penentuan kimia faali dapat lebih banyak menolong untuk menentukan kekurangan gizi yang spesifik.

4. Penilaian status gizi secara biofisik yaitu merupakan metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan. Metode ini digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemik (epidemic of night blindness). Cara yang digunakan adalah tes adaptasi gelap.

Sedangkan penilaian status gizi secara tidak langsung dilakukan dengan cara : 1. Survei konsumsi makanan yaitu metode penentuan status gizi secara tidak

langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan individu. Survei ini dapat mengidentifikasikan kelebihan dan kekurangan zat gizi.

2. Statistik Vital yaitu pengukuran status gizi dengan menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi. Penggunaannya dipertimbangkan sebagai dari indikator tidak langsung pengukuran status gizi masyarakat.

3. Faktor Ekologi, malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dan lain-lain. Pengukuran faktor ekologi dipandang sangat penting untuk mengetahui penyebab malnutrisi di suatu masyarakat sebagai dasar untuk melakukan program intervensi gizi.

Gambar 1 Metode penilaian status gizi

Sumber : Jelliffe (1989)

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi

Status gizi menurut Husaini (1977) ditentukan oleh banyak faktor, yang sering dikelompokkan kedalam penyebab langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat disebabkan oleh kurangnya konsumsi makanan dan infeksi, sedangkan secara tidak langsung dapat disebabkan oleh rendahnya daya beli terutama untuk konsumsi pangan yang dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, pemeliharaan kesehatan dan lingkungan serta berbagai faktor lainnya. Faktor tidak langsung yang dapat mempengaruhi status gizi pada anak yang merupakan faktor resiko yaitu pendidikan orang tua yang rendah, pendapatan yang rendah, terlalu banyak jumlah anggota keluarga, anak menderita

Dokumen terkait